Subscribe:

Friday 20 March 2015

Jati Diri

Jember, 17 Maret 2015
Begitu pulang dari Malang aku mendapat sms dari PT Paragon. Ibu mengira itu adalah perusahaan cat, yang kemudian kujelaskan bahwa itu adalah perusahaan kosmetik. Salah satubrand terbesarnya adalah wardah. Aku memasukkan lamaran ke sana saat mengikuti jobfair di IKIP Jember beberapa minggu lalu.

Pagi ini aku bergegas berangkat ke Jember untuk memenuhi panggilan wawancara tulis dan psikotes. Bapak membantuku mengeluarkan motor dari dalam rumah. Setiap aku pergi, bapak selalu bertanya kemana aku akan, tapi selalu lupa aku darimana nanti ketika aku kembali. Ah, bapak memang sudah tua. Lalu aku berpamitan dan minta doa restunya untuk tes pagi ini di PT Paragon. “Kamu interview di perusahaan cat?”

Aku sampai tepat waktu. Tes dimulai pukul 09.30. Diawali dengan penjelasan tentang perusahaan lalu berlanjut wawancara tertulis. Ada 14 pertanyaan di lembar soal. Pertanyaan nomer satu adalah ceritakan mengenai diri anda! Aku terpaku lama memandangi pertanyaan ini. Apa yang harus kuceritakan? Nama, tempat tanggal lahir, alamat, dan semua data diri sudah kujelaskan secara rinci di CV yang kubuat. Kuteliti 13 pertanyaan lain pada selembar kertas itu. Sekilas aku bisa membayangkan jawaban dari ke 13 pertanyaan itu. Tapi tidak dengan yang satu ini. Aku nyaris kehabisan waktu hanya karena memikirkan jawaban satu soal ini saja.

Jika diminta untuk menceritakan diri sendiri, apa yang mungkin akan kau ceritakan? Tentang jati diri tentunya. Tapi apa? Bagaimana? Kapan? Dimana? Duh, ini pertanyaan paling kampret yang pernah kutemui. Ada banyak sekali cerita dalam hidupku. Bahkan seisi blog inipun belum semua kumasukkan ceritanya. Sedangkan kini aku harus menulisnya hanya di selembar kertas A4. Tentang sifat diri? Sangat tidak mungkin aku tulis kalau aku adalah orang yang malas, sensitiv, pemarah, egois, keras kepala, tukang iri, congkak, mudah putus asa, tidak bersahabat, makan terlalu banyak, dan hal-hal lain yang aku sendiri enggan membayangkannya. Kompetensi diri yang kutulis di lembar CV pun hanya sebatas mampu mengoperasikan Ms. Office yang meliputi Ms. Word, Ms. Excel, dan Ms. Power Point. Selain itu aku tidak memiliki keahlian apa-apa.

Kini aku menyadari bahwa yang menakutkan setelah lulus bukanlah akan jadi apa kita nanti, melainkan apa yang bisa kita lakukan untuk melanjutkan hidup kita. Apa yang bisa kita tukar untuk mempertahankan hidup? Tanpa skill dan kemampuan khusus, aku hanya seonggok daging yang bernama. Hidup yang tak lebih untuk sekedar menunggu mati.

Untuk memudahkan, akhirnya aku mencoba menganalisa diri sendiri berdasarkan pekerjaan yang pernah kulakukan. Aku pernah mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar. Di awal mengajar, aku merasa senang bisa mendedikasikan ilmuku untuk anak-anak bangsa. Tapi itu hanya bertahan selama satu tahun. Rutinitas yang kujalani terlalu menyita waktu. Seminggu 4 hari dengan per hari nya 2 – 4 jam. Aku mengalami kebosanan akut. Fakta pertama, aku adalah orang yang mudah bosan dengan rutinitas.

Selanjutnya, aku mencoba untuk menjadi marketing di CV Tour & Travel. Beberapa kali menjadi Tour Leader yang mengantar rombongan untuk berwisata sungguh menggairahkan. Kebetulan aku memang suka jalan-jalan. Aku bersemangat sekali dalam pekerjaan ini. Aku mencoba membuat paket wisata sendiri yang berbau alam dan menjualnya dengan harga terjangkau. Inilah yang kusebut dengan hobi yang dibayar. Hanya saja bayaran yang kudapat tidak pasti setiap bulan. Hal itulah yang menimbulkan masalah (di keluargaku). Dan fokusku pada saat itu terpecah dengan kondisi internal rumah yang sedikit banyak menyita waktu. Aku mulai berhenti melangkah meski tidak berniat meninggalkan. Fakta kedua, aku adalah orang yang tidak bisa memegang prinsip.

Anggaplah aku gagal dalam dua pekerjaan itu. Kini aku mencoba mencari pekerjaan lain yang masih sesuai hobi tapi dengan bayaran yang tetap. Hobiku menulis. Barangkali pekerjaan yang sesuai adalah menjadi wartawan. Aku mulai memasukkan lamaran-lamaran menjadi reporter di media-media. Aku juga meminta tolong kawanku di persma, Sadam, untuk menjadi editor tulisanku. Dia pernah memintaku menulis opini tentang KPK vs Polri. Topik yang sedang hangat kala itu tapi tidak menarik perhatianku. Dia memberiku waktu satu minggu dan hanya kugunakan satu hari pada hari terakhir. Terang saja, tulisanku harus dirombak habis-habisan. Sayang sekali waktu aku ingin  menyerahkan revisi tulisanku, Sadam terkena musibah. Kuputuskan untuk mencari editor lain. Bersama Mas Yudha yang saat itu juga ingin belajar menulis, kami meminta tolong Mas Ulil untuk menjadi editor kami. Tugas awal adalah menulis resensi film Whiplash. Hingga detik aku menulis tulisan ini, resensi itu hanya jadi satu paragraf. Fakta ketiga, aku tidak bisa menulis apa yang diinginkan orang lain.

Karena tidak menemukan jati diri positif yang bisa kujual untuk meyakinkan HRD agar mempekerjakan aku, percayalah, pada soal nomer satu aku menjawab:
Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dari kecil saya hobi membaca.

