Subscribe:

Tuesday 30 April 2013

In Cold Blood

Perry Smith menerawang jauh ke seberang ruangan eksekusi. Tatapannya kosong ketika pendeta membacakan Alkitab untuk didengar terakhir kali olehnya. Lelaki itu berdiri di atas podium kayu dengan tali gantungan dikalungkan di lehernya. Tangannya diikat ke belakang, kakinya ditempatkan di atas papan yang bisa terbuka ke bawah. Ada sekitar 20 orang yang hadir pada saat itu. Matanya gelisah, mencari seseorang yang barangkali ia kenal. “Apakah ada keluarga yang datang?” tanyanya pada seorang petugas. “tidak ada”, jawab petugas itu.

“katakan pada keluargaku, aku lupa dengan apa yang ingin kukatakan. Mereka sudah meninggalkanku.”

Petugas tersebut menutup kepalanya dengan sebuah kain hitam. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Nafasnya memburu dan terdengar oleh semua yang hadir di ruangan itu. Nafas pada detik-detik terakhirnya.
Jdaaag !
Papan tempat kakinya berpijak terbuka ke bawah. Tubuhnya meluncur turun, bergelantungan dan berputar-putar. Kakinya menendang-nendang. Tubuhnya mengejang. Kemudian diam. Dia sudah meninggal.

Cerita di atas adalah cuplikan film berjudul “Capote” yang ku tonton bersama kawan-kawan ALPHA malam sabtu lalu. Kisahnya adalah tentang seorang penulis yang ingin mengangkat sebuah tragedi pembunuhan sadis di Kansas untuk dijadikan sebuah buku.

Truman Capote harus melakukan riset mulai dari saksi, pihak kepolisian, hingga langsung kepada pembunuhnya. Pembunuhan pada keluarga Clutter dilakukan oleh dua orang, Perry Smith dan Richardo (aku lupa nama belakangnya). Capote harus berpura-pura ingin membebaskan tersangka agar dia bisa mendapatkan informasi dari mulut pelakunya langsung. 

Bersama dengan seorang teman wanitanya, selama 4 tahun dia bolak-balik ke penjara. Perry dan Richardo sudah menganggap Truman sebagai seorang teman. Pada awalnya mereka mengira bahwa Truman ingin menulis buku tentang buruknya pengacara dalam menangani proses pembebasan mereka. Namun mereka salah besar. Perry mendengar bahwa Truman telah mengadakan seminar launching buku barunya yang berjudul “In Cold Blood”. Buku ini berisi tentang dua orang pelaku pembunuhan sadis yang bernama Perry dan Richardo.

Perry merasa terpukul dan dihianati. Tapi Truman mengelak. Dia berkata bahwa judul buku itu adalah pilihan publik untuk membuat sensasi pada bukunya. Truman menyadari bahwa dia hanya memanfaatkan mereka demi ketenaran. Pada akhirnya Truman berhasil mengorek informasi lengkap tentang kejadian pembunuhan di malam 14 November 1959 itu. Namun dia tidak berhasil mengeluarkan Perry dan Richardo dari penjara. Pengacara yang disewa Truman untuk membantu dua pembunuh sadis itu telah kalah. Kedua tersangka tetap dihukum mati.
Truman berhasil menerbitkan buku terakhirnya yang berjudul “In Cold Blood”.

Monday 29 April 2013

Hai blog..



Hai blog… apa kabar?
Sudah lama ya aku nggak nulis. Rasanya aku sudah nggak kuat nunggu lebih lama untuk menumpah ruahkan “sampah” dalam otakku ini. Hari ini aku harus nulis. Apapun itu.

Sebenarnya beberapa hari ini ada hal yang ingin kutatokan pada tubuhmu blog.. tapi apa daya, aku terlalu lelah dengan aktivitas yang lumayan lebih padat dari biasanya. Selain itu, keterbatasan dana juga menjadi salah satu penyebabnya. Kencan denganmu di malam hari sungguh mahal. Kalau ndak mau bayar di warnet, ya harus ngampus untuk cari wifi gratis. Nggak punya modem sih…

Mumpung malam ini aku tidak sedang lelah, dan aku mendapat pinjaman modem gratis dari cepi, kusempatkan untuk mencumbumu seperti malam-malam minggu yang lalu. Walaupun aku ragu harus mulai darimana.

Terlalu banyak yang aku lewatkan karena tidak segera menulisnya. Ini salahku karena selalu mengandalkan memori otak yang tidak seberapa. Beberapa tulisan sempat aku buat, tapi tak pernah selesai. Mulai dari resensi film yang aku tonton bersama teman-teman ALPHA, cerita tentang dia, cerita pada saat aku mengikuti majlis dhuha bersama Habiburrahman El-Shirazi, dan tulisan-tulisan lain yang masih belum tersusun menjadi utuh. Akhir-akhir ini aku memang selalu terhenti ditengah-tengah garapanku. Awal menulis lancar, sampai tengah blank, akhirnya tulisan nggantung, tidak ada akhirnya.

