Subscribe:

Sunday 28 December 2014

Piknik Ceria

AAAAaaaaaaa……………………….
Aku mendengar jeritan, yang sedetik kemudian aku sadari jeritan itu keluar dari mulutku. Tubuhku dihisap ke bawah. Isi perutku rasanya pindah ke dada. Jantungku terbang ke tenggorokan. Nyawaku tertinggal di garis start.

***
Sabtu, 27 Desember 2014

Kembali pada hari ini yang cerah. Ada sebuah alasan kenapa hari kemarin Ibuku ngotot menyuruhku pulang. Ibu-ibu di kampungku berencana mengadakan piknik bersama di tempat wisata Umbul di daerah Glenmore, Banyuwangi, dan Ibuku salah satu penggagas acara itu. Sebab itulah ketika aku baru saja datang dari kota rantau, Ibu langsung membokingku untuk mengantarnya ke Umbul hari Sabtu ini.

Karena takut dikutuk menjadi batu, akhirnya aku memilih patuh. “Kita berangkat jam 8 nduk, ayo siap-siap,” seru Ibu sambil ngosreng-ngosreng wajan. Masih jam 7 pagi, aku masih ogah-ogahan sambil baca novel. Jam 07.30 aku baru masuk kamar mandi. Ibuku menggedor-gedor pintu kamar mandi untuk memprotes ritual mandiku, “Ngapain mandi? Kan mau renang! Cepetan! Wong-wong wes ngenteni.” Rupanya peserta yang lain sudah siap sedia. Mereka menungguku yang masih kungkum di kamar mandi.

Sekitar jam 8 lebih sedikit aku selesai. Berangkatlah kita dengan suka cita ke Umbul Pule. Tempat wisata kolam renang dengan tiket seharga Rp 10.000 saja. Peserta anak-anak dan Ibunya menaiki mobil milik Mbak Fitri, sedang remaja dan dua orang Ibu, termasuk Ibuku, naik sepeda motor.

Brrrr…… dinginnyaaaa… kolam ini seperti air es. Padahal aku baru saja nyemplung. Umbul Pule adalah sebuah telaga jernih yang konon airnya tak pernah surut meski musim kemarau tiba. Seperti kolam renang pada umumnya, kolam renang di Umbul Pule dilengkapi dengan waterboom dan berbagai permainan air. Kolamnya pun bervariasi. Ada kolam untuk balita, anak-anak, remaja, hingga kolam untuk orang dewasa yang memiliki kedalaman hingga 3 meter. Setiap kolam memiliki waterboom dan mainan yang disesuaikan dengan karakteristik penggunanya, kecuali pada kolam orang dewasa, kolamnya polosan, tanpa sejumput mainan. Tidak asik.

Di kolam balita, airnya dangkal sekali. Hanya sedikit lebih tinggi dari tumit. Yaah.. namanya juga balita. Prosotannya hanya sepanjang kakiku (aku pernah mencobanya). Kolam anak-anak lebih sempit dari kolam balita, tapi permainannya lebih banyak. Waterboom mininya ada 4 macam dan ada sebuah ember besar menggantung di atas yang bisa memuntahkan air ketika sudah terisi penuh (aku sangat menikmati bermain di kolam ini). Kolam anak-anak – remaja memiliki dua buah waterboom yang panjang tapi tidak terlalu tinggi. Bagi yang memakai celana renang yang kasar harus menarik dirinya ke depan agar tidak berhenti di tengah jalan (untung saja celanaku licin).

“Mbak, sampean berani naik itu?” tanya Rani sambil menunjuk waterboom di kolam sebelah. Kolam itu di dominasi oleh remaja dan orang dewasa, ada juga beberapa gelintir bocah. Rata-rata laki-laki. Aku tidak sungguh-sungguh melihat waterboom yang ditunjuk oleh Rani. Tapi yang namanya waterboom paling juga cuma gitu-gitu aja. “Berani lah, Ran,” kataku acuh.

Aku, Rani, Murni, Ariel, dan Silvi (kami ini kembang desa loooh) berangkat menuju waterboom yang ditunjuk Rani tadi. Ketika sudah dekat, barulah aku sadar kenapa Rani bertanya apakah aku berani mencobanya atau tidak. Tingginya sekitar 10 meter dengan kemiringan 75 o dan tanpa kelokan. Langsung terjun ke bawah! Meski mendekati ujung akhirnya landai, garis start di ujung yang nyaris tegak lurus bumi itulah yang menciutkan nyali. Rani maju ke depan mengajakku. Kembang desa yang lain melipir di pinggir. Mereka lebih senang jadi tukang sorak.

Prosotan itu ada dua buah. Berjejer beda warna, tapi bentuknya sama persis. Ada pemandu di atasnya, yang bertugas memberi aba-aba untuk yang di bawah agar minggir ketika ada yang meluncur. Setelah aku mengamati orang-orang yang meluncur, mereka memang terpental jauh dan keras daripada efek waterboom yang lain. Itulah gunanya pemandu di atas, untuk menghindari kecelakaan kolam yang mengerikan.

Aku berjinjit-jinjit menaiki tangga menuju waterboom jahanam itu. Mentas dari kolam dan bersatu dengan udara membuat kulitku semakin meremang saking dinginnya. Ada sensasi aneh ketika aku mulai menaiki tangga. Perutku mual, dan aku gemetar. Karena dingin? Atau karena takut? Entahlah..

Ada sebilah besi di atas garis start yang digunakan untuk berpegangan agar tidak tergelincir sebelum pemandu memberi aba-aba. Aku dan Rani berdiri di atas perosotan curam sementara pemandu memberi aba-aba agar yang dibawah segera minggir. Aku di sebelah kiri, Rani di kanan. Aku duduk sambil memegangi bilah besi. Pemandu memberi petuah padaku agar tanganku tidak menyentuh atau mencoba berpegangan pada sisi-sisi prosotan. Aku menurut. Aku duduk menghadap ke bawah. Kemudian, dengan gerakan yang pelan pemandu mendorong punggungku agar aku mulai berseluncur. Dan…

AAAAaaaaaaa……………………….
Aku mendengar jeritan, yang sedetik kemudian aku sadari jeritan itu keluar dari mulutku. Tubuhku dihisap ke bawah. Isi perutku rasanya pindah ke dada. Jantungku terbang ke tenggorokan. Nyawaku tertinggal di garis start.