Aku sudah merasa tahu tidak akan lolos sebelum diumumkan. Dan yang membuat sedih bukanlah karena pada akhirnya aku tidak akan lolos, tapi lebih kepada aku yang ternyata belum mengenal diriku sendiri dengan baik.


“Ah, sudara, manusia ini kenal satu sama lain,
Tapi tidak dengan dirinya sendiri…”
-Pramoedya Ananta Toer-

Wednesday 18 March 2015

Terbentur, Terbentur, Terbentur, Terbentuk

Malang, 13 Maret 2015
Setelah mendapat sms dari tiga perusahaan pada malam sebelumnya, pagi ini (yang seharusnya kuhabiskan waktu untuk jalan-jalan) aku bersiap-siap mengikuti psikotest dari MPM Finance dan Metrodata Informatika. Yang satu adalah perusahaan pembiayaan, bahasa kerennya kredit. Satu lagi adalah perusahaan IT (percaya atau tidak, aku melamar sebagai programmer dan sangat terkejut ketika tau-tau aku lolos administrasi). Tokopedia, toko online terbesar di Indonesia (katanya) memberikan jadwal untukku mengikuti interview keesokan harinya. Mega dan Fian yang tidak mendapat panggilan darimanapun merasa panas dengan keberuntunganku. Akhirnya hari ini mereka memilih masuk kembali ke gedung Samantha Krida untuk memasukkan lamaran sebanyak mungkin.

Psikotes pertama yang kuikuti adalah milik MPM Finance, bertempat di gedung Lab Ilmu Hayati Universitas Brawijaya dan dimulai pada pukul 09.30. Hanya 57 orang yang mengikuti psikotes hari itu. Psikotes berlangsung selama 1,5 jam. Tidak sampai satu jam hasil psikotes dipasang di papan pengumuman. Aku mendapat teman baru, namanya Dahniar. Dipanggil Mencit. Kami berdua lolos. Tahap selanjutnya untuk yang berhasil lolos adalah tes Forum Group Discussion (FGD) yang akan dilaksanakan pada pukul 13.15.

Aku memiliki jadwal psikotes di Metrodata jam 13.30. Aku bimbang mana yang harus kulepas antara MPM yang sudah lolos psikotes tapi hanya perusahaan kredit, atau Metrodata yang masih akan psikotes tapi perusahaan IT. Kuputuskan untuk melepas Metrodata (yang nantinya aku diledek habis-habisan gara-gara mengambil keputusan ini). Alasannya adalah karena pengalaman. Aku sudah tahu rasanya psikotes dan aku ingin tahu bagaimana rasanya mengikuti tes FGD. Jika aku mengikuti psikotes di Metrodata dan tidak lolos, aku akan kehilangan kesempatan memiliki pengalaman mengikuti tes FGD pada hari itu. Meski bekerja di perusahaan IT jelas lebih bergengsi daripada hanya di kantor pengkreditan, aku tidak peduli. Toh pada keduanya aku cuma jadi jongos.

Untuk mengikuti tes FGD, kami dibentuk ke dalam grup. Satu grup berisi 6 orang. Aku berada dalam grup yang berbeda dengan Mencit. Sebagai gantinya aku mendapat kawan baru yang bernama Syahril yang nantinya akan satu grup denganku. Kami mengobrol panjang tentang pengalamannya mencari kerja. Jam terbangnya sudah tinggi rupanya. Dia sudah berpengalaman mengikuti tes dimana-mana. Dia memberitahuku bahwa saat tes FGD jangan pernah terlihat mencolok. Hasil FGD yang baik adalah ketika anggota timnya mampu bekerja dengan berdiskusi, menjadi pendengar yang baik dan mampu menekan ego masing-masing, bukan berdebat atau adu argumentasi. “Biasa aja, jangan sampai kelihatan mendominasi.”

Akhirnya tiba giliran grup kami yang harus masuk ke dalam. Di dalam ruangan, kami diberi sebuah permasalahan yang terjadi di sebuah perusahaan. Selanjutnya, kami diberi waktu selama 20 menit untuk berdiskusi dan mencari solusi dari permasalahan di atas. Selama berdiskusi, Syahril mendominasi percakapan.

Tes FGD selesai jam 15.00. Keluar ruangan rasanya aku ingin tertawa. Ah, bisa-bisanya si Syahril itu. Menyabotase peluangku dengan membuatku bungkam seperti yang disarankannya. Aku baru menyadari kepolosanku saat Mega bercerita bahwa untuk menjadi supervisor dibutuhkan orang bertipe leader, maka selama tes FGD haruslah orang itu bisa mendominasi dan mengarahkan yang lain. Dan selama tes yang kulakukan malah menjadi pendengar yang baik. Aku lupa kalau disini kawan yang sudah belasan tahun bisa menjadi lawan. Apalagi yang baru kenal beberapa jam.

Hasil tes FGD akan diumumkan sore itu juga melalui sms. Hanya orang-orang yang berhasil lolos saja yang akan menerima pemberitahuan lewat sms dan boleh mengikuti interview esok harinya. Hingga malam tiba, aku tidak mendapat pemberitahuan itu.

