Subscribe:

Friday 29 July 2016

Muntah

Sepertinya aku telah diracun. Malam ini aku muntah hebat. Bajuku dilumuri sumpah serapah yang ke luar bersama ludah. Selama sebulan aku mual-mual. Dan hari ini sesuatu membuatku menumpahkan segala isi usus. Mungkin karena itu perutku jadi terlihat ciut, atau rabun mataku sudah bertambah parah. Memikirkan itu membuatku ingin muntah lagi.

Aku turun dari kasur yang telah basah oleh ludah dan sumpah serapah. Meraih botol berisi air mineral dengan merangkak. Muntah ini menguras tenaga. Membuatku lemas dan nyaris dehidrasi. Aku limbung. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Aku bergidik sambil cepat-cepat berdoa agar tak mati hari ini. Sebab hutang puasaku tahun ini belum lunas kubayar. Aku tak mau membuat ibuku membayar hutang yang disebabkan oleh anaknya. Atau siapapun itu. Tapi sepertinya hutang itu tak kan lunas sebab aku belum memberitahu siapapun bahwa aku punya hutang selama 6 hari. Mungkin nanti aku akan membayarnya dengan darah saja ketika aku masuk ke neraka. Ah, neraka lagi.

Aku masih terlalu lemah untuk membersihkan cecer muntahan itu. Maka aku hanya mengumpulkannya dan kuletakkan di kolong tempat tidur. Baunya amit-amit. Aku yakin telah diracun. Sebab kalau tidak, mungkin baunya akan wangi. Tapi ini.. Argh.. busuk sekali.

Tahu-tahu muntahan itu bergerak-gerak dan membuat kasurku berguncang. Aku mengintip ke bawah tempat tidur dan menemukan seonggok muntahan yang berubah jadi sesuatu. Mungkin manusia atau hantu, tapi aku tak yakin karena kamar begitu gelap dan aku tak berani turun untuk menyalakan lampu. Aku takut muntahan itu akan memakanku sebagaimana ia selama ini ada dalam perutku. Akhirnya aku hanya melihatnya dalam gelap. Lalu sepertinya aku melihat mulutnya terbuka dan bergerak-gerak. Aku bisa menebak itu mulut karena aku melihat dia punya gigi yang terbuat dari emas dan lidah yang menyala merah. Mereka berpendar.

Awalnya aku hanya melihat dia komat-kamit. Hingga kemudian aku mendengar suaranya yang mendesis-desis seperti suara ular. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” begitu katanya. Ia mengatakan berulang-ulang dan kata-kata itu memantul ke seluruh penjuru ruangan membuat gema yang tak beraturan. “Komunis.. Komunis.. Kokomumuninis.. Komukonismunis..”

Aku tidak tahu apa maksud hantu itu. Tapi karena suara itu menggagalkan usahaku untuk tidur, maka aku berteriak dalam gelap. Tapi suaraku lenyap ditelan desisan yang makin lama makin kencang. Aku menjerit makin keras. Tapi sia-sia. Aku malah mendapati tenggorokanku jadi kering dan haus luar biasa.

Akhirnya aku menyerah dan memilih untuk menutup telinga dengan bantal. Tapi terlambat. Suara itu sudah menerobos gendang telingaku dan meluncur ke syaraf-syaraf yang berhubungan dengan otak. Aku tahu mereka telah sampai ke otak setelah aku mendengar lagi suara itu dalam diriku sendiri. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” Aku kembali mual-mual seperti sebulan yang lalu. Aku berjanji jika nanti muntah lagi, aku akan segera membuang muntahan itu.

Saturday 23 July 2016

Alasan Kenapa Saya Akan Masuk Neraka

Sepertinya saya akan masuk neraka. Dua hari yang lalu saya baru saja membuat seorang kyai jadi bahan bullyan di media sosial. Gara-gara tulisan saya itu, dia dicap sebagai kyai bodoh oleh seantero jagat. Duh, Gusti.. nuwun pangapura ingkang katah..

Tulisan itu dimuat di Tempo.co dengan judul PBNU Sebut Ada KNIL di Balik Putusan IPT 1965. Tapi berita itu sudah diubah demi memenuhi hak jawab dari Pak Agus Sunyoto, Ketua Lesbumi PBNU yang saya wawancarai.

Pak Agus menuduh saya sengaja memelintir perkataannya. Padahal saya sama sekali tak berniat untuk melakukan hal itu. Sungguh, seupil pun tidak. Saya hanya gagal meletakkan konteks pembicaraan. Oke, gagal itu memang bukan sekadar 'hanya' melihat efeknya yang merugikan Pak Agus. Bayangan bahwa bulan depan saya sudah bukan lagi wartawan pun membayangi.

Yang membuat terkejut adalah adanya tuduhan bahwa saya sengaja memelintir berita itu karena pesanan dari orang-orang yang pro putusan IPT 1965. Tuduhan itu, menurut saya, berlebihan. Selama ini saya tidak pernah sengaja memelintir berita bahkan menerima pesanan dari pihak manapun. Sekalipun tidak pernah. Saya heran sih kok bisa ada yang punya pikiran seperti itu.

Kabar baiknya adalah saya beruntung memiliki redaktur yang begitu sabar. Saya tidak tahu apa yang terjadi di balik layar, tapi dengan tenang Bli Komang, redaktur saya, meminta saya menjelaskan duduk perkara dan meminta saya untuk menulis ulang transkrip hasil wawancara. Setelah kami telaah kembali transkrip itu, ternyata memang saya keliru meletakkan konteks yang disampaikan Pak Agus. Saya mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada redaksi.

Bli Komang barangkali sedih melihat reporternya sembrono. Tapi dia, masih dengan sikap tenangnya, mengatakan, "Tidak ada seorang wartawan pun yang tidak pernah keliru. Yang penting cepat perbaiki dan rendah hati mengakui." Saya menghela nafas lega. Sepertinya bulan depan saya masih akan terima gaji.

Tapi persoalan yang sebenarnya bukan di situ. Saya sudah terlanjur membuat nama Pak Agus jadi keruh. Dia dibully sana sini dan dianggap sedang ndagel. Ya kalau orang yang baca berita itu baca lagi koreksi yang kami berikan. Kalau tidak? Barangkali Pak Agus akan dikenang sebagai orang yang stupid akibat keteledoran saya. Bisa kan Anda bayangkan bagaimana kekacauan itu adalah tanggung jawab saya? Saya membuat seseorang dibully!

Sampai di sini, akhirnya saya paham apa yang dikatakan oleh redaktur saya yang lain. Di suatu kesempatan, Bang Moses pernah menyampaikan, bahwa menjadi wartawan memang harus siap untuk masuk neraka. Mereka ada di baris yang dipimpin setan, berada di golongan keempat setelah polisi, hakim, dan pengacara.