Pertama kali saya mendengar nama Andreas Harsono adalah ketika saya akan mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) di Semarang setahun yang lalu. Saat itu pemateri yang akan mengisi pelatihan adalah Andreas. Pada lampiran formulir pendaftaran ada silabus materi yang harus dipelajari peserta sebelum mengikuti pelatihan. Sehingga saya mencari di mesin pencari internet tentang materi-materi tersebut dan meminjam sejumlah buku yang menjadi bacaan wajib peserta. Salah satu buku yang wajib dibaca itu berjudul 'Agama' Saya adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono.
Dari situlah saya mulai mencari tahu tentang beliau. Pria kelahiran Jember ini adalah seorang peneliti hak asasi manusia yang berbasis di Jakarta. Andreas sudah melakukan perjalanan ke lebih dari 80 wilayah di Indonesia. Buku Andreas yang diterbitkan selain 'Agama' Saya adalah Jurnalisme adalah Sebuah Antologi pada Jurnalisme dan co-edited Jurnalisme Sastrawi dalam Narrative Reporting, semua dalam bahasa Indonesia. Andreas membantu mendirikan Aliansi Jurnalistik Independen Jakarta, Institut untuk Studi Arus Informasi, dan pendiri Yayasan Pantau. Selain itu beliau juga menjadi anggota dari Konsorsium Internasional Jurnalisme Investigasi. Pada tahun 1999, Andreas menerima beasiswa Nieman untuk belajar jurnalistik dari Universitas Harvard.
Hari dimana saya harus berangkat ke Semarang untuk mengikuti PJTL pun tiba. Perjalanan sehari semalam yang saya tempuh beserta rombongan dari Jember terasa begitu lama. Saya ingin segera bertemu dengan Andreas Harsono. Betapa mengecewakannya ketika tiba di sana, ternyata bukan Andreas yang duduk di samping proyektor sebagai pemateri. Ada miss komunikasi antara panitia dengan Andreas sehingga beliau yang saat itu berada di California tidak bisa menghadiri pelatihan kami. Sebagai gantinya Imam Shofwan selaku Direktur Yayasan Pantau yang menjadi mentor kami saat itu.
Setelah pulang dari PJTL itu saya semakin aktif di dunia tulis menulis. Saya mengikuti blog Andreas Harsono sehingga saya bisa update tulisan-tulisan terbarunya. Di blog Andreas Harsono banyak cerita tentang kasus diskriminasi kaum minoritas yang melanggar hak asasi manusia. Di sana Andreas juga menuliskan kelas-kelas dan pengalaman mengajarnya. Saya banyak belajar dari tulisan-tulisannya.
Keesokan harinya saya mendapat kabar bahwa Andreas akan hadir di launching majalah IDEAS. Saya yang memang ingin sekali bertemu beliau akhirnya datang ke acara itu. Siangnya saya men-twit seperti ini "nggak sabar pingin ketemu @andreasharsono".
Sesampainya di sana, saya kira akan ada diskusi yang melibatkan Andreas. Ternyata tidak ada. Andreas hanya menjenguk sebentar. Saat itu saya berada di dalam aula. Saya melihat sosoknya di luar jendela sedang berbicara dengan Saddam. Seorang pria berkulit putih, bertubuh agak gemuk dan rambut beruban. Meski rambut bagian atasnya sudah putih, wajahnya masih terlihat muda. Saya mengenali sosok itu dari foto di blog yang selama ini saya ikuti. Itu Andreas Harsono.
Sejurus kemudian saya langsung berhambur keluar ruangan. Sedikit malu-malu saya mendatangi dan menyalaminya. "Andreas" begitu katanya. Lantas saya juga menyebutkan nama saya. "Oh, ini maya yang di twitter tadi ya?" Oh meeen.... Ternyata bapak ini melihat mention saya kepadanya. Betapa rendah hatinya. Lalu kami melakukan sedikit obrolan. Andreas bercerita kalau dia sering ke sini karena orang tuanya tinggal di Jember. Saya bingung memanggilnya bagaimana, kemudian "Om, boleh minta foto bareng?"
Foto di atas memang gelap dan tidak jelas. Tapi percayalah, dua orang dalam foto itu adalah saya dan Andreas Harsono. :)
bersambung....
Dari situlah saya mulai mencari tahu tentang beliau. Pria kelahiran Jember ini adalah seorang peneliti hak asasi manusia yang berbasis di Jakarta. Andreas sudah melakukan perjalanan ke lebih dari 80 wilayah di Indonesia. Buku Andreas yang diterbitkan selain 'Agama' Saya adalah Jurnalisme adalah Sebuah Antologi pada Jurnalisme dan co-edited Jurnalisme Sastrawi dalam Narrative Reporting, semua dalam bahasa Indonesia. Andreas membantu mendirikan Aliansi Jurnalistik Independen Jakarta, Institut untuk Studi Arus Informasi, dan pendiri Yayasan Pantau. Selain itu beliau juga menjadi anggota dari Konsorsium Internasional Jurnalisme Investigasi. Pada tahun 1999, Andreas menerima beasiswa Nieman untuk belajar jurnalistik dari Universitas Harvard.