Malang, 14 Maret 2015
Yakin tidak akan lanjut pada proses seleksi MPM Finance, aku mengikuti interview di Tokopedia pada jam 08.00 pagi ini. Aku mendapat nomer urut belasan untuk langsung interview dengan sang HRD. Ketika giliranku tiba, aku menyerahkan CV dan memperkenalkan diri.
Aku (A) : (memperkenalkan diri)
HRD (H) : Jadi, apa yang anda tahu tentang Tokopedia?
A : Tokopedia adalah online shop terbesar di Indonesia.
H : (mengawasiku)
A : (mikir keras) Eerr…. Jadi secara teknis, Tokopedia itu seperti mall besar. Didalamnya ada banyak toko yang menjual barang bermacam-macam. Nah, bedanya disini prosesnya online dan Tokopedia itu sebagai wadah yang didalamnya tersedia online shop beraneka ragam.
H : Apa harapan Anda kepada kami untuk 5 tahun ke depan?
A : Saya berharap Tokopedia bisa go international.
H : Anda ingin berada di posisi apa?
A : Operational Customer Care.
H : Sudah pernah berbelanja di Tokopedia?
A : (Aduh) Belum. Hehehe.
H : Hmmm…
A : Tapi saya pernah buka kok.
H : Sudah punya akun di Tokopedia?
A : (Double aduh) Belum. Hhe.
H : Baik, saya ingin tahu kemampuan komunikasi Anda. Sekarang coba jelaskan pada saya bagaimana caranya masuk ke akun facebook!
A : Untuk masuk ke akun facebook sangat mudah. Jika sudah pernah mendaftar, langsung login dengan cara memasukkan username dan password di bagian kotak login yang berada di pojok kiri atas. Jika belum memiliki akun, langkah yang harus dilakukan adalah klik tombol register, kemudian anda harus mengisi form pendaftaran facebook yang disitu nanti akan berisi nama Anda, email Anda, dan hal-hal lain yang diperlukan facebook untuk mendata anggota baru. Setelah Anda memiliki akun, baru Anda bisa langsung login seperti yang sudah saya jelaskan di awal tadi.
H : Selanjutnya berapa gaji yang Anda harapkan jika Anda diterima kerja disini?
A : Senilai standard gaji yang ditetapkan oleh perusahaan untuk fresh graduate.
H : Terakhir, apakah ada pertanyaan untuk saya?
A : Kalau saya diterima kerja disini, boleh sampai umur berapa?

Setelah menjawab pertanyaan terakhirku dengan singkat, si HRD menutup wawancara dengan berjanji akan mengirim pemberitahuan lewat sms dua minggu lagi. Bagi mereka yang lolos.

Berakhirnya wawancaraku hari itu bersamaan dengan berakhirnya tes FGD yang diikuti Fian. Fian dan Mega mendapat panggilan di BFI Finance setelah memasukkan lamaran di hari kedua jobfair. Hanya Fian yang lolos psikotes dan lanjut ke tahap tes FGD. Mega menunggui kami berdua sehari itu. Karena pemberitahuan Fian akan dikirim 3 hari lagi dan aku 2 minggu lagi, kami memutuskan untuk pulang ke tanah kelahiran, Banyuwangi. Kami menaiki kereta yang sama seperti saat pemberangkatan 3 hari yang lalu.

Kali ini kita berempat. Mas Munir, pacar Mega yang bekerja di Pandaan sedang ingin mudik dan mengajak kita pulang bersama-sama. Di dalam kereta aku menceritakan proses interview yang kujalani di Tokopedia. Mas Munir bertanya apa kata-kata terakhir yang diucapkan oleh HRD. Kujawab kalau HRD menyuruhku menunggu pemberitahuan maksimal dua minggu, jika tidak ada kabar setelah dua minggu artinya aku tidak lolos. “Biasanya, kalau HRD bilang suruh nunggu gitu, itu tanda kalau kamu ditolak secara halus.”

Aku tertawa mendengar pernyataan Mas Munir. Baiklah, akan kuanggap tidak ada perusahaan yang mau menerimaku hari itu. Lagipula aku juga tidak berharap langsung ada perusahaan malang yang memilihku jadi karyawannya. Karena itu tidak adil menurutku. Ada banyak sarjana yang bersusah-susah jauh-jauh hari sebelumku untuk berjuang mencari kerja. Sedang jika aku yang masih merah tiba-tiba dapat kerja, entah bagaimana ada perasaan tidak enak yang menyusup. Selain itu, aku adalah pribadi yang terbiasa berlari di jalan berliku. Bukan berarti aku tidak akan bersyukur jika suatu hari nanti mendapat kemudahan. Tentu aku akan sangat bersyukur, aku hanya tidak keberatan jika diberi kesempatan untuk berjuang. Aku sudah biasa dan bisa menerima kegagalan. Setiap kegagalan yang kualami membuatku semakin kuat. Dan aku percaya kalau pelaut yang handal tidak dilahirkan di laut yang tenang. Serupa dengan lilin mainan, yang tidak akan terbentuk sebelum terbentur berkali-kali.

"Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk."
-Tan Malaka-

GPS

Malang, 12 Maret 2015
Siang ini hujan turun lebih awal. Aku masih berada di dalam gedung Samantha Krida Universitas Brawijaya bersama Fian. Mega sudah lebih dulu keluar karena ia tidak kuat menahan lapar. Ketika masih menjadi bagian tubuh ular-ularan di stan BANK Mandiri, Mega meneleponku. Ia bilang tidak enak badan dan ingin segera pulang. Aku berjanji untuk mengantarnya pulang terlebih dulu setelah tiba di ujung antrian panjang ini.

Begitu keluar dari stan aku bergegas mencari Fian untuk meminta kunci motor. Pagi tadi kami berangkat menggunakan motor Mbak Ika dan seorang temanku, Natiq, berbaik hati menjemputku di rumah sehingga kami bertiga tidak perlu susah mencari angkot yang mau mengantar sampai depan gedung. Saat ini Natiq sedang menemui dosen untuk bimbingan skripsinya, jadi aku harus kembali untuk menjemput Fian setelah mengantar Mega pulang nanti.

Sejujurnya, aku tidak hafal jalan untuk pulang walaupun tadi sudah melewatinya. Otakku benar-benar payah dalam mengingat peta. Begitu juga Mega. Kami berdua berangkat dengan otak kosong tentang rute yang harus kami lewati. Beruntung sekali kami hidup di era teknologi sudah canggih. Alih-alih bertanya pada teman atau orang yang belum tentu jelas informasinya untuk kami, aku membuka aplikasi Map pada smartphoneku. Kunyalakan GPS dan kuketik nama tempat yang akan kami tuju. Start navigation. Peta berskala selayar handphone dengan garis biru yang menunjukkan rute yang harus kami lalui terpampang di depan mata. Kami mulai melaju.

