Subscribe:

Wednesday 25 June 2014

Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tidak sempat diucapkan kayu pada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tidak sempat dikirimkan awan pada hujan yang menjadikannya tiada.
-Kahlil Gibran-

Bunda, ini untukmu..
Bunda, tidak terasa aku sudah mengenalmu hingga 21 tahun lamanya. Selama itu, aku mengerti betul atas kerinduanmu pada laki-laki yang mencintaimu dalam segala kesederhanaanmu. Pada laki-laki yang menerima apa adanya Bunda, serta mau tumbuh tua bersama Bunda. Sama, Bunda. Aku juga merindukan laki-laki yang memiliki senyum menentramkan serta pelukan yang didalamnya terhimpun sejuta kasih sayang dalam keluarga kita. Kita pernah memilikinya kan, Bunda?

Bunda, jalan hidupmu memang penuh liku dan kerikil, kadang batu besar juga turut menyandung. Sering aku menjumpai genangan air mata di sudut-sudut jalan itu. Selalu saja tentang penghianatan oleh orang yang sama, yang membuat genangan-genangan itu semakin luas dan menganak sungai. Dan aku selalu emosi melihatmu terluka sedemikian rupa. Maafkan aku karena membenci segala bentuk penghianatan, Bunda.

Bunda sering bilang bahwa Bunda bisa saja sabar, tapi tidak dengan ikhlas. Ikhlas memang pelajaran hidup paling sulit, tapi Bunda sudah bertahan sejauh ini. Tetaplah bertahan jika memang itu yang perlu dilakukan. Ini mungkin waktu terberat yang kita miliki, tapi Tuhan tidak akan pernah menguji umat-Nya melebihi batas kemampuannya kan, Bunda?

Bunda pasti tau surat Al Ikhlas. Di surat itu, tidak ada satupun disebut kata "ikhlas". Berhentilah Bunda mengatakan tidak bisa ikhlas, dengan Bunda tetap menjadi wanita dan istri yang menerima Ayah apa adanya, inshaa Allah Bunda akan bisa ikhlas tanpa terucap. Berkata itu memang mudah, Bunda, dan bukan berarti aku juga bisa melakukan hal hebat yang tidak setiap wanita bisa lakukan seperti apa yang saat ini tengah Bunda jalani. Hanya saja aku ingin Bunda bersemangat dan tetap memberikan cinta pada laki-laki yang telah membuatku ada.

Mungkin saja ini adalah takdir hidup yang harus dijalani Bunda. Anggap saja Tuhan sedang ingin menjadikan Bunda sebagai salah satu bidadari tercantik yang menghuni surgaNya, dengan cara jatuh cinta kepada Ayah.


Salam manja,

Gadis kecilmu

"Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.

Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.

Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana."  -Tere Liye-

Tuesday 10 June 2014

Menunggu Senja


Biasanya gadis itu tidak minum susu kecuali susu bendera botol rasa strawberi. Tapi pagi ini dia memilih susu milo dingin untuk menemaninya menunggu senja. Aku tidak bisa memastikan apakah segelas es susu ini bisa bertahan hingga 8 jam kedepan. Bahkan aku juga tidak berani bertaruh apakah dia betah menunggu selama itu. Seorang diri.

Sudah berjam-jam, gelas susu coklatnya belum tersentuh. Rupa susunya sudah memutih, karena es didalamnya melebur. Pasti rasanya campak. Beberapa kali dia melihat ke arah jalan raya, lalu beralih ke jam tangannya. Sudah semakin siang. Si gadis masih bertahan.

Hawa panas kota ini menjadi-jadi tiap menitnya. Tapi si gadis hanya diam. Mau bersedu sedan pada siapa? Segelas es susu tawar? Tak perlu. Menunggu waktu tidak seperti menunggu manusia. Senja pasti datang pada saatnya. Dia tahu, waktu tak pernah datang terlambat.


Surabaya, 10 Juni 2014  11:39

Sunday 1 June 2014

1 Juni

Juni, bulan musim semi yang hangat. Bulan kesaktian Pancasila. Bulan kelahiran Ibuku. Bulan seharusnya aku di wisuda.

Maafkan putrimu yang bandel ini ya, Bu. Aku tidak bermaksud mengulur-ulur waktu. Bersenang-senang menjadi mahasiswa yang bisanya meminta uang. Ku akui, menjadi mahasiswa memang menyenangkan sekaligus menakutkan. Aku telah disenangkan dengan masa muda yang menawarkan pintu-pintu baru. Tapi jika aku tidak berhati-hati, pintu-pintu itu akan memberiku ketakutan tanpa batas di masa depan.

Sepertinya orang-orang dari masa lalu itu benar. Semakin kita dewasa, semakin besar tanggung jawab yang ada di pundak, juga ujian hidup yang tak pernah berhenti melambai.

Beberapa waktu lalu, anak pertamamu ini dihadapkan oleh realita yang menyesakkan. Tentu sebenarnya aku ingin mengadu kepadamu, Bu. Seperti dulu. Ibu ingat? Saat di TK dulu aku sangat manja, dan nakal. Selalu saja merepotkan Ibu. Bahkan hingga SMA, aku belum berhenti menyusahkanmu. Sekarangpun masih tetap begitu. Tapi Ibu sudah tidak muda seperti dulu. Jadi kuurungkan saja niatku untuk mengadu kepadamu, Ibuku sayang. Aku tidak mungkin menambah bebanmu yang sudah semakin berat akhir-akhir ini. Aku beruntung masih mengenal Tuhan meski tidak terlalu baik. Hanya saja, aku kesulitan menemukan tempat untuk pulang...

Ah, sudahlah. Biarkan saja anak gadismu ini, Bu. Tak perlu Ibu risau memikirkanku. Seperti kata Tere Liye, "Biarlah, biarlah kisah perasaan kalian yang spesial, ditulis langsung oleh Tuhan. Percayakan pada pemilik skenario yang terbaik." 


Selamat 1 Juni :)