Croooosh……… blebblebblebbleb..
Aku gelagapan mencari udara. Air masuk melalui lima lubang di tubuhku. Linglung aku berusaha berdiri tapi gagal. Aku tercebur lagi. Kemudian aku melihat Rani terpental lebih jauh dari aku, dia juga kalap. Setelah sepenuhnya sadar, aku melihat mata semua orang tertuju padaku. Remang-remang bahak menyusup di telingaku yang penuh air. Aku baru saja menjadi badut hiburan di Umbul Pule.

Tentu saja orang-orang itu tertawa. Dari sekian banyak orang yang meluncur pagi ini, hanya aku lah yang menjerit-jerit dari atas hingga bawah. Duh, betapa memalukannya. Bersama Rani aku menepi ke pinggir kolam. Menuju para kembang desa menyemangati aku dan Rani tadi. Kami semua juga ikut menertawai ketololanku. “Ayo lagi, Mbak!” ajak Rani kepadaku. “Ayo pindah ke kolam anak-anak aja,” aku menyeretnya dengan sayang.

Kami semua memutuskan untuk pindah ke kolam anak-anak. Untuk menormalkan jantung yang tadi sempat pindah ke tenggorokan. Berani bertaruh, di kolam itu akulah yang berusia paling lanjut. Kawan bermainku adalah sebangsa TK hingga SD. Ariel dan Silvi sudah SMP, Rani baru masuk kuliah. Aku sendiri seorang Sarjana.

Aku bermain di prosotan anak-anak yang mini, yang membuatku harus menekukkan lutut agar aku bisa meluncur. Menunggu ember terisi penuh dan berjingkrak-jingkrak ketika isinya tumpah. Tertawa terbahak-bahak untuk setiap ketololan yang kubuat sendiri. Betapa lepasnya, betapa rindunya merasakan tak punya beban. Aku si Sarjana, pulang ke masa kecil.

Mendekati saat-saat ingin mentas, aku mengajak Rani untuk mencoba lagi prosotan jahanam itu. Aku ingin membuktikan apakah teriakanku tadi karena aku benar-benar takut atau hanya karena kaget tiba-tiba tubuhku seperti dihisap bumi. Kali ini kita berpindah posisi, aku di sebelah kanan. Aku membuat diriku benar-benar siap kali ini. Dengan aba-aba dari pemandu, kami meluncur. Aku menyumpal mulutku agar tidak berteriak. Tapi nyawaku tertinggal untuk yang kedua kalinya. Lalu ketiga kalinya.

Terima kasih, Ibu.. sudah mengajakku piknik hari ini.. :)

Saturday 27 December 2014

Cinta Pertama

Genteng, di sebuah kamar masa remaja

Pagi yang cerah di bulan musim penghujan, Bulan Desember. Kata orang jawa, Desember artinyaGede-gedene Sumber, banyak-banyaknya sumber air mengalir. Hujan memang tidak pernah absen mengguyur kota kelahiranku dalam sebulan ini. Pagi ini langit tidak menunjukkan tanda-tanda mau turun hujan. Awan gelap hanya merubung puncak Gunung Raung yang terlihat jelas dari jalan depan rumahku.

Saat aku menulis ini, Gunung Raung berstatus waspada. Gunung yang memiliki ketinggian 3.332 mdpl itu memiliki sejarah kelam rentang 5 abad terakhir. Meletus untuk pertama kali pada tahun 1586, tercatat banyak korban jiwa dan wilayah disekitarnya rusak parah. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun 1597, gunung ini menunjukkan kemurkaannya lagi. Letusan kedua tak kalah dahsyatnya dan kembali mengambil nyawa manusia. Letusan dahsyat kembali keluar dari gunung yang berada di perbatasan Banyuwangi, Jember, Situbondo, dan Bondowoso pada tahun 1638. Banjir lahar menerjang di daerah antara Kali Setail Kecamatan Sempu dan Kali Klatak Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi. Namun letusan paling dahsyat terjadi pada tahun 1730. Wilayah yang terkena dampak ledakan lebih luas daripada letusan pertama, kedua, dan ketiga. Dan lagi-lagi, Sang Gunung meminta nyawa sebagai tumbalnya. Letusan demi letusan terjadi hingga tahun 1815. Selanjutnya, Gunung Raung relatif tenang. Kejadian yang terlihat hanyalah gempa bumi berskala kecil, semburan asap membara, dan adanya aliran lava di kaldera. Tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Hingga sekarang, statusnya kembali waspada.

Gunung itu masih megah walau sudah meletus berkali-kali dan masih membuatku tersipu manakala ada yang mengajakku mendakinya. Mengajakku mendaki gunung mungkin sama halnya dengan mengajak seorang wanita untuk makan malam romantis di pinggir pantai Jimbaran, Bali. Sang wanita akan berdandan sedemikian cantik, menghabiskan seluruh pagi untuk mencoba pakaian mana yang pas, kemudian tidak bisa tenang hingga malam datang. Aku juga sama. Ketika ada yang mengajakku mendaki, aku akan melatih fisikku sedemikian kuat, menghabiskan seluruh pagi untuk berolahraga, makan makanan yang bergizi, dan tidak bisa tidur hingga hari pemberangkatan. Aku tak pernah sabar untuk segera bertemu sang pujaan.

Perkenalanku dengan gunung terjadi saat aku duduk di bangku TK. Saat itu, Bu Annis menggambar dua bentuk garis lengkung yang sedikit lancip ke atas saling berjejer. “Anak-anak, ini adalah gunung,” Bu Annis memperkenalkan dua garis lengkung itu. Aku hanya mengangguk-angguk saja dan meniru gambar Sang Master. Setelah itu, hingga tamat SMP, ketika pelajaran menggambar, aku selalu menggambar gunung lengkap dengan teman-temannya. Sawah, sungai, dan hutan. Terkadang aku juga menyisipkan lautan di kaki gunung. Selama itu, aku hanya bisa meraba wajah gunung, tanpa tahu rupa yang sebenarnya. Aku selalu takjub melihat puncak Gunung Raung yang menyembul di antara deretan rumah di sekitar rumah mbahku. Apalagi ketika cuaca cerah tanpa awan, aku bisa melihat jelas lekuk-lekuk tubuhnya. Begitu dekat, tapi tak terjangkau. Saat itu, aku tidak tahu, bahwa mendaki gunung adalah mungkin. Bahkan untuk aku si kutu buku.

