Subscribe:

Friday 30 December 2016

Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 2


Lawin, 29 Oktober 2016

Aku baru mau masuk rumah ketika ada suara bapak-bapak yang memanggilku. Ternyata itu suara Pak (sebut saja) Binjai. "Sini mampir sebentar," katanya.

Pak Binjai adalah tetangga Rina. Jadi ceritanya semalam pas aku lagi nonton tivi bareng Rina dan suaminya, ada dua orang tetangga yang datang. Namanya Pak Rahman dan Pak Binjai. Kami ngobrol banyak banget soal kehidupan masyarakat adat di situ.

Pak Rahman ini bisa dibilang tokoh aktivis. Dia sering banget ikut demo buat ngrebut tanah adat masyarakat Cek Bocek. Lahan ulayat mereka ada di Hutan Dhodho. Sudah lama lahan itu dikasih pemerintah ke perusahaan tambang emas Newmont untuk dikelola. Makanya masyarakat adat menolak dan kerap bentrok dengan aparat.

Nah, kalau Pak Binjai, dia ini tipe orang yang enggak mau ribut. Dia enggak mau ikut-ikutan demo buat ngambil hak ulayatnya. Katanya dia sudah kaya. Anaknya punya tambang emas sendiri. Selain Newmont, rakyat ternyata bisa menambang emas sendiri. Mereka menyebutnya tambang rakyat. Tempatnya di Rinti. Tapi alat pertambangan mereka masih sederhana banget. Dan ngebornya juga enggak bisa terlalu dalam. Enggak kaya punya investor yang sekali ngeruk langsung bikin tanah bolong gede.

"Saya pingin punya mantu yang tinggal di Jakarta. Biar saya bisa sering ke Jakarta," kata Pak Binjai tetiba.
"Anak saya hidupnya sudah enak. Kalau kamu mau, besok saya kenalin. Mampir ya ke rumah," kata Pak Binjai lagi. Ternyata dia ngomong sama aku.

Aku enggak berani nolak, tapi juga enggak berani bilang iya. "Ya, namanya jodoh kan siapa yang tahu," katanya maksa banget. Aku akhirnya cuma ketawa aja.

Pembicaraan berlanjut dengan Pak Binjai yang menginterogasi latar belakangku. Mulai dari soal kuliah, kerjaan, sampai keluarga dia tanyain. Udah kaya ditanya-tanya sama calon mertua gitu. Yang lain cuma ngikik-ngikik ngeliat aku salah tingkah ditanya macem-macem sama Pak Binjai.

Setelah beberapa lama akhirnya aku diselamatkan oleh Pak Rahman yang kepo sama Beauw, si cowok bule yang menyedot perhatian orang sekampung. Kata dia, selama ini baru Beauw satu-satunya bule yang pernah datang ke sana. Sontak lah, orang-orang udah pada kaya lihat alien. Kemanapun bule pergi, selalu ada mata yang enggak kedip. Dia pun jadi rebutan warga yang minta poto bareng.

"Dia dari mana?" tanya Rina.
"Dari Australia, dia relawan di AMAN."
"Oh, dari Australia.. Saya kira dari bule," kata Pak Rahman.
Hahaha
"Iya, dia bule dari Australia."
"Oooh.." Pak Rahman mukanya lempeng.
"Maklum ya, orang desa," kata Rina kepadaku sambil ngakak.

Malam sudah makin larut. Karena besoknya masih banyak agenda, aku pamit untuk tidur duluan. Sebelum masuk kamar, Pak Binjai kode-kodein aku biar besok datang ke rumahnya. "Anak saya besok ada di rumah seharian," katanya.

Jadi saat dia manggil aku pagi itu, aku yakin banget anak Pak Binjai sudah nungguin di rumahnya. Wah, jangan-jangan dia serius. "Sebentar ya, Pak. Mandi dulu!" kataku sambil nyelonong masuk rumah. Selesai mandi, aku lari ke balai tempat konferensi nasional berlangsung.



Konferensi nasional yang sebelumnya dimulai di Sumbawa dilanjutkan hari ini. Bertempat di balai pertemuan, semua advokat AMAN dan kepala-kepala suku adat berkumpul pagi itu. Mereka membahas masalah sengketa lahan di wilayah adat masing-masing.

Aku, Lusi, Mbak Titi, dan Fathul, enggak ikut acara sampai kelar. Kami punya acara sendiri dengan menculik salah satu anggota advokasi AMAN, Febri Anindita untuk diwawancara. Kami lalu keliling untuk wawancara masyarakat dan menunggu sampai waktu istirahat untuk bisa wawancara kepala suku.

Sorenya, kami berempat jalan-jalan keliling desa. Karena aku harus salat ashar dulu, akhirnya aku terpisah dari rombongan. Aku pun menjelajah desa seorang diri dan berakhir dengan nyasar.

Awalnya aku mau nyari Lusi cs. Tapi kemudian aku memutuskan untuk mencari satu-satunya sekolah dasar yang ada di Lawin. Aku tanya ke sana ke mari di mana letak SD. Kupikir aku sudah menuju ke arah yang tepat sampai aku menyadari bahwa aku tersesat. Aku jalan keluar permukiman dan terbelasuk ke sungai pinggiran hutan.

Agak ngeri sih. Soalnya waktu sudah hampir senja. Langitnya gelap. Enggak mau terjadi hal-hal yang ajaib, aku memutuskan balik kanan.

Di jalan pulang yang makin nyasar, aku ketemu dengan seorang bapak bernama Sopan. Dia baik hati banget karena mau ngantar aku ke lokasi SD Negeri Lawin. Mungkin dia kasihan.

Sampai di SD, sepi banget. Iya lah, sudah sore. SD Negeri Lawin bukan cuma satu-satunya sekolah dasar yang ada di Cek Bocek, melainkan juga satu-satunya sekolah. Jadi kalau mereka mau lanjut ke SMP, mereka harus jalan jauh ke Ropang. Mau lanjut SMA juga harus jalan lebih jauh lagi.

SD Negeri Lawin

Puas lihat-lihat kondisi sekolah, kami pulang. Sepanjang jalan Pak Sopan banyak cerita soal kerjaannya. Dia ternyata juga salah satu penambang emas di tambang rakyat Rinti. Di kelompoknya ada 10 orang penambang dalam satu lubang. Dalam seminggu penghasilannya bisa sampai Rp 30 juta. Woooow. Daaeeebak. Padahal mereka cuma make alat bor seadanya loh. Lubang yang ditinggalin juga enggak dalem-dalem banget. Gimana dengan investor yang alatnya udah canggih? Pasti dahsyat pendapatannya.

"Pak, di sini ada kuda enggak?" tanyaku tetiba.
"Saya punya kuda,"
"Ada di mana?"
"Di sawah,"
"Lihaaaaaat,"
"Ayok saya antar,"
Yeeaay!

Sawah yang dimaksud Pak Sopan enggak jauh dari SD. Di sana ada banyak banget kuda yang dibiarkan berkeliaran tanpa tali. Kuda-kuda itu semua peliharaan warga. "Enggak takut lari, Pak?"
"Enggak, kalau mereka nyasar ke hutan, pasti ada yang ngantar pulang," katanya mantap.

Pak Sopan mendekati kuda betina warna putih yang dia kasih nama Manis. Kelihatannya jinak. Lalu dia menyuruhku untuk ngelus-ngelus surainya. Lembut.
"Boleh naik enggak?" semakin ngelunjak.

Laki-laki berusia 40 tahun yang ngaku-ngaku masih 29 tahun itu lalu memegangi leher si Manis biar aku bisa naik. Karena enggak ada pelana dan tali, aku enggak berani jalan jauh-jauh. Takut jatuh.

