Subscribe:

Friday 17 June 2016

Surat Terbuka Untuk Pak Bas


Dear Pak Basuki Tjahaja Purnama yang jujur dan nggak pernah korupsi,

Jangan marah dulu, Pak. Saya tidak bermaksud menyindir maupun mengadu domba seperti wartawan yang Bapak usir dari balai kota. Saya mengatakan demikian, karena sebelumnya Bapak lah yang membuat pengakuan diri bahwa sejak dulu sampai sekarang adalah orang yang bersih dan konsisten menyerukan kejujuran. Dan saya percaya itu. Saya percaya Bapak tidak pernah korupsi.

Sebagai warga Banyuwangi yang cantik, saya sebenarnya ingin mendukung Bapak maju jadi gubernur DKI lagi. Sebab bagi saya, orang seperti Bapak itu barangkali hanya muncul setiap 45 tahun sekali, meskipun saya baru hidup selama 23 tahun. Artinya, sosok seperti Bapak ini langka sekali. Patut didukung dan diperjuangkan. Meski sebenarnya, tanpa dukungan dari saya, haqul yakin lillahita'ala Bapak akan terpilih lagi jadi gubernur melihat elektabilitas Bapak yang tak tergoyahkan.

Tapi ada sedikit getir yang tiba-tiba mrengkel di dalam hati saya ketika melihat Bapak sering ngamuk akhir-akhir ini. Bapak marah setiap hari itu biasa. Tapi kali ini saya tak hanya melihat Bapak marah, tapi juga antikritik dan terkesan tak mau disalahkan. Padahal dulu, meskipun marah-marah, pikiran Bapak jernih dan tidak gegabah. Bapak juga suka membercandai orang-orang yang ingin menjatuhkan Bapak.

Saya masih ingat betul, ketika Bapak dituduh korupsi ini itu, dengan enteng Bapak cuek-cuek saja dan tertawa-tawa mendengarnya. Saat si Lulung nuduh Bapak korupsi USB, eh UPS, Bapak kalem juga menanggapinya. "Aduh, Lulung lu dengerin," kata Bapak seperti yang saya kutip dari berita ini. Kemudian saat heboh kasus Sumber Waras, banyak yang menuduh Pak Bas terlibat korupsi. Tapi toh Bapak santai saja seperti yang saya baca di sini. Terbukti sampai hari ini KPK belum menemukan indikasi adanya korupsi dari pembelian lahan itu.

Kalau memang benar tak ada Rp 30 miliar yang masuk dalam kas Teman Ahok melalui pengembang seperti yang dikatakan Junimart Girsang, kenapa Pak Bas tidak bilang saja, "Aduh, Junimart lu dengerin." Lalu kemudian menyerahkan pada KPK untuk membuktikan kebenarannya. Jika tidak benar, Junimart yang malu. Bapak tidak rugi. Simple kan, Pak?

Ada apa sih, Pak? Kenapa Bapak sekarang tidak bisa selow menghadapi fitnah-fitnah semacam yang dilontarkan politikus PDIP itu? Lalu kenapa Bapak menyalahkan media sebagai barang yang menjatuhkan Bapak, padahal mereka hanya menyajikan informasi. Terlepas informasi itu fitnah atau bukan, itu urusan nanti. Tapi soal informasi itu ada, itu adalah fakta jurnalistik. Artinya media tidak melakukan fitnah karena media tidak mengarang indah.

Saya kemudian heran juga, kok bisa-bisanya Bapak menuduh wartawan Arah.com sengaja mengadu domba Bapak dengan pejabat lain? Lha kan dia cuma mengembalikan pernyataan Bapak yang berbunyi, "Kamu enggak pernah dengar pejabat sekelas saya ngomong konsisten dari DPRD, bupati, sampai DPR RI, sampai sekarang (jadi Gubernur). Konsisten saya teriakkan itu."? Salah ya kalau dia ngguyoni dengan bilang, "Jadi, apakah Bapak adalah pejabat yang paling hebat?"

Pertanyaan itu, menurut saya, tidak terdengar mengadu domba. Bagi saya itu semacam sentilan untuk mengingatkan agar Pak Bas, meskipun tak pernah korupsi, tetap rendah hati. Tidak meremehkan pejabat lain yang terkesan suka korupsi meskipun benar. Mohon dikoreksi jika dugaan saya salah.

Tapi respon Pak Bas yang meledak-ledak hingga melarang wartawan itu untuk meliputnya lagi saya pikir bukan tindakan cerdas. Bisa saja kan Pak Bas tak menggubris pertanyaan itu jika memang tidak mau menjawab. Tak perlu sampai mengusir pula. Pak Bas seperti lupa bahwa wartawan, dari media sekecil apapun, turut andil dalam membesarkan nama Bapak.

Saya memang bukan warga Jakarta, tapi saya tinggal di Jakarta, Pak Bas. Karena itu, wajarlah saya punya harapan kepada gubernur kota yang menjadi sumber penghidupan saya ini. Kalau boleh, Pak, saya minta sedikit saja, Bapak turunkanlah rasa tinggi hati sebagai pejabat paling bersih se-Indonesia itu. Tak usah banyak-banyak Pak, seupil saja. Karena saya yakin warga Jakarta bisa menilai tanpa harus mendengar penegasan.

Saya tahu memang tidak ada sosok yang sempurna. Pak Bas, menurut saya, sudah nyaris sempurna sebagai pemimpin. Tapi, Pak, pemimpin itu, bukannya dipilih rakyat? Bapak ada karena rakyat. Maka wajiblah Bapak mendengar kritik dan saran demi kebaikan bersama. Karena apa gunanya keberanian dan kejujuran jika hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan segelintir golongan saja?

Pada akhirnya, saya menyatakan kekecewaan saya pada Bapak. Andai pun bisa, saya masih cukup waras untuk tidak memilih pemimpin yang antikritik. Sebab saya percaya rembang cahaya fajar akan terus merekah, tidak bisa ditahan-tahan.



Salam saya,

Gadis usia 23 tahun yang masih single dan butuh kasih sayang