Subscribe:

Saturday 24 January 2015

Italia dan Kamar Mandi

Kali ini mantan saya bernama Riko. Dia lahir tujuh tahun sebelum rezim Soeharto runtuh. Lantas kini menjadi mahasiswa yang semoga saja tidak abadi. Hobinya motret saya, lalu hasilnya diedit sedemikian cantik hingga orang tidak kenal kalau itu foto saya. Semalam dia telepon. Katanya kangen. Padahal paginya dia sudah telepon. Tapi tidak saya angkat. 

Riko bercerita bahwa ia mendaftar untuk mengikuti kelas pelatihan fotografer di laman internet yang saya lupa namanya. Alamat websitenya fotografer.net kalau tidak salah. Syaratnya hanya mengisi formulir dan mengirimkan tiga foto bertema human interestlandscape, dan foto terbaik yang pernah di ambil (saya kecewa foto terbaik itu bukan foto saya). Peserta yang dipilih hanya lima dari entah berapa ekor umat yang mengirim CV dan hasil karya.

Dua minggu kemudian dia mendapat telepon dari seorang wanita yang dikira mau menarik tagihan pembayaran speedy. Ternyata wanita itu adalah suruhan Malaikat Mikail yang dikirim untuk memberitahu Riko bahwa ia terpilih sebagai pemenang dari barangkali jutaan manusia penggila foto yang mengikuti kontes tersebut. Bagi yang belum tahu, Malaikat Mikail adalah malaikat yang bertugas membagi rezeki dalam kepercayaan umat Islam. Dan tentu ini adalah rezeki yang besar.

Setelah mendapat kabar menggembirakan itu, Riko langsung membaca ulang perihal teknis yang menyangkut tempat, jadwal, dan hal-hal lainnya yang belum sempat ia baca ketika dulu mendaftar. Betapa terkejutnya, ternyata masa pelatihan berlangsung selama dua bulan dan diselenggarakan di Universitas De Rome, Italia. Peserta diambil dari 17 negara dan masing-masing negara mengirimkan 5 delegasi. Mendapat tiket pesawat pulang pergi dan biaya hidup selama dua bulan ditanggung penuh. Dengan kata lain, pelatihan ini gratis seperti udara yang kita hirup. Ah.. saya merinding saat menuliskan ini.

Sebagai mantan yang cantik tentu saya ikut senang dan turut bangga. Jika saya jadi Riko, saya pasti akan segera mengurus hal-hal yang menyangkut pemberangkatan. Passport, visa, memperdalam bahasa inggris (italia juga dikit-dikit) akan saya peroleh dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bagaimanapun caranya. Andaikan saya jadi Riko…

Tapi Riko tidak seantusias saya yang cuma jadi penonton. Riko bertanya, mau dapat uang darimana untuk sangu? Ia bingung bagaimana mendapat uang untuk mengurus passport dan visa. Perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan memaksanya mencari dana sendiri untuk pegangan saat nanti di negeri orang. Selain itu, ia juga tidak percaya diri dengan bahasa inggrisnya yang tidak lancar dan mungkin takut tidak sanggup beradaptasi di sana. Lima hari terlewati sejak mendapat kabar dari wanita misterius itu, dan ia belum mengambil tindakan.

Saya jadi teringat dengan tulisan guru besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Menurut beliau, hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula mulai bertanya uangnya darimana, maka hampir pasti jawabannya adalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin. Padahal dunia yang terbuka bisa menawarkan sejuta kesempatan untuk maju.

Beruntunglah pertanyaan seperti itu tak pernah ada dalam kepala pelancong, diantaranya adalah mahasiswa yang menyebut diri mereka kelompok backpacker. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan murah. Menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang jika kekurangan uang akan bekerja sebagai tukang cuci piring. Mereka yang tak punya ongkos pulang akan relanggandol di bagian belakang truk. Tapi sangat jelas pengetahuan, wawasan, dan kedewasaan mereka adalah apa-apa yang belum pernah kita bayangkan. Selain kaya teori, mata mereka juga tajam mengendus peluang dan memiliki rasa percaya diri tinggi.

Untuk masalah bahasa dan hidup, kita tidak akan pernah bisa fasih berbahasa manapun jika tidak pernah bercakap dan hidup bersama si pemilik bahasa. Lihat saja TKW yang pendidikannya lebih rendah dari mahasiswa, bahasa inggrisnya sudah jauh melampaui dosen. Sebelum mereka bisa lancar menggunakan bahasa inggris, tentu bahasa tubuh dan isyarat menjadi alat komunikasi. Toh mereka tetap hidup dan akhirnya lancar sendiri.

Pergi keluar negeri sebenarnya tidak jauh beda seperti ketika kita akan pergi mandi. Kita tidak perlu berpikir apakah di dalam sana sudah tersedia sabun, odol, dan shampoo. Kita hanya perlu masuk dan melihatnya. Jika tidak ada, ya sudah mandi saja. Yang penting basah dulu. Nanti kalau mau mandi lagi, kita bisa tahu harus membawa apa. Apabila kita terlalu takut tidak menemukan sabun, odol, dan shampoo, lalu kapan kita tahu rasanya mandi?

Alm. Bob Sadino pun pernah berkelakar bahwa orang bodoh biasanya lebih berani dibanding orang pintar, kenapa? Karena orang bodoh sering tidak berpikir panjang atau banyak pertimbangan. Dia nothing to lose. Sebaliknya, orang pintar terlalu banyak pertimbangan. Orang yang terlalu banyak berpikir akan berat melangkah. Dan kebanyakan hanya berakhir diam di tempat.

Barangkali Riko memiliki penilaian bahwa ini hanyalah sebuah pelatihan biasa yang tak menjanjikan apa-apa ketika usai. Tapi pergi ke Italia untuk mengikuti pelatihan selama dua bulan secara gratis tentu bukan hal biasa bagi orang yang haus melihat dunia. Anggaplah pelatihan ini tidak turut andil membentuk visi seseorang, mereka hanyalah perantara. Tapi cobalah lihat besar peluang yang bisa didapatkan melalui pintu ini. Memasuki sebuah pintu tak lantas mempertemukan kita pada sebuah jalan buntu. Cakrawala tak sesempit itu.

Rik, kita sama-sama belum pernah ke Italia. Aku mengamini bahwa uang bisa dicari, tapi kesempatan tak pernah berjanji untuk datang berkali-kali. Semoga kamu akan berani pergi ke Itali seperti kamu begitu santai masuk kamar mandi.