Naik kudaaaa
Hari makin gelap. Aku ngajak Pak Sopan untuk pulang. Tapi di tengah jalan, aku belok mampir ke rumah Pak Kepala Dusun Jampek M. Yasin. Setelahnya, aku ketemu dengan Febri Anindita dan orang-orang AMAN. Ternyata konferensi sedang istirahat. Mereka ngajak aku makan malam di samping balai adat.

Sekitar pukul 19.00 WITA, aku pulang ke rumah Rina. Aku lihat orang-orang pada ngumpul di teras. "Ini dia.... Akhirnya pulang."
"Kamu ke mana aja, Maya? Kami mengkhawatirkanmu,"
"Kami cari kamu ke mana-mana enggak ada. Nyasar pasti anak ini,"
"Aku habis naik kuda. Hehehe."
Muka mereka langsung sebel. Haha.

Rina sudah menyiapkan makan malam untuk kami. Lusi, Mbak Titi, dan Bang Fathul juga belum makan gara-gara nunggu aku. Aku enggak berani bilang sudah makan bareng Febri. Jadi aku ikut mereka makan lagi.

Sebenarnya aku masih punya waktu semalam lagi di Lawin. Tapi karena pesawat ke Lombok terbangnya siang, Mbak Titi enggak mau ambil resiko kita ketinggalan pesawat (trauma drama Lusi). Maklum ya jalan dari Lawin ke Sumbawa lama banget. Takutnya subuh kita nggak ada yang bangun.

Akhirnya dengan sedih kami pamitan malam itu juga. Kami berempat balik ke Sumbawa diantar pakai Hardtop punya penduduk. Kembali melewati jalan terjal dan berulang kali merasakan sensasi mobil mundur. Bedanya adalah perjalanan pulang kami dilakukan saat malam. Saat gelap dan kabut semakin pekat.




Baca juga
Sumbawa Punya Cerita Day 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 2
Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 1



Thursday 29 December 2016

Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 1

Lawin, 29 Oktober 2016

Kabut masih tebal ketika aku keluar rumah pagi itu. Rina terlihat membawa handuk dan menenteng ember. Rina itu pemilik rumah yang aku tinggali selama di Lawin. Umurnya 30 tahun. Semalam dia janji mau ngajak aku mandi di sungai.

Aku lihat jam masih pukul 05.00. Mbak Titi dan Lusi masih pulas. Pagi itu dingin banget. Emang paling enak buat ngelungker di kasur. Tapi kabutnya asik. Sayang kalau dilewatin dengan tidur.

Aku gemigil di pekarangan. Padahal sudah pakai jaket gunung. "Enggak jadi mandi, ya. Hehehe," ujarku pada Rina.

Meski urung mandi, aku tetap ikut Rina ke sungai. Aku pingin lihat seberapa arif kehidupan masyarakat adat Cek Bocek Selesek Rensuri. Buatku, kebersihan sungai adalah indikator kearifan sebuah peradaban.

Sungai yang kami tuju enggak jauh dari rumah Rina. Sebelum turun ke sungai, kami melewati kuburan tua yang ditumbuhi rumput tinggi. Di seberangnya, ada tumpukan sampah. Tak sampai menggunung sih, tapi mengganggu pemandangan. Anjing-anjing berkeliaran.

Sungai itu punya dua air mancur yang dimanfaatin masyarakat untuk mengambil air. Setiap pagi, para perempuan berdatangan ke sumber air dengan membawa ember masing-masing. Air itulah yang mereka pakai buat masak, minum, dan kebutuhan sehari-hari. "Kalau pakai air kran, kotor," kata Rina.

Air pancurannya seger banget dan bisa langsung diminum tanpa dimasak. Selain buat kebutuhan sehari-hari, kita boleh mandi di sana. Aku sebenernya pingin njebur ke kali. Tapi aku lagi nggak bawa selendang. Kan percuma aku mandi di kali kalau nggak ada yang nyuri selendangku. Hahaha.

Setelah akhirnya cuma kecipak-kecipuk di kali, aku balik lagi ke rumah sama Rina. Rina bawa seember penuh air yang bakalan dibuat masak seharian ini. Cara bawanya nggak ditenteng loh, tapi disunggi di atas kepala. Seember penuh air di atas kepala! Bayangin deh, bayangin!

Karena penasaran, aku coba pinjem satu ember punya orang. Sama kaya Rina, aku taruh handuk di atas kepala dulu baru di atasnya ditimpa ember. Baru selangkah jalan, ember udah bubar barisan. Padahal isi embernya kosong.

Usut punya usut, ternyata di Cek Bocek bocah usia 7 tahun sudah diajarin buat ambil air dan naruh ember di kepala. Jadi mereka udah bisa nyunggi ember sejak masih ingusan. Ya panteslah kalau aku belum bisa. Kan baru sekali diajarin.

Sampai rumah Rina, Mbak Titi dan Lusi sudah bangun. Kami pun jalan-jalan menyusuri Desa Lawin yang damai.

Antre ambil air
Rina nyunggi ember penuh air
Anjing di kuburan tua


Ada 300 kepala keluarga yang tinggal di Lawin. Meski sudah ada masyarakat yang tinggal di rumah yang terbuat dari batu bata, kebanyakan masyarakat masih tinggal di rumah panggung dari kayu. Ada beberapa dari mereka yang tak fasih berbahasa Indonesia. Fasih pun, logat daerahnya kental sekali.

Di sepanjang penjuru Desa, aku pasti ketemu anjing. Masyarakat sini memelihara anjing untuk diajak berburu rusa ke hutan.


"Mak.. Mak..."
Kami bertiga mencari asal suara. Ternyata Dian yang memanggil-manggil Mbak Titi dari atas rumah panggung. Dian tinggal bareng Beauw ternyata. Btw kalau ada yang nyangka bahwa Dian itu cewek. Maaf sekali anda salah sedikit. Iya, sedikit. Dia adalah laki! Jadi jangan salah paham saat aku bilang dia tinggal bareng sama Beauw yang obviously seorang cowok bule.

Si Dian lagi makan jagung dan ngopi di teras rumah panggung. Aku, Mbak Titi, dan Lusi, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut nimbrung.

Saya lupa siapa nama pemilik rumah itu. Saya inget dia punya anak cewek cakep banget. Dan mereka baik hati karena pas kami bertiga dateng mereka nambahin lagi jagung putih yang rasanya asin tapi enak di piring.


Nongkrong di rumah panggung. In frame: Dian, Lusi, Mbak Titi, Beauw

Jagung putih asin tapi enak
Setelah puas ngopi-ngopi, kami bertiga pamit balik ke rumah karena sebentar lagi konferensi akan mulai lagi. Pas di jalan pulang, kami ketemu dengan tukang sayur keliling yang jualan bawa mobil. Di mobil sayur itu ada bermacam sayur, buah, kerupuk, dan ikan-ikanan.

Desa Lawin yang jauh dari kota dan pesisir itu ternyata mengandalkan pedagang sayur keliling buat belanja sehari-hari. Untuk sayuran sebenarnya mereka bisa ngambil dari ladang sendiri. Tapi variasinya nggak banyak. Mayoritas sawah mereka ditanami padi aja.

Pedagang keliling itu ada di Desa selama dua sampai tiga hari. Tergantung kapan habisnya bahan. Kalau nggak habis-habis, ya bakal lama barangnya nggak diganti baru. Konsekuensinya, masyarakat dapat bahan makanan yang sudah kisut dan nggak segar lagi.

Pedagang sayur keliling

Ikan asap

Ikan yang bisa bertahan sampai tiga hari
Aneka ikan lain

Baca juga
Sumbawa Punya Cerita Day 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 2
Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 1
Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 2



Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 2

Sudah ku bilang berkali-kali. Enaknya jadi jurnalis adalah bisa jalan-jalan gratis. Bahkan ke tempat-tempat yang enggak pernah terbayang sebelumnya.

Sumbawa, 28 Oktober 2016

Hari itu, masih di jalanan terjal menuju Lawin. Bus dari Lebangkar berhenti di satu-satunya warung kopi sepanjang jalan. Kaget juga ada warung kopi di tempat yang nyaris kaya di dalam hutan.

Warungnya terbuat dari kayu. Ada papan menu yang sekilas tulisannya kupikir aksara jawa. Ternyata tulisan biasa yang diukir. Judul warungnya adalah Palondang City. Menunya nasi piring, nasi bungkus, kopi, susu, dan teh. Kami istirahat sambil ngopi-ngopi di sana.

Di belakang warung, ada sawah yang luaaaas banget. Dan, banyak kudanya! Seumur hidup baru kali ini aku lihat kuda di alam terbuka. Sumpah enggak bohong.

Hampir 15 menit kami istirahat di warung Palondang City. Karena takut kemalaman, akhirnya kami jalan lagi menerobos jalan terjal dengan segala aral rintangannya.

Warung kopi Palondang City

Ada nasi piring, ada nasi bungkus. Mau yang mana A'? in frame: Abang Fathul
Nggak berani naik, jadi selfie aja

Sampai senja, kami belum juga sampai tujuan. Jalanan masih sama terjalnya. Kami masih suka diminta turun bus agar bus bisa naik. Bahkan pas hari sudah malam, kami menemukan kubangan yang akhirnya membuat karung gerabah diturunkan. Jalannya bener-bener parah.

Senja di Sumbawa

Menebar gerabah di jalan belukar

Ini wajah jalan belukar yang udah ditebar gerabah
Pukul 19.00 WITA akhirnya kami sampai juga di Desa Lawin. Layaknya masyarakat adat, mereka sudah siap di pintu masuk desa untuk menyambut kami. Bendera-bendera, banner, dan tabit desa atau dukun berada di barisan depan balai adat. Kata si datuk, masyarakat sudah nunggu di sana sejak siang. Uuuu... terharuuu.

Sebenarnya kalau kami tiba di sana pas siang atau sore, ritual adat bakal digelar lengkap. Sebelum masuk, tamu akan dihadapkan dengan sejenis tampah berisi beras kuning dengan api di bawahnya. Nanti tampah itu akan diputar-putar di atas api untuk menentukan siapa tamu yang berhak masuk duluan. Tapi karena hari sudah malam dan tamunya bejibun, akhirnya kami cuma kebagian tradisi selonang syal, yaitu menyelempangkan kain syal masyarakat adat untuk menyambut tamu.

Setelah masing-masing orang dikalungin selendang selamat datang, kami pun masuk ke balai adat untuk mendengarkan sambutan dari Datuk Sukanda, kepala adat masyarakat Cek Bocek. Sebelum mulai acara, mereka lebih dulu main sekeco, alat musik tradisional yang bentuknya mirip gendang.


Berasa kaya orang penting pake disambut

Dikasi selendang selamat datang

Main sekeco sebelum acara dimulai
Seusai ritual penyambutan, kami dipersilakan makan malam. Aku lupa apa menunya saat itu. Yang jelas masakan mereka enak-enak semua. Bumbu rempahnya itu lho.. hmm... dahsyat pokoknya.

Udah kenyang, kami dikasi rumah. Maksudnya, kami dibagi-bagi ke rumah penduduk. Masing-masing rumah penduduk kebagian 2-4 tamu. Tergantung luas rumah dan banyaknya kamar. Aku kebagian serumah bareng Lusi dan Mbak Titi.

Begitu sudah masuk rumah, Lusi dan Mbak Titi langsung tewas. Sementara aku masih melek dan milih nonton tivi bareng pemilik rumah.

Yup, di Desa Lawin ini sudah masuk listrik sejak 10 tahun yang lalu. Tapi ya gitu, nggak 24 jam. Untuk sinyal seluler, jangan nanya. Sejak di jalan udah nggak ada. Kebayang enggak gimana hidupmu tanpa internet selama beberapa jam aja? Jangan dibayangin. Dicoba aja. Rasanya menyenangkan.


Baca juga
Sumbawa Punya Cerita Day 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 2
Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 1
Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 2



Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 1

Sumbawa, 28 Oktober 2016

Hari kedua di Sumbawa, saatnya lebih serius. Konferensi nasional AMAN yang dihadiri oleh puluhan advokat mulai pukul 10.00 WIB di aula hotel sebut saja Melati.

Konferensi itu membahas soal sengketa lahan antara masyarakat adat Sumbawa dengan pemerintah yang sudah menahun. Kalau bahas soal sengketa lahan, tentu nggak akan jauh-jauh dari diskriminasi, kriminalisasi, dan perampasan hak yang melibatkan perusahaan swasta. Apalagi Sumbawa punya tanah yang mengandung emas. Sudah kaya, jauh dari pantauan pusat. You know lah what happen.

Di tengah konferensi, si Lusi dateng. Hahaha. Akhirnya... Selain aku dan Lusi. Ada dua media lokal lain yang ikut meliput. Mereka adalah Munira dari Gaung NTB dan Fathul dari Lombok Post. Kita kenalan dan langsung akrab sebagai sesama wartawan. Lalu kami berfoto dan berjanji untuk keep contact sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Manis kan?


Dari kiri Aku, adeknya Munira, Munira, Lusi, Mbak Titi

Konferensi di Sumbawa Besar berlangsung sampai pukul 12.00 WITA. Agenda pembahasan advokasi bakal dilanjutkan di Desa Lawin, tempat tinggal masyarakat adat Cek Bocek Selesek Rensuri. Alasan ke sana adalah biar sekalian ngobrol dengan masyarakat yang mau diadvokasi dan tinjau lapang. Lokasinya ada di kaki bukit Dhodho, Kecamatan Ropang. Perjalanan dari Sumbawa Besar ke lokasi sekitar 4-5 jam.

Sebelum berangkat, aku, Mbak Titi, Lusi, Dian, dan Beauw makan sate di warung depan hotel. Satenya sih biasa aja. Tapi gulai kambingnya.. dahsyat! Rempahnya kerasa banget. Bikin nagih.

Jam 2 teng kita berangkat ke Lawin. Karena lokasi yang katanya ada di daerah pegunungan, aku sudah ngebayangin kita bakal dianter ke sana naik Hardtop. Ternyata enggak. Kita ke sana naik bus mini yang kalau di Jakarta seukuran Metromini. Dalamnya pun nggak jauh beda sama Metromini. Cuma tempat duduknya lebih empuk.

Ada tiga bus yang terparkir di halaman. Semua berwarna biru dengan corak merah, kuning, oranye, dan hijau. Di sisinya ada tulisan Bintang Selatan dan Putra Lebangkar. Kelak saat sampai di Desa, aku tahu kalau tiga bus ini adalah satu-satunya transportasi umum yang digunakan penduduk yang ingin pergi ke kota. Pemiliknya adalah seorang pedagang dari Desa Lebangkar.

Di bagian sisi pinggir atas bus di pasang besi sebagai ganti bagasi. Berkarung-karung gerabah ada di atas bus.
"Buat apa karung gerabah itu, Pak?" tanyaku pada sopir bus.
"Itu untuk ditebar di jalan. Biasanya kalau becek, bus nggak bisa naik ke atas karena licin," kata Pak sopir. Aku manggut-manggut.

Karung gerabah di atas bus

Penampakan di dalam bus

Narsisnya enggak boleh ketinggalan

Selama satu jam pertama, perjalanan berlangsung gembira. Meski empet-empetan, kami bahagia karena Sumbawa menyuguhkan landscape yang enak dipandang. Hijau dan biru sejauh mata memandang. Kotanya pun nggak macet. Suka lah pokoknya.

Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. Jalan terjal mulai menghadang begitu bus keluar dari kota. Jalan tak lagi aspal. Nggak cuma sekadar jalan berbatu, tapi jalannya juga naik. Beberapa kali bus seperti orang yang sedang mengejan. Bus kami pun sempat berjalan mundur semeter dua meter. Terhitung dua kali kami harus turun dulu untuk membiarkan bus naik ke tanah yang lebih datar.

Kondisi jalan yang luar biasa nggak rata itu pun bikin bus kami beberapa kali miring ke kanan atau ke kiri. Kalau sudah gitu, kami cuma bisa teriak-teriak sambil cari pegangan masing-masing.
"Kalau benar sumber daya alam itu untuk kepentingan rakyat, mestinya jalan ini sudah jadi permadani," celetuk salah satu penumpang. Penumpang lain yang denger cuma bisa ketawa hambar.

Kegaduhan di dalam bus berlangsung seterusnya. Suasana makin seru ketika memasuki sore hari. Kabut mulai turun. Hawa dingin menyusup. Landscape hijau dan biru berubah putih. Ngerih!

Jalan terjal tepi jurang


Kabut di mana-mana

Ada truk mogok bikin macet

Bang, jangan korbanin perasaan Eneng, Bang..


Sumbawa Punya Cerita Day 1

Tadinya aku mau menceritakan soal perjalanan ke Sumbawa pada akhir Oktober lalu setelah news storyku dimuat. Biar aku nggak perlu terlalu ribet menjelaskan complicated problem yang terjadi di sana dan bisa sekalian promosi tulisan. Tapi apalah daya. Ditinggal redaktur ke Thailand dan ini sudah mau berganti tahun. Sedang aku pinginnya perjalanan ini masuk menjadi catatan perjalanan di 2016.

Jadi, aku memutuskan untuk menuliskan sisi lain perjalanan aku di Sumbawa. Cerita-cerita nggak penting dibalik liputan sih sebenernya. Tapi lumayan seru kok. Seenggaknya buat pengingat aja kalau aku pernah ke Sumbawa. Hhe.

So, this is it..

***

Jakarta, 27 Oktober 2016

Hari ini aku ditugaskan untuk terbang ke Sumbawa buat ikut konferensi nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pesawat Garuda yang aku lupa nomor penerbangannya itu boarding pukul 05.30 WIB dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Malemnya udah was-was banget karena boardingnya harus jam lima banget. Sementara jarak kosan ke bandara adalah sejam tanpa macet. Tapi untungnya aku bisa sampai bandara 5 menit sebelum last check in.

Sampai bandara aku ketemu sama yang namanya Mbak Titi. Dia itu adalah staf media komunikasi di AMAN. Kami berdua ngopi di Starbucks sambil nunggu satu wartawan dari Mongabay, namanya Lusi.

Semua berjalan normal sampai kopi pesanan kami jadi. Eh, bukan kami. Aku pesan green tea latte. Mbak Titi yang pesan kopi. Sambil nyruput green tea, aku nyemil croissant isi tuna. Kami pun ngobrol ngalur ngidul sampai entah berapa menit berlalu.

Lalu, drama itu dimulai. Lusi tiba di bandara dan telepon Mbak Titi. Katanya dia nggak bisa check in. Aku cek jam ternyata emang udah setengah 6. Sambil nempelin handphone di kuping, Mbak Titi lari ninggalin aku yang masih makan croissant. Mukanya panik. Aku lihat dia keliling loket. Ternyata dia nggak tahu sama yang namanya Lusi. Shit! Aku cuma bisa duduk lempeng sambil nyruput green tea latte yang nggak dingin-dingin (croissantnya udah abis).

Nggak lama aku denger namaku dan Mbak Titi di pengumuman last call. Aku pun sigap menyelamatkan green tea latte yang masih penuh dan segera keluar Starbucks. Dari arah anggap saja timur, Mbak Titi lari tergopoh-gopoh. Mukanya pucet. "Si Lusi nggak ketemuuu!" katanya sambil lari ke arah anggap saja barat. Aku ikut lari di belakangnya.

Aku lihat Mbak Titi sibuk telepon-telepon orang buat ngabarin kalau ada satu wartawan yang nggak boleh check in.
"Gimana ini?"
"Apa aku tinggal di sini aja bareng dia?"
"Tapi kan sayang tiketnya hangus dua."
"Apa dia ikut penerbangan siang terus nginep dulu di Lombok?"
"Duh, nggak ngerti.."
Mbak Titi panik banget pokoknya.

Aku juga panik. Karena green tea latte aku yang masih penuh jadi tumpah-tumpah gara-gara kubawa lari. Antara sayang dan merasa direpotkan, akhirnya dengan sedih gelas green tea latte ukuran medium yang masih penuh itu aku tinggalin di atas tempat sampah terminal 3 Bandara Soetta.

Pesawat pun terbang tanpa Lusi dan green tea latte aku. Oh, wartawan malang. Oh, green tea latte..

Rute Jakarta Lombok ditempuh dalam waktu kurang lebih dua jam. Kami turun di Lombok cuma untuk transit. Sampai bandara, Mbak Titi ngasih kabar kalau penerbangan Lusi ditunda besok. Soalnya jadwal terbang ke Sumbawa hari itu udah nggak ada lagi.

Enggak sampai 15 menit, pesawat ke Sumbawa berangkat. Kami naik baling-baling. Karena pesawatnya kecil, turbulencenya kerasa banget. Sensasinya mirip naik Halilintar pas udah sampai atas di Dunia Fantasi. Lebay sih itu.

Awan-awan yang bikin turbulence

Pulau-pulau kecil yang nggak tahu namanya
Selfie is a must

Akhirnya sampai Bandara Sultan M Kaharuddin Sumbawa Besar pas jam 11. Kesan pertama begitu turun pesawat adalah... Sumbawa panas! Mataharinya cetar. Tapi langitnya biruuuu banget. Subhanallove.

Sampai Sumbawaaaa

Pas nunggu jemputan di bandara, aku baru ngeh kalau AMAN bawa rombongan banyak banget (pas di pesawat tadi kita duduknya mencar). Ada 20 orang kayaknya. Dan diantara rombongan itu, ada satu bule yang nyelip. Rambutnya pirang, pake tindik, short pants, bertato, jaket pink, koper ijo. Namanya Beauw (dibaca Bow). Dia adalah seorang relawan dari Australia yang udah ikut AMAN setahun ke belakang. Sdap!

Mobil jemputan kami mengantar sampai hotel sebut saja bernama Melati. Aku yang seharusnya sekamar sama Lusi jadi sekamar sama Mbak Titi karena Lusi saat itu mungkin sudah balik ke kamar kosnya di Jakarta.

Sebelum masuk kamar, aku sudah membayangkan buat mandi shower yang dingin, ngadem di kamar hotel yang ber-AC, dan nonton TV di layar LCD yang gede. Kata Mbak Titi, hari ini acaranya free, konferensi mulainya besok siang. Jadi setelah istirahat sebentar, sorenya kita bisa jalan-jalan ke pantai sambil nyari sunset di pantai-pantai Sumbawa. Mantap jiwa....

Tapi kesenangan itu lenyap secepat kedipan mata ngantuk. Di siang yang panas itu, listrik di hotel mati. Bye kamar yang dingin. Bye nonton TV yang ternyata bukan LCD dan enggak gede. Aku memilih tidur siang itu. Dan terbangun di sore hari yang hujan sangat deras sampai malam. Oke. Bye sunset di pantai Sumbawa yang nyahut.