Aku sering melihat di televisi orang-orang yang gemar mendaki gunung. Mereka membawa tas besar yang baru kutahu ketika aku berumur 18 tahun bahwa itu namanya tas carrier. Pemandangan yang disorot kamera itu selalu berhasil memukau mata. Tapi aku tak pernah percaya pada gambar yang terekam televisi. Aku lebih percaya pada apa yang ditangkap lensa alami pemberian Tuhan. Tidak ada kamera yang resolusinya lebih besar daripada mata manusia. Panorama itu pastilah jauh lebih indah jika aku melihatnya sendiri. Lalu aku membayangkan diriku mencangklong tas carrier.

Hingga datanglah hari itu. Sebuah siang di bulan Maret pada tahun 2013. Seorang teman mengajakku mendaki Gunung Ijen. Gunung yang terletak di perbatasan Bondowoso dan Banyuwangi. Tingginya memang tidak seberapa, hanya 2.443 mdpl. Tapi walaupun begitu, namanya tetaplah gunung. Tentu saja aku menerima tawaran itu dengan suka cita. Siang itu aku membatalkan janji kencan dengan Alit dan langsung melaju dari Jember ke Banyuwangi. Alit adalah pacarku kala itu, dan aku tidak pernah bermimpi mendapatkan kesempatan mendaki gunung untuk yang kedua kali hingga akhirnya aku berani melanggar janji kencanku. Toh aku masih bisa ketemu dia kapanpun aku mau, begitu pikirku. Demi melihat raut muka dia yang selama ini hanya bisa kugambar.

Kami berangkat bersebelas dari Genteng sekitar jam dua siang. Sampai di paltuding sudah hampir maghrib. Malamnya, kami tidur di shelter terbesar yang berada di pinggir lapangan. Aku kedinginan, teman-temanku kedinginan. Begitu dingin. Seperti masuk ke dalam kulkas raksasa. Malam itu kami membuat api unggun, dan bercengkrama di bawah atap hotel bintang sejuta. Langit.

Sekitar pukul 03.00 kita memulai pendakian. Jalan yang semula datar tiba-tiba menanjak ketika mulai masuk hutan. Loh? Loh? Kok naik? Aku tidak siap. Aku lupa kalau gunung itu tidak datar. Di dahiku mulai muncul keringat dingin. Perjalanan pertamaku ini ditempuh dengan sangat lama, karena sebentar-sebentar berhenti. Ditambah ada seorang temanku yang hampir pingsan. Semakin siputlah jalan kita. Aku sendiri juga merasa mual. Tapi kupaksakan langkahku. Aku tidak mau berhenti sebelum sampai di garis finish.

Akhirnya, sampailah kita tepat saat matahari mulai terbit. Puncak Kawah Ijen. Rasanya seperti menyembul ke atas awan. Aku melihat gumpalan kapas yang bertebaran di bawahku. Di depanku, kaldera seluas 1.200 meter persegi menjadi mangkuk bagi si danau hijau yang berasap. Dari bawah sana bermunculan lelaki perkasa memanggul belerang seberat 80 kg. Para penambang belerang. Setelah lelah berjalan dan mengambil gambar, kami tertidur di pinggir kaldera. Saat itu, aku sadar, bahwa mendaki gunung adalah mungkin. Bahkan untuk aku si kutu buku.

Aku tiba-tiba merasa menang dari televisi. Sudah kubilang, tak ada yang lebih cantik dari apa yang dilihat mata. Seperti bertemu kekasih yang lama terpisah.  Aku tidak rela lekas beranjak dari dingin dan ketinggiannya. Pada pertemuan pertama itu, aku jatuh cinta. Cinta pertamaku.

Selama ini aku selalu skeptis pada orang-orang yang suka mendaki gunung. Untuk apa sih mendaki gunung? Setelah ketemu puncak, trus ngapain? Turun? Udah, gitu aja? Tapi hari itu, aku mengerti. Makna mendaki gunung tidak berhenti sampai kita sudah berhasil turun. Pelajaran dan pengalaman yang kita peroleh selama perjalanan akan selamanya hidup dan membekas. Kamu mengerti kan? Jika belum, tunggulah aku menceritakan perjalanan lain yang mungkin akan membuatmu mati karena bosan.

Cinta ini adalah murni, bukan mengada-ada. Aku bisa saja menikahi samudra, tapi aku tidak bisa memilih untuk tidak mencintai gunung. 

dari kiri: jarot, wisnu, gege', billy, maya, ricahk, cephi, lupa, hanif, mugar, lintang

Pagi itu kita memijak daratan yang lebih tinggi dari biasanya
Sejengkal saja kepalaku di bawah langit
Mendekat aku padamu
Meredam dingin yang hangat
Malam lalu kita di bawah bintang yang sama
Menuju ke atas awan
Kita bertatap muka
Memudarkan dinding jarak yang menghalangi
Hanya sunyi terdengar
Hingga canda meleburkan perseteruan kala lalu
Aku dan kamu
Kepada bara kita bercerita
Berbagi panas untuk melelehkan es dalam hati
Bergandengan pada setiap tarikan nafas yang putus-putus
Aku dan kamu
Tertidurlah di atas puncak itu
Hati yang berkelana
Di bawah persatuan matahari dan embun
Di atas awan

Wednesday 25 June 2014

Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tidak sempat diucapkan kayu pada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tidak sempat dikirimkan awan pada hujan yang menjadikannya tiada.
-Kahlil Gibran-

Bunda, ini untukmu..
Bunda, tidak terasa aku sudah mengenalmu hingga 21 tahun lamanya. Selama itu, aku mengerti betul atas kerinduanmu pada laki-laki yang mencintaimu dalam segala kesederhanaanmu. Pada laki-laki yang menerima apa adanya Bunda, serta mau tumbuh tua bersama Bunda. Sama, Bunda. Aku juga merindukan laki-laki yang memiliki senyum menentramkan serta pelukan yang didalamnya terhimpun sejuta kasih sayang dalam keluarga kita. Kita pernah memilikinya kan, Bunda?

Bunda, jalan hidupmu memang penuh liku dan kerikil, kadang batu besar juga turut menyandung. Sering aku menjumpai genangan air mata di sudut-sudut jalan itu. Selalu saja tentang penghianatan oleh orang yang sama, yang membuat genangan-genangan itu semakin luas dan menganak sungai. Dan aku selalu emosi melihatmu terluka sedemikian rupa. Maafkan aku karena membenci segala bentuk penghianatan, Bunda.

Bunda sering bilang bahwa Bunda bisa saja sabar, tapi tidak dengan ikhlas. Ikhlas memang pelajaran hidup paling sulit, tapi Bunda sudah bertahan sejauh ini. Tetaplah bertahan jika memang itu yang perlu dilakukan. Ini mungkin waktu terberat yang kita miliki, tapi Tuhan tidak akan pernah menguji umat-Nya melebihi batas kemampuannya kan, Bunda?

Bunda pasti tau surat Al Ikhlas. Di surat itu, tidak ada satupun disebut kata "ikhlas". Berhentilah Bunda mengatakan tidak bisa ikhlas, dengan Bunda tetap menjadi wanita dan istri yang menerima Ayah apa adanya, inshaa Allah Bunda akan bisa ikhlas tanpa terucap. Berkata itu memang mudah, Bunda, dan bukan berarti aku juga bisa melakukan hal hebat yang tidak setiap wanita bisa lakukan seperti apa yang saat ini tengah Bunda jalani. Hanya saja aku ingin Bunda bersemangat dan tetap memberikan cinta pada laki-laki yang telah membuatku ada.

Mungkin saja ini adalah takdir hidup yang harus dijalani Bunda. Anggap saja Tuhan sedang ingin menjadikan Bunda sebagai salah satu bidadari tercantik yang menghuni surgaNya, dengan cara jatuh cinta kepada Ayah.


Salam manja,

Gadis kecilmu

"Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.

Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.

Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana."  -Tere Liye-

Tuesday 10 June 2014

Menunggu Senja


Biasanya gadis itu tidak minum susu kecuali susu bendera botol rasa strawberi. Tapi pagi ini dia memilih susu milo dingin untuk menemaninya menunggu senja. Aku tidak bisa memastikan apakah segelas es susu ini bisa bertahan hingga 8 jam kedepan. Bahkan aku juga tidak berani bertaruh apakah dia betah menunggu selama itu. Seorang diri.

Sudah berjam-jam, gelas susu coklatnya belum tersentuh. Rupa susunya sudah memutih, karena es didalamnya melebur. Pasti rasanya campak. Beberapa kali dia melihat ke arah jalan raya, lalu beralih ke jam tangannya. Sudah semakin siang. Si gadis masih bertahan.

Hawa panas kota ini menjadi-jadi tiap menitnya. Tapi si gadis hanya diam. Mau bersedu sedan pada siapa? Segelas es susu tawar? Tak perlu. Menunggu waktu tidak seperti menunggu manusia. Senja pasti datang pada saatnya. Dia tahu, waktu tak pernah datang terlambat.


Surabaya, 10 Juni 2014  11:39

Sunday 1 June 2014

1 Juni

Juni, bulan musim semi yang hangat. Bulan kesaktian Pancasila. Bulan kelahiran Ibuku. Bulan seharusnya aku di wisuda.

Maafkan putrimu yang bandel ini ya, Bu. Aku tidak bermaksud mengulur-ulur waktu. Bersenang-senang menjadi mahasiswa yang bisanya meminta uang. Ku akui, menjadi mahasiswa memang menyenangkan sekaligus menakutkan. Aku telah disenangkan dengan masa muda yang menawarkan pintu-pintu baru. Tapi jika aku tidak berhati-hati, pintu-pintu itu akan memberiku ketakutan tanpa batas di masa depan.

Sepertinya orang-orang dari masa lalu itu benar. Semakin kita dewasa, semakin besar tanggung jawab yang ada di pundak, juga ujian hidup yang tak pernah berhenti melambai.

Beberapa waktu lalu, anak pertamamu ini dihadapkan oleh realita yang menyesakkan. Tentu sebenarnya aku ingin mengadu kepadamu, Bu. Seperti dulu. Ibu ingat? Saat di TK dulu aku sangat manja, dan nakal. Selalu saja merepotkan Ibu. Bahkan hingga SMA, aku belum berhenti menyusahkanmu. Sekarangpun masih tetap begitu. Tapi Ibu sudah tidak muda seperti dulu. Jadi kuurungkan saja niatku untuk mengadu kepadamu, Ibuku sayang. Aku tidak mungkin menambah bebanmu yang sudah semakin berat akhir-akhir ini. Aku beruntung masih mengenal Tuhan meski tidak terlalu baik. Hanya saja, aku kesulitan menemukan tempat untuk pulang...

Ah, sudahlah. Biarkan saja anak gadismu ini, Bu. Tak perlu Ibu risau memikirkanku. Seperti kata Tere Liye, "Biarlah, biarlah kisah perasaan kalian yang spesial, ditulis langsung oleh Tuhan. Percayakan pada pemilik skenario yang terbaik." 


Selamat 1 Juni :) 

Thursday 29 May 2014

Ekspedisi Arjuna #part 9 : Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung

Kata Fani, "Puncak bukanlah akhir dari sebuah perjalanan". Puncak adalah perjalanan menuju puncak-puncak selanjutnya. Dan untuk menuju ke puncak-puncak yang lain itu, ada satu hal yang wajib dilakukan ketika kita sudah sampai di sebuah puncak. Turun.

Puncak Arjuna, 20 April 2014

Jam 13.30 WIB. Kami tidak menghabiskan banyak waktu berada di ketinggian ini. Beberapa menit setelah kedatangan Mamel, Gobes, dan Rohim, kami segera merayap turun. Dataran di bawahku berwarna putih. Kabut masih saja betah menyelimuti puncak itu.

Kami kembali melewati bukit-bukit gundul yang semula kukira puncak. Dan kuburan itu lagi. Saat ini manusia hidup yang berada di gunung ini bisa dipastikan hanyalah kami ber14. Hari ini adalah Minggu. Kecil kemungkinan ada pendaki yang baru mau naik ketika besok sudah hari Senin. Aku sedikit merinding menyadari hal itu.

Kemudian turunlah gerimis itu. Badai kemarin masih menyisa trauma dalam diriku. Dalam hati aku terus berdoa agar hujan tidak turun sampai kami kembali pulang. Beruntung gerimis segera berhenti, dan tiba-tiba sinar matahari menyeruak di antara kabut.

Tentu saja perjalanan turun lebih cepat daripada naik. Tapi sejujurnya aku lebih suka naik daripada turun. Entahlah, aku seperti tidak punya kepercayaan pada kakiku. Aku selalu takut terjatuh. Ku raih apapun yang bisa kujadikan pegangan sehingga membuat telapak tanganku lecet-lecet. Aku tidak berani bermain prosotan seperti yang dilakukan geng PA. Andaikan aku tadi membawa matras.

Sekitar jam tiga sore kami sampai di lembah kembar. Fian dan Fani tiba lebih dulu, selanjutnya Nenek, Wisnu, dan Icham, lalu Aku, Gobes, Mamel, Rohim, dan Alit. Cepi, Mas Sipon, dan Mas Penceng masih di belakang. Kata Gobes yang tadi bersama Cepi, Cepi muntah dan tidak kuat. "Lho, kok ditinggal Bes?" tanyaku. Ternyata Mas Sipon yang menyuruhnya jalan duluan agar kita bisa mengepack barang-barang untuk pulang. Hari ini adalah diesnatalis MAPALA K.E, jadi Mas Sipon dan Mas Penceng sudah harus kembali ke Malang malam ini.

Sekitar 15 menit berlalu. Tenda-tenda sudah dirobohkan, siap dijejalkan kembali ke dalam carrier. Tiba-tiba Mas Penceng muncul dengan sempoyongan. "Rek, gak enek seng gelem nulungi Sipon nggendong Cepi?" kemudian dia ambruk. Alit bergegas menuju ke arah datangnya Mas Penceng, kemudian dia kembali membawa Cepi yang menangis dipunggungnya.

Melihat kondisi Cepi yang seperti itu rasanya tidak memungkinkan bagi kami untuk pulang saat itu. Akhirnya dengan berat hati Mas Penceng dan Mas Sipon merelakan untuk tidak merayakan hari jadi organisasi yang telah mengajari mereka survival di dalam hutan. Kami semua tulus meminta maaf.

Malam itu tenda yang sudah dirobohkan kembali digelar. Setelah makan malam dan bersih-bersih, aku memutuskan untuk segera tidur. Para geng PA membuat api unggun yang gagal dibuat pada dua malam sebelumnya. Malam yang hangat di ketinggian 2700 mdpl.


Lembah Kembar, 21 April 2014

Ini adalah sarapan terakhir kami dalam perjalanan ini. Sisa logistik masih cukup banyak, tapi air tinggal sedikit. Setelah sarapan usai, kami berkemas untuk yang ke sekian kalinya. Berpamitan pada alam yang sudah begitu baik menjaga keselamatan kami. Selama 4 hari ini, badai es mengambil juara dalam kategori cerita paling membekas dalam perjalanan kami, aku khususnya.

Perjalanan turun memang relatif singkat. Selama di perjalanan, makanan memotivasiku untuk bergerak lebih cepat. Bakso, apel malang, nasi goreng, ayam goreng.. hmm.... *kruyuk..kruyuk..*

Geng 5 meter ditambah Fani dan Cepi sudah berada di depan. Ada jalan bercabang di depan kami. Icham yang berada paling depan memilih jalan kiri. Sepertinya jalan itu menuju ke ladang tempat kami bermalam dua hari yang lalu. Aku berada di belakang bersama Fian. Kemudian Mas Penceng memanggil kami, kami di suruh mengambil jalan kanan, tapi kami sudah jauh. Akhirnya kami berpisah jalan dengan geng PA.

Sampai di ladang, kulihat ada Alit menjemput kami dari depan. Gosong sudah di bawah, yang lain entah kemana. Kami lupa arah ke pos pendakian, sehingga kami mencari jalur untuk sampai ke jalan raya. Dengan dandanan yang lesu, kotor, dan bau, kami mengitari ladang mencari jalan pulang. Ada sepercik rasa bangga dalam diriku. Bukan karena aku sudah mencapai puncak, tapi karena aku sudah berhasil turun.

Aku menoleh ke belakang, Arjuna dan Welirang tidak bergeming. Lembah kembar tampak begitu luas. Aku sebagai penikmat alam, tidak menikmati perjalananku seperti biasanya. Selama ini yang kucari hanyalah apa yang bisa dilihat dan didengar. Aku selalu ingin berada di atas awan, mengamati lautan bintang sembari berharap ada yang jatuh. Menyaksikan debur ombak dan mendengarkan dari kejauhan. Lantas tidak akan ada yang terjadi setelah aku menjadi saksi atas anugerah semesta yang maha indah itu. Alam akan tetap sama, begitu juga dengan aku.

Sejujurnya, hanya sedikit keindahan yang bisa ditangkap oleh indra pada perjalanan ini. Tapi ada banyak limpahan keindahan yang bisa ditangkap oleh hati. Seperti kata Mas Cetar, bukan tempat yang selalu menjadi warna, tapi manusianya.

Arjuna adalah perjuangan tak terencana, yang memberikan pelajaran untuk melakukan rencana selanjutnya.

Hal yang wajib dilakukan ketika naik gunung: turun

the end

#part 1  : Menuju 3676 mdpl
#part 6  : Mendaki Gunung
#part 7  : Badai Pasti Berlalu
#part 8  : Di Dalam Awan
#part 9  : Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung

Ekspedisi Arjuna #part 8 : Di Dalam Awan

Lembah Kembar, 20 April 2014

Habis gelap terbitlah terang. Pagi ini benar-benar memberikan semangat baru pada kami yang baru saja diterpa badai semalam. Tidak banyak bermalas-malasan seperti biasa, cepat-cepat kami berkemas dan menyiapkan perbekalan untuk menuju titik tertinggi dari perjalanan ini. Puncak Arjuna.

Carrier dan barang-barang yang berat kami tinggalkan di tanah perkemahan. Kami hanya membawa logistik secukupnya dan jas hujan untuk berjaga-jaga datangnya badai. Kita terlambat dua jam dari waktu yang direncanakan. Pukul 09.00 kami berangkat. Berdasarkan perkiraan Mas Penceng, perjalanan kami akan memakan waktu 3,5 jam.
Menyusuri lembah, menuju puncak
Hingga sampai di padang rumput, jalan setapak yang dilalui masih landai walaupun sempit. Lagi-lagi aku yang paling payah menyeimbangkan tubuh. Hasilnya aku terpeleset berulang kali. Di padang rumput kami bertemu dengan pendaki lain yang mau turun. Rupanya mereka bermalam di padang rumput dan berangkat subuh menuju puncak.
Bertemu musafir gunung Arjuna
Setengah jam berlalu, jalan mendatar sudah habis masanya. Padang rumput berganti dengan jalan setapak terjal dan berbatu. Aku mulai merasa tidak sehat. Perutku mual dan kepalaku pusing. Masih tiga jam lagi untuk sampai ke puncak. Aku melihat jurang di bawahku. Aih... mataku langsung berkunang-kunang.

