Subscribe:

Monday 1 August 2016

Saat Aku Mengantarmu pada Kematian

Peringatan, cerita ini bukan karya jurnalistik. Anggap saja ini karangan fiksi belaka dengan nama tempat dan tokoh yang sesungguhnya.



Malam itu Karina merasa bukan pendeta. Dalam lorong yang gelap dan sunyi, ia berjalan bagai malaikat pencabut nyawa yang menjemput anaknya untuk diserahkan kepada kematian.

Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Karina Dalega saat menjemput Osmane dari ruang isolasi di penjara Nusa Kambangan pada Kamis malam itu. Hujan deras di luar penjara membuat gigil pada tubuh Osmane yang memakai jaket dan celana jins. Karina memeluknya. (Aku menyangka gigil itu bukan karena hujan yang datang).

Keduanya bertemu pada 2004. Osmane dijebloskan ke Nusa Kambangan setelah ia divonis mati oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 21 Juli 2004. Ia tertangkap tangan menyimpan 2,4 kilogram heroin di kamar nomor 806 Apartemen Eksekutif Panorama Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Karina yang seorang pendeta, dipilih menjadi rohaniwan yang mendampingi Osmane. Maka sejak hari itu, pada pekan keempat setiap bulan, mereka bertemu di gereja Nusa Kambangan. "Dia anak saya, dan mereka menembaknya," katanya.

Karina berada di penjara Nusa Kambangan sejak hari Rabu, 27 Juli 2016 (Osmane dieksekusi Jumat dini hari. Ada adiknya juga di sana tapi aku tak tahu namanya). Osmane berada di ruang isolasi sejak hari itu bersama 13 orang lainnya. Karina dan teman sesama rohaniwannya bertugas mendampingi tahanan hingga detik-detik terakhir.

Karina merasa ada yang tak beres pada pelaksanaan eksekusi gelombang III ini. Semua serba mendadak dan tak siap di segala sisi. Rohaniwan tak banyak diberi waktu untuk mendampingi terpidana. Keluarga yang mestinya punya jatah bertemu dengan terpidana sampai pukul 14.30 WIB, ditarik ke luar pada pukul 12.30 WIB pada hari Kamis. "Jaksa terlihat bingung. Kami sesama rohaniwan juga berbisik-bisik, kok gini ya?" ucapnya.

Teriakan-teriakan mulai terdengar dari ruang isolasi menjelang eksekusi. Karina dan kawan-kawannya semula hanya mendiamkan. Mereka kesal karena tak dibiarkan mendampingi dengan leluasa. "Biar mereka (sipir) sendiri yang menenangkan," ujarnya. Tak lama akhirnya Karina memutuskan untuk bernyanyi. "Agar mereka (terpidana) tahu kami ada di sini."

Pertemuan keduanya berakhir pada malam Karina menjemput Osmane dari ruang isolasi menuju lapangan tempat dilaksanakannya eksekusi mati. Malam itu ia merasa dirinya bukan pendeta, melainkan malaikat pencabut nyawa yang membawa anaknya untuk dibunuh. Ada 14 orang dalam ruangan, tapi hanya 4 yang dijemput. Mereka adalah Freddy Budiman, Humprey Ejike, Michael Titus Igweh, dan Seck Osmane. Kesepuluh orang yang tinggal itu melihat empat kawannya di bawa mati. Sementara yang empat bertanya-tanya kenapa hanya mereka yang akan mati. (Jaksa Agung mengatakan 10 orang lainnya akan dieksekusi pada waktu yang belum ditentukan).

Dari ruang isolasi mereka naik mobil menuju lapangan. Hujan deras membuat mereka basah kuyup saat turun dari mobil. Sesaat ada harapan bahwa eksekusi tak jadi dilaksanakan malam itu. Rupanya polisi sudah menyiapkan tenda untuk tempat eksekusi. Ada semacam kayu serupa jemuran berada menancap di satu sisi lapangan. Kayu itu nantinya yang digunakan untuk mengikat Osmane dengan lengan membentuk siku ke bawah.

Karina diizinkan mengucapkan kata perpisahan sebelum Osmane digiring ke lapangan. Ia menghampiri Osmane yang diborgol bersama tiga orang lainnya. Kepala mereka sudah ditutup kain hitam. "Saya peluk dan cium anak-anak saya satu-satu," ucapnya. Meski menjadi pendamping Osmane, Karina juga dekat dengan terpidana lain karena mereka berdoa dalam gereja yang sama. Kecuali Freddy Budiman karena dia muslim. 

Kenangan pada belasan tahun silam sontak menyeruak. Ia mengenang Osmane sebagai orang yang jahil dan suka memberi es krim kepada anak-anaknya. Sangat jauh dari kesan seorang penjahat yang pantas dihukum mati. Sebab Osmane hanya seorang kurir. (Sampai di sini aku berpikir, sejauh mana manusia bisa menentukan siapa yang pantas dihukum mati? Jika orang itu pantas mati, siapa yang paling pantas untuk membunuhnya?)

Tak banyak permintaan dari Osmane di saat terakhirnya. Karina mengatakan, bagi umat kristiani, kematian adalah keuntungan. Barangkali Osmane hanya meminta keadilan yang pada akhirnya tak pernah ia dapatkan hingga peluru menembus jantungnya.

Kuasa hukum Osmane mengajukan grasi beberapa hari sebelum ia dieksekusi. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Grasi bulan lalu membuat pengajuan grasi tak punya batas waktu. 

Pasal 7 ayat 2 itu berbunyi "Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap." MK membatalkan pasal ini melalui sidang pleno pada 15 Juni lalu setelah uji materi yang diajukan oleh terpidana mati Suud Rusli.

Grasi Osmane sudah terdaftar di pengadilan. Namun, hingga ditembak mati, ia tak pernah tahu keputusan grasi itu. Hal yang sama juga terjadi kepada Humprey yang mendaftarkan grasi pada tanggal 25 Juli 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal, sebelum terpidana ditembak mati, ia harus memegang keputusan presiden yang menyatakan bahwa grasi itu ditolak. 

Pada akhirnya Karina tetap melihat Osmane diikat ke tiang kayu berbentuk jemuran. Kedua lengan Osmane tak bisa diikat telentang sepenuhnya karena kayu yang pendek. Lengan bawahnya menjuntai ke tanah. Karina lalu pergi ke kamar untuk menyiapkan sakramen. Tak begitu lama, ia mendengar bunyi "kraak". Dari suara itu ia tahu anaknya telah berpulang. Sakramen dan penyerahan jiwa pun disiapkan.