Subscribe:

Monday 19 August 2013

bukan 5 cm

Kalau kamu pernah melihat ribuan bintang di angkasa dengan sangat jelas tanpa terhalang pernak pernik lampu kota, aku juga melihatnya kemarin. Di malam 17 Agustus tahun ini, di pesisir danau terindah yang pernah ku lihat, Ranukumbolo. Ini bukan cerita tentang perjalanan 5 orang sahabat yang melakukan perjalanan ke puncak Mahameru setelah 3 bulan tidak bertemu. Ini hanyalah cerita tentang janji yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang sejak tahun 2011.

Lebih tepatnya tanggal 15 Agustus 2013, hari Kamis pagi ini  kita bersembilan, Aku, Cengel, Iler, Celeh, Mamel, Rinta, Ardhy, Arifa, dan Ledog berangkat dari Kota Jember menuju Lumajang untuk menjemput Mbak Bledhug. Sesampainya di sana anak-anak yang kurang pengajaran ini tanpa malu meminta makan karena kita semua memang belum sarapan. Setelahnya kita langsung berangkat menuju Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Kita sampai di sana pukul 17.00 WIB. Karena takut dengan perjalanan malam ke Ranukumbolo, akhirnya kita memutuskan untuk menginap di Ranupani. Dari halaman rumah kayu tempat kami menginap, terlihat sebuah pemandangan puncak gunung pasir berselimut awan berdiri dengan angkuh. Mahameru.

Pagi harinya ratusan pendaki mengantri untuk mendapatkan SIM (Surat Izin Mendaki), begitu juga kita. Dan akhirnya kita berangkat menuju Ranukumbolo pukul 10.00 WIB. Perjalanan ke Ranukumbolo kita tempuh dengan berjalan kaki sejauh 17 km yang membutuhkan waktu 5 jam. Segera saja kita mempersiapkan sarang baru kita untuk melewati malam di tepi surganya Semeru.
 
Keesokan harinya setelah mengikuti prosesi Upacara 17 Agustus kita bersiap-siap meninggalkan Ranukumbolo. Membongkar tenda, memasukkan semua barang ke dalam tas masing-masing, mengumpulkan sampah, berfoto sebentar, kemudian pulang.

***

Mungkin aku hanya terlalu lelah untuk bercerita bagaimana detail perjalanan kami. Aku terlalu sakit hati karena kaki yang tak bisa melangkah lebih jauh dari seharusnya, mata yang tak bisa melihat lebih lama, tangan yang tak bisa berbuat lebih banyak, lapisan tekad yang tak pernah sekuat baja, mulut yang di kunci untuk berdoa, dan karena memiliki hati rapuh yang dijadikan korban pesakitan.

Ini bukanlah sebuah perjalanan yang biasa dan akan sering kulakukan. Aku takkan bisa sampai ke sini sendirian tanpa kalian, tanpa kamu. Untuk itu aku sangat berterima kasih sudah membawaku ke tempat yang luar biasa ini. Terima kasih untuk janji yang telah ditepati. Di tempat yang biasanya hanya mampu kukagumi melalui foto-fotomu, aku sedikit menyesali keberadaan kita yang tak banyak membuat cerita. Mataku belum menjadi saksi bintang jatuh yang katanya ada ribuan saat malam. Aku hanya sempat melihat sebuah sebelum kamu memaksaku untuk tidur. Aku belum sempat melihat savana lavender di balik bukit tanjakan cinta. Aku bahkan tidak mendakinya seperti pasangan lain yang menyebut diri sebagai pejuang cinta. Aku terlalu takut untuk berjalan sendiri, dan kamu terlalu sibuk dengan duniamu yang tak pernah bisa kujangkau.

Ranukumbolo. Dua buah gunung dengan matahari tepat di antaranya, dan sebuah danau terdiam di kakinya. Persis seperti lukisan pemandangan yang selalu diajarkan guru kepadaku saat aku masih SD. Hanya itu yang mampu kulihat, tanpa bisa kunikmati. Karena aku terlalu kesepian. Aku terlalu sibuk mencari hatiku yang ternyata sudah ikut membeku bersama embun di ketinggian 2400 mdpl. 

Ranukumbolo. Dia menjadi saksi bisu pencarian pembenaran tentang kita. Tentang aku yang selalu menuntut dicintai, dan tentang kamu yang tak pernah mengizinkanku masuk ke dalam duniamu. Dia melihatku menangis seorang diri di tengah ribuan manusia yang bersuka cita. Aku menangisi bayu yang terdengar semakin samar ketika aku menjauh.

Aku merindukanmu bahkan sebelum kakiku beranjak dari ricik airmu. Aku tidak rela pergi begitu saja dengan memori yang masih kosong. Tapi lagi-lagi waktu yang menjadi pemenang. Dan tak ada harga yang pantas di bayar untuk mengembalikan kita pada waktu itu. Aku sudah terlanjur sakit karena penyia-nyianmu akan diriku. Kurasa janjimu untuk membawaku ke danau itu lagi takkan mampu membasuh luka yang sudah kadung tergores. Tempat indah itu adalah sebuah kenangan menyakitkan karena tubuhku masih ingin kembali  tapi hatiku berkata jangan.