Subscribe:

Wednesday 23 September 2015

Curhatan Hari Libur

Hari ini saya libur kerja. Tapi yang namanya jurnalis, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membaca dan memantau perkembangan setiap detik. Sedikit saja saya lengah, saya bisa kebobolan untuk mendapatkan isu-isu penting. Jika itu terjadi, maka saya nantinya hanya akan jadi corong narasumber  yang  bisa seenaknya membawa saya menulis berita yang dia mau. Disitulah terkadang saya merasa bersantai adalah sebuah dosa.

Saya tidak pernah menganggap ini adalah pekerjaan. Yang saya lakukan setiap hari hanya belajar membaca dan menulis. Ketika di lapangan, saya anggap seperti saat saya mendengarkan guru yang sedang menerangkan pelajaran di depan kelas. Saya harus dengarkan baik-baik, lalu bertanya jika ada yang tidak saya mengerti. Kemudian mereview apa yang menarik dan penting dari penjelasan guru tadi ke dalam sebuah tulisan. Nanti redaktur saya memberi nilai apakah laporan saya bagus atau tidak. Seperti sekolah bukan?

Bedanya, guru yang saya temui di sini bukan mereka yang bergelar Sarjana saja. Tempat belajarnya bisa dimana saja. Pelajarannya juga bisa apa saja. Dari tukang ojek, tukang kebun, pemulung, direktur perusahaan, hingga menteri bisa jadi guru saya. Bahkan kalau ada kesempatan, saya juga bisa berguru langsung pada Presiden.

Dulu, saya pikir wartawan adalah profesi yang tidak akan membuat saya bosan. Sebab wartawan selalu bertemu dengan aktor-aktor dan adegan baru setiap harinya. Setiap hari tidak akan sama. Betapa menjadi wartawan membuat saya merasa begitu hidup.

Tapi sekarang, wahai saudara, satu bulan saya menjadi wartawan, saya sudah merasa bosan. Saya tidak bosan menjadi wartawan. Saya bosan mendengar guru-guru saya yang terus mengulang pelajaran yang sama.

Kaum proletar itu tak pernah berhenti meminta keadilan. Dan para birokrat juga tak pernah berhenti bicara terobosan. Mereka begitu puas dengan paket-paket kebijakan yang katanya diusung untuk memperbaiki ekonomi. Menganggap keberhasilan menguatkan rupiah selama beberapa detik sebagai pencapaian yang luar biasa.

Tapi Pak,Bu, Jakarta masih macet luar biasa. Macet yang bisa membuat saya berantem sama tukang ojek. Begitu sumpek di sini. Tapi setiap tahun masih saja ada orang yang datang kemari. Apa yang mau dicari? Sepertinya mereka terkena korban sinetron. Tapi ketahuilah saudara, tukang bubur itu belum naik haji. Dan manusia gerobak itu belum ikut program bedah rumah karena ia tidak punya rumah.

Tapi saya pikir Bu Menteri sudah memiliki itikad baik dengan mencari hutang ke Cina untuk mengembangkan Bank-bank besar. Tapi untuk apa Bu? Apakah agar Bank-bank itu bisa memberi kami kredit usaha? Kalau iya, saya sangat apresiasi tindakan Bu Menteri itu. Namun sayang, saya yang cuma kaum proletar ini tidak akan mau ambil kredit. Karena bunga Bank Indonesia masih 7,5 persen. Bagi saya yang hidup pas-pasan di kota mahal ini, tentu itu sangat besar.

Lalu Pak Menteri kita yang bersahaja, sangat brilian idenya untuk melegalkan penjualan alkohol. Katanya itu dilakukan agar meningkatkan investasi dalam negeri. Sehingga nanti perekonomian kita yang sedang tersengal-sengal ini bisa segera lancar bernafas. Betapa menteri kita ini sangat mulia bukan?

Kita pun seharusnya bersyukur, karena punya wakil rakyat yang amanah mengemban tugas. Semua keinginan rakyat untuk tinggal di apartemen mewah, punya mobil, hingga jalan-jalan keluar negeri sudah diwakilkan mereka. Pasti itu sangat melelahkan. Maka wajarlah kalau sekarang mereka meminta tunjangannya segera dinaikkan. Kita harus maklum itu.

Ah, kenapa saya jadi bicara panjang begini ya? Padahal tadinya saya cuma mau curhat tentang profesi saya mumpung saya sedang libur. Tapi sepertinya saya terlalu terbawa-bawa isu. Hahaha. Kalau kata redaktur, tulisan ini sudah keluar angle. Tidak layak terbit. Maka agar menjadi tulisan yang tidak semakin tidak layak, saya akhiri saja ya gaes.

Selamat Lebaran..