Subscribe:

Sunday 1 November 2015

Pergi ke Pantai

Bukankah lucu? Saat kau pergi ke pantai, bukan ombak yang kau dengar, tapi musik yang hingar.
Tidakkah aneh? Saat kau mendekati pantai, tak tercium bau asin laut, tapi anyir selokan.
Sungguh sedih! Saat kau memendam tubuhmu dalam pasir pantai, ternyata kau tidur di atas karpet.
Keparatnya, kau harus bayar mahal untuk pergi ke tempat yang katanya pantai itu.


Ancol, 31 Oktober 2015

Wednesday 14 October 2015

Rini Soemarno dan Mimpinya

Selama beberapa minggu ini, topik kereta cepat Jakarta - Bandung yang digagas Menteri BUMN Rini Soemarno menjadi perbincangan yang awet dibahas. Sedikit yang pro, banyak yang kontra. Rakyat menilai proyek yang jadi rebutan Jepang dan Cina ini tidak ada urgensinya. Jakarta – Bandung naik kereta cepat seharga Rp 200 ribu, siapa yang mau? Kenapa tak bangun kereta di Kalimantan atau Sulawesi saja? Orang-orang di luar Pulau Jawa itu kan minim infrastruktur.

Tapi Rini memaksa. Kedua negara yang rebutan proyek pun tidak peduli dengan masukan pribumi. Mereka terus berkompetisi untuk memenangkan tender. Hingga akhirnya saudara tua kita harus kalah. Riset yang dilakukan Jepang selama bertahun-tahun digagalkan Cina yang hanya melakukan riset selama tiga bulan saja.

Entah bagaimana prosesnya, Presiden Jokowi yang semula tidak setuju kini pasrah. Ia hanya berpesan agar pembangunan kereta cepat ini tidak menggunakan anggaran negara. Rini setuju. Lalu ia bangun konsorsium dari empat BUMN untuk membangun kereta cepat pertama di Asia Tenggara ini. Tak ada yang mendebat lagi. Bahkan Ahok pun mengaku takut pada Ibu menteri kita tercinta.

Rini lalu sibuk mencari utangan untuk bangun proyek ini. Akhirnya, Ibu Menteri kita yang berkuasa itu mendapat utang dari Bank Cina dengan menggadaikan tiga Bank besar kita untuk menjadi penjaminnya. Pembayarannya diangsur selama 40 tahun, kata dia.

Saya heran, kenapa Ibu Rini begitu ngotot ingin bangun kereta cepat. Sebagai public figure, dia termasuk orang yang sangat tidak transparan. Saya lelah harus main kejar-kejaran terus dengan dia hanya untuk mengajukan satu pertanyaan saja. Seberapa penting Jakarta – Bandung harus punya kereta cepat?

Sampai suatu hari, saya mendapat rekaman suara Ibu Menteri saat memberikan sambutan di suatu acara di Bandung. Dalam rekaman itu ia mengatakan, “Kita harus bermimpi besar.” Rini mengucapkan cita-citanya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara pemasok produk perkeretaapian.

Andai saya bukan wartawan, barangkali saya akan melihat apa yang dilakukan menteri Rini itu adalah murni sebuah mimpinya untuk bangsa ini. Saya akan dukung habis-habisan selama itu memang ditujukan untuk kepentingan umat Indonesia. Namun saya sedih menyadari bahwa kini saya punya pikiran, jangan-jangan dia hanya ingin mencari untung.

Dan sayangnya, kehidupan telah membuat rakyat ini sangat realistis. Belum mulai digarap saja, banyak yang mempertanyakan. Bagaimana kalau rugi? Apakah BUMN sanggup menanggung sendiri tanpa bantuan pemerintah?

Untungnya Jokowi pintar. Dia tidak mau menanggung resiko kerugian dengan tidak memberikan anggaran negara untuk proyek ini. Hal ini sedikit banyak membuat lega pejabat lain karena tidak akan ikut pusing menanggung resiko yang buruk.

Terus terang, saya tidak tau seberapa besar resiko terburuk yang akan menimpa BUMN. Saya bukan menteri BUMN, juga bukan analis ekonomi bisnis. Lepas apakah caranya tepat atau tidak, Rini adalah menteri yang kuat dan keras kepala. Hingga akhir, mimpinya tak luntur meski minim pendukung.

Tuesday 13 October 2015

Sibuk

Aku benar-benar dibikin sibuk
Sibuk belajar dan melupakanmu

Meja panjang, Jakarta, 13 Oktober 2015

Wednesday 23 September 2015

Curhatan Hari Libur

Hari ini saya libur kerja. Tapi yang namanya jurnalis, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membaca dan memantau perkembangan setiap detik. Sedikit saja saya lengah, saya bisa kebobolan untuk mendapatkan isu-isu penting. Jika itu terjadi, maka saya nantinya hanya akan jadi corong narasumber  yang  bisa seenaknya membawa saya menulis berita yang dia mau. Disitulah terkadang saya merasa bersantai adalah sebuah dosa.

Saya tidak pernah menganggap ini adalah pekerjaan. Yang saya lakukan setiap hari hanya belajar membaca dan menulis. Ketika di lapangan, saya anggap seperti saat saya mendengarkan guru yang sedang menerangkan pelajaran di depan kelas. Saya harus dengarkan baik-baik, lalu bertanya jika ada yang tidak saya mengerti. Kemudian mereview apa yang menarik dan penting dari penjelasan guru tadi ke dalam sebuah tulisan. Nanti redaktur saya memberi nilai apakah laporan saya bagus atau tidak. Seperti sekolah bukan?

Bedanya, guru yang saya temui di sini bukan mereka yang bergelar Sarjana saja. Tempat belajarnya bisa dimana saja. Pelajarannya juga bisa apa saja. Dari tukang ojek, tukang kebun, pemulung, direktur perusahaan, hingga menteri bisa jadi guru saya. Bahkan kalau ada kesempatan, saya juga bisa berguru langsung pada Presiden.

Dulu, saya pikir wartawan adalah profesi yang tidak akan membuat saya bosan. Sebab wartawan selalu bertemu dengan aktor-aktor dan adegan baru setiap harinya. Setiap hari tidak akan sama. Betapa menjadi wartawan membuat saya merasa begitu hidup.

Tapi sekarang, wahai saudara, satu bulan saya menjadi wartawan, saya sudah merasa bosan. Saya tidak bosan menjadi wartawan. Saya bosan mendengar guru-guru saya yang terus mengulang pelajaran yang sama.

Kaum proletar itu tak pernah berhenti meminta keadilan. Dan para birokrat juga tak pernah berhenti bicara terobosan. Mereka begitu puas dengan paket-paket kebijakan yang katanya diusung untuk memperbaiki ekonomi. Menganggap keberhasilan menguatkan rupiah selama beberapa detik sebagai pencapaian yang luar biasa.

Tapi Pak,Bu, Jakarta masih macet luar biasa. Macet yang bisa membuat saya berantem sama tukang ojek. Begitu sumpek di sini. Tapi setiap tahun masih saja ada orang yang datang kemari. Apa yang mau dicari? Sepertinya mereka terkena korban sinetron. Tapi ketahuilah saudara, tukang bubur itu belum naik haji. Dan manusia gerobak itu belum ikut program bedah rumah karena ia tidak punya rumah.

Tapi saya pikir Bu Menteri sudah memiliki itikad baik dengan mencari hutang ke Cina untuk mengembangkan Bank-bank besar. Tapi untuk apa Bu? Apakah agar Bank-bank itu bisa memberi kami kredit usaha? Kalau iya, saya sangat apresiasi tindakan Bu Menteri itu. Namun sayang, saya yang cuma kaum proletar ini tidak akan mau ambil kredit. Karena bunga Bank Indonesia masih 7,5 persen. Bagi saya yang hidup pas-pasan di kota mahal ini, tentu itu sangat besar.

Lalu Pak Menteri kita yang bersahaja, sangat brilian idenya untuk melegalkan penjualan alkohol. Katanya itu dilakukan agar meningkatkan investasi dalam negeri. Sehingga nanti perekonomian kita yang sedang tersengal-sengal ini bisa segera lancar bernafas. Betapa menteri kita ini sangat mulia bukan?

Kita pun seharusnya bersyukur, karena punya wakil rakyat yang amanah mengemban tugas. Semua keinginan rakyat untuk tinggal di apartemen mewah, punya mobil, hingga jalan-jalan keluar negeri sudah diwakilkan mereka. Pasti itu sangat melelahkan. Maka wajarlah kalau sekarang mereka meminta tunjangannya segera dinaikkan. Kita harus maklum itu.