Hari pertama di Sumbawa nggak berakhir sedih-sedih amat. Malamnya, Mbak Titi melipur kecewa hari itu dengan manggil taxi dan ngajak aku nongkrong di pantai bareng sama Derlin, Dian, dan Beauw. Kami menikmati mie ala Sumbawa yang aku lupa namanya, kopi, dan jus tomat di pinggir pantai yang gelap.



Sunset yang terlambat di Sumbawa

Baca juga
Sumbawa Punya Cerita Day 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 2
Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 1
Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 2


Thursday 22 December 2016

Pulang ke Jember

Aku menghabiskan empat tahun masa kuliahku dengan tiga tahun pacaran dengan satu orang. Selanjutnya aku putus dan menghabiskan satu tahun berikutnya untuk berusaha move on. Hari ini aku kembali ke Jember setelah setahun di Jakarta. Dan rasanya seperti saat pertama kali pergi kencan. Debar di dada itu tak surut-surut bahkan ketika aku sudah beranjak.

Jember masih sama seperti terakhir kali kutinggalkan. Mungkin ada beberapa yang berubah. Seperti perasaan kita berdua. Atau kita bertiga. Bahkan bisa jadi kita semua. Tapi itu tidak penting. Aku tidak mau bermelankoli dengan kenangan kita. Toh kamu sudah mau menikah. Dan kamu tidak ada di Jember. Dan kamu masih tukang PHP. Meski aku masih suka deg-degan kalau ketemu kamu.

"Mbak, sudah tahu kabar terbaru?" kata adik tingkatmu. "Sudah tau dong. Dari orangnya langsung," ujarku. Kabar soal rencana pernikahanmu pasti sudah tersebar. Aku senang kau memberi tahuku secara langsung. Tapi sepertinya aku tidak bisa datang. Karena cutiku sudah habis kuambil bulan ini.

Hari ini sebenarnya aku berharap bisa ketemu kamu. Awalnya kamu adalah satu-satunya orang yang kukabari rencanaku ke Jember. Tapi lalu kamu lenyap. Tak memberiku kabar sampai aku pulang. Akhirnya aku memberi kabar seorang teman yang akhirnya mempertemukanku denganmu yang lain. Yang sepertinya tak pernah mengharapkan pertemuan itu terjadi.

Sampai pulang aku masih berharap ketemu kamu juga. Tapi sepertinya itu keinginan yang terlalu egois mengingat apa yang kulakukan padamu saat terakhir kali kita bertemu.

Aku pulang dalam keadaan luka dan ngantuk. Aku bangun pukul 03.00 WIB dan berangkat pukul 04.00 WIB. Lalu aku pulang setelah tak berhasil menemui entah apa dan siapa.

Kamu benar, rinduku belum tuntas. Dan tak akan pernah lunas. Karena dia terus bertambah setiap hari.

Sunday 23 October 2016

Sopir Gojek

Hari ini saya ngikutin Mas Agus seharian. Bukan, bukan Agus Suprianto redaktur saya di desk ekonomi bisnis. Tapi Agus Yudhoyono anak sulungnya Pak Susilo Bambang Yudhoyono. Yup, bener! Mas Agus yang lagi nyalon jadi gubernur DKI itu loh.. Yang ganteng banget tapi sayang udah beristri.

Saya hari ini memang ditugaskan untuk meliput kegiatan Mas Agus seharian. Mulai dari Stadion Tugu, Jakarta Utara, Pasar Koja, sampai ke Jatiwaringin, Pondok Gede, Jakarta Timur. Kosan saya di Palmerah, Jakarta Barat. Jauh? Banget!

Berangkat pagi saya sudah kehujanan. Sampai lokasi saya terpaksa harus hujan-hujanan lagi karena acaranya outdoor dan tendanya kecil. Tapi nggakpapa, demi Mas Agus yang ganteng tapi sayang udah beranak, saya rela hujan-hujanan. Asal nanti bisa selfie sama Mas Agus. #eaaa

Saya nggak akan cerita soal Mas Agus hari ini. Saya sudah capek nulis soal dia dari pagi sampai malam. Kalau mau tahu hari ini dia ngapain aja, buka aja di Tempo.co (promosi banget). Saya sudah tulis lengkap mulai dia joget-joget di bawah rintik hujan deras, dia loncat dari panggung, sampai dia ganti baju di mobil. Eh, maaf, yang terakhir nggak saya tulis. Soalnya saya ingin itu jadi konsumsi pribadi saya. Hahaha.

Jadi saya akan bercerita soal Rahman, sopir Gojek yang mengantar saya pulang setelah seharian meliput Mas Agus tadi. Pak Rahman menjemput saya di Pacific Place, SCBD sekira pukul 18.00.

Sepanjang jalan, Pak Rahman mengajak saya ngobrol. Dia rupanya baru seminggu menjadi sopir Gojek. Ia dulunya adalah sales sejak 2008. Tapi karena setahun belakangan sepi pembeli, akhirnya dia beralih profesi jadi sopir Gojek. Laki-laki asal Cengkareng itu sedang ingin pulang. Pantes, dia ngambil orderan saya. Soalnya searah.

"Tadi ada yang mau ke Pondok Gede, nggak saya ambil. Kan saya mau pulang."
"Saya tadi dari Pondok Gede."
"Ngapain, Neng? Main?"
"Kerja, Pak."
"Muka manja gitu bisa kerja?"
Sialan

Lalu Pak Rahman nanya saya kerja apa. Saya jawab saya seorang reporter.
"Reporter sama wartawan itu beda ya?"
"Sama aja."
"Tadi ngeliput apa?"
"Ngikutin Agus Yudhoyono."
"Oh, anaknya SBY?"
"Iya."
"Ngapain diikutin?"
"Kan dia nyalon gubernur."
"Oh, dia nyalon gubernur?"
"Iya, kok nggak tahu sih? Emang Bapak mau milih siapa?"
"Rencananya sih Ahok. Soalnya dia bagus. Sejak dia jadi gubernur, perubahan di Jakarta kerasa banget. Nggak ada pejabat korupsi."

Saya diam saja. Barangkali saya sependapat dengan Pak Rahman. Ahok memang tegas dan keras menentang korupsi. Dia juga disiplin membuat lingkungan Jakarta bersih dan nyaman ditinggali. Saya mengakui ada banyak hal bagus yang dimiliki Ahok. Saya pun, yang kemarin sempat kecewa oleh Ahok, berkeras untuk tetap obyektif.  Bagaimanapun saya tidak ingin membiarkan setitik nila merusak susu sebelanga. Banyak nilai-nilai kebaikan yang dibawa mantan Bupati Belitung itu dibalik sikap arogannya.

"Sayang, dia non muslim."
"Tapi kan dia bersih."
"Iya, gara-gara pejabat nggak ada yang korupsi, mall jadi sepi."
"Apa hubungannya? Emang yang ke mall pejabat doang?"
"Ya nggak. Tapi kan sumber uangnya dari atas. Yang atas ngasih ke bawah."
"Tapi masa orang ke mall nunggu ada pejabat korupsi?"
"Jadi gini lo. Pejabat itu kan korupsi main proyek. Dia terus bangun rumah. Bahan-bahannya beli ke saya. Saya dapat uang terus ke mall deh. Gitu kan uangnya dari atas. Sekarang pejabatnya miskin."
"Bapak ikut miskin ya?"
"Iya, saya jadi bangkrut karena nggak ada yang belanja ke saya lagi."
"Jadi Bapak sedih nggak ada pejabat yang korupsi lagi?"
"Ya setengah-setengah sih. Hahaha."
"Hahaha."

Saya senang ngobrol dengan Pak Rahman. Setidaknya dia menyadarkan saya bahwa pemberdayaan manusia itu penting. Kota boleh saja nyaman ditinggali, asal penghuninya jangan tersesat dalam pikirannya sendiri. Senang dengan gubernur bersih, tapi juga sedih nggak ada pejabat yang korupsi. Gimana itu?