Di tengah jalan, hujan tiba-tiba datang tanpa permisi. Kami berdua basah kuyup. Hingga sampai rumah hujan belum berhenti. Aku memutuskan untuk menunggu hingga reda sebelum menjemput Fian. Setengah jam kemudian, gerimis kecil menandakan hujan hampir habis. Aku berangkat untuk menjemput Fian. Sekali lagi kunyalakan GPS untuk memanduku mencapai tujuan.

Aku kesulitan membaca peta karena aku hanya sendiri. Akan lebih mudah jika ada seseorang di belakangku yang membaca peta sedang aku tinggal menyetir sesuai instruksi. Sedikit-sedikit aku berhenti untuk memastikan rute yang kuambil sudah tepat. Gerimis membuat tanganku yang memegang handphone basah. Saat aku sedang mengecek lokasiku, tiba-tiba layar handphone ceket, tidak mau digeser. Pasti ini gara-gara tanganku yang basah. Handphoneku semakin basah karena hujan mulai deras lagi. Tidak mau mengambil resiko membuat handphone rusak, aku memasukkannya ke dalam tas dan terus berjalan tanpa melihat navigasi lagi.

Hingga beberapa km ke depan, aku merasa asing dengan jalan-jalan yang kulewati. Aku tidak ingat pernah lewat sini. Ah, tentu saja.. Aku kan memang tidak pernah ingat. Kuputuskan terus melaju dengan percaya diri. Semakin lama, aku semakin merasa asing. Sepertinya ini jalan yang salah. Kulihat handphoneku layarnya masih hang. Kemudian aku bertanya pada orang-orang yang berada di pinggir jalan. Ternyata benar, aku salah jalan. Aku menyimpang terlalu jauh dari arah seharusnya. Lalu aku memutar balik sesuai dengan instruksi orang tersebut. Sampai dipersimpangan, aku kembali bingung dengan arah yang harus kuambil. Ketika lampu merah berhenti, aku bertanya pada pengendara motor di sebelahku dimana letak kampus Brawijaya.

Menurut perasaanku, aku sudah benar mengikuti instruksi orang-orang yang kutanyai itu. Tapi kok rasanya semakin jauh ya? Sampai dipertigaan aku bertemu dengan dua orang mahasiswa dari Papua. Aku kembali bertanya dimana letak kampus Brawijaya.
Mahasiswa 1 (M1) : Ibu lurus aja, terus belok kanan. Nanti ketemu alun-alun. Ibu berputar.
Aku (A) : (sial, aku dipanggil Ibu) Oh.. jadi ini lurus aja?
M1 : Iya, itu nanti Ibu ketemu pertigaan langsung belok kanan, ada alun-alun, lalu berputar.
A : (bingung) Itu kan ada jalan serong ke kanan, aku ambil yang lurus ini kan? Terus belok kanan. Terus mutar alun-alun?
Mahasiswa 2 (M2) : Ini lurus aja. Depan itu ada lampu merah belok kiri. Terus belok kanan. Baru putar alun-alun.
A : (semakin bingung) loh, ini saya belok kanan apa belok kiri dulu?
M1 : Pokoknya Ibu lurus aja ini. Nanti belok kanan. Ketemu alun-alun. Putar.
M2 : Lampu merah depan itu belok kiri dulu, Bu. Baru belok kanan. Putar alun-alun. Ada tanjakan, Ibu naik ke atas.
A : (gusar) Ini saya belok kanan langsung apa belok kiri dulu baru belok kanan sih yang bener?
M1 : Ibu temukan saja dulu alun-alunnya. Ini lurus, belok kanan.
M2 : Iya, Bu. Lampu merah itu belok kiri, lalu belok kanan.
A : (stress) Okedeh, saya mau muter alun-alun dulu. Makasih ya..

Aku memilih untuk belok kiri di lampu merah kemudian belok kanan setelahnya. Pilihanku tepat, aku melewati Ramayana dan mall-mall lain yang berada di depan alun-alun. Kemudian aku berputar-putar sesuai instruksi mahasiswa asal Papua tadi. Tidak yakin akan kemana, aku bertanya lagi kepada seorang ibu-ibu tua. Ibu-ibu itu bilang kalau aku salah jalan dan harus kembali untuk menemukan lampu merah kemudian belok kanan. Aku patuhi instruksinya. Sampai di lampu merah, aku mencoba bertanya pada seorang bapak-bapak bersepeda motor disebelahku untuk memastikan apakah benar setelah ini aku harus belok kanan untuk mencapai kampus UB. Tapi bapak itu malah berkata, “Ikuti saya.”

Hah? Ikuti saya? Nggak salah denger ta? Bagaimana kalau ternyata bapak ini adalah salah satu komplotan begal yang sedang mencari mangsa? Saat melihatku tanya alamat, dia pasti merasa seperti mendapat durian runtuh. Korban datang dengan sukarela kepadanya. Kemudian aku dibawa ke tempat sepi dimana kawan-kawannya sudah menunggu. Setelah sampai ditempat akan berlangsungnya kejadian, aku dipaksa melucuti perhiasan dan harta benda yang kubawa. Dan karena aku wanita, mereka memperkosaku secara bergantian. Tidak ingin kejahatannya terbongkar, akhirnya mereka memutilasiku dan membakar potongan-potongan tubuhku di tempat yang berbeda. Lalu mereka kabur membawa motor milik Mbak Ika yang kupinjam ini. Hii.. aku bergidik sendiri dengan imajinasiku yang liar. Ketika lampu hijau, aku mengikuti begal, eh, bapak itu.

Loh, kok bapak ini lurus? Bukannya tadi ibu-ibu itu bilang kalau aku harus belok kanan ya? Jangan-jangan.. (aku bergidik). Dengan hati-hati aku mengikuti bapak ini. Pokoknya kalau nanti bapak ini mulai membawaku ke daerah yang sepi, aku akan langsung kabur. Kulihat bapak itu melihat ke spion secara berkala, memastikan aku masih berada di belakangnya. Membuatku semakin was-was. Kami sudah melewati dua lampu merah ketika bapak itu berkata, “Setelah ini saya belok kanan, adek belok kiri.” Ketika kami sampai di persimpangan yang dimaksud, bapak itu melambai kepadaku kemudian membelokkan setirnya ke kanan. Aku yang berada di belakangnya berteriak-teriak terima kasih sambil benar-benar meminta maaf dalam hati karena mencurigainya sebagai begal. Kemudian aku membelokkan setirku ke kiri.

