Subscribe:

Tuesday 31 May 2016

Ada

Ada wajah yang tiba-tiba hadir dalam aksara
Ada rindu yang menyeruak dari wajah
Wajah itu milikmu
Rindu ini milikku

Ada kau dan aku diam-diam jadi kita
Kau-aku, diam-diam jadi purna

Suara itu masih samar
Wajah itu belum pudar
Sayang, bukannya kita tak lagi ada?


Monday 30 May 2016

Kota yang Terluka

SAYA bertemu lagi dengan Ruyati Darwin. Perempuan berusia 70 tahun yang anaknya jadi korban kerusuhan 1998. Semangatnya masih sama seperti saat terakhir kali saya melihatnya tahun lalu di Kejaksaan Agung dan Monas. Sejak anaknya mati terpanggang di Yogya Plaza, Jakarta Timur, ia tak pernah berhenti berteriak meminta keadilan.

Sudah tak terhitung berapa kali Ruyati mengulang cerita tentang anaknya kepada ratusan, bahkan ribuan orang. Kepada presiden, kepada aktivis, kepada wartawan, kepada mahasiswa, kepada orang biasa. Ia konsisten melakukannya selama 18 tahun. Kata dia, “Rasanya masih sama.”

Tak ada yang berubah dengan ingatan Ruyati. Perasaan kehilangan anaknya yang menurut dia tak wajar itu pun masih mengendap. Tak pernah tuntas memberi dia alasan untuk merelakan. Eten Karyana, anak pertamanya, pulang jadi abu pada suatu sore di bulan Mei 1998. Semua hancur, tapi dompet dan KTP-nya masih utuh.

Kini Yogya Plaza berubah nama jadi Citra Mall Klender. Bangunannya diperbarui. Jejak-jejak kerusuhan dilenyapkan. Tak ada monumen, tugu, atau sejenisnya yang bisa dilihat generasi muda untuk menengok kembali apa yang terjadi di masa itu. Ruyati lah yang harus bercerita, bahwa anaknya mati terbakar bersama ribuan orang lainnya.

Dengan penghilangan jejak itu, adakah Ruyati sembuh? Tidak, saudara. Menghindar tidak bisa menyembuhkan luka. Mengenang yang bisa.


Sungguh absurd. Ada orang tua yang ingin mengenang, tapi apa yang mau dilihat? Tak ada sesuatu yang bisa digunakan Ruyati untuk kembali menengok masa lalunya. Tak ada memori yang bisa membuatnya berdamai dengan kenangannya. Masa lalunya tak meninggalkan jejak. Seolah-olah sengaja dilenyapkan. Ruyati masih terluka, begitu juga dengan kota itu.

Jakarta adalah kota yang terluka. Sebab kota tak melulu soal demografis. Ia juga tentang budaya dan manusia yang membangun sejarah kota. Melukai manusia artinya melukai kota itu sendiri. Dan kini kota itu tidak memberikan hak kepada pencipta sejarahnya untuk menyembuhkan luka.

Barangkali hak asasi kita memang dibatasi oleh hak orang lain. Tapi di sini, hak asasi dibatasi oleh kekuasaan. Mana ada pemerintah mau membangun monumen untuk korban pelanggaran HAM berat? G-30-S PKI, kerusuhan 1998, tragedi Trisakti. Yang ada hanyalah monumen dan situs sejarah yang menunjukkan betapa hebatnya penguasa orde baru menebas pengkhianat negeri. Membuat mereka jumawa dikenang rakyatnya sebagai yang benar.

Sementara si korban tak diberikan haknya untuk menyembuhkan diri. Mereka malah dihapuskan. Sengaja dilupakan. Lalu dianggap hantu yang harus diusir begitu menampakkan diri.

Kini kekerasan, penggusuran, dan pemindahan paksa semakin menambah borok ibu kota. Nyatanya hal itu tak pernah dianggap melanggar hak asasi manusia. Kata penguasa, "Demi Jakarta yang lebih baik." 

Tentu saja, pembangunan ekonomi menjadi dalih pemugaran tempat-tempat kumuh. Bagi mereka, segelintir rumah di sepanjang bantaran kali tak ada artinya. Pun manusia-manusia yang hidup di sepanjang itu. Tanpa peduli jurang antara si kaya dan si miskin makin lebar. Lalu mereka lupa, bahwa awal mula kerusuhan yang terjadi pada masa lalu adalah akibat adanya kesenjangan sosial. Si kaya naik tahta, si miskin gali kubur.

Saudara, kota tidak melulu soal demografis. Ada budaya dan manusia yang hidup dan membuat sejarah. Ada manusia yang harus dimanusiakan selain keindahan tata letak kota yang bisa diatur seenaknya oleh pemegang kuasa. Ada kultur sosial yang harus dijaga selain membangun ekonomi.

Seorang aktivis bertanya, "Akan jadi apa Jakarta 400 tahun lagi?" Selama ia tak mau memanusiakan manusianya, selamanya ia akan jadi kota yang terluka.

Friday 27 May 2016

Antara Aku dan Aldhy

Dear Dek Aldhy,

Hai Dek, barangkali ini adalah surat pertamaku buatmu. Ini juga barangkali pertama kali aku memanggilmu dengan sebutan 'Dek' selama 17 tahun (eh, bener kan umurmu 17 tahun?) ini. Selamat ulang tahun, Dek, tanggal 25 Mei kemarin. Aku sengaja mengucapkan tanggal 26 Mei dan memberikan kado ini tanggal 27 Mei. Biar apa hayo? Biar keren aja.

