Subscribe:

Monday, 2 December 2013

Jalan Seorang Penulis

Baru baru ini saya melakukan blogwalking. Blog yang sering saya kunjungi adalah blog acacicu milik Mas RZ Hakim. Bahasa yang sederhana tapi menghanyutkan membuat saya betah berlama-lama mampir pada blognya. Pria yang akrab di panggil Mas Bro ini berhasil membuat saya ketagihan membaca tulisan-tulisannya.

Banyak kosakata-kosakata yang baru saya kenal. Biasanya saya meminta bantuan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mengartikan maksudnya. Selain itu saya juga mengenal banyak orang lewat tulisan Mas Bro. Salah satu orang yang saya tahu adalah seniman bernama Fadli Rasyid.

Menurut yang saya baca, pria yang biasa dipanggil Mbah Fadli itu lahir pada tanggal 7 Juli 1937. Tahun yang sama dengan tahun kelahiran mbah saya. Jadi kalau dihitung, seharusnya Mbah Fadli sekarang berumur 76 tahun. Rumahnya berada di daerah Mumbulsari. Beliau tutup usia pada tanggal 15 April 2009 lalu karena penyakit stroke yang dideritanya.

Pada tulisan Mas Bro yang berjudul #5BukuDalamHidupku: Jalan Seorang Penulis ada tulisan Mbah Fadli yang membuat saya tersentuh. Akhirnya saya terdorong untuk menuliskan kembali tulisan Mbah Fadli yang berjudul Jalan Seorang Penulis tersebut.

Jalan Seorang Penulis:

Seorang penulis mempertaruhkan hidupnya untuk setiap kata terbaik yang bisa dicapainya. Ia menghayati setiap detik dan setiap inci dari gerak hidupnya, demi gagasan yang hanya mungkin dilahirkan oleh momentum yang dialaminya. Menulis adalah suatu momentum. Tulisan yang dilahirkan satu detik ke belakang atau satu detik ke depan akan lain hasilnya, karena memang ada seribu satu faktor - yang sebenarnya misterius - dalam kelahiran sebuah tulisan.

Meskipun begitu, momentum penulisan bukanlah wahyu. Momentum penulisan selalu mempunyai sumbu sejarah ke masa silam dengan pengertiannya yang paling absolut. Tentu, kita tidak akan pernah tahu persis biang kerok macam apakah yang nangkring di serat-serat dalam sumbu sejarah itu. Namun barangkali saja kita percaya, betapa setiap titik yang terkecil dalam garis perjalanan roh kita, sejak masa entah kapan menuju ke suatu ruang di masa depan, memberikan sumbangannya masing-masing dalam momentum penulisan. Belajar menulis adalah belajar menangkap momen-momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.

Kemudian, yang paling penting bagi seorang penulis, adalah bagaimana ia bisa setia kepada sungai kehidupan yang menghanyutkan, kehidupan seorang penulis itu seperti seorang pengembara yang diarungkan perahu melewati gua-gua dunia fantasi dalam sebuah sungai di bawah tanah. Cuma saja, apa yang disebut fantasi ini sangat boleh jadi bukan fantasi sama sekali. Bisa fantasi bisa tidak. Tepatnya, fantasi atau bukan fantasi, hal itu sudah tidak penting lagi. Masalahnya, kita bisa setia atau tidak kepada realitas apa pun yang kita lewati. Kalau kita memang penulis, maka kita akan menuliskan apa pun yang menyentuh diri kita.

Sehingga memang tidak ada yang terlalu istimewa dengan menjadi seorang penulis. Dengan segenap disiplin yang telah menyatu dalam darahnya, ia menulis seperti bernapas, sama seperti seorang pembalap harus melaju di sirkuit, sama seperti seorang prajurit harus terjun dalam pertempuran, meskipun resikonya kematian, karena itu semua memang merupakan tugas yang diberikan oleh alam. Adapun tugas seorang penulis adalah menulis dengan jujur - meskipun resikonya adalah juga kematian, pada saat yang diperlukan.

Dengan begitu, menulis sebenarnya tidak lebih rendah dan tidak lebih mulia dari bidang tugas apapun yang bisa dipilihkan untuk manusia. Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa - suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas di timbang-timbang.

Apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, dimana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha serta kepada hidup itu sendiri - satu-satunya hal yang membuat kita ada.



Membaca tulisan Fadli Rasyid, saya jadi tidak percaya apabila ada yang berkata bahwa hidup hanya selama kita bernapas saja. Bahkan ketika beliau telah tiada, aksaranya tetap memberi kehormatan pada kebenaran. (RZ Hakim)

2 comments: