Subscribe:

Thursday 30 July 2015

Alien adalah Aku



“Siapakah kamu?” barangkali memang pertanyaan yang membuat resah. Aku tidak paham filosofi. Dan aku belum selesai membaca Dunia Sophie. Jadi jawaban yang bisa kuberikan pada yang bertanya adalah bahwa aku adalah seorang alien yang akan mengambil alih bumi.

Alien dalam bahasa bumi selalu identik dengan sosok makhluk asing yang berasal dari luar angkasa. Tapi apa seyogyanya luar angkasa itu? Bukankah bagi makhluk yang barangkali ada di Mars, makhluk yang berada diluar planet mereka juga adalah makhluk luar angkasa? Dan juga, manusia tentulah dianggap asing ketika awal mula kemunculannya. Meski bagaimana terciptanya masih diperdebatkan hingga detik ini.

Jika teori Darwin itu benar, mengapa hanya monyet saja yang berevolusi menjadi makhluk secerdas manusia? Mengapa tidak ada kuda yang bisa menulis, burung yang memasak, atau paus yang membangun negaranya sendiri di bawah laut? Juga, apakah proses evolusi berhenti pada bentuk badan yang berjalan dengan dua kaki, dua mata kiri dan kanan, serta mulut yang tak berhenti makan? Tidak mungkinkah 1000 tahun lagi semua manusia akan memiliki dua kepala? Misteri adalah dunia itu sendiri.

Sewaktu belajar agama aku pernah mendengar bahwa sebelum turun ke bumi manusia hanyalah jiwa yang terkumpul dalam lahul mahfuz. Oleh Tuhan mereka ditanya, apakah mereka sanggup menjalani kehidupan di bumi. Tapi Tuhan tidak menurunkannya dengan cuma-cuma. Katanya akan ada surga dan neraka yang menanti mereka sepulangnya mampir minum di dunia. Dan mereka yang kini berceceran di dunia adalah mereka yang menyanggupi sabda sang Gusti. Lantas mereka dibuat lupa. Sehingga aku terus berkata bahwa aku tak pernah minta untuk diciptakan. Benar-benar kufur nikmat! Ckckckck.

Aku adalah alien. Sebab aku berasal dari lahul mahfuz, yang kuyakini ada di luar angkasa. Dan aku mengambil alih bumi yang damai. Aku menebang pohon di hutan, untuk kayunya kugunakan membuat rumah. Rumah yang mewah yang bisa dihuni oleh sejuta milyar manusia. Aku mencemari sungai dengan detergen yang kugunakan untuk mencuci baju. Baju paling indah yang jika memakainya akan menjadikanku pusat perhatian. Aku melubangi lapisan ozon dengan asap mobil. Mobil yang membawaku melintasi peradaban-peradaban. Akulah alien yang mengambil alih bumi yang ranum.

Tapi Hollywood tak pernah berlaku adil. Ia selalu menciptakan tokoh alien sebagai bukan bagian dari kita. Alien selalu adalah makhluk bukan manusia yang ingin menghancurkan peradaban manusia di bumi. Lantas mengambil alih untuk dijadikannya lahan beranak pinak yang baru.

Sayang, dalam film-film itu alien selalu kalah dari manusia. Seakan bumi hanya boleh dikuasai manusia saja. Padahal tak seorangpun di bumi yang memiliki sertifikat kepemilikan atas planet itu. Sedang datangnya manusia juga disertai penghancuran rumah-rumah harimau, orang utan, panda, kancil, dan spesies lain yang dulu pernah merasakan asoynya naik bahtera Nuh.

Ada yang bilang, apa yang kita pikirkan tentang orang lain adalah refleksi bagaimana kita sebenarnya. Jadi jika Hollywood mengatakan bahwa kita harus menyelamatkan bumi dari kehancuran, maka ia harus membunuh dirinya sendiri. Sebab entah sadar atau tidak, kita sudah menghancurkan bumi jauh-jauh hari sebelum alien menyerang.

Jadi, apakah kamu juga alien?