"Aku tunggu sini aja ya?" aku berpegangan pada batu yang besar. Aku merasa tidak enak kalau tiba-tiba nanti aku tidak kuat di tempat yang lebih jauh. Aku tidak ingin merepotkan siapapun. Tapi teman-teman tidak setuju aku menunggu mereka di bawah sini. Mas Sipon menyuruhku untuk istirahat sejenak. Alit dan Fian ikut berhenti sementara menunggu kawan-kawan yang masih di bawah.

Lima menit setelah aku minum air gula, aku memberanikan diri untuk melangkah lagi. Aku pikir juga akan sayang kalau aku menunggu di sini sementara yang lain sudah mencicipi titik di atas 3000 mdpl. Aku jadi teringat slogannya si Icham ketika kita baru berangkat. Sore itu di ladang dia berteriak untuk membakar semangat kami, "Lebih baik pulang tinggal nama daripada gagal muncak." Lututku lemas seketika. hahaha.. dasar tentara nggatheli (Icham saat itu pakai baju tentara lengkap dengan sepatu boot dan kaus kaki lorengnya).

Langkahku semakin ringan. Mual dan pusing yang tadi menyergap sudah lenyap bersama lembah yang makin mengecil. Pohon cemara dimana-mana. Ah.. jadi lagu itu benar ya..
Naik..naik... ke puncak gunung
Tinggi... tinggi sekali
Kiri kanan kulihat saja
Banyak pohon cemara
Tiba-tiba dadaku bergemuruh. Selama tiga hari perjalanan ini, aku baru sadar kalau aku benar-benar sedang mendaki gunung. Gunung yang benar-benar gunung. Selama ini gunung yang aku tau hanya Ijen dan Semeru. Ijen saat ini sudah seperti tempat wisata. Keindahan yang ditawarkan memang nyata, tapi sensasi mendakinya kurang greget. Kalau Semeru, aku hanya sampai Ranukumbolo. Lebih greget dan lebih indah memang, tapi aku belum pernah sampai puncaknya. So, I duno what must to say.. Anggap saja ini adalah perjalanan pertamaku mendaki gunung. :)

"Kurang berapa jam lagi Mas?" Aku menoleh ke Mas Sipon yang berada tepat di belakangku. "15 menit lagi," katanya. Di tengah perjalanan kita bertemu lagi dengan beberapa pendaki yang akan turun. Mereka sedang beristirahat rupanya. Lalu mereka menawarkan beberapa botol air untuk kami. Dengan senang hati kami menerimanya karena persediaan air kami tinggal sedikit. Setelah itu kami langsung berpamitan untuk meneruskan perjalanan. "Semangat Mbak, kurang dua jam lagi sampai kok," kata salah satu mas-mas yang sedang duduk. Aku melirik Mas Sipon.

Satu jam kemudian

Pohon-pohon cemara sudah tidak terlihat. Vegetasi sepanjang jalan ke depan adalah semak-semak tinggi yang aku tidak tau namanya. Aku mulai lelah dengan jalan yang terus menerus menanjak. Langkahku melambat. "Itu lo puncaknya di depan," kata Mas Sipon lagi-lagi. Ah.. jangan-jangan Mas ini mau menipuku lagi. "Nggak, serius. Iku lo," dia mencoba meyakinkan.

Dengan segenap kemampuan dan keyakinan, akhirnya aku sampai di tanah gundul yang luas. Akhirnya, puncak tertinggi gunung Arjuna. "Waaah... puncak... yeee....." Aku bahagia luar biasa.
"Uduk seng iki. Iku lo ng ngarep puncake," Mas Sipon menunjuk sebuah bukit yang puncaknya tetutup kabut. Tuh kan... orang ini benar-benar..
puncak di depan mata
Aku menuruni bukit yang tadinya kukira puncak dengan hati-hati. Kemudian mulai mendaki puncak yang sesungguhnya. Di balik semak-semak yang tinggi, kami sampai pada sebidang tanah yang luas. Cukup luas untuk dijadikan tempat peristirahatan terakhir pendaki yang kehilangan nyawa di sana. Ada empat batu nisan yang tertancap di tanah itu. Kuburan itulah yang baru aku tau sekarang kalau di sana adalah tempatnya pasar setan seperti yang dimitoskan.
Pemakaman para pendaki yang meninggal di Gunung Arjuna
Lihat, Gosong sudah sampai di puncak. Aku, Tifani, Icham, Alit dan Mas Sipon berlari mengejarnya. Di belakangku tidak tampak seorangpun. Aku hanya melihat kabut sejauh mata memandang. Hei, Kami sudah hampir di puncak. Berarti sudah di ketinggian di atas 3000 mdpl kan? Lalu mana awan yang seharusnya berada di bawah kakiku?

menyembul dari sela-sela awan
Tinggal tiga meter lagi. Aku memanjat batu-batuan besar yang mendominasi puncak sang Arjuna. Alit, Icham dan Fani sudah lebih dulu tiba di tempat Gosong berdiri. Aku merangkak lebih cepat, bebatuan semakin besar. Kakiku yang pendek menyulitkanku menjangkau batu-batu yang lain. Dengan susah payah aku mengangkat tubuhku yang berat. Dan... akhirnya.. aku berdiri di atas tanah setinggi 3339 mdpl.

Ada beberapa pendaki lain yang sudah berada di puncak bersama kami, mungkin sekitar 5-7 orang. Menurut Mas Sipon yang mungkin tiap bulan mendaki Arjuna, ini adalah yang paling ramai karena bertepatan dengan hari libur. Sudah setengah jam kami ber-enam menunggu di dalam awan. Tidak tampak batang hidung seorangpun dari kedelapan kawan kami yang masih di bawah. "Pokoknya kalau sampai jam 1 nggak ada yang datang, kita turun. Aku pesimis mereka akan muncak," Mas Sipon bilang. Kulihat jam sudah menunjukkan angka 12.30. Setengah jam lagi. Ayolah teman-teman.. kalian pasti bisa.

Sambil menunggu, kami berfoto-foto. Puncak Arjuna ternyata tidak seindah bayanganku. Bahkan lebih menakutkan dari perkiraanku. Terdiri dari bongkah-bongkah batu besar yang sayangnya dikotori dengan coretan manusia-manusia labil dan sedikit bidang tanah. Aku kesal melihat coretan-coretan nama orang yang pernah sampai ke puncak itu. Kenapa mereka harus meninggalkan jejak yang tidak indah seperti itu sih? Apakah tujuan mereka bersusah payah berperang melawan alam yang menakutkan ini hanya untuk mengotorinya? Mana rasa syukur untuk telah disempatkan sampai ke puncak? Manusia-manusia itu benar-benar tidak mengerti, bahwa mendaki gunung bukan hal yang patut untuk dibanggakan. Mendaki pada dasarnya adalah perjalanan menuju ke tempat yang lebih tinggi sekaligus lebih dekat dengan Zat Yang Maha Besar. Sayang sekali.. mereka tidak mengerti.