Hari dimana saya harus berangkat ke Semarang untuk mengikuti PJTL pun tiba. Perjalanan sehari semalam yang saya tempuh beserta rombongan dari Jember terasa begitu lama. Saya ingin segera bertemu dengan Andreas Harsono. Betapa mengecewakannya ketika tiba di sana, ternyata bukan Andreas yang duduk di samping proyektor sebagai pemateri. Ada miss komunikasi antara panitia dengan Andreas sehingga beliau yang saat itu berada di California tidak bisa menghadiri pelatihan kami. Sebagai gantinya Imam Shofwan selaku Direktur Yayasan Pantau yang menjadi mentor kami saat itu.
Setelah pulang dari PJTL itu saya semakin aktif di dunia tulis menulis. Saya mengikuti blog Andreas Harsono sehingga saya bisa update tulisan-tulisan terbarunya. Di blog Andreas Harsono banyak cerita tentang kasus diskriminasi kaum minoritas yang melanggar hak asasi manusia. Di sana Andreas juga menuliskan kelas-kelas dan pengalaman mengajarnya. Saya banyak belajar dari tulisan-tulisannya.
***
Semua berawal dari ketika saya membicarakan salah satu program kerja ALPHA yang bertajuk kuliah umum, saya nyeletuk bagaimana kalau kita mengundang Andreas Harsono menjadi pemateri kuliah umum kita. Menurut Erin kemungkinannya kecil karena Andreas adalah orang yang sibuk dan kita tidak akan sanggup memberikan fee yang pantas untuknya.
Beberapa hari kemudian, ALPHA diminta oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) untuk menjadi tuan rumah dalam acara diskusi advokasi pers mahasiswa. Mas Mahbub, alumni IDEAS, LPM di Fakultas Sastra yang menjadi pemateri. Diskusi berjalan mulai dari jam 20.00 hingga 24.00 WIB.
Semua berawal dari ketika saya tidak sengaja mendengar Mas Mahbub berkata bahwa dia harus segera mengakhiri diskusi kita malam ini karena ada janji dengan Andreas. Saya lantas bertanya kepada Mas Cetar yang saat itu duduk di samping saya apakah yang dimaksud Mas Mahbub ini adalah Andreas Harsono. Ternyata benar. Kemudian saya meminta kepada Mas Diki untuk dikenalkan dengan Andreas. Tapi kata Mas Diki, Andreas susah ditemui, beliau sangat sibuk.
Keesokan harinya saya mendapat kabar bahwa Andreas akan hadir di launching majalah IDEAS. Saya yang memang ingin sekali bertemu beliau akhirnya datang ke acara itu. Siangnya saya men-twit seperti ini "nggak sabar pingin ketemu @andreasharsono".
Sesampainya di sana, saya kira akan ada diskusi yang melibatkan Andreas. Ternyata tidak ada. Andreas hanya menjenguk sebentar. Saat itu saya berada di dalam aula. Saya melihat sosoknya di luar jendela sedang berbicara dengan Saddam. Seorang pria berkulit putih, bertubuh agak gemuk dan rambut beruban. Meski rambut bagian atasnya sudah putih, wajahnya masih terlihat muda. Saya mengenali sosok itu dari foto di blog yang selama ini saya ikuti. Itu Andreas Harsono.
Sejurus kemudian saya langsung berhambur keluar ruangan. Sedikit malu-malu saya mendatangi dan menyalaminya. "Andreas" begitu katanya. Lantas saya juga menyebutkan nama saya. "Oh, ini maya yang di twitter tadi ya?" Oh meeen.... Ternyata bapak ini melihat mention saya kepadanya. Betapa rendah hatinya. Lalu kami melakukan sedikit obrolan. Andreas bercerita kalau dia sering ke sini karena orang tuanya tinggal di Jember. Saya bingung memanggilnya bagaimana, kemudian "Om, boleh minta foto bareng?"
photo by Dani |
bersambung....
kasus diskriminasi kaum minoritas yang melanggar hak asasi manusia.?
ReplyDelete#yaa mungkin saya kurang paham dengan keadaan manusia di zaman sekarang... :)
kalau pingin tau lebih jauh, coba lihat2 di blognya om Andreas Harsono di www.andreasharsono.net .. mungkin bisa memberikan informasi :)
ReplyDeletehahah ia aku juga baru tau namanya mas andreas sewaktu menyelusup ke ruangan seminar tertutup.
ReplyDeletesangar
ReplyDeletehttp://uncensor13.blogspot.com/