Subscribe:

Thursday, 12 December 2013

Hampir Masuk Bui karena Puisi

Beberapa saat yang lalu saya chatting dengan adik angkatan saya di ALPHA. Namanya Kiky Supriatna Putri. Panggilannya Kiky. Tapi karena sudah ada terlalu banyak 'Kiky' di ALPHA, jadi saya memanggilnya Supri. Biar dia selalu ingat sama bapaknya maksud saya. haha, bercanda Ky...

Si Supri eh, Kiky ini ternyata suka menulis puisi. Saya tahu ini dari blognya. Ada banyak puisi sederhana tapi sedikit sensitif (buat saya). Baru sedikit membacanya, saya sudah ketagihan untuk membacanya lagi, dan lagi. Apa karena kita sama-sama perempuan yang memiliki hati berselaput tipis? Entahlah Pri, yang saya tahu hanyalah saya memahamimu. :)
Coba lihat di sini deh kalo pingin tahu.

Puisi-puisi Kiky Supri mengingatkan saya pada saya bertahun-tahun yang lalu. Sewaktu masih kecil saya suka menulis puisi. Tapi saya terlalu malu untuk mempublikasikan aksara hati kecil saya. Diam-diam saya membeli sebuah buku diari. Sebagai tempat kumpulan puisi dan cerita cinta monyet saya saat duduk di bangku SD. Tidak hanya itu, pada kertas-kertas binder saya menulis sajak-sajak kehidupan yang tidak pernah saya mengerti hingga detik ini.

Pada suatu hari ketika saya membersihkan kamar saya di rumah, saya menemukan isi hati kecil saya itu. Tersimpan dalam tulisan cakar ayam pada kertas-kertas lapuk yang sebagian banyak sudah dimakan rayap. Lembab, tapi masih bisa dibaca. Saya buka lembar demi lembar. Saya baca satu per satu. Saya tertawa. Kenapa saya dulu menulis ini ya? Pertanyaan besar itu muncul seketika. Dalam sebuah laci lemari saya menemukan surat-surat, kartu lebaran, foto ijazah, dan perangko-perangko berstempel. Mau tau bagaimana saya mendapatkan itu semua?

***

Karena hobi menulis itu, akhirnya saya berinisiatif untuk mengirim karya saya ke majalah Bobo. Awalnya begitu niat saya. Kebetulan sewaktu SD itu saya memang sudah langganan majalah Bobo. Karya yang ingin saya kirimkan adalah sebuah puisi. Saya pilah-pilah puisi-puisi saya di buku diari dan binder. Merasa tidak ada yang bagus, akhirnya saya mencoba membuat lagi sebuah. Puisi ini harus bagus agar bisa dimuat. Begitu pikir saya.

Setelah menghabiskan berlembar-lembar kertas, saya putuskan bahwa puisi yang akan saya kirim ke majalah Bobo adalah tidak ada. Saya tidak percaya diri dengan puisi-puisi yang saya buat. Akhirnya saya menyerah dan mencoba melupakan. Hingga pada suatu hari..........

Saat itu pelajaran Bahasa Indonesia. Pada sebuah buku paket Bahasa Indonesia ada puisi yang menurut saya sangat bagus. Puisi itu berjudul "Menyesal". Tidak ada nama pengarangnya di sana. Mm.... Barangkali ada, tapi saya tidak memperhatikan. Akhirnya tanpa merubah sedikitpun isinya, saya mengirim puisi berjudul "Menyesal" karya Maya Ayu Puspitasari ke redaksi majalah Bobo. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Maya yang berusia 21 tahun.

Dua minggu kemudian, saya mendapat kejutan dari majalah Bobo. Pada edisi yang saya lupakan termuat puisi berjudul menyesal 'karya saya'. Saat itu honor yang diberikan kepada penulis yang tulisannya berhasil dimuat di majalah itu bukan uang, tapi merchandise berupa topi dan kaos Bobo. Saya gembira sekali dan mempamerkan hadiah saya kepada teman-teman saya. Mereka bangga pada saya.