Kampus UB sudah terlihat dari kejauhan. Aku berjalan perlahan sambil merenungkan kejadian tadi. Sungguh aku menyesal telah mencurigai orang yang begitu baik mau menolongku. Barangkali kasus-kasus kejahatan yang banyak disorot media akhir-akhir ini yang membuat tingkat kewaspadaan seorang manusia berada di titik puncak. Aku merasa lebih aman menggunakan GPS daripada memakai navigasi alami, mulut, untuk pergi ke tempat asing. Padahal jaman dulu, orang-orang memanfaatkan mulut untuk dijadikan navigasi alami. Mereka bertanya jika tak tahu arah. Hingga terbitlah peribahasa itu, malu bertanya sesat dijalan. Hanya saja, orang jaman dulu tidak memiliki curiga pada orang yang ditanya. Dan orang jaman sekarang lebih percaya dan ramah pada benda tipis berbentuk kotak yang bisa disimpan dalam saku daripada dengan orang yang hidup disekelilingnya. Salah satu aplikasi yang bernama GPS di dalamnya mengalahkan kemauan bersosialisasi. Sedang mereka tahu bahwa GPS tak selalu bisa diandalkan. Sebut saja aku.

Tuesday 17 March 2015

Ular-Ularan

Malang, 12 Maret 2015
Gedung Samantha Krida Universitas Brawijaya penuh sesak oleh sarjana-sarjana dari manca universitas. Di depan loket pembelian tiket masuk, antrian masih mengular. Padahal ini sudah jam 10.00. Begitu masuk di dalam gedung, kami disambut oleh Astra Internasional. Perusahaan multinasional yang memproduksi otomotif dan bermarkas di Jakarta. Peminat untuk menjadi pegawai di sini sangat besar. Sudah gaji tinggi, prestis bekerja di perusahaan multinasional juga patut dibanggakan. Dilihat dari tahap administrasi saja sudah sangat berbeda. Mereka menyediakan puluhan Ipad yang sudah disetting untuk pengisian formulir pendaftaran pegawai serta pas foto yang digunakan untuk keperluan lamaran juga diambil melalui foto selfie menggunakan Ipad tersebut. Baru masuk sudah disuguhi pemandangan yang modern, membuat amplop berisi surat lamaran yang terselip dalam tasku terlihat sangat kuno.

Aku berpisah dengan kedua temanku. Aku berjalan ke kiri dan melihat antrian ular-ularan didepan stan BANK Mandiri. Di sampingnya, ular-ularan BANK BCA dan BRI juga tak kalah panjang. Semua pendaftaran di BANK-BANK itu tidak menggunakan Ipad seperti yang dilakukan Astra, namun tetap mengandalkan kecanggihan teknologi. Mereka menggunakan laptop. Pelamar langsung mengisi formulir tanpa harus meninggalkan surat lamaran dalam bentuk hardcopy. Tidak hanya di BANK, sebagian besar perusahaan lain juga menggunakan laptop seperti: Santos Jaya Abadi; Tokopedia; Wilmar; Ecco; Wings; Honda; Jatim Autocomp; dan masih banyak lagi. Hal ini memakan waktu yang lama bagi pelamar karena laptop yang disediakan tidak sebanyak jobseeker yang tumpah dalam gedung itu. Karena surat lamaran yang kusiapkan tidak dibutuhkan, aku ikut menggabungkan diri menjadi bagian ekor ular. Membuat ular-ularan semakin panjang.

Ada ratusan, mungkin ribuan manusia yang bersaing memperebutkan kursi yang lowong dalam sebuah perusahaan. Aku melihat ada satu dua perusahaan yang ikut dalam jobfair di Jember beberapa waktu lalu. Ini ketiga kalinya aku melihat perusahaan ini ada dalam jobfair di tempat yang berbeda. Bahkan aku juga melihat banyak perusahaan yang sama ada dalam daftar jobfair yang akan diselenggarakan di Universitas Negeri Malang dan ITS beberapa hari ke depan. Memang ratusan orang yang mendaftar di Jember kemarin itu masih kurang ya? Butuh berapa banyak karyawan sih? Atau jika memang mereka mau mencari karyawan yang sempurna, mau yang sesempurna bagaimana? Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menjadi ekor ular.

Aku bertemu dengan beberapa kawan lama yang baru lulus dari kuliahnya di Malang. Tidak bisa ngobrol panjang, karena mereka harus bergerak cepat untuk apply ke sebanyak mungkin perusahaan yang sesuai dengan kompetensi mereka. Semua orang yang berada dalam gedung ini terlihat terburu-buru. Barangkali terlalu fokus dengan perusahaan yang ingin mereka tuju, aku melihat beberapa orang lupa meminta maaf kepada orang yang tidak sengaja mereka tabrak saat dalam perjalanan menuju stan perusahaan yang diincar. Aku mencium aroma persaingan yang sangat ketat. Terbiasa hidup enak dari pemberian orang tua, kini aku menyadari bahwa dunia luar memang keras. Pantas saja, para orang tua itu sudah lama berhenti bermimpi. Realita yang membuatnya demikian. Disini, semua menjadi lawan. Meskipun kau sudah berkawan selama belasan tahun.

Aku sendiri tidak benar-benar meneliti perusahaan-perusahaan itu satu persatu. Malas berdesak-desakan. Untuk berjalan saja susahnya minta ampun. Di dalam sangat panas. Aku hampir kehabisan nafas. Setelah mengular untuk mendaftarkan diri di enam perusahaan, aku memutuskan untuk menepi dan mencari Fian. Kutemukan dia sedang berdiri di bawah kipas angin dekat pintu keluar lalu mengajaknya duduk di tribun yang berada di sisi kiri dalam gedung.