Akhirnya saya sampai di depan kantor Tempo dengan selamat. Saya minta turun di depan kantor Tempo karena kosan saya persis di depannya. Benar-benar cuma tinggal nyeberang jalan. Saya nggak mau Pak Rahman menurunkan saya di depan kosan karena Pak Rahman nantinya harus puter balik. Saya nggak mau dia nanti kehabisan bensin dan nyalahin saya karena dia jatuh miskin. Apa hubungannya? Nggak ada sih. Tapi saya yakin Pak Rahman bisa mencari benang merahnya.


Saturday 22 October 2016

Tinggal di Desember

Aku mau Oktober segera berakhir dan November segera datang
Lalu aku ingin November juga lekas berlalu
Aku mau cepat-cepat bertemu Desember dan tak beranjak kemana-mana
Aku mau menunggumu tanpa harus bertambah tua

Tuesday 18 October 2016

Jauh

Sudah tiga minggu saya batuk tak kunjung sembuh. Sudah tiga minggu juga saya tidak telepon Mbah Uti. Bukannya nggak peduli, saya cuma nggak ingin mbah khawatir denger saya ngomong sambil batuk-batuk. Mbah kan gitu, gampang khawatir.

Saya sebetulnya kangen banget. Apalagi di saat sakit begini. Haha. Jahat, kangennya kalau pas lagi sakit. Nggak lah, saya selalu kangen sama Mbah Uti bagaimanapun kondisi saya. Sebagai cucu yang tinggal sama Mbah Uti sejak kecil, Mbah itu seperti ibu kedua. Kadang malah rasanya seperti ibu pertama.

Saya masih ingat kalau lagi sakit, Mbah suka mijitin saya sampai tidur. Suka bikinin ramuan-ramuan yang mujarabnya bisa ngalahin obat dokter. Mbah akan masakin apapun yang saya mau asal saya mau makan. Dan entah bagaimana saya selalu gendut kalau disuapin sama Mbah Uti. Tapi emang sih masakan Mbah itu nggak ada yang bisa nyaingin. Nggak cuma itu! Mbah itu juga suka ngasih advice gitu lho kalau tahu saya berantem sama pacar. Serius!

Hari ini saya iseng buka google map. Saya sebenarnya cuma ingin lihat seberapa jauh jarak Jakarta dengan Banyuwangi. Ternyata jauh. 1054 kilometer. Bisa ditempuh 20 jam 37 menit dengan naik mobil tanpa berhenti. Atau sembilan hari dengan jalan kaki nggak pake istirahat. Bisa sih naik pesawat. Tapi kan.. you know lah.....

Jauuuuuuuh

Saya lalu mencari jalanan rumah Mbah Uti. Waktu saya ketik Jalan Nuri Genteng, muncul titik merah beserta street view. Kemudian saya buka foto street view itu. Daaan... jreng jreeeeng...... ADA MBAH UTI! Yeeeeey.... Mbah uti masuk google maaaaps!! *tepuk tangan

Saya yakin banget itu Mbah Uti karena dia pake daster dan penutup kepala yang biasa dipakai. Di foto itu Mbah lagi duduk di teras sambil pegang tampah yang isinya seperti nasi. Mbah emang suka menjemur sisa nasi untuk dijadikan karak lalu dijual.

Saya nggak tahu itu foto diambil kapan. Tapi saya senang bisa lihat mbah masih beraktifitas seperti biasa. Mbah kelihatan sehat. Dan itu cukup bikin baper pingin telepon.

Mbah Uti nongol di street view google maps!

Akhirnya tadi saya telepon Mbah Uti. Saya bicara agak keras karena kata Ibu, Mbah sudah agak kurang peka pendengarannya. Dari nada bicaranya Mbah sepertinya sehat-sehat saja. Dia bilang baru saja makan mie dan sedang tiduran sambil nonton TV.

"Kok makan mie, Mbah?"
"Males masak, cuma ada sayur. Yawis tak campur mie."
"Budhe nggak ngirim?"
"Nggak, aku bosen makan telur. Gatel." Kata Mbah Uti Budhe kalau ngirim masakan menunya selalu telur.
"Mbah masih suka gatal?"
"Kalau makan ya gatel."
Mbah Uti dulu pernah alergi telur, ayam, ikan, dan sejenisnya. Dulu itu gara-gara kesalahan pakai obat oles kalau nggak salah.
"Di sini sepi, orang-orangnya sudah pergi semua."

Dulu saat saya masih kuliah, lingkungan rumah mbah uti ramai. Tetangga-tetangga masih punya hubungan kerabat dengan kami. Lalu satu per satu mulai pergi. Mbah Nah, De Yah, dan Ulfa sudah meninggal. Mbak Ani dan keluarganya pindah rumah. Tinggal Mbah Uti bersama pasangan Mbah Marmi dan Mbah Ben orang tua yang tersisa.

"Nanti kalau Mbah meninggal, ya kosong,"
"Jangan meninggal Mbah.."
Mbah tertawa

Saya sering meminta Mbah Uti untuk ikut Ibu atau Budhe saja. Biar tidak sendirian di rumah. Tapi dia menolak. Katanya lebih enak tinggal di rumah sendiri.

Kami bicara hampir satu jam untuk membahas pian rumah bocor, Lek No si tukang becak yang masih jadi tukang becak, hingga Pak Pos yang suka mengantar uang pensiunan almarhum Mbah Kung. "Sekarang ongkos kirimnya naik 40 ribu," kata Mbah.

Benar kata Ibu, Mbah rupanya sudah susah mendengar. Kadang apa yang saya katakan dijawab dengan tidak nyambung. Tapi saya bersyukur masih bisa dengar suara Mbah Uti.

"Doakan Mbah sehat terus ya, biar bisa lihat kamu," kata Mbah Uti menutup perbincangan kami sore ini. Kalimat Mbah yang ini, entah bagaimana membuat saya mewek. Mbah Uti terdengar seperti orang tua yang menunggu anaknya pulang.

Barangkali Mbah yang sudah sepuh itu berharap saya ada di rumah saja untuk menemaninya. Barangkali Mbah Uti ingin saya memasakkan makanan untuknya. Atau mungkin Mbah ingin ada cucu yang tidur di sampingnya ketika dia mengeluh sakit pinggang. Saya juga mengira Mbah Uti butuh teman untuk diajak ngobrol sambil menjemur nasi.

Apakah Mbah Uti rindu saya? Kata orang, rindu orang tua selalu lebih besar dari yang dirasakan anaknya. Tapi Mbah Uti selalu bilang, "Kamu sepertinya sudah kerasan. Semoga betah ya, Ndug." Mbah Uti tak pernah sekalipun menyuruh saya pulang. Dia selalu mendoakan saya untuk terus hidup sehat dan ceria. Seolah tak apa-apa saya jauh dari dia selama saya senang.

Saya mengakhiri telepon dengan batuk-batuk. Mbah Uti yang mendengarnya seperti khawatir.
"Coba kamu di sini, Mbah bikinin jamu bunga blimbing."
"Sana minum air hangat diberi garam sedikit."
"Apa Mbah kirimin jeruk nipis? Nanti kamu peres kasih kecap."

Mungkin memang benar bahwa orang tua seyogyanya tak pernah ingin jauh dari anaknya, seberapapun egois anaknya ingin menjelajah sejauh-jauhnya.