Friday 23 January 2015

Surat untuk Pelaku Wisata


Kepada yang terhormat Bapak Menteri Pariwisata beserta seluruh jajaran kewisataan,
Kepada yang tersayang para pengelola tempat wisata di tanah air,
Kepada yang tercinta para pelancong yang beredar di seluruh pesisir negeri,
Kepada yang teruntung para pedagang dan jukir di sekitar tempat wisata,
Dan kepada yang tertindas alam raya yang tidak berbahagia.


Sebelumnya saya ingin bercerita tentang perjalanan saya ke Pulau Menjangan dua minggu yang lalu. Terletak sekitar 10 km di lepas pantai Barat Laut Bali, pulau kecil Menjangan merupakan bagian dari Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Menjangan terkenal dengan pesona alam bawah lautnya. Dari Bangsring, Banyuwangi, saya bersama rekan-rekan menyebrang dengan menggunakan boat. Selama di perjalanan, kami dibuat takjub dengan banyaknya ikan terbang yang bermunculan dari bawah permukaan. Semakin mendekati garis pantai, airnya semakin bening dan dasar laut mulai terlihat. Tapi, semakin dekat daratan, airnya semakin keruh. Banyak buih dan minyak mengapung-apung di sekitar boat kami yang sudah memelan, tanda mau berlabuh. Tidak hanya itu, saya melihat banyak sekali bungkus rinso, mie sedap, popmie, dan sampah-sampah plastik lainnya.

Begitu sampai di pos pemberhentian pertama, kami disambut oleh gapura bertuliskan selamat datang di Pulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat lengkap dengan sampah-sampah yang bertebaran di bawahnya. Betapa kecewanya, pasir putih dan hijaunya laut hanya bisa dinikmati dari kejauhan. Saya kira, karena ada resort di pos 1 yang bisa digunakan untuk beristirahat, maka banyak orang yang membuang bekas bekal mereka di situ. Tapi ternyata pusat sampah tidak hanya berada di pos 1. Ketika kami berpindah di pos snorkeling 3, letaknya dekat dengan hutan bakau, sampah juga bertebaran di sana. Terapung-apung dan menempel pada akar tanaman bakau. Duh, Gusti.. Heran saya. Kok ndak eman, alam secantik ini dijadikan tempat sampah.

Tidak hanya di Menjangan. Lihat saja rupa Ranukumbolo saat musim agustusan. Atau coba tengok Teluk Ijo dan Pulau Merah saat tahun baru atau hari libur. Begitu santainya manusia-manusia itu meninggalkan jejak yang tak indah. Bukan rahasia lagi kalau tempat wisata akan menjelma jadi TPS ketika sudah banyak pengunjung. Khususnya di tempat wisata alam terpencil yang dikelola oleh penduduk sekitar.

Jika anda semua mengamati, tidak hanya sampah plastik yang disebar. Sampah tulisan-tulisan tak senonoh pun banyak ditemukan didinding-dinding atau pohon-pohon. Bahkan saya menemukan batu-batuan di puncak Gunung Arjuna sudah penuh tanda tangan orang-orang ndeso. Dikira ini papan tulis?

Pemerintah saat ini begitu gencar mengekspos pantai-pantai virgin atau hutan-hutan cantik agar menarik wisatawan mancanegara. Perekonomian penduduk sekitar meningkat drastis seiring bertambahnya jumlah pelancong. Backpackerhiker, hingga diver menjamur dimana-mana. Menjelajahi alam-alam eksotis yang kerap ditampilkan di televisi masa kini.

Saya jadi merasa tertipu sekali dengan gambar-gambar eksotis yang beredar di internet dan televisi. Sepertinya mereka benar-benar lihai memainkan photoshop. Barangkali gambar-gambar itu memang asli. Lantas tampilan aslinya berubah bentuk ketika sudah terjamah manusia. Kalau sudah begini, siapa mau disalahkan? Pemerintah? Pengelola? Wisatawan? Atau tukang jaga toilet umum?

Entah siapa yang salah, dan entah siapa yang merasa perlu bertanggung jawab. Saya juga bukan orang suci yang tidak pernah menyampah, saya hanya orang biasa yang sedang berusaha untuk selalu membuang sampah pada tempatnya. Surat cinta ini adalah bentuk rasa sayang saya kepada alam sekaligus bentuk protes pada manusia yang tidak tahu terima kasih pada jagat yang tanpa mereka, manusia tidak ada.

Pernah tidak anda berpikir, jika suatu hari tidak ada lagi hutan bakau yang menjadi rumah bagi puluhan spesies serangga air asin. Bagaimana jika ikan-ikan badut macam nemo tak lagi muncul karena keracunan minyak dan zat kimia limbah? Bagaimana jika tidak ada lagi pohon-pohon yang menghasilkan oksigen di gunung maupun hutan? Gara-gara apa? Sampah! Jika hari itu terjadi, saya harap anda semua tidak menyesal karena terlambat menyadari bahwa uang tak bisa dimakan. Bahwa uang tidak bisa membeli kekayaan alam yang diberikan kepada kita dengan cuma-cuma. Karena ini gratis, maka tak ada yang dapat dibayarkan untuk memperolehnya kembali.

Sekian surat absurd ini saya tulis dengan penuh cinta dan rasa syukur pada alam yang telah memberi saya kehidupan. Jika ada kata-kata yang menyinggung SARA, mohon diterima saja. Karena sama dengan alam, saya juga lelah berhadapan dengan manusia.

Salam Lestari! 


Di bawah ini akan saya lampirkan foto-foto yang berhasil saya dapatkan saat melakukan perjalanan di Pulau Menjangan dan Gunung Arjuna

Pos 1 Pulau Menjangan. Gapura Selamat Datang

Pos 3 Pulau Menjangan. Hutan Bakau
Puncak Gunung Arjuna

Thursday 22 January 2015

Sebab Aku Menulis Surat Cerai

Namaku Cici. Cici Paramida. Seperti nama penyanyi dangdut kondang yang naik daun sekitar tahun 90an. Ibu memberiku nama itu karena beliau adalah penggemar berat si pemilik nama asli Hamidah Idham. Kau percaya? Berarti kau tertipu. Namaku bukan Cici, aku hanya sering memakai namanya saat aku bermain rumah-rumahan bersama kawan, dulu. Sebenarnya bukan ibu yang jadi penggemarnya, tapi aku. Nama asliku Bunga. Bunga Citra Lestari. Kau boleh tidak percaya, karena aku memang berniat menipumu. hahaha

Panggil aku Bunga. Berjenis kelamin perempuan, dan baru saja selesai menulis surat perceraian. Bukan, bukan aku yang mau bercerai. Aku cuma wanita karir yang berjiwa seperti Bob Sadino. Seorang pemilik café, berumur 27 tahun, single, berpenampilan menarik, pandai memasak, dan jago bikin anak. Jika berminat, segera lamar ke rumah saya.