Fian bercerita bahwa ia hanya memasukkan satu aplikasi saja. Ketika kutanya mengapa hanya satu, ia jawab karena bingung ingin memasukkan dimana. Saat mengikuti jobfair di Jember kemarin pun ia juga hanya memasukkan satu lamaran. Lagi-lagi aku harus bersimpati pada pria yang sudah menjadi kawanku selama 17 tahun itu. Mungkin nanti aku akan sedih jika harus menjadi saingan Fian. Tapi aku akan lebih sedih jika meninggalkan dia terjerat dalam pesimisnya sendiri. Bagaimana mungkin dia akan mendapat pekerjaan jika hanya memilih satu dari puluhan kesempatan. Andaikan satu-satunya aplikasi yang dikirimnya gagal, maka sudah tidak ada kesempatan lain lagi. Semakin bingunglah dia. Jadi kukatakan padanya, “Bingungnya nanti aja, setelah ada banyak perusahaan yang ngerebutin kamu.” Kuputuskan untuk membuatnya menjadi lawanku. Meski kami sudah berkawan selama belasan tahun.

Kemudian ia mengajakku berkeliling sekali lagi. Sekali lagi menjadi ular-ularan ratusan manusia yang mengantri untuk menjadi pegawai. Aku benar-benar takjub melihat pemandangan yang mengerikan ini. Kebanyakan orang yang kutemui adalah sarjana muda, hanya beberapa yang sudah memiliki pengalaman kerja dan ingin pindah profesi. Tidak, mereka tidak pindah profesi. Hanya pindah tempat kerja. Profesinya sama, jadi babu. Meski cuma jadi babu, kita harus mampu menjual diri sebaik mungkin. Menjual kompetensi yang kita miliki. Jika lolos administrasi, kita akan memenuhi panggilan psikotes, interview, dan tes-tes lain. Jika cocok, barulah kita akan diangkat jadi babu. Sekeras apapun usaha kita bekerja, sebanyak apapun waktu yang kita buang untuk lembur, setinggi apapun kenaikan jabatan yang akan kita terima nanti, jangan seharipun bermimpi akan menjadi majikan. Karena selamanya masih akan ada pemilik yang posisinya hanya bisa diganti oleh sang pewaris, dan kekayaannya akan terus membesar seiring kerja keras kita. Aku sadar tapi tetap meneruskan. Sebuah inkonsistensi diri yang perlu dihancurkan. Tapi kali ini aku biarkan diriku kembali menggabungkan diri menjadi ekor ular. Membuat ular-ularan semakin panjang.

Monday 16 March 2015

Angkot

Malang, 11 Maret 2015

Kami bertiga baru saja sampai di stasiun kota baru, Malang. Saat itu sekitar jam satu siang. Aku dan Mega berencana menginap di rumah Mbak Ika yang tidak berpenghuni. Sedang Fian akan menuju kosan teman kami yang bernama Iswara Adhi Dharma. Aku memanggilnya Dachong dan kini sedang kuliah di Malang. Berhubung Dachong masih kuliah, aku mengajak Fian untuk beristirahat dulu di rumah bersama kami. Fian setuju. Lalu kami bertiga naik angkot menuju Jalan Raya Sulfat, alamat rumah Mbak Ika.

Cuaca mendung. Bau hujan sudah tercium. Kami tidak tahu angkot mana yang harus kami tumpangi. Akhirnya kami bertanya pada sopir-sopir angkot sekitar. Ternyata, tidak ada angkot yang melewati Jalan Raya Sulfat. Kami mulai resah ketika gerimis datang. Naik ojek pasti basah kuyup. Tau-tau ada sebuah angkot yang menawari untuk mengantar kami ke daerah Sulfat. Meski aku tidak pernah naik angkot di Malang, aku tahu harga angkot di sana hanya 3000 hingga 4000. Dan untuk menuju rute yang tidak dilewati biasanya bertarif lebih mahal dari biasanya. Untuk memperoleh informasi itu, aku bertanya kepada sopir berapa tarif ke Sulfat.
“Gampang itu, Mbak. Seikhlasnya saja.”

Kami menimang-nimang berapa kira-kira harga keikhlasan yang bisa kami bayar untuk sopir angkot itu. Lebih tepatnya, berapa minimal nominal yang mampu diterima bapak sopir angkot dengan ikhlas. Kami tidak tahu. Takut panjang dibelakang dengan informasi yang masih ambigu. Akhirnya kami memutuskan untuk turun di rute yang biasa dilalui angkot, yang terdekat dengan sulfat tentunya.

Di dalam angkot hanya ada dua orang dewasa dan kami bertiga. Mega bercerita saat dia masih kuliah di Bogor dulu ia adalah penumpang setia angkutan kota. Itu karena dia takut mengendarai motor sendiri. Aku sendiri dulu saat berada di Jember sangat jarang menggunakan jasa angkot. Aku lebih suka menggunakan kendaraan pribadi tapi juga suka mengkritik perokok yang berjasa meningkatkan pemanasan global. Padahal satu motor digunakan oleh satu orang sama saja dengan pemborosan bahan bakar.

Sadar atau tidak, banyaknya penumpang angkot barangkali kini sudah bisa dijadikan parameter perubahan iklim kota Malang. Dulu, hanya sedikit orang yang memiliki kendaraan pribadi. Angkutan kota selalu penuh dengan orang yang berwara-wiri. Jalanan terlihat luas tanpa ada kemacetan dan Iklim kota apel ini juga masih dingin. Sekarang, banyak orang lebih suka memakai kendaraan pribadi. Sopir angkutan kota kesulitan mencari penumpang. Jalanan menjadi sempit karena penuhnya volume kendaraan dan rentan kemacetan. Tinggal tunggu waktu, Malang yang dingin akan serupa Jakarta atau Surabaya. Aku sadar pemanasan global tidak hanya disebabkan oleh seorang perokok, tapi juga disebabkan oleh seorang pengguna kendaraan pribadi yang egois sepertiku. Sadar tapi tetap diteruskan. Suatu inkonsistensi diri yang perlu dihancurkan.