Tulisan terakhirku yang berjudul Kekerasan Atas Nama Agama itu bukan asli tulisanku. Aku sedikit copas dari internet, hanya mengaturnya sedemikian rupa agar mengalir ketika dibaca. Payah sekali ya aku ini? :( Tapi tak apalah, copas itu kan juga merupakan bagian dari proses. Hahahah

Kamu tau nggak blog? Hari ini aku rasanya seneeeeeng banget. Hehe
Tapi aku nggak tau kenapa. Aku takut menyebutkan alasannya, karena aku nggak pingin perasaan ini bersyarat. Seperti kata seorang sufi, kebahagiaan sejati bukanlah kebahagiaan yang berasal dari luar diri, tapi dari dalam.
Aku tau tulisan ini emang geje dan ngalor ngidul. Bahasanya amburadul pula. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku takut perasaan ini sudah menguap tanpa sempat tertuang. Aku tidak ingin kamu hanya menjadi buku sejarah bagi kesedihan dan kegalauanku blog, aku juga ingin dunia tau bahwa aku juga manusia yang bisa dan ingin dibahagiakan. (lagi-lagi lebay).

Maaf ya blog, sebenarnya kamu bukan blog pertama yang aku punya. Blog pertama yang kucintai bernama Mony-et. Aku membuatnya ketika aku kelas 1 SMA. Waktu itu aku membuatnya gara-gara bang aim punya blog dan ngiming-ngimingin aku, makanya aku kepingin. Emank dasarnya aku ini gampang banget dibuat iri. Astaghfirullah……..
Karena pada saat itu aku masih belum ngerti tentang tulis-tinulis, blog itupun terlahir sebagai blog ter-geje yang pernah ada. Postingan di blog hanya sebuah series novel twilight yang berjudul New Moon. Bayangkan, aku memposting satu novel penuh di blog! Hasil copas pastinya. Dengan berbagai macam gadget dan aksesoris pada templates akhirnya si blog menjadi ramai dan terlihat mengenaskan. Aku benar-benar tidak tega untuk membukanya kembali. Akhirnya di bulan Desember 2012 lalu aku memutuskan untuk melahirkanmu. :)

Jangan cemburu ya blog, tak sekalipun aku curhat kepada si Mony-et. Blog itu tak tau apa-apa tentang aku. Walaupun kita baru jadian, tapi aku sudah suayaaaank banget sama kamu.
Aku nggak tahan kalau sehari aja nggak ketemu dan berceramah panjang lebar. Aku serius sama kamu blog… aku pingin kamu yang menjadi saksi sejarah kehidupanku. Sampai nanti, sampai tanganku tak lagi mampu walau hanya sekedar berkata hai kepadamu.

Blog, kalau aku malas.. tolong ingatkan aku ya.. dengan tulisan-tulisan ini tentunya. Di saat aku sedang murung dan lalu membukamu, ceritakan kembali akan mimpi-mimpiku yang belum tercapai. Agar aku bersemangat, dan lebih berusaha memenuhi janji-janji yang terabaikan. Dan ketika aku membukamu saat aku sudah berhasil menggapai mimpiku, buatlah aku tersenyum dengan barisan kata yang menjadi latar belakang sejarah kehidupanku. :)

Oiya blog, aku punya kabar gembira. Hari sabtu lalu kak lila melahirkan Nares dengan selamat. Alhamdulillah… keluarga mbah uti nambah satu pasukan baru.. :)
Aku belum sempat melihat si babygirl karena belum pulang ke Banyuwangi. Semoga Nares tumbuh sehat dan berbakti sama keluarganya, serta menjadi gadis yang cantik seperti tantenya ini. Wahahahah
Amin Ya Allah….
Selamat ya untuk kak lila… :)

Ini potonya baby Ardhanareswari Shaqina lagi nyamar jadi jamur :)

Tuesday 23 April 2013

Kekerasan Atas Nama Agama



 
Agama kelahiran saya adalah Islam. Saya menyebutnya sebagai agama kelahiran karena memang orang tua saya yang sudah menanamkannya kepada saya sejak saya dilahirkan. Sebelumnya saya tidak pernah memilih ingin menganut agama apa. Tapi saat ini saya sudah memiliki kebebasan untuk menganut agama yang saya percaya. Sepertinya hal ini tidak hanya terjadi kepada saya. Seorang teman saya menganut agama Katolik sejak dia dilahirkan. Kedua orang tuanya beda agama. Katolik adalah agama yang dianut oleh ibunya. Namun dia memutuskan untuk pindah ke agama Islam yang dianut ayahnya pada saat menduduki bangku SMP.

Menganut sebuah agama adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh warga Indonesia. Hal ini didasarkan pada sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, warga Indonesia wajib memiliki suatu agama. Kebebasan memeluk agama di Indonesia telah diatur di dalam UUD 1945. Sebagaimana telah tercantum pada UUD 1945 pasal 28E ayat (1) : 

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Menganut suatu agama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia. Dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 memang diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945  selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.