Gunung membuatku terlihat begitu kecil dari sebelumnya, begitu lemah, dan tidak berdaya. Aku benar-benar tidak peduli dengan ketidak-indahan yang ditawarkan oleh gunung ini. Keindahan yang seperti pencarianku sebagai anak PA (Penikmat Alam) selama ini. Gunung ini begitu mistis. Rasanya aku tengah berada di dunia lain. Aku tidak menemukan euforia kemenangan seperti ketika aku sampai di puncak Ijen atau Ranukumbolo. Aku hanya menemukan diriku mencemaskan apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang akan terjadi ketika kami berenam turun, dan kawan-kawan kami yang lain tidak sampai di puncak.

"NENEEEEEK...." Aku berteriak ke bawah. Aku seperti melihat tiga orang berjalan ke arah kami di tengah-tengah kabut. Sungguh kabut-kabut ini awet sekali. Kemudian seseorang melambai-lambaikan tangan ke atas. Ah, benar. Itu Nenek, Fian, dan Wisnu. Tidak lama kemudian, kelima sahabat sudah berhasil menaklukkan gunung perkasa ini.


Kurang lima orang lagi. Aku mengkhawatirkan Cepi. Jangan-jangan dia tidak kuat, dan yang lain tidak mungkin meninggalkan dia seorang diri. Aku sedikit menyesal membiarkan Cepi ikut naik gunung. Dua kali aku mengajak Cepi ke Ijen, dua kali juga dia muntah dan hampir pingsan. Semoga kali ini dia diberi kekuatan yang lebih. Kemudian ada dua sosok menyembul dari kabut di bawah sana. Lega sekali aku melihatnya. Cepi dan Mas Penceng akhirnya sampai ke tempat kami.

Rohim, Gobes, Mamel kok nggak bareng? "Arek-arek sek adoh," Mas Penceng tersengal. Dia mengaku kelelahan setelah menyeret Cepi yang hampir tidak kuat. Sudah jam 1 lewat. Langit mulai gelap dan kabut semakin tebal. Kami bimbang antara menunggu atau langsung turun. Jalan di bawah sama sekali tidak terlihat. Pendaki yang tadi bersama kami di puncak sudah turun semua. Tinggal pendaki dari grup kami saja. Sepi sekali.

"WOOOOOY......" Gosong berteriak memastikan ada orang di bawah atau tidak. Tidak ada balasan. Lalu terdengar "Woooy" dari kejauhan. Itu pasti mereka. Ada tiga kepala dengan jalan sempoyongan mendekati kami. Akhirnya, lunas sudah personil kami mencapai puncak Arjuna.
The real "puncak Arjuna"

geng 5 meter minus Icham

Terkapar di atas batu-batu terjal
geng PALAPA
wanita kosan muslimah yang perkasa

we are super girl


to be continued...

#part 1  : Menuju 3676 mdpl
#part 6  : Mendaki Gunung
#part 7  : Badai Pasti Berlalu
#part 8  : Di Dalam Awan
#part 9  : Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung

Saturday 3 May 2014

Ekspedisi Arjuna #part 7 : Badai Pasti Berlalu


Jember, 25 April 2014

Sore ini aku duduk bercengkrama di depan gazebo gedung matematika. Sambil menjilati es krim paddle pop pelangi yang diberikan oleh Mbak Tutut, aku berbincang dengan Fian. Tidak beberapa lama, tiba-tiba langit berubah mendung. Aku mencium bau hujan. Segera kuhabiskan es krimku dan cepat-cepat kembali ke kosan. Aku tidak mau terjebak hujan di kampus atau basah kuyup di tengah jalan. Sejak saat itu, hujan menyisa kenangan yang membuatku selalu ingat bahwa hidup kita bisa terhapus bahkan oleh setetes air hujan.

***


Watu Gede, 19 April 2014
“Berapa jam lagi kita sampai di Lembah Kembar, Mas?” tanyaku pada Mas Penceng. “Lima jam lagi,” jawabnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00. Kita akan melakukan perjalanan malam lagi jika tidak segera beranjak.

Setelah mengisi amunisi, kita segera berangkat. Melihat mendung yang menggelayut, aku memutuskan untuk berjalan memakai jas hujan. Biar nanti tidak kelimpungan lagi, pikirku. Jas hujan yang kupakai adalah milik adik kosku, Lintang. Bahannya kaku, sehingga kaki berat digerakkan. Ketika bergesekan dengan daun, bunyinya keras sekali.
Sreek…sreek..sreek..
“Bunyi ini penanda kalau aku lagi jalan. Jadi kalau nggak  bunyi kan ketahuan kalau aku hilang,” kataku di tengah perjalanan.

“Loh, itu celanamu robek ta?” Alit menunjuk celanaku dari belakang.
Aduh.. robek. Yah.. harus ganti baru deh.. Akhirnya aku melepaskan celana jas hujanku.
Kami sampai di pertigaan. “Kalau belok kiri, itu jalan menuju Gunung Welirang, jalan ke kanan menuju Arjuno,” Mas Penceng menjelaskan. Kami beristirahat sebentar di situ. Dari atas jalan, tampak ada pendaki yang turun dari Arjuno. Kami berbasa-basi sedikit. Mereka tidak berhenti dan langsung terus berjalan. Lalu kami berjalan melalui jalan setapak yang dilewati pendaki-pendaki tadi.

Beberapa menit kemudian, gerimis kembali bertandang. Kami masih terus berjalan dengan nafas yang semakin pendek. Semakin ke atas, oksigen semakin tipis. Kabut juga semakin tebal. Gelap. Tenggorokanku kering, aku haus. Jalan masih panjang, aku tidak boleh minum terlalu banyak. Tapi aku ingin minum, setetes saja. Lalu aku menatap langit, membuka mulut. Berharap ada tetes hujan yang membasahi tenggorokanku. Tidak ada setetes pun.

