Subscribe:

Sunday 8 October 2017

Ingatan Meliput Papa

Akhirnya saya kembali berkunjung ke rumah itu. Bangunan mewah di Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Saya bisa melihat beranda lantai duanya dari luar pagar hitam yang tinggi. Mobil patrol yang diparkir di posisi yang selalu sama. Satpam yang bersungut-sungut dan berakting dingin. Hunian itu ditinggali pria tambun bernama Setya Novanto, yang saat saya menulis ini dia sedang menjabat sebagai Ketua DPR.

Pengalaman pertama saya ke rumah itu sangat menyakitkan hati. Maka wajar jika kesan rumah itu membekas hingga kini. Saya dilempar ke sana sini hanya untuk mencari tahu di rumah Pak RT yang bahkan saya tak tahu siapa namanya. What a fuck.

Kisah mengesalkan itu bermula ketika Setya kena kasus papa minta saham Freeport. Ia dipanggil kejaksaan untuk diperiksa namun selalu mangkir. Alasannya, surat tak pernah sampai. Seorang yang baik memberi tahu seorang wartawan Tempo bahwa surat itu sebenarnya sudah sampai di rumah Setya. Pak RT yang mengantarkannya.

Pada awal Januari 2016, Redaktur meminta saya untuk mengkonfirmasi hal itu kepada Setya. Apa benar, Pak RT pernah datang ke rumahnya membawa surat dari kejaksaan? Saya langsung berangkat mencari rumah Setya setelah diberi mandat.

Begitu sampai, saya melihat ada beberapa mobil patrol. Ada sekitar lima atau enam orang yang berkumpul di pos satpam yang luas. Gila, saya pikir. Rakyat aja enggak pernah ada yang punya penjaga sebanyak ini. Lha ini cuma wakil kok pengamanannya heboh banget.

Dengan mengesampingkan rasa nyinyir, saya pun masuk dan bertanya baik-baik kepada para satpam terkait dengan surat kejaksaan yang diduga telah diberikan oleh Pak RT yang masih gelap siapa gerangan. "Saya enggak tahu, saya lagi enggak tugas waktu itu," kata mereka. Kompak.

Aneh, masa enggak jaga bareng-bareng. Saya berdiam sedikit lama di sana sambil merayu agar diizinkan masuk ke rumah. Tentu, ada kemungkinan surat langsung diterima oleh istri, anak, atau pembantu jika semua penjaga mengklaim sedang tidak bertugas. Tapi mereka ngotot kalau surat atau siapapun yang lewat gerbang harus melalui mereka dulu.

Baiklah, saya memilih berbaik sangka. Tapi saya tetap harus mendapat konfirmasi itu. Saya pun bertanya di mana alamat rumah Pak RT. Dan mereka menunjuk alamat di belakang rumah Setya. Saya ikuti arahan itu dan berakhir dengan tidak menemukan apapun.

Saya merasa sedikit beruntung ketika menemukan pos satpam di persimpangan jalan dekat rumah Setya. Ada seorang satpam di sana yang ketika saya tanya, mengaku tidak tahu rumah Pak RT. Saya menghela nafas.

Sesuatu yang menyulitkan, perumahan di Kebayoran Baru itu adalah kawasan elit yang hampir setiap rumah memiliki pagar yang menjulang. Tak ada satu pun penghuni asli yang terlihat berkeliaran. Dan jarak dari rumah ke rumah itu, seperti berjalan melewati tiga rumah. Sangat mustahil bagi saya mengetuk pintu per pintu untuk mengecek di mana rumah Pak RT. Tapi tetap saya lakukan.

Setelah gempor jalan belasan blok, akhirnya saya menemukan rumah RT 01 yang bernama Abimanyu. Ah, leganya. Sayang, Abimanyu sedang tidak berada di rumah. Tapi satpam Abimanyu sangat baik mau memberikan saya nomor telepon majikannya. Saya pun gercep telepon Abimanyu untuk menjalankan titah atasan. Tapi Anda tahu apa yang dia katakan pemirsa? Rumah Setya tidak masuk di RT 01 tetapi masuk di RT 03.

JEDDEEEERRRRRRRR
*bunyi gledek siang bolong*

Hari sudah sore ketika itu. Saya kembali  berjalan luntang lantung untuk mencari Pak RT 03 yang masih belum ketahuan seperti apa wujudnya. Kembali mengetuk satu per satu pintu sambil berharap yang membuka adalah Pak RT 03.

Lalu informasi menyakitkan itu kembali menghujam. Seorang yang pernah kenal dengan Pak RT 03 mengatakan bahwa ketua RT 03 sudah pindah sejak dua tahun lalu bersama seluruh keluarganya.

JEDDEEERRRRRRRR

Di tengah keputusasaan, saya mendapat ilham untuk mencoba mencari tahu rumah Pak RW 03 (saya sudah memastikan rumah Setya masuk di RW 3). Saya pun bergegas ke kelurahan Melawai yang letaknya entah berapa puluh blok dari rumah Setya. Titik mula mission nyaris impossible ini.

Dan pertolongan itu datang. Saya bertemu dengan Lurah Melawai bernama Iwan yang baik hati. Tapi anehnya, Pak Iwan mengaku tidak tahu alamat rumah RW 03 dan tidak punya nomor kontaknya. Ia hanya tahu namanya Roosjono. Dia mengarahkan saya untuk pergi ke posko RW 03 yang letaknya di ujung jalan. Biasanya, Roosjono suka mangkal di sana. Saya pun ke sana dengan diantar petugas yang dipaksa Iwan mengantar saya.

Sampai posko, Roosjono tak ada. Yang ada hanya seorang satpam bernama... saya lupa namanya.. tapi sebut saja Asep. Saya bertanya baik-baik kepada Asep nomor telepon Roosjono. Tapi dia tidak mau.

What?
Demi apa?

Saya jelaskan bahwa saya sudah dapat izin dari lurah untuk minta nomor telepon Roosjono. Tapi dia tetap tidak mau ngasih. Saya tanya alamat pun enggak dikasih. Saya terus terang luar biasa kesal. Seberapa jahat sih tampang saya sampai harus ditolak sedemikian rupa?

Akhirnya saya telepon si lurah di depan Asep. "Pak, Roosjono enggak ada di pos. Ini satpamnya enggak mau ngasih kontaknya," kata saya. Asep terlihat ingin menerkam.

"Siapa nama satpamnya? Kasih teleponnya ke dia," kata Iwan dari seberang telepon.

HP saya beralih ke Asep. Dia terlihat manggut-manggut dan bilang iya iya dengan alis menyatu. Lalu telepon dikembalikan ke saya.

"Lu jangan kaya gitu dong. Mentang-mentang kenal lurah," kata Asep. Anjir, gue dilabrak.
"Ya salah sendiri enggak mau ngasih. Orang saya nanya baik-baik," saya enggak terima.
"Bukannya enggak mau ngasih. Kan emang gue enggak punya,"
"Lah, tadi bilang enggak mau,"
"Wah lu parah lu. Awas lu balik sini," Asep ngedumel sambil nyoret-nyoret kertas yang ditulisi nomor telepon Roosjono. Saya langsung cabut begitu terima kertas itu.

Di situ lah kesalahan saya. Mestinya saya tidak langsung pergi. Saya harus pastikan bahwa nomor yang diberikan Asep adalah benar nomor Roosjono. Benar saja, saat saya coba hubungi nomor itu, yang terdengar adalah, "Nomor yang Anda hubungi, salah!"
What the fffffff........

Sudah pukul 17.00. Saya tak tahu lagi harus ke mana. Di jalan, ada tukang kaki lima yang jualan minum. Saya beli air mineral. Bapak penjual itu tiba-tiba curhat ke saya dan ngomelin saya entah soal apa. "Bapak kok marah-marah saya ke juga sih?" kata saya nyolot karena lagi baper waktu itu. Lalu si bapak tertawa. Saya berakhir curhat soal pencarian saya ke rumah RW 03.

Eee, ndilalah pak kaki lima itu tahu rumah Roosjono. Katanya ada di Jalan Radio Dalam V. Saya yang saat itu ada di daerah Panglima Polim, kata pak penjual, enggak jauh dari lokasi. Bisa jalan kaki. Alhamdulillah...

20 menit kemudian....

Sumpah rumahnya jauh! Sudah magrib dan saya masih nyasar-nyasar nyari rumah si Roosjono. Setiap tanya orang, tidak ada yang kenal. Bahkan orang di pos ronda pun tidak ada yang kenal. Aah, jangan-jangan saya ditipu lagi.. SAD.