Ah, kenapa saya jadi bicara panjang begini ya? Padahal tadinya saya cuma mau curhat tentang profesi saya mumpung saya sedang libur. Tapi sepertinya saya terlalu terbawa-bawa isu. Hahaha. Kalau kata redaktur, tulisan ini sudah keluar angle. Tidak layak terbit. Maka agar menjadi tulisan yang tidak semakin tidak layak, saya akhiri saja ya gaes.

Selamat Lebaran..


Monday 3 August 2015

Sebuah Harapan untuk Berpisah


Ada sebuah penyesalan ketika saya membaca status BBM Nova yang berbunyi, “Ceritanya lagi forum advokasi di sekret PPMI.” Saya menyesal tidak bisa berada di antara mereka yang hadir dalam forum tersebut. Saya menyesal karena harus lulus lebih dulu. Saya menyesal karena telah pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata. Tanpa sebutir jejak.

***

Saat itu saya masih menjabat sebagai pengurus dalam Divisi Iklan dan Usaha dalam LPMM ALPHA. Mas Budi yang kala itu menjabat sebagai PU mengajak saya pergi ke PJTD entah LPM apa di Bangsalsari. Malam itu kami pergi berempat. Mas Budi dengan Laily, saya dengan Mbak Tutut. Di sanalah untuk pertama kalinya saya mengenal apa itu Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) bukan dalam teori. Saya akhirnya tahu tradisi itu juga ada dalam PPMI. Bahwa jika ada LPM yang punya hajat, LPM lain harus ikut rewang. Maka malam itu kami berempat menginap di sana. Bantu rewang menghabiskan makanan.

Suatu hari saya pergi lagi ke PJTD entah LPM mana lagi. Niat insun mau rewang menghabiskan makanan lagi. Saya masih membonceng Mbak Tutut, tapi sepertinya Mas Budi sendirian. Pagi itu saya berkenalan dengan Lemper, anggota LPMS Ideas. Mbak Tutut terlihat sudah akrab dengan Sarip, dari LPM Millenium. Lainnya saya lupa, sebab hanya dua manusia lucu itu yang sukses meninggalkan jejak dalam ingatan.

Lalu ketika saya sedang berbincang di sebuah bhuk bersama kawan-kawan, tiba-tiba muncul laki-laki memakai celana warna krem kedodoran. Badannya yang kurus membuat kaos warna pinknya terlihat sangat kendor. Disampirnya selendang dengan serampangan di kepalanya yang gondrong awut-awutan. Saya yang mulanya kalem jadi sedikit waspada, “Kok ada gembel di sini?” Lalu ada yang memberitahu bahwa dia bernama Sadam, anggota LPMS Ideas. Hahaha. Saya ingat tidak bisa menahan tawa saat itu.

Setelah itu saya ketagihan main keluar. Saya yang sebelumnya pendiam jadi suka ngeluyur saat LPM-LPM itu mengadakan acara. Pelatihan menulis, diskusi, nobar, bedah buku, dan lain-lain. Tak jarang mereka mengada-adakan acara walaupun isinya hanya ngopi bareng atau main futsal. Namun saya pikir, ada maksud di balik itu. Ada ampas di dalam kopi yang pekat.

Di akhir tahun 2012, saya mengikuti PJTL di Semarang bersama Mas Ulil (Ideas), Indah (Aktualita), Ani (Ecpose), Siska (Ecpose), Rez (Ecpose), dan Elya (Tegalboto). Kami diantar oleh Mas Cetar yang menjadi Sekjend Kota Jember kala itu dan juga Yunus dari Plantarum. Pengetahuan saya tentang PPMI jadi bertambah luas. Saya bertemu banyak orang keren. Salah satunya Julia Hartini (Isolapos) yang puisinya sudah dimuat di media mana-mana. Saya juga bertemu dengan Mas Defy, Sekjend PPMI Nasional yang sekarang jadi pacar sahabat saya, Erin.

Tahun berikutnya saya pindah jabatan ke Divisi Redaktur Media. Saya merasa kurang berpengalaman dalam hal tulis menulis. Untung saja saat itu saya ngefans dengan Mas Ulil, yang saat itu menjabat sebagai pemimpin redaksinya IDEAS. Jadi saya suka diam-diam minta pendapat tentang tulisan saya. Hahaha. Selain itu saya juga suka bertanya pendapat kepada Elya.