Jakarta, saat sedang libur kerja

Friday 14 October 2016

Toilet

Aku selalu punya mimpi yang sama tentang toilet
Mereka banyak
Bilik-bilik kadang berjajar
Kadang melingkar
Tapi mereka selalu suram
Warnanya abu dan biru
Kadang tak berpintu
Kadang berhantu
Ada mayat yang tercebur tertelungkup di bak mandi!
Kadang aku diperkosa saat buang tai
Ah, aku memimpikan kehidupanmu

Jakarta, 2016

Tuesday 11 October 2016

Template

Tepat pukul 22.47 Waktu Laptop Saya, template blog ini berganti. Lagi. Entah ini sudah pergantian yang kesekian kalinya. Dan entah kenapa juga saya ingin menulis soal pergantian template yang kelihatannya tidak penting ini. Padahal ini penting banget lho. Seberapa besar pentingnya? Sebesar upil yang nyangkut di hidung beruang kutub!

Tadinya saya ingin sekalian bikin blog baru. Bikin blog yang isinya lebih ada 'temanya'. Nggak semrawut seperti yang ada di sini. Tapi pengalaman yang sudah-sudah menuntun saya untuk tidak usah bikin blog lagi. Karena apa? Karena isinya pasti amburadul juga. Hha.

Oke, saya akan mulai dengan menjawab pertanyaan dari diri saya sendiri.
Kenapa sih suka ganti-ganti template blog?

Jawab:
Pingin aja sih. hehe.
Ada alasan kenapa saya ingin ganti template. Template itu bagi saya seperti lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang itu itu saja, kadang membuat saya merasa bosan dan jadi nggak produktif. Apalagi kalau templatenya maksain dan niru-niru templatenya orang lain. Sama seperti ketika saya diletakkan di tempat kerja yang nggak sesuai dengan passion saya. Berakhirlah saya dengan mindset bahwa pekerjaan itu adalah beban. Duh, ini ngomong apa sih? Nggak jelas banget. Yah, segitu aja sih. Terima kasih atas pertanyaannya.

Jadi, pemirsah.... Sebenarnya saya cuma ingin menulis untuk mendukung tagline blog ini, yaitu "Bicara Semaunya". Agar apa? Agar saya bisa meyakinkan diri untuk nggak buat blog baru. Agar saya nggak usah lagi memikirkan apa kata orang bahwa saya seharusnya menulis ini dan inu. Oleh sebab itu, maka, dengan demikian, saya akan akhiri tulisan ini sampai di sini. Semoga template baru ini bisa membuat saya jadi rajin menulis seperti dia. ((DIA)) Ammiin..

By the way, semua tulisan yang ada di blog sebelah, SAFARNAMA, sudah saya pindah ke sini semua. Untuk sementara blog catatan perjalanan gagal itu akan vakum sementara karena sampai saat ini nyatanya saya belum ke mana-mana. Sedih sih, but life must go on. Sebagai gantinya, saya sudah merapikan label untuk memudahkan pembaca (kalau ada, tapi kayaknya nggak ada) dengan tema yang lebih spesifik. Just cekidot on the top!!!

Sudah ya gaes... bye bye mwah!
Wasalam.

Saturday 17 September 2016

Kecuekan Menteri Nyentrik

Susi Pudjiastuti baru saja merebahkan diri untuk dipijat ketika mendengar suara sirine meraung-raung. Suaranya panjang dan berulang. Di New York City, sirine panjang itu biasanya pertanda jika ada pertemuan dengan tamu negara-negara di PBB.

Wahyu Muryadi, wartawan Tempo yang ikut Susi melawat ke New York menceritakan saat itu hari Sabtu, 17 September 2016 pukul 20.30 waktu setempat. Rombongan Susi baru tiba di Hotel Andaz, Manhattan, dari Washington DC untuk menerima penghargaan sebagai Pemimpin Penjaga Planet Bumi dari World Wildlife Fund. Menteri Kelautan dan Perikanan itu ditemani anaknya, Nadine Kasier, asisten pribadi Susi, Kepala Humas KKP Lili Pergiwati, dan dua orang wartawan. 


Awalnya Susi biasa saja saat mendengar suara sirine. Ia memerintahkan rombongannya untuk makan malam sementara dia ingin dipijat dulu. Namun, sirine itu tak berhenti hingga beberapa lama. Wahyu curiga itu bukan hanya sekadar ada tamu PBB yang sedang lewat.. "Ada apa ya kok bisingnya nggak habis-habis?" ujar dia, Ahad, 18 September 2016.


Tak lama telepon Susi berdering. Sahabat Susi yang ada di Jakarta menelepon. Wahyu yang tengah menyantap salad dan steak, mengangkat telepon itu. "Ada di mana? hati-hati ada bom di Manhattan," kata Wahyu menirukan si penelepon.


Susi kaget mendengar kabar adanya bom di Manhattan. Saat itu posisinya sudah tengkurap dengan ditutup handuk. Siap diurut. "Waduh bom apalagi? Astaga. Coba cek TV lihat CNN," ujar dia memerintahkan untuk menyalakan televisi.


Saat menonton televisi itulah akhirnya Wahyu tahu ledakan terjadi di persimpangan West 23rd Street dan 6th Avenue. Jaraknya hanya dua kilometer dari hotel mereka menginap. Ada 29 orang yang menjadi korban luka. Namun, belum ada yang tahu apa penyebab ledakan. "Waduh tak jauh dari hotel kita. Alhamdulillah," ujar Susi.


Wahyu sontak berhenti makan. Ia bersiap meluncur ke tempat kejadian perkara. Namun, Susi mencegahnya. "Sampeyan kalau mau meliput habiskan dulu makannya," ujar dia.


Akhirnya Wahyu makan lagi dengan buru-buru. Sebentar kemudian ia ngebut lari ke lokasi kejadian. Meninggalkan Susi yang masih tengkurap sambil matanya memonitor layar TV.

Monday 1 August 2016

Saat Aku Mengantarmu pada Kematian

Peringatan, cerita ini bukan karya jurnalistik. Anggap saja ini karangan fiksi belaka dengan nama tempat dan tokoh yang sesungguhnya.



Malam itu Karina merasa bukan pendeta. Dalam lorong yang gelap dan sunyi, ia berjalan bagai malaikat pencabut nyawa yang menjemput anaknya untuk diserahkan kepada kematian.

Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Karina Dalega saat menjemput Osmane dari ruang isolasi di penjara Nusa Kambangan pada Kamis malam itu. Hujan deras di luar penjara membuat gigil pada tubuh Osmane yang memakai jaket dan celana jins. Karina memeluknya. (Aku menyangka gigil itu bukan karena hujan yang datang).

Keduanya bertemu pada 2004. Osmane dijebloskan ke Nusa Kambangan setelah ia divonis mati oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 21 Juli 2004. Ia tertangkap tangan menyimpan 2,4 kilogram heroin di kamar nomor 806 Apartemen Eksekutif Panorama Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Karina yang seorang pendeta, dipilih menjadi rohaniwan yang mendampingi Osmane. Maka sejak hari itu, pada pekan keempat setiap bulan, mereka bertemu di gereja Nusa Kambangan. "Dia anak saya, dan mereka menembaknya," katanya.

Karina berada di penjara Nusa Kambangan sejak hari Rabu, 27 Juli 2016 (Osmane dieksekusi Jumat dini hari. Ada adiknya juga di sana tapi aku tak tahu namanya). Osmane berada di ruang isolasi sejak hari itu bersama 13 orang lainnya. Karina dan teman sesama rohaniwannya bertugas mendampingi tahanan hingga detik-detik terakhir.

Karina merasa ada yang tak beres pada pelaksanaan eksekusi gelombang III ini. Semua serba mendadak dan tak siap di segala sisi. Rohaniwan tak banyak diberi waktu untuk mendampingi terpidana. Keluarga yang mestinya punya jatah bertemu dengan terpidana sampai pukul 14.30 WIB, ditarik ke luar pada pukul 12.30 WIB pada hari Kamis. "Jaksa terlihat bingung. Kami sesama rohaniwan juga berbisik-bisik, kok gini ya?" ucapnya.

