Subscribe:

Monday 18 January 2016

Bintang

Nak, kalau kau lahir hari ini, di sini, akan kutunjukkan bintang warna warni tak berkedip di bawah sana. Iya, mereka bawah. Karena bintang di atas sudah punah, Nak..
Bintang yang di atas itu, hanya bisa kau saksikan di kampung halaman ibu
Aku akan dengan senang hati membesarkanmu di sana
Mendidikmu, mendulangmu, mengajarimu, mencintaimu
Setiap malam akan kubacakan kisah-kisah pahlawan yang membosankan itu
Sejarah sangatlah panjang, sekaligus sangat pendek
Kemarin di Medan listrik padam, katanya dilalap api
Apakah energi bisa didaur ulang?
Aku tidak bisa menciptakan energi untukmu, Nak
Maka segeralah lahir
karena bintang di langit sudah punah
Jangan tunggu bintang di bumi juga padam
 


Perpustakaan Tempo, Jakarta, 18 Januari 2016

Wednesday 6 January 2016

Dilema

AKU INGIN RESIGN. Mendadak kalimat itu muncul di kepala. Baru empat bulan aku bekerja. Tapi aku sudah begitu tertekan. Di sini, semua berjalan sangat cepat. Larilah, atau waktu akan meninggalkanmu. Dan kau akan kehilangan banyak. Benar kata Ibu, hidup di Jakarta memang tidak mudah. Apalagi jadi wartawan. Sialan.

Sudah berkali-kali aku ditegur banyak redaktur. Ada yang bilang tulisanku cemplang. Satu lagi bergumam aku tak kritis. Yang lain berkata beritaku tak akurat. Dua orang mencecar, katanya aku ngawur memilih narasumber. Aku tak menyangkalnya. Mereka benar. Dan aku memang harus banyak belajar.

Tapi bukan itu yang membuatku ingin berhenti. Aku tak betah di sini. Aku benci suara saut-sautan klakson yang berisik sejak subuh. Aku benci air yang kubuat mandi rasanya kecut. Aku benci memakai masker kemana-mana. Aku tak bebas menghirup udara yang bersih. Aku bahkan benci bau tubuhku yang terus-terusan berkeringat padahal aku hanya diam. Dan aku juga benci atap kamar kosku yang bocor.

Aku belum menemukan alasan untuk mencintai kota ini. Memangnya cinta butuh alasan? Tentu saja! Mencintai tanpa sebab adalah omong kosong. Barangkali sama kosongnya dengan isi otakku. Juga hatiku. Dan nuraniku. Apalagi isi dompetku.

Kota ini penuh carut. Tapi marut pada muka pengemis yang bawa-bawa anak itu tak buatku iba. Mereka adalah orang-orang bodoh yang ditinggalkan negaranya. Kenapa datang ke mari? Karena ini kota ibu. Menjanjikan segalanya. Sampai penuh mereka tinggal di pelukan ibu kota tercinta ini. Tanpa mereka sadar, air susu ibu telah habis.

Mereka sekolah, tapi tak berpendidikan. Kalau terdidik, kenapa masih buang sampah sembarangan? Kenapa masih jual makanan berformalin? Kenapa cuci beras dengan air penuh bakteri E coli? Kenapa datang ke Jakarta?

Aku akan ikut jadi bodoh, kalau aku datang ke mari dan hanya ungkang-ungkang kaki. Atau sekadar cari laki untuk jadi seorang bini. Aku tak mau itu. Kenapa aku di sini? Kenapa aku datang ke Jakarta?

AKU INGIN PULANG. Tentu saja godaan untuk hidup di kampung lebih menggiurkan. Mulutku penuh liur saat jam segini membayangkan sop telur puyuh dengan tempe goreng krispi lengkap dengan sambal kecap buatan ibu. Menu kesukaan adik kecilku. Dia paling suka makan bagian kuning telurnya. Aku selalu kebagian putih telurnya saja.

Tapi aku tak boleh pulang. Setelah bertahun menyusahkan, tak mungkin aku ikut pulang emak bapak yang baru saja mengantar. Meskipun tangan adik kecilku melambai-lambai minta didulang. Tak bisa!

AKU HARUS BERTAHAN. Kupaksa ingatanku kembali pada 10 bulan lalu. Saat aku naik kereta ke Jember, Malang, atau Surabaya. Bersaing dengan ribuan pengangguran mencari kerja. Tak cukup sehari dua hari. Berbulan aku mencari. Bolak-balik ke luar masuk kota orang. Lalu kudapat satu. Tapi kulepas di hari pertama kerja demi ikut psikotes untuk jadi wartawan. Sungguh gila aku kala itu.

Kini aku calon reporter media nasional yang bernama Tempo. Tetangga kampungku di Banyuwangi banyak yang tak kenal namanya. Di sana, nama Jawa Pos lebih membumi. Menjadi wartawan untuk media tak terkenal, mereka kasihan padaku. Tak sedikit yang coba mencarikan pekerjaan lain buatku.

Aku menolak. Kala itu, aku begitu bangga menjadi wartawan. Begitupun kini. Aku tak rela jika melepas profesi ini. Selamanya, aku mau jadi jurnalis.

HAHAHA. Suara brengsek di belakang tertawa. Mau jadi jurnalis selamanya? Yang benar saja? Belum apa-apa sudah ingin berhenti. Sudah kangen emak bapak. Sedikit-sedikit semangat, sedikit-sedikit lesu. Jurnalis kok musiman? Cuih!

Aku tak peduli. Semua pekerjaan punya resiko. Semua orang bisa jenuh. Barangkali jenuh itu yang sedang kualami. Tak perlu ditanggapi. Biarkan saja hingga ia pergi nanti.

Aku mendengar suara Anton Septian, seorang redaktur yang mewawancaraiku. “Apakah kamu punya pikiran suatu hari bekerja sebagai selain wartawan?” tanya dia saat tes wawancara tahap satu, bulan Mei tahun lalu. Aku menggeleng. Saat ini pun, jika Anton kembali bertanya kepadaku pertanyaan yang sama, kupastikan aku memberi jawaban yang sama.

AKU TAK BOLEH RESIGN. Sebab kalau aku berhenti, siapa yang akan mengabarkan kepada publik untuk jangan datang ke Jakarta?