Subscribe:

Wednesday 12 March 2014

Kami

Akhirnya, tibalah aku pada suatu keadaan yang memaksaku memaksimalkan kekuatan. Aku dan diriku. Berdua saja.

Saat ini kami tengah berspekulasi. Tentang malam-malam yang telah dihabiskan tawa, kala lalu. Tentang pagi yang selalu kami lewatkan untuk menikmati mimpi basah. Juga siang yang menjelma menjadi pagi. Hingga sore, yang kita suka menanti datangnya pada senja.

Kami berdua sepakat. Tidak ada yang bisa kami berikan untuk mereka (kami) yang akan datang. Barangkali mereka nantinya akan melakukan hal yang sama seperti masa lalu. Berefleksi menjadi kami. Kemudian merasa sedih karena hanya mengiba pada mereka-mereka yang lain.

Monday 3 March 2014

Kehilangan


Aku terbangun di pagi buta. Tanganku meraba-raba kasur mencari benda itu dengan mata masih terpejam. Namun ujung jariku tak kunjung menemukan. Dengan malas kusibak selimut yang menutupi perut hingga kakiku. Aku bangun sepenuhnya, lantas mencarinya dengan lebih teliti. Kulipat selimut, ku angkat bantal guling beserta bongo. Itu, boneka shirley, kambing paling gendut temennya shaun the sheep. Kasurku bersih. Aku tidak melihat benda itu. Ah, mungkin jatuh.

Aku melongok di bawah tempat tidurku yang gelap. Hanya ada sawang laba-laba dan beberapa serangga berlarian. Ah, mungkin di meja belajar. Aku beranjak dari kasurku dan menyingkirkan laptop dari atas meja belajarku. Menggeledah rak kosmetik, rak buku, dan laci meja belajar. Tidak ada juga. Ah, mungkin di lemari. Ku ambil semua bajuku dari dalam lemari. Ku pilah satu-satu, barangkali terselip di antaranya. Hingga baju terakhir, aku belum menemukannya. Seisi kamarku sudah tampak seperti kapal pecah. Aku mencoba mengingat-ingat dimana meletakkan benda itu. Ah, mungkin tertinggal di sekret ALPHA.

Setelah mandi dan berdandan, aku langsung berangkat menuju kampus. Sebelum ke sekret aku mampir ke gedung matematika terlebih dahulu. Barangkali tertinggal saat aku kuliah dulu. Tiga ruang kuliah ditambah satu buah toilet di lantai atas dan dua toilet lantai bawah kujelajahi, tapi aku tidak menemukan bau benda yang kucari itu. Di ruang dosen? Ruang admisnistrasi? oh, ayolah.. alasanku tidak akan diterima untuk diperbolehkan membuat ruangan itu seperti baru saja terkena bom bunuh diri. Baiklah aku akan mencarinya di sekret saja.

Tanpa basa basi aku memporak porandakan ruangan kubus bernuansa kamar barbie itu (warna cat dinding sekretku adalah pink). Aku melempar-lempar buku, buletin, dan majalah dalam rak persegi panjang yang berada di bagian kanan ruangan. Karpet yang menutupi setengah lantai ku singkirkan. Aku mencari di kolong meja  rumah-rumahan yang berada di pojok ruangan samping rak buku naas tadi. Kardus-kardus tidak penting di bawah jendela juga tak lupa ku eksekusi. Semua sudut sekret kecil itu sudah tersentuh oleh jariku. Hasilnya nihil. Aku masih belum menemukannya. Tanpa berinisiatif merapikannya kembali, aku berjalan gontai keluar dari sekretku yang malang.

Aku duduk bersandar tiang di teras ORMAWA. Sekali lagi aku mencoba mengingat-ingat dimana meletakkannya. Mataku memejam, alisku bertaut, dan gigiku menggigit bibir. Barangkali ekspresi tersebut bisa membantu. Entahlah. Aku kesal karena tidak berhasil mengingat dimana meletakkannya. Oh, bahkan aku lupa kapan terakhir bersua dengan benda itu. Jangan-jangan aku tidak membawanya saat berangkat ke Jember tahun lalu, atau 2 tahun lalu. Barangkali terjatuh di bus saat perjalananku dari Banyuwangi ke Jember atau dari Jember ke Jogja, atau dari destinasi A ke destinasi B lain dimana A dan B adalah konstanta huruf alphabet dengan kombinasi acak. Bisa jadi tertinggal di Ranukumbolo saat aku ke sana Agustus tahun lalu. Bisa jadi terjatuh di kawah ijen saat aku ke sana bersama Wisnu dkk atau saat aku ke sana bersama Erin dkk. Bisa jadi.. Bisa jadi.. Bisa jadi..

Tiba-tiba aku menyesali kemampuan otakku yang berkapasitas rendah untuk menyimpan memori. Mungkin RAMnya juga sedikit. Tentu saja ada banyak kemungkinan pada ketidakadilan yang selalu ditemukan manusia untuk dikeluhkan. Manusia itu memang pengeluh. Aku salah satunya. Buktinya aku mengeluhkan diriku yang selalu lupa mengingat dimana meletakkan barang-barang.

Siang itu sungguh melelahkan. Hampir saja aku menangis. Aku takut Ibu marah. Aku takut Mbah Uti kecewa kepada cucunya yang bandel ini. Aku juga tidak ingin membuat Ibu guru mengajiku sedih karena tahu aku tidak bisa menjaga amanatnya. Dan aku lebih takut benda ini benar-benar telah memutuskan untuk tidak hadir lagi dalam hidupku. Selamanya.

Benda itu seperti kompas. Tanpanya aku buta arah. Jalanku terkadang melenceng karena hanya bertumpu pada prasangka yang tidak absolut kebenerannya. Benda itu seperti doraemon. Dia mampu mengeluarkan apapun yang kumau. Yah, walaupun dia tidak selalu mau mengabulkan keinginanku. Karena dia memiliki radar yang bisa mendeteksi apa yang sedang kubutuhkan. Benda itu seperti kotak harta karun. Dulu biasanya aku selalu meletakkan rahasia-rahasiaku di sana. Ketika aku marah, ketika aku sedih, ketika aku jatuh cinta, ketika aku gelisah, ketika aku terluka.. Dia tahu semuanya tanpa terkecuali. Dia seperti udara yang kuhirup. Bahkan ketika aku tidak melihat kehadirannya, Dia masih memberiku nafas setiap detiknya.

Setelah mengambil air untuk berkumur, membasuh hidung, muka, tangan kanan terlebih dahulu kemudian tangan kiri, rambut, telinga, lalu kaki kanan dan kiri masing-masing tiga kali, aku memakai kain yang menutup seluruh auratku. Aku menggelar sebuah kain persegi panjang dengan gambar Ka'bah di bagian atas. Ku angkat kedua tangan setinggi telinga. Lalu kusebut nama benda itu, "Allahu akbar..."