Ini adalah surat cerai milik seorang tetanggaku. Heran, dia yang mau cerai kenapa aku yang repot bikin suratnya. Tak apalah, biar dibilang setia kawan. Walau sebenarnya aku tidak yakin ini adalah perbuatan mulia yang seharusnya kulakukan. Dengan menulis ini, aku merasa meluluskan keinginan cerai dari kedua belah pihak, padahal aku sendiri tidak menginginkan pasangan itu bercerai. Aku tidak pernah mau melihat perceraian. Siapapun mereka. Kenal atau tidak.

Tetanggaku ini, sebut saja Rani, menikah dengan Asrul 10 tahun yang lalu. Rani menikah di usia 19 tahun sedang Asrul terpaut 3 tahun di atas Rani. Di usia yang masih belia itu, menurutku, mereka begitu berani menjalin komitmen sekali seumur hidup. Barangkali karena mereka sudah pacaran selama 5 tahun. Jika diakumulasi, kini cinta mereka sudah terjalin selama 15 tahun. Entah setan mana yang membisiki mereka untuk memutuskan bercerai. Padahal mereka telah ikut serta mensukseskan program keluarga berencana milik pemerintah dengan menghasilkan dua anak saja.

Diawali dengan Asrul yang ketahuan berselingkuh. Tidak tanggung-tanggung, selama 10 tahun dalam bahtera rumah tangga, ia sudah selingkuh sebanyak 7 kali. Asrul memang terkenal suka membaptis dirinya sebagai pecinta wanita. Tapi ya nggak gitu-gitu amat kali, Srul..
Sedang bagi Rani, Asrul adalah cinta pertamanya. Selama 15 tahun, tak pernah sekalipun Rani mencoba mencari lelaki lain yang lebih sempurna dari Asrul. Tapi naas, Asrul malah menyia-nyiakan kesetiaan Rani. Usut punya usut, rupanya Asrul kerap tidak puas dengan pelayanan Rani di rumah. 

Menurut curhatannya, Asrul menilai bahwa Rani sering tidak tanggap dan tidak mandiri. Apa-apa nunggu ada Asrul, tidak pernah berinisiatif sendiri. Contohnya, Asrul minta kopi, Rani minta antar beli bubuk. Juga menurut Asrul, Rani sering pilih kasih terhadap keluarganya. Setiap kali keluarga Rani mengadakan acara, Asrul wajib datang hingga habis acara. Sedang jika ganti keluarga Asrul yang memiliki hajatan, Rani selalu minta pulang lebih cepat. Alasannya si kecil rewel. Asrul sakit hati, kemudian selingkuh.

Coba kita cermati, bisakah masalah sepele seperti itu menjadi pemicu perselingkuhan? Andaikan bisa, tidakkah Asrul sebelum berselingkuh mencoba membahas hal ini dengan Rani agar Rani bisa introspeksi dan menjadi istri seperti harapan Asrul? Jika kenyataannya Asrul tidak pernah membicarakan hal ini secara baik-baik dengan Rani, artinya Asrul hanya mencari-cari alasan agar perselingkuhannya menjadi hal yang benar untuk dilakukan. Lantas, apa alasan Asrul berselingkuh sebenarnya?

Tujuh kali Asrul berselingkuh, baru kali ini sampai ada yang dinikahi secara sah tanpa sepengetahuan Rani. Ketika Rani tahu, pernikahan mereka sudah terjalin selama dua tahun dan sudah menghasilkan seorang anak berumur setahun. Sebagai istri yang merasa sudah baik, tentu Rani begitu sakit hati mengetahui suaminya berselingkuh diam-diam. Punya anak pula! Hati wanita mana yang rela?

Asrul yang tertangkap basah memiliki istri lagi hanya bisa diam saja. Entah merasa bersalah, atau hanya bingung apa yang harus dilakukan selanjutnya. Aku rasa dia merasakan keduanya. Akhirnya Rani memaksa Asrul untuk menceraikan Wina, istri simpanannya, jika memang Asrul masih menginginkan rumah tangga mereka utuh. Asrul menyanggupi, ia berjanji akan segera menceraikan Wina.

Setelah Asrul menceraikan Wina, keluarga mereka kembali utuh. Hanya saja, Asrul sudah tidak tampak seperti Asrul yang dulu. Ia sering murung dan tidak pernah tersenyum. Layaknya seseorang yang dipisahkan jauh dari kekasih hatinya. Asrul gundah gulana, tidur tak nyenyak, makan tak nafsu. Barangkali ia rindu pada mantan kekasihnya dan juga pada anaknya. Tapi Asrul tak pernah mau mengakui, bahwa hatinya sudah terbagi. Bahwa kali ini perselingkuhannya bukan hanya berlandaskan nafsu, melainkan cinta. Tentu saja hal itu tak akan terdengar dari bibirnya. Bibirnya terlalu keras kepala untuk mendengarkan hati, tapi coba kau lihat matanya. Kau akan melihat samudra di sana, sedalam itulah rindunya yang tak bisa disampaikan.

Empat bulan kemudian, Asrul sudah tampak bugar. Seperti orang yang baru berhasil move on.Makannya kembali lahap, tidurnya sepulas bajing saat musim hibernasi. Hari-hari Asrul dan Rani telah membaik, mereka sering berpergian ke tempat-tempat wisata. Hingga sampai suatu hari, Rani mendapat kabar dari kakaknya bahwa kakaknya baru saja melihat Asrul pergi dengan Wina. Seketika itu Rani langsung mengorek informasi lebih dalam. Dia berlari kesana kemari demi mendapat berita yang akurat. Menangislah ia, selama ini Asrul berbohong. Ia tak pernah menceraikan Wina.
Sebab itulah akhirnya aku kini menulis surat cerai. Sebenarnya, aku saat ini sedang menulis dua surat cerai. Surat cerai yang ditujukan Rani untuk Asrul dan surat cerai yang ditujukan Asrul untuk Wina. 