Sebenarnya yang membuatku enggan naik angkot adalah meluasnya berita di televisi tentang kejahatan yang terjadi di dalam angkot. Selain pemanasan global, semakin sepinya penumpang barangkali juga menjadi salah satu pemicu maraknya kasus pencopetan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh sopir angkot. Aku sering mendengar seorang wanita dirampok kemudian diperkosa oleh sopir angkot dan beberapa kawannya yang berpura-pura menjadi penumpang. Alasannya merampok adalah karena jumlah yang harus disetorkan masih kurang. Dan pemerkosaan itu hanyalah sebagai bonus karena korbannya seorang wanita. Andaikan kesejahteraan sopir angkot masih sama seperti dulu, barangkali hal semacam ini tidak perlu terjadi. Sungguh sedih melihat bahwa keadaan bisa mengendalikan manusia untuk mengambil jalan yang gelap.

Sampai di lokasi, kami harus berhenti di depan Jalan Raya Sulfat, tidak masuk ke sana sesuai perjanjian awal. Kami hanya berhenti sampai jalan yang dilalui angkot. Di luar hujan deras.
“Turun sini, Mbak. Itu Sulfat tinggal nyebrang aja. Tiga orang 30.000.”
“Hah? Bukannya angkot biasanya cuma 3000 ya Pak? Naik-naik paling 4000.”
“Itu harga taun berapa Mbak?”
“Ya tapi masak 10.000 per orang sih, Pak?”
“Kalau mau turun sini, 30.000. Kalau mau saya antar sampai depan rumah, tambah 10.000, jadi 40.000.”
“Yah, Bapak. Mahal amat. Kurangilah, Pak.”
“Nggak bisa, Mbak. Sudah pas.”
“30.000 nyampek depan rumah saya maunya.”
“30.000 turun sini, Mbak.”
“35.000 nyampek depan rumah saya.”
“Iya sudah.”
“Itu tapi saya bayarnya nggak pake ikhlas lo, Pak.”

Aku baru menyadari bahwa ada banyak perumahan di jalan itu. Aku pernah ke sana satu kali, tapi tidak ingat letak perumahannya dimana. Mbak Ika hanya mengirim alamat lengkap yang parahnya, pak sopir angkot itu tidak mengetahui daerah itu. Tentulah, angkot kan tidak lewat situ. Setelah beberapa kali salah masuk jalan, akhirnya kami menemukan perumahan yang kami cari. Diluar masih hujan deras. Kami turun di rumah nomor blok B12. Rumah Mbak Ika. Diam-diam aku bersyukur ada sopir angkot baik hati yang rela nyasar-nyasar tapi mau mengantar kami hingga persis di depan rumah. Itu pasti karena hujan dan karena ketidaktahuan si sopir bahwa penumpangnya buta alamat. Kini ia harus bersusah payah bertanya pada sana sini dimana letak rumah yang kucari. Kuanggap kita impas. Malah, aku jadi berpikir upah segitu menjadi sangat murah melihat kondisi kami bertiga yang benar-benar polos. Dan berakhir pada sopir angkot yang menjadi apes karena harus mengantar kami pada alamat yang tidak diketahuinya. Pintar, tapi kurang beruntung. Hahaha.

Andaikan cuaca panas dan aku tau jalan, kemungkinan besar aku mengutuki si sopir angkot malang karena menaikkan harga seenak udelnya. Tapi akan aku urungkan niat pada saat itu juga, karena Malang sudah semakin panas, dan aku berkeinginan kuat untuk membuat angkot penuh penumpang agar bisa membuatnya kembali dingin. Andai bisa..


Sunday 15 March 2015

Jalan yang Berputar



Memakai kemeja warna violet dan rok hitam panjang membuatnya tampak rapi. Diambilnya sepatu fantovel milik ibunya lalu dipasang di kakinya. Tas kulit cokelat pemberian budhenya sudah penuh dokumen-dokumen yang terbungkus dalam amplop-amplop besar. Diambilnya tas itu setelah mengecek jumlah amplop yang berada di dalamnya. Ada 10. Seperti tak puas dengan dandanannya hari ini, ia kembali bercermin. Lama ia berdiri di depan cermin dalam kamar itu. Rautnya layu, tapi harus. Perasaannya masih menolak percaya bahwa ia mengambil keputusan ini. Hari ini, ia memutuskan untuk menyerah pada realita.

Malam sebelumnya, gerimis begitu awet mengguyur kampung halamannya. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berdiam diri di rumah. Meski tanpa gerimis, keluarga itu juga tidak bisa melakukan apa-apa. Jumlahnya kini empat, bapak, ibu, dia-anak pertama, dan anak ketiga. Anak keduanya tinggal di luar kota untuk sekolah. Mereka lapar. Bapak yang akan memasak malam itu. Ibu menyuruhnya membeli kerupuk di warung. Setelah beras terakhir yang dimasak matang, barulah mereka berkumpul di ruang makan. Karena terlalu sedikit, nasi dibagi ke dalam dua piring. Bapak makan dengan anak pertama, ibu dengan anak ketiga. Lauknya adalah sambal dan kerupuk.

Untuk diketahui, wahai pembaca, sang bapak dalam keluarga itu sedang tidak bekerja. Bekerjanya per proyek. Tidak ada pesanan berarti tidak membawa nasi ke rumah. Dan kini mereka sedang terlilit hutang karena si kepala keluarga coba-coba beristri dua. Sedang istri mudanya adalah seorang wanita materialistis. Tentu bisa ditebak apa yang terjadi kemudian. Sepeda motor dan barang berharga lainnya sudah lenyap satu persatu. Tinggal tunggu waktu hingga semua tabungannya turut menjadi kenangan. Untung saja istri tuanya tabah. Dia mencoba sampai batas kemampuan untuk mencari nafkah demi rumah tangganya yang nyaris hancur. Berjualan es dan sayur sop yang  bakal dititipkan di warung tetangga. Sedang ini  adalah musim hujan. Siapa ibu bocah yang sudi memberikan uang pada anaknya untuk membeli es? Dan sayur sop? Duh, Gusti.. bakso dan mie ayam panas jelas lebih menggoda di hawa yang begini menusuk.