Ini kadoku untukmu Dek. Lha.. cuma surat Mbak? Iya, Dek. Cuma surat. Bukannya aku tak mau membelikanmu sepatu baru, baju ketje, atau topeng-topengan gak jelas yang pada akhirnya hanya terbuang percuma. Aku maunya memberikan sesuatu dari satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Yang tak bisa dibeli dengan uang. Yang tak bisa diklaim kepemilikannya. Yang bikinnya pakai hati. Dan yang jelas, tak akan lekang oleh waktu. Satu-satunya yang bisa aku lakukan, Dek. Cuma nulis. Gimana? So sweet kan Mbakmu ini?

Dalam kesempatan ini aku ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesudianmu menjadi adikku... Halah, koyok pidato. Tapi itu betul. Terima kasih mau menerima Mbakmu yang jahat ini. Mbak yang entah kenapa selalu dingin dan kasar. Mbak yang pernah menolakmu. Dulu. Dulunya banget. Banget nget nget lho ya....

Sudah jangan sedih. Aku dulu itu masih kecil. Mungkin cemburu karena kamu akhirnya lebih diperhatikan sama Bapak Ibu, jadinya aku jahat sama kamu. Nggak mau ngajak kamu main, dan lain-lain, dan lain-lain. Aku tidak tahu kenapa dulu begitu. Aku yakin ini gara-gara Yasmin! Lho?

Lupakan Yasmin! Kembali ke kado ulang tahunmu.

Dek, kamu kok diam? Ngomong dong.. Kamu anggap aku seperti orang asing saja. Kita serumah, tapi punya kehidupan masing-masing. Kamu nggak pernah curhat ke aku, Dek. Kamu sukanya curhat ke Yasmin. Bikin aku cemburu. Kalau aku curhat ke orang lain, bukan ke kamu, itu wajar. Soalnya kamu masih ingusan. Masa aku nangisin pacarku ke kamu, Dek?

Oke, oke, kalau mau merasa aku tidak adil. Nih, sekarang aku curhat. Tapi pertama-tama, aku ingin tanya, apa yang kamu ingat dari Mbakmu?

Kupikir kamu tidak ingat Dek, karena pada tanggal 25 Mei 1999, saat kamu lahir ke dunia, kamu masih belum bisa melihatku.

Kamu tahu? Waktu itu aku tidak mau ke kamu. Karena aku mintanya adik perempuan. Aku marah saat yang muncul adalah bayi laki-laki yang gede. Iya, kamu dulu gede banget. Tapi aku tidak ingat. Ibu yang bilang itu. Aku hanya berdiri di depan kamar bersalin Bu Yeti, bidan langganan keluarga kita.

Aku tak mau masuk kala itu. Aku melihat Ibu duduk di kasur. Badannya ditutup selimut yang aku lupa warnanya apa. Wajah ibu bahagia. "Sini, Nduk.." kata Ibu. Tangannya melambai menyuruhku masuk. Aku bergeming. Aku tak ingat apa yang terjadi setelah itu karena aku masih kelas 2 SD. Bahkan aku tak ingat pernah menyentuhmu. Hingga dewasalah kamu tanpa ku sadari.

Dek, apa kamu bahagia? Kita sama-sama tahu keluarga kita tidak sempurna. Keberadaanku bukannya menentramkan malah memperburuk tumbuh kembangmu. Masa kecilmu tak pernah kubumbui dengan tawa. Apa yang kamu ingat dari Mbakmu?

Aku ingat pernah menendangmu. Aku tak pernah mau main denganmu. Aku meninggalkanmu bermain sendiri. Aku juga selalu marah saat kamu melakukan kesalahan. Sekecil apapun itu. Aku bahkan tak mau berbagi jajan chiki yang baru kubeli dari Bu Waridi atau tahu goreng kesukaanmu.

Masa kecilmu kubiarkan sendirian. Tapi aku selalu mengolokmu karena tak punya kawan. Aku melihatmu jatuh tapi membiarkanmu bangkit seorang diri. Aku juga meninggalkanmu dan memilih kabur saat keluarga kita nyaris hancur. Kamu yang masih kecil itu, dipaksa jadi dewasa. Ah, jahatnya aku..

Tapi walaupun kamu marah ku begitukan, kamu selalu kembali memanggilku lagi dengan suara besarmu, "Mbak May.." seolah-olah tak ada yang terjadi. Meski kentara sekali kamu ragu meminta apa-apa dariku. Kamu takut aku akan menolak dan marah.

Dek Aldhy, bukankah kita tak pernah bicara segamblang ini saat bertemu? Apakah karena dalam tubuh kita mengalir darah yang sama? Sehingga aksara tak diperlukan untuk menyelesaikan pertengkaran kala lalu. Barangkali..

Tetap saja, aku merasa perlu menyampaikan ini. Mbak sayang kamu, Dek. Jangan ragu untuk mendekat. Aku sudah abai padamu selama 17 tahun, dan tak ingin begitu di sisa umurmu. Di sisa umurku.

Huft... kok pembicaraannya jadi gini. Padahal aku ingin membuat surat cinta yang ceria. Tapi ya sudahlah, yang penting kamu sehat ya.. Sekolahmu lancarkan? Ingat saranku kalau kamu ingin jadi sekeren aku. Belajar tak harus di sekolah, yang penting rajin.

Oh, ya.. Jangan pacaran dulu. Itu tidak baik untuk kesehatan. Lebih baik kamu sering bermimpi. Semakin besar semakin baik. Agar jika mimpi itu hancur, remahannya masih bisa kamu banggakan..

Selamat ulang tahun, adik kecil..