Agama di Indonesia yang diakui pemerintah ada 6, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Tapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Konflik terjadi karena adanya pihak-pihak yang merasa kepercayaannyalah yang paling benar. Seseorang memang pasti memeluk dan mempercayai agama yang dianggapnya paling benar.

Diskriminasi kaum minoritas

            Saat ini yang sedang marak menjadi bahan perbincangan adalah sebuah ajaran bernama Ahmadiyah yang dianggap sesat. Anggapan bahwa Ahmadiyah sesat bukanlah berasal dari opini orang-orang tertentu, melainkan sudah dinyatakan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Dalam pasal 2 ayat (1) UU Penodaan Agama dinyatakan, dalam hal ada yang melanggar larangan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Akhirnya turunlah sebuah SKB (Surat Keputusan Bersama) “Perintah terhadap Penganut dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia” yang diterbitkan tanggal 9 Juni 2008.

Setelah SKB tersebut turun, terjadilah diskriminasi terhadap penganut Ahmadiyah. Mereka diusir, dan rumah-rumahnya dirusak. Seperti yang terjadi kepada Ngasiman Hadi Susanto, yang diduga sebagai penganut Ahmadiyah di daerah Langanja II, Sumatra Barat. Dia di usir dari kampung halamannya karena ada seorang warga Langanja II yang bernama Supriano mengikuti ajarannya. Keluarga Supriano dan masyarakat yang tidak bisa menerima keadaan tersebut merusak rumah Ngasiman dan memintanya beserta keluarganya untuk meninggalkan Langanja II.

Hal serupa juga dialami oleh Keluarga Mln. Ismail Suparman di Cikeusik, Pandeglang, Banten Selatan. Ketika ada kabar penyerangan oleh warga, dia dan keluarganya meminta bantuan polisi untuk membantunya. Sesaat sebelum penyerangan, rombongan polisi tampak bermunculan, tapi tidak lama kemudian langsung menghilang entah kemana. Alhasil para ahmadi di Cikeusik itu melawan dengan tangan kosong dan tanpa perlindungan dari pihak kepolisian. Polisi baru muncul lagi ketika rumah yang ditempati Mln. Suparman sudah ludes dan tiga orang Ahmadi tewas.

Agaknya SKB yang diturunkan pemerintah tersebut menjadi semacam pedoman bagi masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis untuk menghancurkan kaum Ahmadi. Adanya aparat kepolisian yang memudahkan warga dalam melakukan penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah menunjukkan lemahnya perlindungan hak asasi manusia untuk bebas beragama di Indonesia. Padahal dalam UUD yang sudah dipaparkan di atas, kebebasan beragama adalah hak setiap orang dan tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan. Di samping itu, Pasal 28G juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat yang merupakan asasi. Untuk menjawab amanat Konstitusi tersebut, negara dilengkapi dengan aparatur penegak hukum yang berfungsi dalam memberikan rasa aman bagi warganya dalam hal ini Kepolisian.

Sayangnya, aparat yang seharusnya memberi rasa aman kepada semua warga itu juga ikut melakukan aksi diskriminasi. Seperti yang terlihat pada kasus di Cikeusik. Polisi bukannya membantu warga yang meminta bantuan tapi malah membantu pelaku kekerasan dengan membiarkan penyerangan terjadi. Terlebih lagi hanya ada 12 pelaku yang diadili dan dihukum selama 3-6 bulan penjara. Padahal kerusakan yang terjadi bisa dibilang tidak sedikit dan memakan korban jiwa. Tapi tidak ada pengusutan yang lebih serius dalam menangani pelaku penyerangan yang belum berhasil ditindak lanjuti. Kondisi seperti ini membuktikan bahwa pemerintah sendiri tidak bisa berlaku adil terhadap warganya.

Diskriminasi terhadap kelompok minoritas ini tidak hanya terjadi pada penganut Ahmadiyah. Nasib kaum minoritas lain seperti Kristen, Bahai, Syiah, maupun agama-agama leluhur lain tidak jauh berbeda. Mereka dipinggirkan oleh kaum mayoritas. Gereja-gereja di sama ratakan dengan tanah. Pernikahan penganut agama leluhur tidak diakui Negara karena agamanya tidak tercantum ke dalam KTP, dan anak-anak mereka secara hukum dianggap sebagai anak haram. Berbagai penyerangan fisik, pengeboman tempat ibadah, hingga diskriminasi dalam urusan pendidikan dan layanan sosial pun kerap mereka dapatkan.

Untuk mengatasi masalah diskriminasi kaum minoritas ini, Pemerintah seharusnya lebih cepat dalam melakukan tindakan pencegahan. Tercatat bahwa tindak kekerasan terhadap kaum minoritas ini bertambah tiap tahunnya. Tindakan tegas dari Pemerintah dalam menegakkan hukum kepada semua warga juga perlu dilakukan. Tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap segala jenis tindak kekerasan atas nama agama. Hal ini berlaku untuk semua warga masyarakat dan semua aparat penegak hukum tanpa terkecuali.


                                  



Tulisan ini sebagai persyaratan mengikuti workshop yang diadakan oleh Serikat Jurnalistik untuk pers mahasiswa di Malang