“Aduh, hujan es!” Icham berseru dari depan. Es? Aku menengadahkan tangan ke atas, sebutir es meluncur ke tanganku. Ku amati butiran es yang berada di tanganku dengan takjub. Seperti kristal. Aku belum pernah melihat hujan es sebelumnya. Lalu tanpa pikir panjang, aku memasukkan es itu ke mulutku. Cess… Ah, segarnya. Aku mau lagi. Aku mau..

Kupungut butir-butir es yang berjatuhan di atas tanah. Kumakan seperti aku memakan permen coklat cha-cha. Dengan penuh syukur aku berterima kasih karena diselamatkan dari dehidrasi. Kemudian gerimis es itu turun semakin deras, dengan butir yang semakin banyak. Udara berubah menjadi dingin. Jalan setapak yang kami lalui berubah menjadi jalan air. Aliranya deras meluncur turun ke bawah. Celanaku yang tidak dilindungi jas hujan sudah kuyup. Sepatuku penuh dengan air. Langkahku semakin berat.

Jalanku semakin lambat. Aku berhenti tiap lima langkah. Icham, Wisnu, dan Fian sudah jauh meninggalkanku, yang lain berada di belakangku. Menunggu jalanku yang lambat. Mas Penceng yang berada tepat di belakangku menyuruhku jalan lebih cepat,“Cepet sampai, cepet istirahat nanti.”
Semakin lama udara semakin dingin. Aku mulai menggigil. Tiba-tiba aku mengantuk. Mataku berat sekali. Aku ingin tidur. Aku berhenti di samping pohon. Kemudian..
*KLAP*
CETTAAAAARR….. BLARRR..
Kilat tepat di atas kepala kami semua. Kami terdiam.

“Ayo jalan lagi,” Mas Penceng berbisik. Di tengah hujan badai yang semakin deras aku semakin lemah. Keseimbanganku menjadi-jadi rapuhnya. Mataku tidak bisa diajak berkompromi. Aku mengantuk luar biasa,“Aku pingin tidur.” Mataku memejam, kemudian mimpi-mimpi berdatangan..

Ada yang menarik tanganku dari depan. Aku sudah tidak sanggup melihat sekelilingku. Tapi aku sadar aku sedang diseret. Aku mencoba membuka mata, Alit berada di depanku. Tangannya menggandengku. Ku ikuti kemana gerakannya. Beberapa kali aku terpeleset. Tetesan es yang menyentuh kulitku seperti jarum yang menusuk-nusuk. Hipotermia menghantui pikiranku. Ya Allah, apa aku akan mati di sini? Tidak, aku tidak mau mati di tempat ini. Aku harus bertahan. Aku harus kuat. Berulang kali aku menyugesti diriku sendiri.

Akhirnya kita sampai di lahan terbuka yang mirip savana. Kami berhenti menunggu yang di belakang. “Nge-camp di sini aja ta?” Alit berteriak. Tapi Mas Penceng dan Mas Sipon terus bergerak. Mereka seperti tidak peduli bagaimana letihnya kami semua. Aku terutama. “Kita nge-camp di depan aja,” kata Mas Penceng. Aku kembali menyeret kakiku. Pada jarak 100 meter yang terasa 1000 meter itu kami berhenti. Kami sampai di lembah bukit.

Selamat datang di lembah kembar.

Di bawah derasnya badai malam itu, kami bersusah payah mendirikan tenda. Aku memegang senter untuk menerangi kawan-kawan dengan gemetaran. Hujan mulai reda ketika tenda sudah berdiri. Karena di dalam tenda belum dibersihkan dan diberi matras sedangkan aku sudah tidak kuat dengan dingin yang merajalela, aku mengganti pakaian dengan baju kering di belakang salah satu tenda.

Langsung saja setelah tenda siap dimasuki, aku menjejalkan tubuhku masuk ke dalamnya. Sudah ada Cepi dan Fani di situ. Aku meringkuk di tengah tenda. Gobes, Alit, dan Rohim ikut masuk ke dalam tenda yang sama. Kami duduk melingkar dan saling berdekatan untuk menghangatkan satu sama lain. Sambil bercerita tentang perjalanan hari ini, kami menanti badai benar-benar berlalu. 

Ketika hujan sudah reda, Rohim dan Gobes keluar tenda untuk memasak air. Kami membuat pop mie, lemon tea, dan energen. Aku lupa kalau seharian ini aku hanya minum air sedikit, itupun sudah diperas menjadi keringat. Sebotol susu bendera tidak mampu menyembuhkan dahagaku. Aku meminum lemon tea hangat buatan Alit. Panasnya menjalar ke sekujur tubuhku. Hangat sekali.

Setelah menghabiskan sebungkus pop mie dan sebuah apel, aku bergegas mengambil sleeping bag. Kami akan tidur berenam di tenda untuk empat orang malam ini. Tampaknya mereka bertiga, terutama Alit kapok tidur di tenda yang besar bersama orang-orang besar itu. Tidur mereka tidak beraturan, sehingga tenda yang seharusnya untuk orang enam itu hanya muat dimasuki empat orang.

Tenda kami yang sekarang akan dimasuki enam orang ditata sedemikian rupa. Kami tidur dalam diam karena tidak bisa bergerak. Sesak, tapi hangat. Aku berada di tengah, di apit oleh Gobes dan Cepi. Ku benamkan kepalaku di dalam sleeping bag.

Malam itu udara malam lebih dingin dari malam sebelumnya. Hujan meninggalkan angin yang menampar-nampar dedaunan. Menyisakan suara yang menakutkan. Tapi kami sudah terlalu lelah untuk mengkhawatirkan angin di luar sana. Derunya membawakan lagu pengantar tidur yang melelapkan.

Setelah badai hari itu, gelap malam bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Mitos Arjuno mungkin memang nyata, tapi aku percaya selama kami berkelakuan baik, kami juga akan baik-baik saja. Ada hal-hal yang jauh lebih perlu untuk diperhatikan. Tentang sifat alam, dan Dia yang berkehendak atasnya. Sungguh, tidak ada yang lebih berkuasa selain Dia yang mencipta semesta. Untuk hidup yang masih disempatkan pada hari itu, terima kasih Tuhan. Untuk pengalaman yang telah dicurahkan, terima kasih semesta. Untuk tidak meninggalkan satu sama lain di saat badai, terima kasih kawan. :)


Pagi setelah badai di lembah kembar #badaipastiberlalu


to be continued...

#part 1  : Menuju 3676 mdpl
#part 6  : Mendaki Gunung
#part 7  : Badai Pasti Berlalu
#part 8  : Di Dalam Awan
#part 9  : Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung