Subscribe:

Saturday, 7 December 2013

Menjadi Bagian dari Sejarah Part 2

Agenda nonton bareng (nobar) ALPHA kali ini adalah nonton. iyalah... haha. Film yang kita tonton hari ini berjudul Freedom Writers. Menurut saya, film ini lebih romantis daripada film Trumant Capote yang diputar pada nobar edisi sebelumnya, walaupun masih sama-sama membuat ngantuk. hehe

Peserta yang datang hari ini lumayan banyak (daripada yang kemarin-kemarin). Alhamdulillah..
Ada Mas Budi, Erin, Cephi, Ina, Yudis, Afif, Uyunk, Nova, Indar, Ihsan, Berta, Rosa, Hadi, Hamid, Ririn, Arie, Mbak Tutut, Bang Dimas dan saya tentunya. Pada awal pemutaran film, ada teman-teman dari LPM lain yang hadir di tengah-tengah kita. Terima kasih ya buat Mas Cetar, Saddam, sama Mas Diki yang sudah berkenan menjenguk. Sayang sekali mereka tidak bisa lama-lama, karena hari ini kebetulan ada nobar juga di prosalina bersama Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) dan mereka ingin menghadirinya. Saya juga pingin ikut sih sebenarnya. Tapi saya urungkan niat itu. Takut dilabrak anak-anak ALPHA. hehe

Awalnya, kita mengundang Mas Cetar sebagai pemateri diskusi film kita malam ini. Tapi berhubung Mas Cetar berhalangan, akhirnya pemateri ditiadakan. Diskusi dibuat sharing-sharing yang berkaitan dengan film. Waduh, saya sedikit galau. Takut tidak bisa ngomong di depan adek-adek yang baru. Saya juga takut diskusinya garing dan nggak bermutu. Pasalnya pada saat itu adalah kali pertama saya dan kawan-kawan menonton film tersebut. Ngantuk nggak ngantuk, saya kuat-kuatin buat menonton film itu sampai akhir.

Okelah, saya akan sedikit bercerita seputar film Freedom Writers.
Freedom Writer merupakan film yang diangkat dari kisah nyata perjuangan seorang guru di Amerika Serikat membangkitkan semangat anak-anak didiknya untuk belajar dengan menulis diari.
Pada film yang menginspirasi saya untuk kembali menulis diari itu sering menyebutkan nama Anne Frank. Anne Frank adalah seorang Yahudi yang menjadi korban holocaust pada masa pemerintahan Hitler. Hitler yang mengatur kebijakan untuk memusnahkan seluruh Yahudi di Jerman membuat Anne dan keluarganya pindah ke negeri Belanda. Selama di pengungsian itu Anne menulis buku diari sampai dia ditangkap dan meninggal pada usia 15 tahun.

Kebetulan waktu SMA saya pernah membaca buku harian Anne Frank. Tapi sudah lupa karena saya hanya membaca satu kali. Buku itu sudah lama dipinjam oleh teman saya dan hingga kini tidak kembali. Akhirnya sebelum film selesai diputar, saya mencoba googling untuk mengingat-ingat tentang kisah Anne Frank. Takut salah menyebutkan fakta.

Kembali ke film. Selain banyak bercerita tentang Anne Frank, film ini menyajikan kisah romantis tentang seorang guru yang awalnya dibenci oleh semua muridnya ditengah perang yang berkecamuk. Sensitif, rasis, tertekan, tidak percaya diri, dan hidup seakan-akan hanya untuk menunggu kapan saatnya mati. Begitulah watak murid-murid anarki yang diajar oleh Erin Gruwell. Namun berkat usahanya, dia mampu menyatukan seluruh siswa kelasnya menjadi satu keluarga yang saling membutuhkan dan menghormati satu sama lain. Sebelumnya dia perlu meyakinkan murid-muridnya bahwa semua orang memiliki masalah dalam hidupnya, dan jika kita ingin dihormati maka kita juga harus menghormati. Begitu seterusnya tapi dia tetap menjadi lelucon bagi murid-muridnya. Hingga pada suatu hari Erin menyuruh semua siswanya untuk memberikan sebuah buku diari. Lewat buku-buku itulah Erin bisa mengetahui betapa kelamnya kehidupan mereka. Selain buku diari, Erin juga memberikan buku Harian Anne Frank kepada setiap muridnya sebagai bahan perenungan.

Yang saya acungi jempol dalam film itu adalah betapapun peliknya masalah yang dihadapi, siswa-siswa itu masih mau menulis dan membaca buku yang disodorkan kepadanya. Padahal sang guru sudah memberitahu dari awal bahwa buku diari itu tidak akan dinilai. Tapi mereka tetap mau menuliskan kisah hidupnya dan mengumpulkannya pada sang guru. Selain itu mereka juga sangat antusias belajar dari kehidupan Anne Frank. Dan kalimat yang paling saya suka adalah “Buku ini akan menjadi bukti bahwa kamu pernah ada, walaupun tidak ada yang mau membacanya”

Wah.... bener-bener mantap film ini. Menulis tidak harus untuk dibaca orang lain. Dengan menulis untuk diri kita sendiri, setidaknya itu akan menyadarkan kita bahwa kita pernah hidup di hari kemarin. Nantinya tulisan kita akan menjadi kenangan masa lalu yang ingin diingat dan masa depan yang ingin dilihat oleh kita sendiri. Ruwet ya? Haha. Pokoknya begitulah. Intinya, dengan menulis maka kita akan menjadi bagian dari sejarah.

Saya jadi teringat dengan notes nya Darwis Tere Liye. Kira-kira bunyinya seperti ini:
Saya percaya, kalau belajar menulis hanya demi menerbitkan buku, laku, kaya, populer, difilmkan, apalagi sibuk menghitung view, like, komen, maka cepat atau lambat akan berakhir pada kekecewaan. Bahkan meski semua itu akhirnya tercapai. Kosong saja ketika sudah tiba di titik itu.
Menulislah karena itu menyenangkan. Selalu menyenangkan.
Menulislah apa yang harus orang baca, bukan yang ingin orang baca.
Menulislah dengan pemahaman: Tidak semua kata-kata indah itu mengandung kebenaran. Kadangkala, sebuah kebenaran harus disampaikan dengan kalimat yang amat menyakitkan.
Menulislah dalam senyap. Si Penulis akan mati, jadi tulang belulang, tapi tulisannya boleh jadi abadi ribuan tahun.

Jangan pernah menulis untuk mendapatkan apresiasi. Ibarat menanam sebuah pohon, ya sekedar menanam saja. Jangan pernah berharap bahwa pohon itu nantinya akan berdaun lebat atau berbunga indah. (Mas Budi, adaptasi dari Mas Bro)

0 comments:

Post a Comment