Subscribe:

Thursday 10 December 2020

Pecah

 Dada Ibuku basah. Bukan karena rembesan air susunya, tapi karena air mataku yang pecah. Aku meraung di dalam pelukannya. Setelah sekian tahun hati kami tak saling bicara.


Suara Ibu gemetar. Ia bingung dengan polah anaknya. Tapi lidahku terlalu kelu. Dadaku terlalu nyeri untuk membuat mulutku berkata.


Hanya terdengar sesenggukan dan raungan. Perih di dalam dada Ibuku berhasil kusedot hari itu. Tahun-tahun penuh kekecewaan kepada anaknya yang membangkang.


Ibu, andai ku tahu rasanya sesakit ini, tentu aku tidak akan begitu egois. Pikirku sekelebat. Tapi ternyata aku mampu menahan sakitnya. Tangisku bertambah pecah. Dan aku tetap jadi si antagonis hingga akhir.