Tuesday 28 July 2015

Sajak Sesat

Bukankah sudah lama
Aku pergi meninggalkan kasta
Pergi karena cemburu pada manusia yang merdeka
Aku iri
Kemudian pergi
Kini lupa jalan kembali

Lalu aku rindu
Menjadi waisya
Barangkali brahmana
Karena aku kini sudra
Aku mau pulang
Tapi aku tersesat

Aku rindu menjadi sekenanya

Sunday 12 July 2015

Mengenang Ramadhan



Umur Radit sudah lewat 7 tahun pada Ramadhan tahun ini. Ia mulai belajar puasa. Sama seperti waktu saya kecil dulu, Radit sekarang belajar puasa setengah hari. Saat adzan dhuhur kami dibolehkan berbuka. Kemudian kembali berpuasa hingga tiba adzan maghrib. Begitulah mekanisme puasa setengah hari yang diajarkan orang tua kami. Kami menyebutnya poso bedhug. Untuk mereka yang puasa sehari penuh, kami menyebutnya poso maghrib.

Saya sudah lupa kapan terakhir kali menjalani poso bedhug. Saya hanya ingat waktu kelas 3 SD, bapak menjanjikan uang Rp 50 ribu kalau saya kuat puasa maghrib selama satu bulan penuh. Waktu itu saya berhasil. Dan sesuai dengan janji, bapak memberi saya sangu Rp 50 ribu di hari lebaran. Ramadhan tahun berikutnya saya tantang bapak kembali. Kali itu saya minta sangu Rp 100 ribu.

Ramadhan memang selalu menyenangkan bagi saya saat masih kanak. Saya biasa berkumpul di teras bersama teman-teman lepas maghrib. Hanya untuk berbagi chiki atau secuil permen yuppi sambil menunggu adzan isya’. Kemudian pergi bersama-sama ke musholla untuk sholat tarawih. Pulangnya kami nyalakan kembang api aneka rupa. Kembang tetes, gangsing, kupu-kupu, tikus-tikusan, bantingan, dan kawan-kawan lain yang saya tak tau namanya.

Kadang kami hanya berkumpul untuk bakar-bakaran. Bukan apa-apa. Hanya membuat api untuk dijadikan teman bercerita. Pernah suatu malam kami bercerita tentang rumah hantu di seberang rumah saya. Ah, ini kan Ramadhan. Setan-setan dibelenggu. Tak mungkin hantu muncul. Kata saya yakin. Lantas keyakinan itu luntur ketika saya melihat sosok putih menggantung di pohon mangga samping rumah saat saya pulang tarawih pada suatu malam.

Saya suka mendengar suara orang-orang yang berkeliling untuk membangunkan orang saat tiba waktu sahur. Di kampung, kami menyebutnya thethek. Karena mereka membawa alat untuk klothekan sambil berseru Sahuuur… Sahuur. Sering saya mengintip dari balik jendela untuk melihat bagaimana orang-orang menciptakan bunyi-bunyian itu. Saya ingin ikut keliling kampung untuk thethek, tapi tidak dibolehkan.

Setiap subuh usai sahur, saya tak pernah kembali tidur. Saya pergi jalan-jalan bersama kawan-kawan di jalan raya. Kami suka suasana jalan yang sunyi tanpa knalpot-knalpot yang menyemburkan polusi. Tapi kami tak suka pada anak-anak nakal yang membawa mercon sepanjang jalan. Mereka suka usil melempar mercon ke orang-orang yang lewat. Tiap kali melihat mercon di tangan seorang anak, kami lari terbirit-birit.

Lalu hari itu tiba. Orang bilang hari kemenangan. Kami memanggilnya Hari Raya. Malam sebelumnya, kami kaum anak-anak berbondong-bondong ke masjid dengan gempita. Memukul bedhug dan bertakbir bergantian. Saya pun ikut serta. Bertakbir di depan mikrofon yang didengar seluruh kampung.
Allaaaahu Akbar.. Allaaaahu Akbar..
Laaaillaaahaillallah.. Huallaaahu Ahad..
Loh, kok Ahad?
Hahahaha.
Seisi masjid tertawa. Barangkali seisi kampung.