Memang, LPM terdekat yang paling produktif menurut saya adalah Ideas dan Tegalboto. Saya jadi suka belajar dengan mereka. Ecpose sebenarnya juga, tapi sepertinya saya terlalu mengeksklusifkan diri untuk dekat-dekat. Millenium dan Explant terlalu jauh untuk disambangi. Saya jarang ketemu dengan anggota Pijar, Freedom, Caninus, Prima, Imparsial, Lingkar, dan Sinvesta. Untuk Aktualita, mereka lebih handal dalam fotografi. Lalu entah bagaimana saya punya perasaan kuat untuk bercanda dengan Plantarum dan Manifest. Begitulah, tiap LPM dalam PPMI memiliki kharismanya masing-masing.

Lalu tiba hari dimana Sadam diangkat menjadi Sekjend Kota Jember menggantikan Mas Cetar. Di malam pemilihan itu saya berjanji mewakili ALPHA untuk membackup kinerja Sadam selaku Sekjend yang baru. Akhirnya saya pun terpilih menjadi Biro Umum di kepengurusan PPMI tahun 2014-2016.

Awal tahun 2014 saya masih suka ikut rapat dan ngumpul bareng teman-teman pengurus. Memasuki bulan ke empat, saya mulai jarang setor muka. Saat itu saya sudah memasuki semester akhir dan sedang menempuh skripsi. Tak heran kalau orang tua menyuruh saya lekas menyelesaikan masa studi. Dengan sedih akhirnya saya meninggalkan semua kegiatan di persma.

Disitulah awal mula penyesalan itu datang. Saya terlalu asik mengejar lulus. Saya merasa telah meninggalkan PPMI walaupun tak pernah melupakan. Beberapa kali saya ingin mencoba bicara dengan Sadam. Saya ingin minta maaf dengan kondisi saya. Ingin membicarakan tentang solusi untuk tugas-tugas saya yang terbengkalai. Tapi obrolan itu tak pernah terjadi. Sadam hanya pernah bilang kurang lebih begini, “Saya nggak mau marah sama kamu. Kalau kamu merasa punya tanggung jawab, seharusnya kamu tahu apa yang harus dilakukan.”

Tapi saya terlalu bersikap kekanakan dan malah merasa ditinggalkan. Barangkali itu kesalahan saya. Lantas saya menjadi semakin jauh. Ada perasaan takut, tidak enak, sungkan, dan sebagainya. Saya gelisah hingga hari kelulusan itu tiba. Lalu saya pergi tanpa meninggalkan jejak yang pantas dikenang.

Hingga hari ini, penyesalan itu tak juga reda. Kadang saya rindu dan ingin menyapa kawan-kawan saya di PPMI. Sejujurnya saya masih ingin menjadi bagian dari mereka. Kalau bisa, saya ingin menebus kesalahan saya di masa itu. Sebagai rasa terima kasih dan untuk membalas budi. Sebab apa yang membentuk saya hari ini tak lepas dari pengalaman yang pernah kami lewati bersama. Tapi siapalah saya? Saya hanya seorang yang tak bisa dibebani tanggung jawab.

Akhirnya saya hanya membisu. Sambil diam-diam menanyakan kabar mereka pada beberapa kawan. Terkadang saya masih suka membaca chatt teman-teman PPMI di Grup Whatsap. Mencoba mencari celah untuk menemukan apa yang bisa saya lakukan untuk orang-orang keren itu. Atau mungkin hanya sekedar menyampaikan perpisahan dengan layak.

Saturday 1 August 2015

Sebuah Tiket

Sebelum ingatan saya memudar, ijinkan saya menyusun kembali memori yang kini tinggal serpihnya. Masih tentang kehidupan yang barangkali sudah jemu kau baca. Maka agar kita bisa bersama-sama segera membuat cerita dengan genre yang baru, saya akan mengabarkan berita ini dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Sesingkat pidato proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dirayakan tepat pada dua hari yang lalu. 

***

Akhir Juni saya masih ada di Jakarta. Siang itu saya hendak pergi ke Salihara untuk mengikuti piknik sastra bersama Ayu Utami. Sebelum pergi ke Salihara yang berada di Jakarta Selatan, saya mampir dulu ke stasiun Jatinegara untuk membeli tiket mudik. Berkat bujuk rayu orang tua, saya setuju untuk pulang saat lebaran. Dengan catatan saya akan kembali lagi ke Jakarta usai hari raya.