Saat itu, saya tidak menyadari bahwa setelah hari bahagia itu hidup saya akan berubah seketika. Selang beberapa hari saya mendapat surat dari seorang guru sastra yang bertempat tinggal di Jakarta. Dalam suratnya beliau mengatakan bahwa saya bisa dipidana karena mengirimkan karya sastra orang lain ke media cetak dan mengklaim bahwa karya itu adalah milik saya. Dari surat itu saya baru mengetahui bahwa puisi yang saya kirimkan ke majalah Bobo adalah puisi milik penyair terkenal, A.Hasjim. Beliau juga melampirkan pasal-pasal pelanggaran hak cipta beserta hukuman kepada para plagiat seperti saya. Saya tidak terkejut membacanya. Saya hanya menangis selama dua jam di dalam kamar mandi.

Selama beberapa hari saya ketakutan. Bayangan-bayangan tentang penjara anak-anak memenuhi pikiran saya. Saya kan masih kelas 5 SD. Apa yang akan terjadi jika saya masuk bui? Apa kata orang nanti? Bagaimana dengan masa depan saya? Karena memikirkan hal-hal itu saya jadi rajin menangis setiap sebelum tidur.

Akhirnya saya mengirim surat balasan kepada Pak Guru tersebut dan meminta maaf serta memohon agar tidak melaporkan saya ke polisi. Alhamdulillah Bapak itu mau mengerti keadaan saya yang memang masih ingusan dan putih. Bersyukur sekali rasanya membaca bahwa beliau bersedia membimbing dan mengajari saya untuk menulis dalam surat balasannya. Ah... leganya....

Setelah itu saya menerima banyak surat dari berbagai daerah. Ada yang dari Sumedang, Kalimantan, hingga Bangka Belitung. Beberapa ada yang protes dengan tindakan saya yang memplagiat karya orang lain. Beberapa ada yang salut dan bangga kepada karya sastra yang saya akui milik saya itu. Dengan rendah hati saya mengaku bahwa itu bukan karya saya dan meminta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia karena sudah menjiplak karya sastra A.Hasjim dengan sadar. Beruntung sekali mereka semua bisa menerima kekhilafan saya dengan lapang hati. Hingga pada akhirnya penulis surat yang semua seumuran dengan saya kecuali bapak guru sastra itu menjadi sahabat pena saya.

Sekitar tahun 2003 hingga tahun 2006 saya aktif menulis surat untuk sahabat-sahabat saya dari seluruh Nusantara itu. Selain surat, kita terkadang menyisipkan kado berupa jepit sebagai hadiah saat kita berulang tahun. Atau kartu ucapan ketika hari raya tiba.

Setelah itu, saya rasa kita semua sudah dibuat lupa kepada kertas dan pak pos dengan kehadiran HP dan internet. Ah, kawan.. saya rindu pada pak pos yang biasa mengantarkan surat-surat kalian. Dulu sebelum saya memiliki nomer HP maupun facebook kalian, kita terbiasa menulis cerita berlembar-lembar untuk kemudian menunggu balasan cerita kalian selama 1-2 minggu. Saat itu harga perangko hanya Rp 2000,-. Lama pengiriman bisa sampai 2 minggu. Tapi saya tidak pernah bosan membaca cerita-cerita kalian.

Tiba-tiba saya merasa beruntung karena mengirim puisi A.Hasjim itu.
Sudah ada yang mengancam memenjarakan saya ketika saya masih kelas 5 SD. Bukankah saya keren? hehe
Tapi, berkat keluguan masa kecil saya itu, saya bisa mendapatkan sahabat-sahabat dari seluruh belahan Indonesia yang bahkan belum pernah saya injaki. :)
Dan saya tidak pernah menyesal telah membuat majalah Bobo memuat puisi 'Menyesal' karya 'saya' itu. hehe

Salam Pena

Maya



Menyesal
Karya A.Hasjim

pagiku hilang sudah melayang
hari mudaku sudah pergi
sekarang petang datang membayang
batang usiaku sudah tinggi

aku lalai di hari pagi
beta lengah di mata muda
kini hidup meracuni hati
miskin ilmu, miskin harta

ah apa gunanya kusesalkan
menyesal tua tiada berguna
hanya menambah luka sukma

kepada yang muda kuharapkan
atur barisan di hari pagi
menuju ke atas padang bakti! 

4 comments:

  1. bener2 pengalaman yg keren ;)

    ReplyDelete
  2. sedikit memalukan ya, karena ketahuan memplagiat..
    hehe
    :D

    ReplyDelete
  3. tulisan ini yg sempat aku omongin tadi sore di kedai Bu Lek....

    ReplyDelete
  4. oalah.... yang ini toh... mau komen apa bang? :D

    ReplyDelete