Hanya sedikit yang bisa saya ingat. Semua penggalan-penggalan itu, saya menyebutnya Ramadhan. Mulai saat pertama kali saya belajar puasa. Hingga sedikit tahun selanjutnya. Namun setelah itu rasanya tak pernah lagi sama. Ia memudar. Hampir terlupakan. Ia tak pernah lagi tersambut dengan girang yang selalu saya rayakan pada belasan tahun silam.

Bahkan Ramadhan tahun ini lebih banyak saya habiskan di kota orang. Saya tak lagi membantu Ibu menyiapkan es buah dan lauk untuk berbuka. Tak lagi pergi tarawih bersama teman-teman. Tidak main kembang api dan tidak mengintip orang thethek. Saya hanya mendengar sayup-sayup suara adzan maghrib di perjalanan pulang lantas menenggak air putih di dalam angkutan kota.

Apa itu Ramadhan bagi Radit? Saya tidak tahu. Tahun ini pertama kali Radit mulai belajar puasa. Beberapa waktu lalu ia bilang kalau tidak sengaja memakan kerupuk sebelum waktu berbuka. Alasannya adalah lupa. Lalu hari ini ia bilang kalau tak ingin puasa karena haus sekali setelah bersepeda. Ah, dasar anak-anak. Barangkali saya harus mengiming-imingi dia dengan uang Rp 50 ribu dulu agar ia mau rajin berpuasa.











Thursday 2 July 2015

Barbie : Bukan Sekadar Boneka



Siapa yang tak kenal Barbie? Boneka plastik manusia remaja yang lahir dengan wajah cantik badan singset. Kalau Anda terlalu gengsi pergi ke toko mainan untuk melihat langsung, minta saja fotonya di Mbah Google. Kalau Anda tergolong orang gaptek, tak kenal internet, Anda kini bisa menikmati Barbie yang bisa bergerak di layar kaca. Tayang mulai hari Senin-Jumat jam 09.30 WIB di RCTI! Kalau tidak punya tivi? Ah, sudahlah.. Berdoa saja suatu hari Anda bisa ketemu saya, Barbie versi manusia. Hahaha.

Pada tahun 1959, Ruth Handler terinspirasi dari anak perempuannya yang bermain boneka kertas berbentuk manusia. Barbara, nama gadis itu, memainkan boneka tersebut layaknya orang dewasa. Ruth, yang kala itu sudah mendirikan perusahaan mainan Mattel, akhirnya merilis boneka mainan untuk anak berusia diatas lima tahun. Maka pada 9 Maret tahun itu lahirlah Barbara Millicent Roberts, yang akrab dipanggil Barbie.

Barbie menjadi boneka fenomenal. Meski menuai banyak kontroversi, penjualannya tak pernah kurang dari 1 juta unit perbulan sejak kemunculannya hingga hari ini. Berdasarkan survey yang dilakukan Mattel hingga tahun 2010, sedikitnya ada 100.000 kolektor Barbie di seluruh dunia. Rata-rata adalah wanita berusia 40 tahun. 40% dari mereka mampu menghabiskan 1000 dolar per tahun hanya untuk membeli pernak-pernik boneka itu.

Namun dibalik kisah suksesnya, Barbie mendapat banyak kecaman. Barbie dinilai terlalu sempurna. Jika diukur dengan skala normal, tinggi badannya 161 cm dengan berat 49 kg. Punya payudara besar dan bokong yang penuh. Ia disalah-salahkan sebagai penyebab banyak wanita menderita Anorexia untuk mendapatkan tubuh sesempurna Barbie. Atau membedah tubuhnya dengan ratusan operasi plastik seperti yang dilakukan Valeria Lukyanova demi menjadi manusia Barbie. Apalah dosa Barbie? Ia bahkan tak pernah minta diciptakan.