Saya berencana pulang tanggal 7 Juli, H-10 idul fitri. Tiket sudah ditangan ketika saya menunggucommuter line jurusan Pasar Minggu, menuju Salihara. Ketika menunggu itu saya mendapat sms dari Tempo yang memberitakan bahwa saya lolos interview ke tahap selanjutnya. Saya terkejut. Sebab sangat jelas bahwa di pengumuman beberapa hari yang lalu nama saya tidak tertera di sana. Saya balas sms itu untuk memastikan kebenaran berita itu. Ternyata saya memang lolos. Pihak Tempo meminta maaf karena telah selip tidak memasukkan nama saya ke daftar hasil seleksi.

Beruntung wawancara panel dilakukan sebelum tanggal kepulangan saya. Setelah wawancara panel, masih ada dua tes lagi. Saya tetap pulang sesuai jadwal karena pelaksanaan tes dilakukan setelah lebaran. Bagi yang lolos.

Tanggal 10 Juli saya sudah berada di rumah ketika saya mendapat telepon dari Tempo. Saya lolos untuk kemudian mengikuti tes toefl tanggal 27 Juli. Akhirnya saya berangkat lagi ke Jakarta tanggal 24 Juli.

Tes toefl yang bertempat di British Institute dihadiri oleh 41 orang. Menurut kabar, hanya 20 orang yang akan diambil hingga akhir. Seminggu lebih kami menunggu kabar dari Tempo yang tak kunjung ada.

Saya sedikit pesimis. Sebab saat tes banyak nomer yang tidak benar-benar saya pikirkan. Apalagi soal listening. Saya seperti sedang mendengarkan orang yang bicara sambil berkumur.

Seminggu menunggu saya putuskan untuk membuat rencana lain. Selain menunggu keputusan Tempo, saya juga menunggu panggilan dari media-media lain. Ada belasan media yang saya kirimi lamaran. Majalah Kartini, Geotimes, Magazine, Suara.com, Kontan, Gramedia, dan media lain di Jakarta. Saya juga mendaftar Jelajah 1000 Jurnalis dan Sail Tomini 2015.

Kali itu mental saya lebih siap dengan apapun yang akan terjadi. Saya datang ke Jakarta Kota pada suatu hari. Saat itu saya teringat pada novel berjudul From Batavia with Love yang saya baca saat SMA. Dari novel itu saya terinspirasi untuk membuat novel fiksi sejarah. Lantas saya mengunjungi museum-museum yang berada di Kota Tua untuk melakukan riset. Tak harus jadi wartawan untuk jadi seorang penulis.

Hari-hari selanjutnya, saya menyibukkan diri dengan mengikuti diskusi di Yayasan Pantau, briefing media di Hotel Century, serta aksi Kamisan di Monas yang diselenggarakan KontraS. Setelah meliput demonstrasi penolakan rekonsiliasi di gedung Kejaksaan Agung bulan lalu, saya tertarik juga menjadi aktivis Hak Asasi Manusia. Kebetulan saya kenal dengan salah satu anggota KontraS. Saya ditawari untuk menjadi relawan LSM tersebut.

Ketika saya beritahu Ibu perihal keinginan saya bergabung dengan KontraS, Ibu menolak terang-terangan. Beliau takut nasib saya akan sama seperti Munir. Tapi saya berkeras bahwa saya ingin bekerja untuk kemanusiaan. Masalah hidup dan mati sudah ada yang mengatur.

Tapi niat saya untuk menjadi relawan Hak Asasi Manusia harus diurungkan. Sore saat saya mengikuti aksi kamisan di Monas itu saya mendapat telepon dari Tempo bahwa saya lolos dan harus melakukan tes kesehatan keesokan harinya. Hanya ada 15 orang yang lolos rupanya.

Hasil tes kesehatan akan diumumkan setelah tiga hari kerja. Jika lolos, saya bisa tanda tangan kontrak dengan Tempo pada tanggal 24 Agustus. Dua minggu lagi. Saya putuskan untuk pulang dan menunggu di rumah. Dua hari berada di rumah, saya dinyatakan bisa bergabung dengan Tempo dan tanggal 24 Agustus dihitung sebagai hari pertama kerja.

***

Saya memang sengaja menyembunyikan berita ini hingga akhir. Bukan apa-apa, saya hanya tidak mau mengecewakan penggemar untuk kesekian kalinya. Hahaha.

