Subscribe:

Monday 24 June 2013

Andai Tuhan Punya Blog



Andai Tuhan punya blog..

Aku ingin berbagi bersamaMu, Tuhan. Malam ini purnama bersolek di atas kepalaku. Malam ini damai menentramkan. Malam ini aku dijejali rasa sesal luar biasa karena siang telah  kusia-siakan. Malam ini adalah malam nisfu sya’ban, dan siang ini aku bermaksiat.
Aku memang tidak pernah terlalu antusias mengikuti pelajaran agama sewaktu sekolah dulu. Aku tidak tahu ada peristiwa apa di malam nisfu sya’ban hingga katanya Allah akan mengabulkan semua do’a-do’a kita. Benarkah itu, wahai Allah?

Kalau memang benar, maka ijinkanlah aku berdo’a di sini Ya Allah. Maafkan aku Tuhan. Ampuni aku Allah..
Solatku tak lagi khusyuk atau memang tak pernah khusyuk sejak awal. Guruku tak pernah memberitahu resep rahasia agar bisa solat dengan khusyuk. Aku tidak bermaksud menyalahkan guru, Tuhan. Hanya saja hingga kini aku belum bisa melaksanakan solat layaknya Umar Bin Khatab yang tidak sadar ditusuk dari belakang ketika beliau sedang solat. Apalah aku ini Tuhan? Suara denging nyamuk di depan hidung saja masih bisa kudengar. Gatal ketika pipi digigit nyamuk masih bisa kurasa. Aku juga terkadang memikirkan hendak makan apa ketika solat dalam keadaan lapar. Oh, Tuhan.. Bagaimana bisa aku sama sekali tidak memikirkanMu saat solat?

Andai Tuhan punya blog..

Biarkan malam ini aku berbicara. Biarkan aku bermunajat dan hanya memikirkanmu, Allah. Dengarkan aku Tuhan. Aku sungguh menyesal dengan segala hal munkar yang menjauhkan kita. Kita pernah dekat kan Tuhan? Apakah Kau ingat? Memang sih tidak terlalu dekat seperti kedekatanMu dengan Muhammad, tapi kita dulu tidak sejauh ini.. dan aku rindu pada kita yang dulu. Aku rindu pada diriku yang selalu mendekatkan diri kepadaMu, Tuhan.

Andai Tuhan punya blog..

Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Apakah aku tidak bisa diampuni tanpa mendapat hukuman? Kalau memang tidak, maka hukumlah aku Tuhan. Tapi jangan mengira aku memintaMu menghukumku wahai Penguasa Alam, aku sama sekali tidak menginginkan sebuah hukuman. Yang aku inginkan adalah ampunan dariMu. Jika aku harus membayar atas semua kemaksiatan yang terlanjur kuperbuat, aku rela Tuhan. Demi keringanan timbangan amal sebelah kiri.

Aku tahu Kau begitu lelah mendengarkan penyesalanku. Bukan sekali dua kali aku memohon belas kasihMu. Aku selalu menyakiti dengan cara yang sama. Untuk itu biarkan hamba yang tak tahu malu ini mengemis untuk kesekian kali lagi Ya Allah. Tegaskanlah hatiku, jauhkanlah aku dari iblis yang selalu mempengaruhiku, dan biarkan aku selalu mencintaiMu Ya Rabb. Seperti cinta hamba-hambaMu yang sudah pasti memiliki surga. Aku tak mau menemuimu dalam keadaan hina Tuhan. Bukan wajah kotor dan muram yang ingin kupersembahkan, tapi wajah cantik putih berseri seperti bidadari surgaMu. Sekali lagi Tuhan, tegaskan hatiku, kuatkan imanku, mudahkanlah jalanku untuk mencintaiMu.

Andai Tuhan punya blog..

Masih ada beberapa tanya yang ingin aku tahu jawabannya, Tuhan. Apakah aku termasuk orang yang kurang ajar jika aku memintaMu mengajariku menjadi orang yang Kau cinta, Allah? Maka biarkanlah aku jadi orang yang kurang ajar karena berani mencintaiMu. Jadikanlah aku orang yang konsisten mengejar cita-cita atas namaMu. Berikan aku beribu kesempatan untuk selalu memperbaiki diri demi cintaMu, Allah.

Andai Tuhan punya blog..

Tuhan, maukah Engkau menjauhkan iblis dariku? Setan-setan itu selalu menggodaku untuk bermaksiat, Ya Allah. Imanku lemah dan taqwaku rapuh, Tuhan. Aku tak kuat melawannya seorang diri. Aku mohon ampuni aku Tuhan. Ampuni aku yang tak pernah berdaya. Jangan biarkan aku melakukan hal-hal bodoh yang membuatku tak berharga dimatamu, Ya Allah. Rahmatilah aku dan keluargaku. Berikanlah umur yang berkah untuk Bapak, Ibu, Mbah uti, serta adik-adikku. Halalkan rejeki yang hamba terima Ya Allah. Serta jadikanlah hamba sebagai sebaik-baiknya wanita untuk sebaik-baiknya lelaki.

Tuhan, apakah aku salah berdo’a di sini? Ketika menuliskan ini, aku hanya memikirkanmu Tuhan. Aku bisa khusyuk. Tidak seperti ketika aku solat, karena aku jarang meminta. Biarkan tulisan ini menjadi pengingat ketika aku lupa bahwa aku pernah begitu hina. Dan aku tak ingin mengulangi dosa-dosaku. Kali ini aku bersungguh-sungguh memohon kepadaMu. Kuatkan aku menghadapi “aku” yang nista. Allah, sudikah kiranya Engkau yang maha segalanya itu membaca tulisan kecil dari manusia kecil sepertiku? Maukah Engkau mengabulkan keinginan-keinginan yang selalu kuminta dariMu? Sekali lagi ampuni aku Ya Allah, karena terlalu banyak meminta tapi tak pandai bersyukur. Ampuni aku karena berencana untuk meminta lagi dan lagi hanya kepadaMu.

Di dalam rumah kepulangan, Malam Nisfu Sya'ban
23 Juni 2013

Monday 17 June 2013

Sayi

Sore ini mendung, seperti sore-sore lain di Bulan Juni. Mendung memang bukanlah jaminan hari ini akan hujan, tapi mendung selalu datang membawa berita. Entah itu sebuah realita bahwa sekarang sudah memasuki musim hujan, atau hanyalah gosip tentang hujan badai yang mampu memporak-porandakan nurani.

Hari ini sebuah berita dari kawan membuat hatiku turut mendung. Belum sempat aku bertakziah untuk Ibunya yang telah wafat beberapa hari lalu, sang ayah menyusul istri tercintanya. Hati siapa yang tak dirundung hujan, ditinggalkan kedua orang tua dalam waktu yang hampir bersamaan? Sayi Hartiningsih, kawanku dari SMP kini menjadi seorang yatim piatu.

"Oalah yan, wingi sek sempet masang kabel lo karo awakmu. Sepurane yo lek bapakku duwe salah (Oalah yan, kemarin masih sempat memasang kabel bersama kamu. Maafkan bapakku ya kalau punya salah)", Sambutnya kepada kami yang baru tiba di kediamannya. Aku, Alfian, Ipeh, dan adiknya Ipeh melayat bersama-sama karena tertinggal rombongan yang sudah lebih dulu tiba hari sebelumnya. Kami mendapatkan kabar duka satu hari setelah Bapak Sayi meninggal. Rumah Sayi ramai orang bertakziah, keluarga dekat dan jauh berkumpul membagi rasa duka cita. Karpet yang digelar sebagai alas duduk belum lama dilipat. Hanya selang dua minggu Ibu dan Bapak Sayi berpulang ke Rahmatullah.

Sayi, senyumnya masih sama. Entah itu adalah senyum yang selalu menyapaku seperti biasa, atau hanyalah senyum yang diukir menjadi topeng dibalik kegundahan hati. Kesedihan memang masih beredar, tapi tak sedikitpun kemuraman mencoreng wajahmu yang ayu. Hanya ketegaran yang nyata kau tunjukkan kepada kami. Kau ceritakan bagaimana Bapakmu yang masih bugar tiba-tiba merasa sakit di dadanya, kemudian meninggal saat semua orang pergi menunaikan salat Jum'at. Sayi yang kala itu berada di Jember menerima kabar bahwa Bapaknya masuk rumah sakit dan dia harus pulang pada saat itu juga. Betapa terkejutnya ia sesampai di rumah, sebuah gentong air untuk memandikan jenazah berdiri di depan rumahnya. Belum sempat ia melangkah melewati ambang pintu, kakak lelaki bersama istrinya datang memeluknya. Sembari berlinangan air mata, sang kakak meminta maaf karena tidak menunggunya untuk mengubur Bapak. Ya Allah, bahkan Sayi tidak mendapat kesempatan melihat Bapaknya untuk terakhir kali. "Nggak popo wes, meninggale apik to pas dino Jum'at? (tidak apa-apa lah, meninggalnya bagus kan Hari Jum'at?)", katanya penuh ketabahan.

Setelah Ibunya meninggal, Sayi memiliki keinginan untuk mengajak Bapaknya tinggal di Jember bersamanya. Mahasiswi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember itu tidak tega melihat Bapaknya hidup seorang diri karena masnya sudah memiliki keluarga dan tinggal di Banyuwangi. Tapi Bapak menolak, bahkan Bapak sempat mengajak Sayi berjualan kerupuk kalau Sayi sedang libur kuliah. "Lha iku to saiki kerupuke wes digoreng digae suguhan (lha itu kerupuknya digoreng untuk disuguhkan)", katanya sambil tertawa mengenang tawaran si Bapak. Berulang kali dia meyakinkan dirinya bahwa Bapaknya meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Tidak setetespun air mata jatuh dari kedua mata sayunya. Mungkin air mata itu sengaja disimpan untuk bermunajat kepada Yang Maha Kuasa. Hanya kepada Allah kami kembali.

"Paling ngene iki bapak ibukku lagi guyonan yo, lho mas, lapo samean neng kene? hahaha (mungkin sekarang bapak ibuku sedang bercanda ya, lho mas, ngapain kamu di sini? hahaha)", lawaknya sambil memperagakan ekspresi Ibunya ketika masih hidup.
 Sayi, sungguh hatiku nelangsa melihatmu setegar itu. Cobaan ini tidaklah mudah bagi orang-orang lemah sepertiku. Aku yang hanya temanmu saja sudah berkaca-kaca mendengar duka yang membanjirimu. Apalagi jika ujian itu menimpaku. Sungguh aku bersyukur engkau diberi kesabaran yang berlebih. Aku yakin, pasti Bapak Ibumu lah yang mengajarimu berlaku ikhlas, hingga kini kau telah rela kedua orang tuamu berkumpul di alam yang lebih kekal.

Kawan, terkadang aku lupa, bahwa hidup hanyalah titipan. Tapi kamu begitu memahami bahwa kita terlahir telanjang. Tanpa hak memiliki apapun di dunia. Bahkan untuk sehelai bulu rambut yang menempel pada tubuh itu bukanlah hak yang bisa dimiliki. Ikhlas membuatmu tegar, dan kuat untuk berjalan. Aku mungkin tak sanggup menanggung beban kehilanganmu, aku hanya sanggup mendoakan Bapak dan Ibumu semoga beliau berdua diterima di sisi-Nya dan diampuni segala dosa. Untuk kamu Sayi, tetaplah bertahan dengan sabar dan ikhlasmu. Semoga Tuhan memberikan kado yang indah sebagai hadiah ketegaranmu. Percayalah kawan, Allah selalu ingin bersama orang-orang yang dikasihi-Nya.



Wednesday 12 June 2013

Papa In Memoriam

Biasanya, ketika ada kerabat kita yang meninggal, kita selalu teringat dengan kenangan yang telah tertoreh. Walaupun kenangan itu sedikit sekali dan hanya menetap sesaat setelah kematiannya. Pada saat itu kita pasti akan membicarakan tentang dia semasa  hidupnya. Jika orang tersebut meninggal karena sakit, ada sesal di hati karena belum sempat menjenguk dan meminta maaf. Jika seseorang itu meninggal karena sesuatu yang bersifat mendadak seperti kecelakaan, rasa tidak percaya itu selalu muncul. Rasanya baru kemarin kita bercanda dan saling mengolok-olok.