Saya hampir menyerah ketika saya berdiri di depan rumah berpagar hitam yang tinggi. Ada seorang tukang galon keliling dengan mobil yang mengantar galon di samping rumah saya berdiri. Iseng saya tanya, "Pak, tahu rumah Pak Roosjono?"
"Pak Jon?"
"Pak RW 03 di Panglima Prolim,"
"Oh, betul. Itu Pak Jon,"
(Pantes enggak ada yang kenal pas nanya Roosjono. Stupid!)
"Itu rumahnya." Dia nunjuk rumah pagar hitam tempat saya berdiri tadi.
Ah.... legaaaaa.

*emot mentari bersinar*

Saya bergegas memencet tombol di pinggir pagar rumah Roosjono. Saat pertama, terdengar suara dari dalam. Tapi saat saya mencet tombol kedua, ketiga, dan seterusnya, tak terdengar apa-apa. Pintu rumah tertutup. Tak ada tanda-tanda ada orang mau bukain pintu. Tapi saya yakin ada orang di dalam. Saya menunggu di luar.

Semenit...   10 menit... 20 menit....

Saya tak kuat lagi.

Saya cari masjid untuk salat magrib dan mengeluh sekeras-kerasnya. Tuhan, kenapa menjadi wartawan itu berat sekali?

Sambil menunggu adzan isya', saya kirim SMS ke Pak Iwan. Dengan sangat berharap Pak Iwan mau membantu mencarikan nomor Roosjono.

Dan doa itu terkabul. Iwan membalas SMS yang berisi kontak Roosjono. Saya telepon si Jon, tidak diangkat. Akhirnya saya kirimi dia SMS. Saya perkenalkan diri dan ceritakan maksud saya menghubunginya.

Hanya menunggu lima menit. Roosjono membalas. Isinya adalah, "Saya sendiri yang membawa surat tersebut ke rumah beliau dan saya serahkan melalui petugas di sana."

Alhamdulillaaaaah.....
Sujud syukur saya menerima balasan itu. Saya tak bisa mendeskripsikan rasa bahagia yang membuncah tak karuan menerima pesan sesingkat itu.

Untuk orang lain, barangkali usaha seperti saya tidak layak mendapat balasan hanya seperti itu. Tapi untuk kami, para jurnalis, konfirmasi, sekecil apapun itu, sangat kami junjung tinggi untuk menyajikan berita, bukan kebohongan.

Pesan Roosjono itu membuktikan bahwa kejaksaan sudah berupaya memanggil Setya. Dan Setya membuat kebohongan publik dengan mengatakan surat itu tak pernah sampai kepadanya. Roosjono adalah saksi yang kuat bahwa surat sudah ia berikan. Sekian.

***

Hari ini, saya kembali ke rumah Setya untuk mengkonfirmasi sejumlah hal terkait korupsi e-KTP, tapi bukan untuk mengkonfirmasi mangkirnya dia dari pemeriksaan KPK. Sebab untuk itu saya sudah diusir-usir dari rumah sakit Siloam yang katanya merawat Setya karena vertigo beberapa waktu lalu. Saya datang karena dia menyulitkan diri untuk ditemui.

Kalau boleh saya suudzon, transparansi memang tidak pernah melekat pada orang-orang yang kena kasus.

Saya tiba di rumah Setya pukul 3 sore. Lagi-lagi saya disambut satpam yang bergaya tak ramah.

"Bapak lagi ke luar," kata satpam yang bernama Alwin.
"Lho, bukannya lagi sakit? Katanya masih pemulihan," saya nanya sok polos.
Alwin diam sebentar. "Lagi berobat kali."
"Masa sih? Tadi saya telpon pengacara katanya Bapak ada di rumah," saya enggak mau nyerah.
"Bapak enggak ada pokoknya."
Malas berdebat, saya kasih saja surat permohonan wawancara kepadanya dan segera pamit. "Nanti saya serahkan kalau ada ajudan," katanya.

Ah, dasar rakyat yang tunduk sama wakilnya. Saya ingin nanya deh, situ e-KTP nya udah jadi belum? Atau masih berupa kertas?

Monday 25 September 2017

Habis Kata

Selemah-lemahnya iman adalah menulis berita yang membuatku menghabiskan kata-kata dan aku tidak lagi mampu merasakanmu meski hanya sekilas. Tapi jangan salah mengira aku telah lupa. Aku tidak lupa. Bahwa kau masih ada. Dan aku masih orang yang sama. Aku hanya habis kata.

Jakarta, 25 September 2017

Tuesday 16 May 2017

Penoda Agama yang Sesungguhnya

Sampai hari ini saya masih tidak habis pikir. Saya buntu. Kok bisa Ahok divonis bersalah menodai agama? Emang agama itu makhluk hidup, yang bisa merasa tersinggung pas diejek? Nggak, toh? Lha buktinya yang demo-demo itu bukan agama, tapi orang yang bawa-bawa agama.

Kata seorang teman, saya ini imannya enggak kuat. Makanya pas ada orang yang ngejek agamanya biasa aja. Enggak mau bela agamanya. Menurut dia, kuat lemahnya iman orang diukur dari seberapa besar hatinya tersinggung karena agamanya diejek. Loh, kowe ini manusia opo Tuhan? Kok bisa ngukur kadar imannya orang.

Menodai menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya menjadikan ada nodanya; mengotori; mencemarkan; menjelekkan; atau merusak. Terus saya tanya, ketika ada orang yang menjelek-jelekkan agama yang tak dianutnya, apakah lantas membuat agama itu jelek? Ketika ada orang bilang Islam itu agama sesat, kitabnya bohongan, apakah serta merta membuat Islam jadi demikian?

Saya sih, mungkin karena imannya cethek, jadi enggak mikir begitu. Saya, seberapapun orang menghujat, saya akan tetap merasa bahwa Islam adalah agama yang mulia. Agama yang akan saya yakini kebenarannya sampai akhir hayat. Justru yang membuat iman saya rontok terkadang adalah karena para penganut agama itu.

Saya teringat cerita seorang pemuda yang ingin pergi belajar agama Islam ke Madinah. Selama perjalanan, pemuda ini selalu membayangkan bahwa kota dengan mayoritas muslim itu adalah kota yang damai, makmur, dan penuh cahaya Islam. Tapi ketika sampai, ia melihat pengemis bertebaran di seluruh pelosok kota. Preman-preman mangkal di sudut kota minum alkohol. Pencopet berkeliaran. Dan pemandangan yang jauh dari bayangannya selama perjalanan. Si pemuda kecewa luar biasa.

Sambil menahan marah, si pemuda menemui guru agamanya. Ia bertanya, bagaimana bisa kota yang penuh dengan umat muslim ini sangat jauh dari kesan islami? Bagaimana bisa kemungkaran ada di sana sini sedangkan nyaris seluruhnya beragama Islam? Bukankah Islam itu agama yang damai, mensejahterakan, dan mulia? Sang guru meneteskan air mata mendengar cerita si pemuda. Lalu ia berkata, "Nak, sesungguhnya sinar cahaya Islam itu sangat terang. Tapi ia ditutupi oleh ulah umatnya sendiri."

Begitulah sudara, kenapa saya selalu santai ketika ada orang non muslim yang mengolok-olok agama saya. Entah mereka sengaja atau tidak. Sebab yang bisa menjaga terangnya sinar agama adalah si pemeluknya sendiri. Bagi saya, membela agama bukan dengan menghukum orang yang mengolok, tapi membuat mereka keliru menilai agama saya. Kitab saya.

Kembali kepada soal hukuman Ahok. Saya setuju bahwa Ahok sedang meledek. Tapi saya tidak sepakat dia menodai agama. Satu-satunya yang merasa tersinggung adalah sebagian umat Islam. Catat! SEBAGIAN. Jadi menurut saya, yang lagi-lagi cethek iman dan dangkal ilmu ini, Ahok tidak menista agama, tapi ia bersalah menghina sebagian golongan.

Sekali lagi, agama adalah kepercayaan. Menista agama berarti menodai kepercayaan. Masalahnya, tak semua umat merasa kepercayaannya ternoda. Lalu bagaimana implementasi Pasal 156 a KUHP? Apa pasal ini bisa digunakan asal mayoritas umat menyetujui? Nah kalau gitu mestinya voting dong seluruh dunia. Kan, Islam enggak cuma di DKI saja.

Lagian, semua muslim saya kira sudah sepakat bahwa Islam adalah agama yang turun dari langit. Kalau ada yang ngejek-ngejek Islam, kenapa hukumannya enggak dipasrahin sama langit aja sih? Bukannya sok menggurui. Saya hanya yakin Tuhan lebih adil timbang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Tuesday 11 April 2017

#2

Rangga..

Aku mau membencimu 1000 tahun lagi. Sebab mencintaimu terlalu menyakitkan. Dan berpura-pura baik-baik saja itu terlalu menyebalkan.