Tapi saya tetap tidak melupakan orang-orang yang selama ini berdiri di samping saya. Memapah dan mendorong agar saya segera bangkit. Kepada mereka, sungguh terima kasih yang tak ada habisnya. Akhirnya saya mendapatkan tiket itu. Sebuah tiket yang akan mengantar saya menuju apa yang mereka sebut cita-cita. Memang ini hanya sebuah pencapaian kecil, tapi tidak akan mampu saya raih tanpa adanya kamu. Iya, kamu. Kamu semua.

Untuk selanjutnya..
Biarlah, biarlah perjuanganku menjadi kebisuan dan nanti keberhasilanku yang akan menjadi berisik.

Thursday 30 July 2015

Alien adalah Aku



“Siapakah kamu?” barangkali memang pertanyaan yang membuat resah. Aku tidak paham filosofi. Dan aku belum selesai membaca Dunia Sophie. Jadi jawaban yang bisa kuberikan pada yang bertanya adalah bahwa aku adalah seorang alien yang akan mengambil alih bumi.

Alien dalam bahasa bumi selalu identik dengan sosok makhluk asing yang berasal dari luar angkasa. Tapi apa seyogyanya luar angkasa itu? Bukankah bagi makhluk yang barangkali ada di Mars, makhluk yang berada diluar planet mereka juga adalah makhluk luar angkasa? Dan juga, manusia tentulah dianggap asing ketika awal mula kemunculannya. Meski bagaimana terciptanya masih diperdebatkan hingga detik ini.

Jika teori Darwin itu benar, mengapa hanya monyet saja yang berevolusi menjadi makhluk secerdas manusia? Mengapa tidak ada kuda yang bisa menulis, burung yang memasak, atau paus yang membangun negaranya sendiri di bawah laut? Juga, apakah proses evolusi berhenti pada bentuk badan yang berjalan dengan dua kaki, dua mata kiri dan kanan, serta mulut yang tak berhenti makan? Tidak mungkinkah 1000 tahun lagi semua manusia akan memiliki dua kepala? Misteri adalah dunia itu sendiri.

Sewaktu belajar agama aku pernah mendengar bahwa sebelum turun ke bumi manusia hanyalah jiwa yang terkumpul dalam lahul mahfuz. Oleh Tuhan mereka ditanya, apakah mereka sanggup menjalani kehidupan di bumi. Tapi Tuhan tidak menurunkannya dengan cuma-cuma. Katanya akan ada surga dan neraka yang menanti mereka sepulangnya mampir minum di dunia. Dan mereka yang kini berceceran di dunia adalah mereka yang menyanggupi sabda sang Gusti. Lantas mereka dibuat lupa. Sehingga aku terus berkata bahwa aku tak pernah minta untuk diciptakan. Benar-benar kufur nikmat! Ckckckck.

Aku adalah alien. Sebab aku berasal dari lahul mahfuz, yang kuyakini ada di luar angkasa. Dan aku mengambil alih bumi yang damai. Aku menebang pohon di hutan, untuk kayunya kugunakan membuat rumah. Rumah yang mewah yang bisa dihuni oleh sejuta milyar manusia. Aku mencemari sungai dengan detergen yang kugunakan untuk mencuci baju. Baju paling indah yang jika memakainya akan menjadikanku pusat perhatian. Aku melubangi lapisan ozon dengan asap mobil. Mobil yang membawaku melintasi peradaban-peradaban. Akulah alien yang mengambil alih bumi yang ranum.

Tapi Hollywood tak pernah berlaku adil. Ia selalu menciptakan tokoh alien sebagai bukan bagian dari kita. Alien selalu adalah makhluk bukan manusia yang ingin menghancurkan peradaban manusia di bumi. Lantas mengambil alih untuk dijadikannya lahan beranak pinak yang baru.

Sayang, dalam film-film itu alien selalu kalah dari manusia. Seakan bumi hanya boleh dikuasai manusia saja. Padahal tak seorangpun di bumi yang memiliki sertifikat kepemilikan atas planet itu. Sedang datangnya manusia juga disertai penghancuran rumah-rumah harimau, orang utan, panda, kancil, dan spesies lain yang dulu pernah merasakan asoynya naik bahtera Nuh.

Ada yang bilang, apa yang kita pikirkan tentang orang lain adalah refleksi bagaimana kita sebenarnya. Jadi jika Hollywood mengatakan bahwa kita harus menyelamatkan bumi dari kehancuran, maka ia harus membunuh dirinya sendiri. Sebab entah sadar atau tidak, kita sudah menghancurkan bumi jauh-jauh hari sebelum alien menyerang.

Jadi, apakah kamu juga alien?