Seperti yang terjadi pada malam minggu (8/6/2013) kemarin. Malam itu saya mendapat kabar dari ibu kalau Papa sudah meninggal. Pakdhe Sungging yang biasa ku panggil Papa itu meninggal hari Jumat lalu di Tuban. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan saya. Setahu saya Papa tidak pernah sakit, dan pada akhir-akhir ini Papa masih terlihat sehat. Barangkali Papa terkena serangan jantung. Hingga saat ini itulah asumsi kami perihal kematian Papa yang mendadak itu.

Papa adalah suami pertama dari Budhe Titik yang akrab dipanggil Mama. Papa memang sudah lama meninggalkan keluarga kami. Bahkan saya sudah lupa kapan perjumpaan terakhir saya dengan Papa. Saya tidak kenal betul dengan sosok Papa. Saya hanya ingat Papa adalah seorang laki-laki besar dan memiliki brewok yang lebat. Sepertinya saya masih berada di sekolah TK saat Papa bercerai dengan Mama. Entah apa yang membuat Papa meninggalkan Mama serta Mbak Ika dan Mbak Nimas yang saat itu masih berusia anak-anak. Tapi yang saya tahu, Papa masih memiliki cinta kedua anak gadisnya.

Papa kembali muncul ketika saya baru menginjakkan kaki di bangku kuliah di pertengahan tahun 2010. Kemunculan Papa saya ketahui ketika ada orang yang tiba-tiba mengechatt saya di facebook. Laki-laki itu bernama Dhodho Suwiryo yang tidak lain adalah Papa.
awal percakapan saya dengan papa

Semenjak saat itu Papa aktif menampakkan batang hidungnya di depan kami sekeluarga. Walaupun begitu, Papa belum pernah secara langsung bertemu dengan saya. Tapi sepertinya beliau sering bertemu dengan Mama, Mbak Ika, dan Mbak Nimas. 

Di dunia maya, Papa menjadi orang yang sangat berbeda daripada Papa yang dulu saya kenal. Terlihat lebih modis dan berjiwa muda. Keluarga saya menyebutnya "Papa Gaul". Mungkin saya saja yang dulu tidak terlalu mengenal Papa. Seringkali Papa mengajak saya ngobrol via facebook. Basa-basi dan bercanda tentang masa kecil saya yang kata Papa saya adalah gadis yang lucu dan endel. Papa juga sering menanyakan kabar keluarga kami. Terakhir kali Papa ngechatt saya, beliau memberitahu bahwa lebaran besok Papa mau mampir ke Genteng untuk sungkem sama Mbah Uti. Papa juga sempat menawari saya ingin dibawakan oleh-oleh apa.


 chattingan terakhir saya dengan Papa


Sayang sekali, hari ini masih bulan Juni dan kita belum bertemu lebaran Pap..
Janji Papa untuk pulang membawa oleh-oleh dan sungkem sama Mbah Uti semoga menjadi suatu amalan karena Papa sudah memiliki niat baik.
Maya dan keluarga tidak akan menyalahkan Papa karena Papa tidak berencana pulang lebih awal. Kami ikhlas dengan suratan yang tidak memberi kesempatan pada kita untuk bertatap muka.
Jangan berpikir kalau takdir itu kejam ya Pa..
Takdir itu yang membuat kita belajar bahwa hidup itu bukanlah sebuah permainan yang dibuat oleh Tuhan untuk mempermainkan kita sebagai makhluknya yang fana. Itu memang sudah menjadi peraturan dari Sang Khalik untuk kita patuhi. Percaya pada takdir. Takdir memang bisa dirubah oleh manusia, tapi tidak dengan kematian.
Bukan kematian namanya kalau Malaikat Izrail memberi aba-aba kepada kita kapan ia datang. Papa pasti tahu kan kalau umur manusia itu ibarat buah kelapa. Beberapa buah kelapa akan runtuh dari pohonnya ketika sudah tua dan matang. Tapi ada juga buah kelapa yang masih muda namun sudah runtuh mendahului yang tua. Tidak ada jaminan yang tua akan mati sebelum yang muda.
Sudah ya Pa, ikhlaskan saja umur Papa yang mungkin sudah mencapai setengah abad. Lebaran yang kita nanti sebagai waktu pertemuan kita memang sudah hilang ditutup usiamu. Pastinya nanti akan ada waktu lain untuk kita bisa mengobrol secara langsung.