Kau tau apa yang membuatku sangat terpukul? Bukan soal gadis barumu. Tapi penghianatanmu membuatku kehilangan percaya diri untuk dicintai. Ada trauma yang sulit diutarakan.

Sejujurnya aku sudah lupa sama kamu. Tapi setiap kali aku lihat namamu muncul di media sosial, aku selalu jengkel. Ingin ku blok, tapi nanti aku dibilang kekanakan. Aku kan harus pencitraan meskipun dalam hati tak karuan.

Ratusan purnama sudah berlalu, Rangga.. Dan kita tidak akan bersatu seperti di film yang sesungguhnya hanya rekaan belaka. Tapi kuharap kamu mahfum aku tidak bisa menjadi teman seperti yang dulu. Memaafkan dan merelakan itu sudah. Tapi lukanya memang membuat bekas. Yang diam-diam terasa perih tanpa sebab. Meski ini sudah lewat setahun.

Rangga,
Malam ini aku memang sedang random. Sudah berbulan aku insomnia. Mungkin aku hanya sedang stress mikirin news story untuk naik jabatan. Sebenarnya aku ingin ngobrol dan berdiskusi denganmu. Sebab aku sering mendapat inspirasi dari obrolan-obrolan enggak jelas kita. Tapi itu tidak mungkin meski kita masih dalam dunia yang sama. Karena itu tadi. Aku kan sedang membencimu.

Barangkali nanti di tahun yang ke-1001 aku benar-benar bisa kembali seperti temanmu yang dulu. Saat itu, aku jamin kau tak akan sendirian menertawakan kebodohanku. Sebab aku juga akan ikut.

Friday 24 March 2017

Geger Sidang E-KTP

Miryam S. Haryani membuat geger seluruh kota. Dalam sidang korupsi pengadaan proyek e-KTP yang digelar Kamis, 23 Maret 2017, bekas anggota Komisi II DPR itu mengaku diancam dan ditekan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Merasa stres, dia mengaku membuat keterangan palsu demi menyenangkan penyidik.

Waktu pemeriksaan itu, Miryam berucap pernah diminta bantu untuk membagikan duit suap. Politikus Hanura itu juga menyebut semua nama yang mendapat aliran dana lengkap dengan nominalnya. Ceritanya sistematis, runut, dan detail. Hakim tak percaya bahwa keterangan itu rekayasa. Namun Miryam malah menangis sesenggukan meminta seluruh keterangannya dicabut.

Miryam adalah satu dari 294 saksi yang pernah diperiksa KPK. Tak semua saksi mau bercerita secara detil megakorupsi yang membuat negara rugi Rp 2,3 triliun itu. Tapi Miryam membocorkan semua dalam dokumen pemeriksaannya.

Sidang siang itu pun buyar. Hakim tak tahu harus bertanya apa karena Miryam mengingkari seluruh materi pemeriksaan. Pun demikian dengan kuasa hukum terdakwa. Mereka merasa dirugikan karena Miryam mencabut kesaksian. Jaksa lalu meminta majelis mengizinkan mereka memanggil penyidik untuk dikonfrontir dengan Miryam. Sayangnya, penyidik yang memeriksa Miryam tak ada di tempat saat itu.

Muncul spekulasi bahwa Miryam terpaksa mencabut seluruh keterangannya karena ditekan koleganya di DPR. Sebab nyaris seluruh anggota Komisi II DPR disebut menerima uang bancakan e-KTP. Selain itu, nama besar seperti Setya Novanto juga disebut sebagai dalang. Miryam telah diintervensi. Hanya itu satu-satunya pendapat logis yang bisa diterima saat ini.

Miryam agaknya sudah memperhitungkan resikonya. Jujur atau bohong, penjara sudah menunggu. Hanya saja, jika ia jujur, hukumannya akan ringan. Tapi barangkali ada ancaman yang lebih besar meski ia dihukum setahun dua tahun penjara. Siapa yang tahu keluarganya juga diancam?

Miryam lalu memilih memberi keterangan palsu. Tak apa ia dihukum tujuh tahun penjara karena berbohong. Asal keluarganya selamat. Siapa yang tahu?

Jaksa tak mau berandai-andai siapa yang menekan Miryam. Tapi siapapun dia, agaknya KPK perlu lebih melindungi para saksinya dari intervensi. Sebab sekecil apapun keterangan mereka, akan berguna untuk menyusun mozaik rasuah proyek sejuta umat ini.