Teriakan-teriakan mulai terdengar dari ruang isolasi menjelang eksekusi. Karina dan kawan-kawannya semula hanya mendiamkan. Mereka kesal karena tak dibiarkan mendampingi dengan leluasa. "Biar mereka (sipir) sendiri yang menenangkan," ujarnya. Tak lama akhirnya Karina memutuskan untuk bernyanyi. "Agar mereka (terpidana) tahu kami ada di sini."

Pertemuan keduanya berakhir pada malam Karina menjemput Osmane dari ruang isolasi menuju lapangan tempat dilaksanakannya eksekusi mati. Malam itu ia merasa dirinya bukan pendeta, melainkan malaikat pencabut nyawa yang membawa anaknya untuk dibunuh. Ada 14 orang dalam ruangan, tapi hanya 4 yang dijemput. Mereka adalah Freddy Budiman, Humprey Ejike, Michael Titus Igweh, dan Seck Osmane. Kesepuluh orang yang tinggal itu melihat empat kawannya di bawa mati. Sementara yang empat bertanya-tanya kenapa hanya mereka yang akan mati. (Jaksa Agung mengatakan 10 orang lainnya akan dieksekusi pada waktu yang belum ditentukan).

Dari ruang isolasi mereka naik mobil menuju lapangan. Hujan deras membuat mereka basah kuyup saat turun dari mobil. Sesaat ada harapan bahwa eksekusi tak jadi dilaksanakan malam itu. Rupanya polisi sudah menyiapkan tenda untuk tempat eksekusi. Ada semacam kayu serupa jemuran berada menancap di satu sisi lapangan. Kayu itu nantinya yang digunakan untuk mengikat Osmane dengan lengan membentuk siku ke bawah.

Karina diizinkan mengucapkan kata perpisahan sebelum Osmane digiring ke lapangan. Ia menghampiri Osmane yang diborgol bersama tiga orang lainnya. Kepala mereka sudah ditutup kain hitam. "Saya peluk dan cium anak-anak saya satu-satu," ucapnya. Meski menjadi pendamping Osmane, Karina juga dekat dengan terpidana lain karena mereka berdoa dalam gereja yang sama. Kecuali Freddy Budiman karena dia muslim. 

Kenangan pada belasan tahun silam sontak menyeruak. Ia mengenang Osmane sebagai orang yang jahil dan suka memberi es krim kepada anak-anaknya. Sangat jauh dari kesan seorang penjahat yang pantas dihukum mati. Sebab Osmane hanya seorang kurir. (Sampai di sini aku berpikir, sejauh mana manusia bisa menentukan siapa yang pantas dihukum mati? Jika orang itu pantas mati, siapa yang paling pantas untuk membunuhnya?)

Tak banyak permintaan dari Osmane di saat terakhirnya. Karina mengatakan, bagi umat kristiani, kematian adalah keuntungan. Barangkali Osmane hanya meminta keadilan yang pada akhirnya tak pernah ia dapatkan hingga peluru menembus jantungnya.

Kuasa hukum Osmane mengajukan grasi beberapa hari sebelum ia dieksekusi. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Grasi bulan lalu membuat pengajuan grasi tak punya batas waktu. 

Pasal 7 ayat 2 itu berbunyi "Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap." MK membatalkan pasal ini melalui sidang pleno pada 15 Juni lalu setelah uji materi yang diajukan oleh terpidana mati Suud Rusli.

Grasi Osmane sudah terdaftar di pengadilan. Namun, hingga ditembak mati, ia tak pernah tahu keputusan grasi itu. Hal yang sama juga terjadi kepada Humprey yang mendaftarkan grasi pada tanggal 25 Juli 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal, sebelum terpidana ditembak mati, ia harus memegang keputusan presiden yang menyatakan bahwa grasi itu ditolak. 

Pada akhirnya Karina tetap melihat Osmane diikat ke tiang kayu berbentuk jemuran. Kedua lengan Osmane tak bisa diikat telentang sepenuhnya karena kayu yang pendek. Lengan bawahnya menjuntai ke tanah. Karina lalu pergi ke kamar untuk menyiapkan sakramen. Tak begitu lama, ia mendengar bunyi "kraak". Dari suara itu ia tahu anaknya telah berpulang. Sakramen dan penyerahan jiwa pun disiapkan.


Friday 29 July 2016

Muntah

Sepertinya aku telah diracun. Malam ini aku muntah hebat. Bajuku dilumuri sumpah serapah yang ke luar bersama ludah. Selama sebulan aku mual-mual. Dan hari ini sesuatu membuatku menumpahkan segala isi usus. Mungkin karena itu perutku jadi terlihat ciut, atau rabun mataku sudah bertambah parah. Memikirkan itu membuatku ingin muntah lagi.

Aku turun dari kasur yang telah basah oleh ludah dan sumpah serapah. Meraih botol berisi air mineral dengan merangkak. Muntah ini menguras tenaga. Membuatku lemas dan nyaris dehidrasi. Aku limbung. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Aku bergidik sambil cepat-cepat berdoa agar tak mati hari ini. Sebab hutang puasaku tahun ini belum lunas kubayar. Aku tak mau membuat ibuku membayar hutang yang disebabkan oleh anaknya. Atau siapapun itu. Tapi sepertinya hutang itu tak kan lunas sebab aku belum memberitahu siapapun bahwa aku punya hutang selama 6 hari. Mungkin nanti aku akan membayarnya dengan darah saja ketika aku masuk ke neraka. Ah, neraka lagi.

Aku masih terlalu lemah untuk membersihkan cecer muntahan itu. Maka aku hanya mengumpulkannya dan kuletakkan di kolong tempat tidur. Baunya amit-amit. Aku yakin telah diracun. Sebab kalau tidak, mungkin baunya akan wangi. Tapi ini.. Argh.. busuk sekali.

Tahu-tahu muntahan itu bergerak-gerak dan membuat kasurku berguncang. Aku mengintip ke bawah tempat tidur dan menemukan seonggok muntahan yang berubah jadi sesuatu. Mungkin manusia atau hantu, tapi aku tak yakin karena kamar begitu gelap dan aku tak berani turun untuk menyalakan lampu. Aku takut muntahan itu akan memakanku sebagaimana ia selama ini ada dalam perutku. Akhirnya aku hanya melihatnya dalam gelap. Lalu sepertinya aku melihat mulutnya terbuka dan bergerak-gerak. Aku bisa menebak itu mulut karena aku melihat dia punya gigi yang terbuat dari emas dan lidah yang menyala merah. Mereka berpendar.

Awalnya aku hanya melihat dia komat-kamit. Hingga kemudian aku mendengar suaranya yang mendesis-desis seperti suara ular. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” begitu katanya. Ia mengatakan berulang-ulang dan kata-kata itu memantul ke seluruh penjuru ruangan membuat gema yang tak beraturan. “Komunis.. Komunis.. Kokomumuninis.. Komukonismunis..”

Aku tidak tahu apa maksud hantu itu. Tapi karena suara itu menggagalkan usahaku untuk tidur, maka aku berteriak dalam gelap. Tapi suaraku lenyap ditelan desisan yang makin lama makin kencang. Aku menjerit makin keras. Tapi sia-sia. Aku malah mendapati tenggorokanku jadi kering dan haus luar biasa.

Akhirnya aku menyerah dan memilih untuk menutup telinga dengan bantal. Tapi terlambat. Suara itu sudah menerobos gendang telingaku dan meluncur ke syaraf-syaraf yang berhubungan dengan otak. Aku tahu mereka telah sampai ke otak setelah aku mendengar lagi suara itu dalam diriku sendiri. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” Aku kembali mual-mual seperti sebulan yang lalu. Aku berjanji jika nanti muntah lagi, aku akan segera membuang muntahan itu.