Subscribe:

Wednesday, 4 December 2013

Lebih Baik Tidak Bisa Matematika daripada Tidak Bisa Mengantri

Kalau biasanya tulisan saya berisi curhatan tidak jelas serta tidak berisi informasi, entah kenapa hari ini saya pingin bikin tulisan yang agak serius (meskipun isinya masih curhat). Sebabnya adalah dosen saya yang baru saja pulang dari Filipina untuk melakukan studi banding. Loh?

Dosen saya bercerita, kurikulum pendidikan yang dipakai di Indonesia jauh lebih unggul daripada di luar negeri. Untuk Jurusan Matematika misalnya, materi yang diberikan untuk mahasiswa S1 di Indonesia adalah materi yang sama untuk mahasiswa S2 di Australia. Perwakilan Australia mengatakan bahwa mereka tidak takut anak-anak didiknya tidak bisa matematika. Mereka lebih takut kalau anak-anak Australia tidak bisa mengantri. Wow... makjleb...

Di Indonesia, tidak jarang kita menemui orang-orang yang suka menerobos antrian. Coba cermati ketika ada seorang pengendara sepeda motor yang mati tertabrak truk. Ya, pengendara ini termasuk seseorang yang tidak mau mengantri. Jika dia mau sedikit bersabar, dia tidak akan terburu-buru untuk menerobos lalu lintas atau mendahului kendaraan didepannya sehingga dihantam truk yang melaju berlainan arah dengannya. Tapi kalau pengendara tersebut ditabrak truk dari belakang, artinya supir truk lah yang tidak mau mengantri. Adakalanya seorang pengendara tersebut terpleset, kemudian jatuh, dan dihantam truk yang melaju cepat. Nah, kalau ini lain lagi ceritanya. haha.. Naudzubilah.. semoga tidak ada lagi kejadian seperti itu.

Saya pernah mengalami ketika akan membeli bensin di POM bensin, atau ketika sedang mengantri membeli makan. Saat itu ada seseorang yang dengan santainya tiba-tiba berdiri didepan saya dan mendapatkan pelayanan lebih dulu. Ini hanyalah contoh kecil. Saya tidak habis pikir dengan orang-orang ini. Saya tidak tahu apakah mereka kenal dengan kata 'antri' atau tidak (sepertinya tidak), tapi ini adalah sesuatu yang sangat mengganggu. Bagaimana kalau saat itu saya sedang terburu-buru untuk kuliah? Bagaimana kalau saat itu saya sedang kelaparan luar biasa dan harus disegerakan untuk makan? Saya katakan orang-orang seperti ini perlu mendapat pendidikan lebih tentang menghargai orang lain.

Masalah mengantri ini memang terdengar sepele. Tapi dampaknya sangat serius apabila tidak diindahkan. Lihat saja pemberitaan di media-media masa ketika ada pembagian BLT. Ketika ada seorang kaya yang bagi-bagi beras gratis. Ketika ada pembagian daging kurban saat Hari Raya Idul Adha. Lebih dari satu manusia kehilangan nyawa saat mengantri. Saling mendesak agar mendapatkan jatah lebih dulu adalah faktor utamanya. Pria, wanita, tua, muda bisa saja menjadi korban. Bahkan pernah ada seorang bayi yang meninggal digendongan ibunya karena terhimpit di dalam antrian.

Kenapa sih harus berdesak-desakan? Takut tidak dapat bagian ya? Sebenarnya berapa mahal sih harga beras di negeri ini hingga warganya begitu gigih mendapatkan beras gratis?
Sebentar, saya punya ide lain untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Untuk saat ini kita kembali fokus dulu tentang masalah antrian.

Tragis bukan? Bagaimanapun juga budaya mengantri ini harus diterapkan didalam interaksi sosial yang sebenarnya. Kalau mengantri hanya dijadikan sebagai kata mutiara dalam buku pelajaran PPKN bagi siswa Sekolah Dasar, ya seperti itu hasilnya.

Kebudayaan Indonesia sudah beraneka ragam. Ditambah korupsi yang sekarang menjadi trend dikalangan politikus maupun rakyat jelata. Aneh ya orang-orang ini? Bukankah budaya mengantri jauh lebih indah daripada budaya korupsi yang merugikan banyak pihak? Lantas kenapa lebih memilih membudidayakan korupsi?

Lemahnya Indonesia memfilter budaya yang pantas dimiliki adalah bukti bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari visi pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa (mungkin yang dimaksud pemerintah adalah cerdas membaca peluang mengambil yang bukan haknya). Masyarakat kurang memahami bahwa mengantri adalah hal sederhana yang membuat kehidupan rakyat lebih harmonis.Tidak akan ada pihak yag dirugikan dalam sebuah antrian. Siapa yang datang lebih dulu, dia yang dapat. Kalau ingin didahulukan, ya harus datang lebih awal. Adil. Sesuai dengan porsinya.

Lihatlah Amerika, Australia, atau Eropa. Sebagian besar masyarakatnya atheis. Tapi mereka lebih bisa memanusiakan manusia daripada Indonesia yang mewajibkan masyarakatnya untuk beragama. Sangat bijak jika dosen Australia lebih takut mahasiswanya tidak bisa mengantri daripada tidak bisa matematika. Mengantri mengajarkan mereka untuk menghargai orang lain. Mengantri mengajarkan mereka untuk bersabar mendapatkan apa yang akan menjadi haknya. Mengantri mengajarkan mereka untuk disiplin dalam menggunakan waktu. Mengantri memang hal kecil, tapi tidak mudah dilakukan untuk orang Indonesia. Hasilnya? Kita sebagai umat beragama dikalahkan oleh orang-orang tak berTuhan.

0 comments:

Post a Comment