Rani memintaku untuk membuat dua surat dan meminta Asrul memilih, surat mana yang mau ia tanda tangani. Sejujurnya, walaupun Rani sudah disakiti sedemikian sangat, ia masih mengharapkan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu tetap memilihnya. Tanpa mempedulikan hati lelakinya yang tinggal separuh, atau bahkan sudah tidak disisakan untuknya. Bersama Wina, Asrul adalah air. Ia lunak dan sabar menembus bebatuan untuk tetap mengalir. Tapi bersama Rani, Asrul adalah batu. Ia akan menghantam jika ada yang menghalangi. Ah, Rani.. tidakkah kau sadar, bahwa cintamu sudah bertepuk sebelah tangan? Dan kau masih saja tetap memaksa. Bukan berarti aku membela Asrul, tapi hati sudah terlanjur dipilih, kini tinggal menunggu untuk dibuatkan jalan ceritanya. Manusia boleh memilih menikahi siapapun, tapi manusia tidak dapat memutuskan untuk mencintai siapa.

Kau boleh saja benar Rani, untuk bersetia pada komitmen. Komitmenlah yang melahirkan kompromi. Yang akhirnya membuatmu bertahan dengan perih tak berkesudahan. Kau tau Rani, sebab itulah aku takut untuk berkomitmen. Aku takut kepalaku terlalu keras untuk bisa menerima kompromi. Terutama masalah hati.

Lalu bagaimana dengan Asrul? Bolehkah kita menyalahkan Asrul? Apa salahnya? Dia kan hanya jatuh cinta. Di saat yang tidak tepat. Disitulah letak kesalahanmu, Srul.  Kalau boleh saran, jika kau jatuh cinta pada dua orang pada saat yang sama, pilihlah yang kedua, karena jika kamu benar-benar cinta pada yang pertama, kau tidak akan jatuh pada yang kedua. Mengenai komitmen, sudah terlambat, Srul. Kamu sudah melanggarnya saat awal kau jatuh cinta pada Wina. Mungkin saat itu kau tidak pernah berencana untuk mencintai Wina, tapi sangat jelas sekali kau punya kesempatan untuk tidak menumbuhkan benih cintamu. Jika kamu berat meninggalkan Rani, maka berlakulah adil pada keduanya, Srul. Jangan menjadi air bagi Wina lantas menjadi batu bagi Rani.

Kini aku hanya berharap surat cerai ini tidak pernah ditandatangani oleh siapapun. Semoga kau ikhlas, Ran. Memang mudah berbicara, tapi berlaku rendah itu memang akan jauh lebih mendamaikan.

Wednesday 21 January 2015

Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990

Jika ada yang bertanya lelaki seperti apa yang kuharap menjadi jodohku kelak, maka jawabannya yang bisa kuberikan adalah Dilan. Dalam novelnya, Pidi Baiq berhasil membuat Dilan menjadi sosok tak sempurna yang terbaik yang banyak diharapkan. Cerita klasik percintaan Dilan dengan Milea pada jaman SMA mengalir seperti adanya, sangat remaja. Tidak lebay seperti novel-novel fiksi pada umumnya. Dengan kota Bandung tahun 1990 menjadi latarnya, novel ini dikemas dengan romantis.

Di awal perjumpaan, barangkali pembaca akan menilai bahwa Dilan adalah seorang playboy agresif yang begitu mudah mengucap kata cinta pada gadis yang baru dikenalnya. Dilan yang anggota geng motor kerap teribat tawuran dan sering masuk ruang BK. Tapi Dilan bukan tipe lelaki hidung belang yang mendekati wanita dengan cara murahan yang biasa. Milea membuatku iri karena dia memiliki Dilan.

Cara-cara Dilan mendekati Milea sangat tidak biasa. Ketika pria-pria lain sibuk memberi bunga, kue, kado mewah, dan pesta kejutan untuk ulang tahun Milea, Dilan hanya memberi sebuah buku TTS. Iya, buku TTS. Dan sudah diisi! Ada selembar kertas ucapan selamat ulang tahun, tertulis di sana bahwa Dilan tidak ingin membuat Milea pusing karena harus mengisi TTS itu. Maka entah berapa lama ia menghabiskan waktu untuk mengisi buku TTS itu. Sederhana kan? Tapi sangat bermakna.

Pernah suatu hari Milea sakit hingga harus ijin untuk tidak masuk sekolah. Teman-teman sekolahnya datang menjenguk ke rumahnya. Dilan mengirim tukang pijit ke rumahnya! Siapa yang pernah berinisiatif mengirimkan seorang tukang pijit saat teman kalian sakit? Aku belum menemukan orang semacam ini di dunia nyata.

Tidak hanya itu, Dilan sering memberi cokelat pada Milea. Tapi dia tidak pernah memberikannya secara langsung. Dititipkannya cokelat itu kepada tukang pos, tukang PLN, tukang sayur, dan berbagai disiplin pekerjaan yang saat itu sedang berada di sekitar rumah Milea untuk kemudian diserahkan pada Milea. Dilan tidak hanya ngasih cokelat, dia ingin seolah-olah dunia sedang bersekongkol untuk membuat Milea merasa istimewa. Bagi Dilan, cokelat itu hanya sebuah perantara.

Dari Dilan aku banyak belajar, bahwa mencintai adalah urusanku, bukan urusanmu. Dilan tidak pernah bertanya pada Milea apakah dia juga mencintainya sebagaimana caranya mencintai Milea. Tapi dia juga tidak pernah berhenti memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuat Milea merasa istimewa. Bukan karena Dilan adalah orang yang keren atau suka memberi perhatian yang membuatnya begitu dicintai, melainkan sikapnya yang menghargai perasaan pasangannya. Dilan pandai memposisikan diri di depan Milea. Tidak pernah memaksa, selalu membuat nyaman dan tidak pernah bosan untuk berada di sisinya. Bersama Dilan, dunia menjadi sangat betah untuk ditinggali.

Menurutku ini bukan novel. Ini adalah buku panduan untuk membikin hati wanita klepek-klepek. haha
Wahai kalian kaum Adam, bacalah! Trust me, it works. Aku sudah jatuh cinta pada Dilan. Tapi jangan jadi Dilan! Jadilah dirimu sendiri, namun dia adalah Dilanku yang mengajarkan bagaimana menjadi diri sendiri.

Kau tanya apa aku pernah jatuh cinta? Ya pernah, tapi sederhana,
bahwa ketika aku mencintainya, itu adalah urusanku,
bagaimana dia kepadaku, itu adalah urusannya. 
-Pidi Baiq-

Cinta itu indah, jika bagimu tidak, mungkin kamu salah milih pasangan.
-Pidi Baiq- 

Cinta sejati adalah kenyamanan, dukungan, dan kepercayaan.
Jika kamu tidak setuju, aku tidak peduli.
-Milea-

Monday 19 January 2015

Maria

sumber: google


Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB, Maria masih setia melaju motornya meski sudah berjam-jam dihabiskannya untuk mencari sebuah alamat. Tak ada alamat pasti, hanya sebuah nama. Satu demi satu rumah-rumah di desa itu dikunjunginya. Untuk menanyakan alamat rumah dari seseorang yang dia bahkan tak tahu rupanya.

Ingatannya kembali pada 18 tahun yang lalu. Umurnya 4 tahun. Maria gadis cilik yang centil dan manja. Rambutnya ikal nan lebat, kulitnya putih, matanya sipit. Membuat siapapun yang melihat ingin mencubit pipinya yang berlesung. Bibir mungilnya tak pernah berhenti bicara. Cerewet dan cengeng, begitu kata tetangga yang sering dititipi dia.

Ibunya bekerja sebagai sales kosmetik, tidak mungkin membawanya keliling kampung untuk menawarkan produk. Akhirnya dia harus dititip-titipkan pada tetangga-tetangga yang sedang nganggur. Bahkan tak jarang dia dititipkan di pangkalan becak dekat rumah. Seringkali dia diajak ikut ke rumah tukang-tukang becak itu jika waktu mbecak telah usai. Beruntung, Maria kecil tak pernah rewel tiap ditinggal ibunya, dan ia mau diajak siapa saja. Lepas dari semua tingkah kanaknya, dia hanya seorang gadis kecil biasa, yang memiliki hutan rindu pada ayah yang tak kunjung pulang.

Sejak kecil, Maria dan ibunya tinggal bersama kakek dan neneknya. Kakeknya lah yang berperan sebagai ayah selama ayahnya pergi. Maria memanggilnya Mbah kung. Hingga sampai kelas 2 SD nanti, Mbah kung lah yang selalu mengantar Maria sekolah, les, bahkan mengaji. Cuma Mbah kung yang bisa mengajari Maria bandel bahasa jawa yang begitu susah. Sayang sekali Mbah kung tutup usia saat Maria kelas 6 SD.

Maria tidak pernah tahu pasti kemana perginya ayah. Ketika ditanya, ibunya selalu bilang kalau ayahnya pergi bekerja di tempat yang jauh. Maria tidak punya ide lain selain menerima cerita dari ibunya. Dia pun tidak pernah menghitung sudah berapa lama sang ayah pergi. Tentu saja, karena dia belum bisa berhitung kala itu.

Tapi hutan rindu itu semakin lebat, sungainya mengalir deras, dan lautnya berdebur. Sangat kuat seperti kehidupan. Lalu tibalah hari itu, dimana Maria mulai berinisiatif untuk menjemput ayahnya. Tapi dimana dia bisa bertemu? Hanya ada satu tempat yang bisa dipikirkan Maria saat itu. Terminal. Disitulah pemberhentian pertama orang-orang dari berpergian jauh.

Sejak hari itu, setiap sore Maria mengajak Mbah kung pergi ke terminal. Untuk menjemput ayah yang bahkan dia tidak tahu akan menaiki bus yang mana. Untuk menunggu ayah yang bahkan dia tidak tahu apakah akan pulang atau tidak. Tapi dia tidak peduli. Dia terus rutin pergi ke terminal untuk menjemput ayah tersayang.

Jantungnya berdegup setiap melihat ada bus yang datang. Posisinya siaga, siap-siap berlari jika ada orang yang dinantinya turun dari bus. Diamati satu-persatu orang yang turun. Hingga sampai orang terakhir yang turun bukan laki-laki yang dicarinya, dia akan kembali duduk. Kembali menunggu bus selanjutnya. Begitu seterusnya.

“Ndug, ayo pulang.. sudah sore”
“Bentar Mbah kung, satuuuu lagi”
 Begitulah jawabannya setiap kali Mbah kung mengajaknya untuk kembali ke rumah. Dia tidak pernah ingin pulang. Kalau boleh, hingga bus terakhir yang datang hari itu ia rela menunggu. Untuk bertemu dengan ayah tercinta. 

Hingga belasan tahun kemudian, barulah ia tahu bahwa Mbah kung selalu meneteskan air mata tiap mengantarnya ke terminal. Hatinya tersayat melihat cucunya dikecewakan oleh ketidaktahuan.Ah, anak kecil itu.. apa dia akan mengerti pembicaraan orang dewasa? Tentu tidak. Maka biarlah Mbah kungmu ini menurutimu agar kau senang. Agar kau merasa sudah berusaha untuk mencari. Agar kau tidak menangis karena tidak bisa bertemu bapakmu. Apalagi yang bisa dilakukan orang renta yang begitu sayang padamu ini, nak? Kau begitu membuat iba.

Berbeda dengan Maria kecil, Maria dewasa sudah tahu mau kemana. Dia sudah bisa bertindak. Tidak hanya menunggu bus-bus yang belum tentu ditumpangi oleh ayahnya. Tidak perlu mengajak Mbah kungnya untuk menjemput ayahnya.

Kalau Mbah kung masih hidup, barangkali Mbah kung akan tetap diam. Melakukan apapun untuk menyenangkan cucu kesayangan. Tapi gadis ini sudah mengerti pembicaraan orang dewasa. Ibunya sudah mau bercerita. Maka kali ini ia pergi sendirian untuk menjemput sang ayah.

Melalui seorang lelaki renta, akhirnya tibalah ia di alamat yang dicarinya. Sebuah rumah besar dipinggir jalan dengan sebuah toko kecil yang menjorok ke belakang di samping rumahnya. Maria ragu. Ia menunggu di luar pagar. Bukan ragu karena takut salah alamat, lebih karena ragu akan kesiapannya untuk memaafkan. Hingga satu jam lamanya ia hanya berdiri di depan pagar. Hei, kemana Maria yang dulu begitu antusias ingin bertemu dengan bapaknya? Sekarang kau hanya terhalang pintu, bukan bus-bus yang tak jelas membawa siapa. Masuklah, Maria. Masuklah. Temui bapakmu.

Jantungnya berdegup lebih kencang daripada saat ia menunggu di terminal. Inilah saatnya. Tidak lama lagi matanya akan menangkap kejujuran. Kejujuran yang barangkali tak bisa dibenarkan, sekaligus sia-sia jika disalahkan.

Tiba-tiba ada yang muncul dari dalam. Seorang wanita berusia sekitar 45 tahun memakai setelan T-shirt putih dan celana jeans di atas lutut membuka pintu rumah. Rambut lurusnya dikuncir seadanya.
“Bapak saya ada?” tanya Maria.
“Kamu Maria?” dia terperangah. Tidak menyangka akan kedatangan tamu yang barangkali tak pernah diharapkan. Lalu muncul seorang laki-laki dari belakang. Tingginya sekitar 170 cm, kepalanya gundul tapi kumisnya lebat. Ditangannya ada seorang bocah laki-laki berumur 2 tahun bergelayut manja. Rambutnya ikal seperti rambut Maria, bibirnya tipis. Itu bibir Maria. Juga bibir ayah mereka berdua yang sedang menggendong si bocah laki-laki.

Maria berdiri di ambang pintu. Tidak mengucap apapun. Diam mematung dan menerima kejujuran. Andai yang berada di ambang pintu ini adalah Maria kecil, tentu tidak akan sesulit ini. Dia pasti akan riang memanggil-manggil nama bapaknya dengan segala keterbatasan pengetahuan. Bagaimanapun pahitnya pengetahuan itu, Maria kecil tidak akan mengerti. Dia tidak punya kehendak untuk merasa perlu memaafkan.

Tuesday 6 January 2015

Merapal Mimpi

Aku baru saja selesai menggoreng pisang ketika pintu depan rumah membuka. Seorang bocah laki-laki tau-tau menyeruak masuk tanpa mengucap salam. Bocah laki-laki yang lebih tinggi ikut masuk sambil menenteng koper-koper besar dan masuk ke dalam kamar. Ada seorang bocah lagi yang tingginya hampir mencapai bagian atas pintu, hanya senyum-senyum sambil tangannya meraih tanganku untuk disalami. Penampilan bocah yang satu ini sangat berbeda dengan kedua adiknya. Memakai seragam taruna lengkap dengan bet-bet besi di lengan dan bahu, serta topi khas polisi yang menutupi mata, tak ketinggalan sepatu fantofel hitam yang saking mengkilatnya membuatku curiga jangan-jangan aku bisa bercermin pada sepatu itu. Seorang wanita memakai baju krem dengan kerudung panjang mencapai perut masuk membawa tas-tas kresek besar. Dibelakangnya, seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun ikut masuk ke dalam rumah kecil itu. Tamu yang membuat Mbah Uti repot memasak seharian ini telah tiba. Satu-satunya anak lelaki Mbah Uti dari empat bersaudara. Aku memanggilnya Pakdhe Wiwit. Wanita dan tiga bocah lelaki jangkung tadi adalah istri dan hasil karyanya.

Naufal atau Nau, anak Pakdhe yang pertama berhasil lolos di seleksi penerimaan Loka Pengembangan dan Penelitian Penerbangan Banyuwangi (LP3B). Tinggal selangkah lagi, cita-cita masa kecilnya untuk menjadi pilot akan segera terwujud. Sore itu Pakdhe dan Budhe hendak mengantar Naufal kembali ke sekolahnya setelah libur panjang. Tak ketinggalan dua adik kecilnya turut mengantar kakak kebanggaan untuk menempa ilmu di tanah kelahiran Papanya. Sebelum mengantar putranya kembali menempa pendidikan, Pakdhe dan keluarganya berniat menginap dulu di rumah Mbah Uti.

Aura kebanggaan dan haru yang tak habis-habis sangat kentara keluar dari keluarga itu. Sebagai saudara sekakek-nenek, tentu saja rasa itu juga menular padaku. Siapa yang tidak bangga mempunyai sepupu yang berprofesi pilot? Sementara di luar sana banyak pesawat yang hilang atau jatuh. Dan saat aku menulis ini, pesawat AirAsia yang membawa 160 penumpang dari Surabaya menuju Singapura baru saja jatuh ke laut dan tidak ada yang selamat sementara MH730 yang hilang beberapa bulan lalu masih belum ditemukan. Melihat semua tragedi itu, sepupuku tak gentar dengan resiko besar yang harus ditanggung demi cita-cita masa kecilnya. Setiap pekerjaan pasti memiliki resiko, dan perihal nyawa selamanya milik Tuhan adalah harga mati. Oh, sungguh mulia anak itu.

Malam itu kita kedatangan tamu lain dari Jakarta. Teman-teman Nau sesama Taruna di LP3B. Namanya Gilang dan Yudis. Yudis berumur 16 tahun ketika lulus SMA tahun lalu. Dia siswa cerdas berprestasi dan menjadi salah satu siswa akselerasi. Sama seperti Nau yang berambisi menjadi pilot, dia langsung fokus pada satu tujuan tanpa menoleh kiri kanan. Tidak ada alternatif pilihan andai mereka tidak diterima sebagai taruna di LP3B. Walaupun sempat gagal masuk di sekolah penerbangan di Jakarta, optimisme tinggi menuntun mereka menuju apa yang mereka impikan sedari cilik. Barangkali jawaban asal mereka dulu saat ditanya “kalau besar mau jadi apa?” adalah jawaban yang konsisten sehingga berakhir menjadi doa yang tak sengaja dirapal. Doa itu kini terkabul.

Gilang berumur 22 tahun. Dia baru saja lulus kuliah. Dari kecil dia sudah kepingin jadi pilot, tapi tidak direstui oleh Mamanya. Keluar SMA, Gilang dipaksa kuliah ekonomi di salah satu perguruan tinggi negeri. Barangkali karena tidak ingin dikutuk jadi batu, Gilang menurut. Empat tahun dia bertahan untuk menjadi anak yang patuh terhadap orang tua. Masa yang dinanti-nantipun tiba. Gilang lulus tepat waktu. Seketika ijazahnya dia persembahkan kepada mama tercinta sambil meminta restu,”Ma, ini ijazah yang mama pingin. Sekarang ijinin Gilang untuk kejar mimpi Gilang jadi pilot.” Terdamparlah ia kini di sekolah penerbangan yang sama dengan sepupuku.

Malam itu Pakdhe dan Budhe tak henti-hentinya bercerita bagaimana putra terbesarnya ditempa sedemikian keras hingga sikapnya yang dulu manja dan ketergantungan kini sudah terpangkas habis. Mulai dari memanggang badan di atas aspal panas, mengepel dengan mulut, berendam di laut selama 15 jam, hingga minum darah dan makan daging ular tak bosannya mereka ulang pada setiap orang yang bertandang. Aku turut menikmati serpihan cerita yang bisa kupastikan kelak tak akan pernah dilupakan bocah yang tingginya hampir 2 meter itu.

Kabar gembira tak hanya datang dari keluarga kakak Ibuku itu. Aldhy, adik pertamaku baru saja memenangkan lomba desain banner yang diselenggarakan UBI beberapa hari yang lalu. Akhirnya.. hobi menggambarnya mulai tersalurkan. Aldhy suka menggambar dari kecil, saat SMP dia sering diminta membuat desain untuk dekorasi acara-acara di sekolahnya. Lulus SMP dia tidak mau bersekolah di SMA, dia meminta masuk SMK agar dia bisa belajar desain grafis lebih intim. Pilihan tepat. Sebagai kakak yang menyebalkan aku tidak bisa untuk tidak ikut terharu. Adik kecilku sudah menemukan jalan hidupnya. Ah, anak pendiam itu.. diam-diam membanggakan.

Beruntungnya anak-anak itu. Mereka yang berani bermimpi besar, lantas tak larut dalam tidur untuk menikmati mimpinya. Mereka segera bangun untuk merapalnya sebelum realita membuat mereka lupa pada mimpi semalam. Dan kemudian membuat mimpi itu menjadi nyata.

Selamat Menjadi :

Saturday 3 January 2015

Jump Eat

Tempatnya memang nyelempit di antara bukit-bukit Teletubbies. Untuk sampai ke tempat tujuan, kita harus melompat (jump) turun ke bawah untuk kemudian memakan (eat) bekal piknik kita. Itulah nama lokasinya Jump Eat, dibaca Jampit. Tempat kemping ceria kami awal tahun 2015. :D

Jampit adalah nama daerah di kaki Gunung Ijen. Masuk kawasan Bondowoso tapi jalurnya lebih dekat bila ditempuh dari arah Banyuwangi. Jampit terkenal akan kopinya, bahkan kopi-kopi wilayah Jampit ini sudah banyak di ekspor ke mancanegara.

Berangkat sekitar jam 11 siang, saya beserta tim Pecinta Alam Remaja Genteng (PALAREGE) melaju mengendarai motor. Tujuan utama kemping ceria kali ini adalah mengantarkan Mbak Sari dan Mas Deni untuk melakukan foto prawedding bertema outdoor. Biasaa.. pecinta alam gitu looh. Kenapa memilih Jampit? Pertama, Mbak Sari tidak suka pantai. Foto prewed di pantai sudah terlalu mainstream. Kedua, Mbak Sari tidak suka naik gunung (loh? katanya pecinta alam? :D), “Aku kan umel (lemu)munggah Ijen ae mudhun glundungan.”

Kami sudah hampir sampai di paltuding ketika hujan tiba-tiba deras. Karena beberapa dari kita tidak membawa jas hujan, akhirnya kita berhenti untuk berteduh. Di sebuah bangunan kosong yang dari sana kita bisa melihat pesisir pantai di Banyuwangi, ada banyak wisatawan Gunung Ijen yang ikut berteduh. Ramai sekali. Kemungkinan mereka adalah pendaki yang merayakan malam tahun baru di puncak Ijen.

Sebenarnya walaupun tidak saat hari libur, Ijen saat ini selalu ramai pengunjung. Dulu, ketika aku mulai mendaki ijen, sepeda motor yang terparkir bisa dihitung dengan jari. Untuk mendaki pun tidak ada tiket masuk. Warung yang menjual makanan hanya ada satu di dalam paltuding dan sebuah lagi tepat di depan paltuding. Sekarang Ijen sudah tampak seperti pasar yang di pindah. Tidak tahu apakah saya harus senang atau prihatin.

Khawatir akan kemalaman, kami melanjutkan perjalanan walaupun hujan masih mengguyur. Setelah melewati paltuding, kami lanjut menuju kawah wurung. Tempat menginap kita. Karena hujan, jalan tanah dan pasir menuju kawah wurung memadat dan licin. Beberapa kali ada jalan makadam yang penuh bebatuan. Ketika melewatinya kita seperti melompat-lompat di atas motor. Kanan kiri kami dipenuhi oleh gerombolan pohon kopi.

Keluar dari kebun kopi, sampailah kita di pinggir sebuah mangkuk yang di dasarnya berisi padang rumput yang menghampar, dengan bukit-bukit Teletubbiesnya yang timbul tenggelam. Kawah Wurung. Hijau ranum sejauh mata memandang. Merapi, puncak sejati Ijen dan kawah bulan sabit terlihat dari sini. Menjulang tinggi menubruk awan mendung. Dan Raung, belum pernah aku melihatnya sedekat ini. Dapur laharnya berasap. Katanya, kalau kita berada di kakinya, kita bisa merasakan getaran-getaran saat dia sedang batuk.

Kita turun ke bawah untuk mendirikan tenda di dasar kawah wurung. Pemandangan savanna yang ajaib dari atas ternyata lebih lengkap saat kita berada di bawah. Sapi dan kambing dilepas agar bebas merumput semaunya. Beberapa rumah gubuk berdiri di kaki bukit. Tempat peristirahatan si gembala sapi. Persis seperti di Desa Vrindavan dalam film kartun The Little Khrisna kata Bang Ahim.

Kita memilih kaki sebuah bukit yang lumayan datar dan ber-view ­cantik untuk tempat mendirikan tenda. Saat itu sekitar jam 4 sore dan hujan mulai datang lagi. Lekas-lekas kita mendirikan tenda untuk tempat tidur kami nanti malam.

Malam itu, kami hanya memasak mie instan menimbang kompor yang dibawa hanya satu dan mulut kami berdua belas sudah “ciap-ciap” seperti anak ayam minta cacing. Setelah makan yang tidak kenyang, mulailah sesi pemotretan kala senja oleh fotografer Inka dengan modelnya Mbak Sari dan Mas Deni. Sayang sekali cuaca mendung, sunset yang menjadi latar belakang bukit tempat menginap kami berwarna abu.

Malam hari di Kawah Wurung tidak sedingin di Paltuding. Mungkin karena biasanya aku tidak pernah membawa sleepingbag saat kemping di Ijen, sedang kali ini aku bawa sendiri. Entahlah. Malam itu para lelaki masih berada di luar tenda, membuat api unggun dan bersuara-suara berisik yang membikin aku ngikik. Aku tidur di sebelah Mbak sari. Aku bercerita tentang pengalaman kempingku di Arjuna dan Semeru. Kemudian aku mendengar ada suara orang bernyanyi membawa gitar di luar tenda. Hah? Ada pengamen? Semakin lama semakin keras. Suara laki-laki. Tiba-tiba tendaku berubah menjadi sebuah ruang kelas. Gilang, Ami’, dan Riska masuk ke dalam kelasku. Riska sekarang berambut pendek. Dia berdiri di ambang pintu dan melambai ke arahku. Aku mendekat. Oh, astaga.. Riska hanya memakai hot pan berwarna hitam. Perutnya yang sedang hamil dibiarkan telanjang dan dingin. Dia mengeluarkan suara-suara yang aku tidak tahu apa maksudnya.

Paginya, Inka bercerita kalau semalam ada seorang (yang dituduh penggembala sapi oleh Inka) yang melewati tenda sambil bernyanyi-nyanyi. Lalu Mas Deni melihat ada babi liar yang berkeliaran di sekitar tenda.

Mbak Sari dan aku mulai menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak. Aku menawarkan diri untuk memasak nasi. Karena api kompor yang terlalu besar, jadilah nasi yang kumasak gosong sebelum sempat ku aduk. Akhirnya aku membuang bagian yang gosong dan memasak kembali bagian yang masih putih. Setelah kucoba menambahkan air kembali, nasi yang kumasak kembali gosong untuk yang kedua kalinya. Nasi berubah warna menjadi kuning, berbau sangit, dan jemek. Bang Ahim menyuruhku membuangnya dan ganti beras baru saja. Kali ini dia yang menawarkan diri untuk memasak, “Buru iki kemping, masak segone gosong. Sopo meneh lek gak karo Maya?” hahaha..

Seharusnya pagi ini kita melihat sunrise, tapi lagi-lagi langit yang menjadi latar belakang bukit tempat menginap kami berwarna abu. Hujan gerimis mulai jam 4 subuh masih belum reda hingga jam 6 pagi. Terpaksalah Mbak Sari dan Mas Deni harus mencari background lain untuk foto di undangan mereka. Dan pilihannya jatuh kepada…
eng,ing,eng….
tenda biru yang berhasil kupinjam dari Fian.
Yup, mereka akan melakukan sesi pemotretan di dalam tenda pinjaman lengkap dengan tascarrier, jaket, dan sepatu yang menjadi kostum pendukung. Benar-benar terlihat seperti promosi peralatan outdoor. Haha

Aku sendiri pergi ke puncak bukit, menikmati detik-detik kabut pagi yang berubah menjadi embun. Begitu rela. Sang kabut dilenyapkan oleh sinar matahari. Membuat karpet hijau yang luas dan kepulan asap Raung kembali terlihat.
Tiba-tiba aku rindu naik gunung bersama Alit.

Kawah Wurung dari atas bukit saat dini hari

Nadiya

Ini adalah pertama kalinya aku mencari rumah Nadiya, setelah empat tahun lebih aku kenalan dengannya. Tepatnya di daerah Mangli, Jember. Rumah Nadiya memiliki halaman yang luas, dengan sebuah pohon mangga di samping rumahnya. Pagar dinding putih setinggi dada mengelilinginya. Bendera putih berlambang tanda plus (+) warna hijau berkibar-kibar di atas pringyang menancap vertikal di depan pagar.

Nad, walaupun sebelumnya aku belum pernah mengunjungi rumahmu, aku tidak pernah berharap akan pergi ke rumahmu tanpa bertemu denganmu.

Ibu Nadiya mempersilakan kami masuk ke dalam rumah yang pernah ditinggali Nadiya. Ruang tamu yang biasa berisi meja kursi untuk menerima tamu kini berganti dengan karpet hijau lengkap dengan kue-kue di pusatnya.

Nad, Ibumu mirip sekali denganmu, mungkin kamu akan serupa beliau saat kamu dewasa ya Nad?

Kami bernostalgia saat-saat terakhir Nadiya sebelum pergi. Nadiya sakit sejak seminggu sebelum kepergiannya. Ah, teman macam apa aku ini? Bahkan saat Nadiya masuk rumah sakit aku tidak tahu. Aku sangat menyayangkan tidak sempat menjenguknya saat dia dirawat di rumah sakit. Diagnosa awal Nadiya mengidap sakit lambung, selama lima hari berada di rumah sakit A, Nadiya tak kunjung sembuh. Selanjutnya Nadiya dipindah ke rumah sakit B. Di sanalah baru diketahui bahwa bukan lambung saja yang bermasalah, namun usus Nadiya melintir sehingga menyebabkan lambungnya membengkak. Hanya dua hari Nadiya dirawat di sana. Nadiya wafat saat perjalanan kembali ke rumahnya.

Andai rumah sakit A tidak terlewat mendiagnosa penyakit usus melilitmu, Nad.. Mungkinkah kamu masih bisa membukakan pintu rumahmu saat aku menjengukmu?

Aku masih ingat betul wajah Nadiya yang pucat pasi saat seminar proposalnya. Bu Agustina keras sekali menguji Nadiya kala itu. Tapi bukan Nadiya namanya kalau hanya karena itu dia jadi patah semangat. Dia menjawab semua pertanyaan yang memucat itu dengan cengiran lebar. Kontras sekali dengan raut bu Agustina yang tertarik tegang. Membuat semua audience terkakak kikik. Nadiya adalah teman terkuat sekaligus tercerewet yang aku kenal.

Nad, aku kadang iri, kamu selalu bisa menyegarkan suasana dimanapun kamu berada. Kamu teman yang baik, Nad.

Kabar mengenai tutup umur Nadiya di pagi buta tentu saja mengagetkanku. Aku seperti tidak percaya. Sekali lagi Tuhan memperingatkan kepada manusianya, bahwa mati muda bukan hal yang mustahil, bahwa kita bisa dipanggil kapanpun Tuhan mau. Siap atau tidak. Kita hidup di dunia ini seperti menunggu giliran. Bagaimana kelanjutan hidup kita setelah dipanggil tergantung bagaimana kita memaknai arti hidup selama menunggu itu.

Rasanya aneh, Nad. Kita seumuran, tapi kamu merasakannya lebih dulu. Nad, seperti apa rasanya.. mati?

Nadiya (28-05-1992 - 29-12-2014)