***

Saya sebenarnya juga tidak suka pada boneka Barbie. Bukan karena saya iri karena tubuh saya tidak sekurus dia. Dia mah apa? Cuma plastik! Sedari kecil saya takut pada boneka yang berbentuk manusia. Apalagi yang berwajah anak-anak. Sampai hari ini pun saya masih suka bergidik saat melihat boneka Susan yang matanya bisa membuka dan menutup itu.

Saya pernah punya satu boneka Barbie saat masih kecil. Kala itu saya minta dibelikan karena iri pada kawan-kawan saya yang suka datang ke rumah membawa Barbie. Saya beri nama Desi Ratnasari, karena saat itu dia artis favorit saya.

Tidak seperti kawan-kawan saya yang memainkan Barbie layaknya bermain drama, saya lebih suka bereksperimen dengan boneka itu. Saya minta nenek menjahitkan baju aneh-aneh untuk dipakai Desi. Ketika sudah jadi, saya gunting sana-sini hingga jadi baju yang seksi. Semakin terlihat auratnya, semakin senang saya. Tak hanya itu, saya juga suka memotong rambut Desi dengan berbagai model gaya rambut hingga akhirnya nyaris gundul. Waktu itu saya pikir rambutnya bisa tumbuh seperti milik saya.

***

Tak lama, film Barbie muncul di televisi. Ketika itu saya sudah lama meninggalkan Desi si Barbie Binal. Barbie di televisi tampil dengan busana yang sopan. Rambutnya pirang dan tertata. Tidak acak-acakan dan nyaris gundul seperti milik Desi.

Sejak kelahirannya hingga detik ini, Barbie sudah membintangi 23 judul film dengan tema yang rata-rata diambil dari negeri dongeng. Memang, pada mulanya Barbie diciptakan sebagai mainan anak perempuan. Hingga akhirnya sebagian masyarakat ikut men-cap film Barbie hanya layak ditonton anak perempuan.

Ah, baiknya kita lupakan sajalah soal penonton film Barbie yang bias gender itu. Mari kita ulas sedikit saja tentang isinya. Menurut Basith, kawan saya, film Barbie dikemas dengan cerita dan warna yang menarik untuk anak kecil. Warnanya cerah, ceritanya asyik. Namun sayang, unsur edukasinya tidak terlalu ada.

Bagi saya, film Barbie adalah sumber inspirasi. Walaupun penuh dengan adegan tak masuk akal, film-film Barbie konsisten menyajikan cerita petualangan dengan tak lupa selalu menyertakan moral value. Nilai-nilai yang selalu ada disitu antara lain tentang rasa ingin tahu, sebuah keberanian, percaya diri, dan menolong sesama. Dan yang paling penting, tak ada adegan dewasa seperti cium-ciuman yang selalu ada di serial drama princess ala Disney.

Lihat saja si Barbie Rapunzel, ia tak mungkin bisa bebas dari kastil mengerikan itu jika tak penasaran dan takut terhadap lorong bawah tanah di dapur kastilnya. Odette pun tak akan dikutuk menjadi angsa andaikan ia tak mengikuti seekor Unicorn ke dalam hutan. Lalu karena apalah ia berakhir menyelamatkan seluruh hutan terhadap kutukan jahat Rothbar jika bukan kemauannya menolong sesama? Lihat juga bagaimana Krystin si ballerina yang tak pernah mau mengikuti koreografi dari pelatihnya namun berhasil memikat banyak orang dengan tari hasil ciptaannya sendiri.

Berbeda dengan boneka-boneka lain, Barbie adalah sebuah karakter yang kuat dan konsisten. Meski bonekanya kini sudah tampil tak senonoh, setidaknya Barbie memiliki nilai lebih untuk tidak hanya menjadi sekadar boneka melalui film-filmnya. Ia berhasil mempromosikan diri sebagai putri sejati.

Barangkali hal-hal itu bukanlah sebuah edukasi yang kasat dan konkrit bagi sebagian orang. Namun rasanya tidaklah berlebihan jika saya menanamkan nilai-nilai itu ke dalam diri saya sendiri alih-alih megoperasi tubuh saya agar serupa Barbie.