Subscribe:

Monday 28 March 2016

Sri Farida

Sri Farida, 54 tahun, dari Palembang ia berangkat ke Jakarta di pagi buta. Ditemani anaknya yang tengah mengandung 7 bulan serta cucunya yang berumur 3 tahun, ia mengadu pada siapa saja yang sudi mendengar.


Saya bertemu Farida dan seorang anak serta seorang cucunya di Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta Pusat. Mereka bertiga tampak letih, tapi bahagia melihat ada musala yang bisa digunakan untuk merebahkan badan. Kantor berlantai 5 itu kosong di hari Minggu, hanya ada beberapa penjaga yang tinggal di sana.
 
Semalam, Farida dan keluarganya tinggal di gubuk seseorang di pinggir kali. Di pinggir kali mana, ia tak ingat. Bahkan nama orang yang menampungnya itu ia tak tahu. Tapi tak mengapa, sebab Farida baru dua kali menginjak ibu kota. Tak hafal jalan, tak punya uang, tak ada kerabat. Ia datang hanya dengan satu tujuan, untuk mengadu pada siapa saja yang mau mendengar. Farida adalah ibu rumah tangga sekaligus seorang tersangka penggelapan uang.

"Uang yang mana? Harta saya diambil, tapi saya malah mau dikurung!" katanya meraung. Air matanya pecah. Dengan menuding atas bawah kanan kiri, ia menceritakan ketidakadilan yang menimpanya.

Pada bulan Mei 2015, Farida kedatangan tamu yang tak dikenal. Amiruddin namanya. Pria itu mulanya ingin membeli tanah milik kedua bibi Farida. Tanah itu tanah warisan nenek Farida. Rumah kedua bibinya terhalang rumah Farida, maka Amir juga berkeinginan membeli sebagian tanah milik Farida untuk dibuat jalan masuk. Ia meminta lebar 3 meter dan panjang 7 meter.

Farida tergoda. Selain mendapat uang Rp 3,5 juta per meter, ia juga dijanjikan mendapatkan sertifikat tanah atas namanya. Sebab sertifikat rumah ketiganya masih atas nama Saniah, ibu Farida, dan belum dipecah. Namun, bukannya untung, Farida malah dibuat rugi.

Amir tak kunjung membayar uang tanah yang dibelinya. Ia bahkan dianggap berhutang kepada Amir Rp 7 juta untuk membayar tukang yang membangun rumahnya. Kemudian, kata dia, Amir meminta agar seluruh rumah Farida dibongkar. Ia tak percaya, ternyata Amir memalsu surat kuasa yang ditandatangani bibi Farida. Isinya, bahwa Saniah menghibahkan tanahnya kepada Amir. "Bagaimana bisa ada hibah? Ibu saya masih hidup!" ujar Farida.

Farida lapor ke Pak Lurah, di sana ia dipertemukan dengan Amir. Bukannya mendapat pembelaan, ia malah dipaksa menandatangani surat hibah yang diberikan Amir kepadanya sebagai bentuk bantuan. Amir berjanji akan membangunkan ruko untuk Farida beserta dana bantuan sebesar Rp 80 juta. "Untuk rumah saya yang dirampok, apa artinya Rp 80 juta?" katanya dengan nada tinggi.

Sudah jatuh tertimpa tangga, ruko yang dinanti tak kunjung dibangun. Farida malah mendapat surat panggilan polisi pada bulan Juli. Ia dituduh melakukan penggelapan dan penipuan. Farida kini tak hanya seorang ibu rumah tangga, ia juga berstatus tersangka. Mendengar hal itu, ayah Farida syok. Suami Saniah itu pun meninggal kena serangan jantung.

Farida lalu mengadu ke Komnas HAM pada bulan Oktober. Oleh Komnas, ia dianjurkan untuk melaporkan ke Polda setempat. Farida lantas mengajukan pra peradilan. Namun ia ditolak dengan alasan yang menurutnya tak jelas. "Saya tidak tahu kenapa ditolak," katanya.

Kini Farida kembali datang ke Jakarta. Ditemani anaknya yang tengah hamil 7 bulan dan cucunya yang berumur 3 tahun, ia mengadu kepada siapa saja yang mau menolong. Termasuk kepada saya. "Tolonglah dik, muat ini di koran. Biar pejabat di Palembang tahu dengan ketidakadilan ini," ujarnya.

Saya hanya terdiam. Tak tahu harus berbuat apa kala itu. Akhirnya saya hanya berusaha menepuk pundaknya dengan canggung. Anak perempuannya yang bunting merapikan kembali berkas-berkas pengaduan yang tadi ditunjukkan pada saya. Cucunya yang berumur 3 tahun tidur dengan pantat menungging.

Farida adalah ibu rumah tangga yang menyandang status tersangka. Ia naik truk dari kampungnya di Jalan Rawajaya Kelurahan Pahlawan, Kecamatan Kemuning, Palembang, Sumatera Selatan, menuju Pelabuhan Bakauheni pada Jumat subuh. Malamnya, rombongan kecil itu tiba di Pelabuhan Merak. Karena sudah larut, akhirnya mereka lelap di pelabuhan. Malam berikutnya mereka ditampung di Rumah seseorang di pinggir kali, yang Farida tak ingat nama dan lokasinya. Malam ini, mereka tidur beralas sajadah.

"Apakah negara ini hanya untuk orang kaya?" tanya Farida. Ia tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam. "Apakah aku harus tinggal di dasar laut yang adalah milik Tuhan?" ia bertanya lagi. Kali ini pipinya basah.

Farida datang jauh ke ibu kota, karena di kampungnya, Pak Lurah dan Pak Polisi lebih mau membela yang kaya. Sempat depresi, Farida ingin bunuh diri. Namun sebelum mati, ia ingin mendapat jawaban dari satu pertanyaannya, "Apa salah saya?"




Jakarta, 27 Maret 2016