Harapan keluarga itu kini diserahkan seluruhnya pada si anak nomer satu. Sayang beribu sayang, dibesarkan dalam lingkungan yang tidak harmonis, si anak tumbuh menjadi seorang pembangkang. Dia tak mau cari kerja. Dia maunya hanya tidur dan merapal mimpi siang bolong. Keras kepala dan melakukan semau apapun yang tak pernah dimengerti orang tuanya. Ada mimpi yang ingin diwujudkan, dan bagi orang tuanya, mimpi itu hanyalah mimpi. Tidak bisa diwujudkan. Tapi ia terlalu keras kepala untuk jadi penurut. Orang tua mana yang tidak kecewa melihat anak yang dibesarkan tumbuh tidak sesuai dengan harapan? Ditambah omongan orang-orang kampung yang masuk ke hati mereka. Satu dua tetangga mencibir, tapi ia tidak peduli. Ibu bapaknya semakin resah menghadapi anaknya yang tidak mau dibujuk.

“Ndug, tak usahlah pandang bulu cari kerja. Mana yang kena duluan, itu sudah yang diambil.”
“Aku sudah kerja, Bu. Kenapa harus cari lagi?”
“Kamu itu sudah di sekolahkan, masak kerjanya cuma mimpi?”
“Ini mimpi yang sedang kuusahakan jadi nyata, Ibu.”
“Kamu itu bisanya cuma lihat ke atas. Lihat yang sudah sukses. Cobalah lihat yang dibawah! Merintis usaha itu tidak gampang, Ndug.”
“Bu, hal yang besar itu tidak mungkin ada tanpa hal yang kecil. Aku tidak akan punya sesuatu yang besar tanpa melewati yang kecil dulu.”
“Tapi Ibu pinginnya anak ibu kerja yang enak sekarang. Punya gaji tetap. Biar bisa dicontoh sama adik-adikmu.”
“Kalau akhirnya aku memang harus jadi pegawai, aku tidak mau jadi contoh adik-adik. Aku maunya mereka jadi bos, bukan pegawai sepertiku.”
Ibu diam
“Sudahlah, Bu. Tidak usah ibu dengarkan kata tetangga. Mereka bisanya cuma komentar.”
Ibu diam
“Aku mau jual kentang goreng.”
Ibu menangis.

Pertengkaran demi pertengkaran menambah buruk situasi. Antara ibu dan bapak, ibu dan anak, bapak dan anak, juga antar anak. Bapak yang dimusuhi kedua istrinya berniat minggat dari rumah. Si Ibu rumah tangga hanya bisa menangis dan membangunkan anak-anaknya tengah malam untuk menemaninya. Sambil tetap membuat es dan sayur sop di siang hari dimana anak pertamanya hanya bermimpi-mimpi. Si Ibu malang, punya suami berhati dua, punya anak tak berguna.

Lalu datanglah bencana, atau anugerah itu. Hari dimana si bapak menjual satu-satunya sepeda motor yang biasa digunakan untuk mencari nafkah. Sepeda motor yang digunakan untuk pergi seminggu ke rumah istri muda dan seminggu ke rumah istri tua. Sejak hari itu, si kepala rumah tangga sudah menetap lagi di rumah keluarga pertamanya. Betapa bahagianya untuk memiliki bapak secara utuh, sekaligus betapa pusingnya memikirkan hutang-hutang yang bunganya semakin mekar setiap bulan.

Kini dalam keluarga itu, tidak ada yang lebih indah daripada terkurung dalam gerimis dan makan sepiring berdua dengan lauk sambal dan kerupuk. Pada malam-malam seperti itu, umpat dan tangis tak lagi terdengar. Hanya bunyi kriuk kerupuk dan decak kepedasan yang beradu dengan bunyi gerimis menghujam genting. Dan itu sudah menjadi pertanda bahwa maaf sudah ditebar dalam diam. Mereka tahu, malam terlalu singkat jika hanya dihabiskan untuk membicarakan pertengkaran kemarin sore. Akhirnya setelah puluhan tahun, keluarga itu merela hidup dalam takdir pahit yang harus mereka jalani.

Kini anak nomer satu mereka yang tumbuh tidak sesuai harapan sudah bangun dari tidur siangnya. Ia menyadari ada tangan-tangan tidak terlihat yang membangunkannya dari mimpi. Tangan-tangan itu adalah tanggung jawab dan realita. Entah bagaimana, ia merasa harus mengambil alih semua kekacauan yang terjadi dalam keluarga itu. Sebagai anak pertama, ketika pada akhirnya kedua orang tua sudah tidak sanggup lagi untuk mencari sesuap nasi, pada pundaknyalah tanggung jawab itu dibebankan. Barangkali tanggung jawab itu terlalu berat dan mimpinya masih terlalu jauh untuk dijadikan tempat sandaran, hingga ia memilih untuk berpasrah pada realita. Ia tahu, mimpinya terlalu besar untuk diwujudkan dalam ketergesaan, dan waktu tak pernah bertoleransi untuk menunggu.

Mendadak dunia menjadi sinis dengan membuatnya memikirkan cara untuk bertahan hidup dengan cara yang bukan pilihannya, sedang ia tak pernah meminta untuk dihidupkan. Lagi-lagi ia harus menerima bahwa realitas selalu menang melawan idealis dalam masa-masa tertentu. Kalah dalam memegang prinsip membuatnya sedih. Kini ia mengamini bahwa menjadi realistis kadang memang diperlukan. Idealisnya tercedera. Ah, sudahlah.. barangkali untuk menjadi diri sendiri itu perlu untuk menjadi orang lain dulu. Anggaplah aku ini sedang memutar jalan. Barangkali lebih jauh, tapi aku pasti akan sampai.

Lalu ketika ia mematut diri di depan cermin hari ini, memakai setelan kemeja violet dan rok hitam, sepatu vantofel milik ibu dan tas kulit pemberian budhe yang penuh dengan amplop-amplop berisi CV dan surat lamaran, ia sudah siap melangkah menuju apa yang selama ini ia hindari. Mencari kerja. Akhirnya ia melangkah, meskipun gontai.