Mungkin kenangan yang pernah kita ukir bersama masih seujung kuku. Tapi potret Papa tidak akan luntur sampai tiba waktu Maya menghadap Sang Pencipta. Maya hanya ingin meminta maaf kalau dulu Maya sering nakal sama Papa.

Selamat menikmati tidur panjang Papa..
Semoga Tuhan selalu berada di sampingmu, dan doa dari kami akan menyelimutimu. Amin.

Sunday 2 June 2013

Memaksa Suka Hijau

Saat saya masih kecil, saya suka sekali dengan warna merah. Setiap mau beli baju, pasti memilih yang berwarna merah. Beli anting, maunya yang bermata merah. Tas warna merah. Buku tulis merah. Tempat pensil merah. Karet rambut merah. Bandana merah. Celana dalam merah. Pokoknya yang melekat pada tubuh saya harus berwarna merah semua. Sampai saya pernah di tegur oleh salah satu guru karena saya memakai sepatu warna merah saat saya berada di bangku SD.

Kecanduan saya pada warna merah ini sedikit berkurang ketika saya menginjak bangku SMP. Suatu hari saya berbincang-bincang dengan kakak sepupu saya yang seorang anggota pecinta alam. Kak Lila sering menceritakan pengalaman-pengalamannya menjadi "orang hutan". Menaklukkan Gunung Ijen di pucuk wetan Pulau Jawa hinga Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat sudah berhasil dilakoni. Saya selalu terkesan dengan jiwa petualangnya masih melekat sampai sekarang walaupun kini dia sudah menjadi ibu rumah tangga. Alumni UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) SWAPENKA -nama organisasi pecinta alam Fakultas Sastra Universitas Jember- itu selalu menyukai warna-warna alam seperti hijau, cokelat, kuning, dan biru. Dari kekaguman saya pada dirinya lah akhirnya saya "ikut-ikutan" menyukai warna-warna alam. Dari sekian juta degradasi warna yang ada di alam semesta ini, akhirnya saya "memilih" hijau sebagai warna favorit saya.

Akhirnya saya mulai mengumpulkan benda-benda berwarna hijau. Baju warna hijau, sandal hijau, hingga kaus kaki berwarna hijau. Ketika ditanya oleh teman apa warna kesukaan saya, hijau jawabannya, bukan merah. Alasannya adalah karena saya menganggap warna alam seperti hijau itu lebih "keren" daripada merah. Saya tidak tahu darimana datangnya gengsi itu sehingga saya membaptis diri saya sendiri menjadi penyuka sebagian besar warna daun tersebut. Selain itu, filosofi warna hijau yang selalu dikaitkan dengan keseimbangan, kesejukan, dan keceriaan juga menambah gengsi saya dalam menjadikan warna ini sebagai warna favorit.

Selama beberapa waktu saya menjadi greenlovers. Sampai akhirnya saya merasa jenuh karena selalu "memaksa" untuk memilih warna yang sebenarnya tidak terlalu saya sukai. Tampaknya saya sudah menjadi korban globalisasi, dimana budaya dari luar sangat mudah masuk dan berhasil mempengaruhi diri saya. Dalam hal ini adalah warna hijau yang saya anggap lebih macho daripada warna merah sehingga saya meninggalkan merah yang sejatinya adalah cinta pertama saya.

Cinta saya kepada hijau tidak tulus. Karena sebuah alasan agar terlihat "keren" oleh saya sendiri akhirnya saya memaksa menyukainya. Sementara merah tak pernah saya akui walaupun selama ini sebenarnya saya ngempet mengidamkannya.

Ini bukan masalah warna apa saja yang pernah menjadi warna favorit saya, melainkan tentang bagaimana saya memilih warna-warna tersebut. Anda lihat, saya tidak bertahan lama menyukai warna hijau karena saya tidak benar-benar suka. Saya hanya "memaksakan" rasa suka saya kepadanya. Sedangkan untuk si merah, saya sudah menyukainya dari awal dan tidak ada alasan kenapa saya suka. Warnanya terang dan menyilaukan. Mungkin saya sudah jatuh hati ketika pertama kali membuka mata dan menemukan pantulan cahayanya. Seberapa pun kerasnya saya berusaha menolaknya, dia tetap menjadi warna yang saya idamkan.[]