Subscribe:

Monday 29 June 2015

Bangkit

Akhirnya saya belajar. Hidup ini seperti berjalan di atas batu. Saya meloncat dari satu batu ke batu yang lain. Sesekali harus membuat pilihan sulit. Batu mana yang akan saya jejak berikutnya. Tanpa tahu ada jebakan apa pada batu yang lebih depan. Tak seorangpun tahu. Hanya Tuhan.

Sangat disayangkan saya tak bisa bertanya langsung pada Ia yang katanya tahu segala. Sebab saya tak lagi yakin Ia yang membuat skenario hidup. Saya lah yang membuatnya. Saya yang berusaha mengubah nasib diri. Dia hanya menyatakan kesetujuannya. Dia lah aktor dibalik kekalahan-kekalahan saya.

Untuk selanjutnya akan sama. Ketika saya bangkit dan menyerahkan proposal nasib, Ia juga hanya sebatas menyetujui. Jika baik, saya akan dibuatnya menang. Jika buruk, Ia menggagalkan. Sampai akhirnya saya menyerahkan proposal nasib yang terbaik menurutNya. Semua tergantung seberapa keras saya mencoba.

Seperti kata Qur’an yang saya yakini kebenarannya:
“Sesungguhnnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa pada diri mereka”(QS Ar R’ad : 11)

Maka di sini saya ingin menyatakan bahwa saya tak pernah menyesal dengan hasil perjudian ini. Saya tahu saya telah berusaha. Meski orang mengatakan saya bodoh ketika tahu saya gagal. Lantas menyarankan untuk tidak berlanjut di jalan ini. Setidaknya saya punya sedikit kebanggaan, bahwa saya pernah berjuang menjadi diri sendiri.

Barangkali semua pilihan dan tindakan saya tidak realistis menurut sebagian orang. Memang bukan prestasi yang menuntun saya, melainkan nurani. Seperti halnya Socrates, yang berkata memiliki suara ilahi dalam dirinya. Saya pun hanya berusaha mengikuti apa kata hati. Karena saya percaya, hati tidak diciptakan untuk diingkari.

Ada yang bilang bahwa hidup kita akhirnya harus bahagia. Jadi jika saya belum bahagia, artinya saya belum berakhir. Kalah bukan untuk diratapi. Ia hadir untuk membuat saya belajar menjadi lebih baik. Terbentur bukan berarti kalah tempur. Bukankah lilin mainan tak akan terbentuk sebelum ia terbentur berkali-kali? 

Sunday 28 June 2015

Kalah

Wawancara saya berlangsung sangat singkat. Saya sedikit gelisah, sebab pengalaman saya mengatakan wawancara singkat pertanda bahwa interviewer tidak tertarik pada kita. Saya diberitahu oleh panitia bahwa hasil akan diumumkan keesokan harinya melalui facebook Tempo Recruitment. Bagi yang berhasil lolos akan mengikuti diskusi panel bersama Pemimpin Redaksi tanggal 1 Juli.

Saya mencoba melupakan wawancara saya hari itu dan menghabiskan malam dengan berdoa. Saya di rantau seorang diri. Tinggal di rumah orang Betawi yang bukan keluarga. Kepada siapa lagi saya bicara? Malam itu saya sudah pasrah. Saya ikhlaskan apapun hasilnya. Tuhan pasti tau mana yang lebih baik untuk saya.

Untuk menghabiskan waktu, esoknya saya pergi ke kantor Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Saya menghadiri diskusi bertema pemilihan ketua KPK. Pembicaranya adalah L.R. Baskoro, Redaktur Eksekutif Tempo, Nanang sebagai anggota KPK, dan Yenti dari 9 Srikandi Panitia Seleksi (Pansel) Ketua KPK. Setelah diskusi, acara berlanjut nonton bersama hingga buka bersama. Saya datang bersama Mbak Lovina, kawan saya dari yayasan Pantau.

Sekitar jam 8 malam saya tiba di rumah Mami. Kamis malam Jumat di depan rumah Mami selalu ramai dengan bazar. Ada yang jual makanan, pakaian, sepatu, hingga ikan hias. Kak Lila dan Nares ada di rumah Mami.

Begitu masuk rumah saya segera membuka facebook Tempo Recruitment untuk melihat hasil seleksi. Ditemani Kak Lila dan Siti di dalam kamar, saya gugup. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika saya gagal. Setelah semua yang saya lalui, saya tidak mungkin pulang dengan tangan kosong.

Akhirnya muncul. Beberapa baris nama yang lolos ke tahap selanjutnya. Dari huruf A hingga huruf Z, saya mencari di deret huruf M. Tak ada nama saya di sana. Saya coba cek lebih teliti lagi. Nama saya tetap tidak ada. Saya diam cukup lama. Lemas.

Kak Lila dan Siti merebut smartphone saya untuk membuktikan. Mereka juga terdiam. Lalu saya telepon Ibu untuk mengabarkan kegagalan saya. “Terus gimana rencanamu?” tanya Ibu kecewa. Berat. Saya pun tak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi saya yakinkan Ibu bahwa pasti ada kesempatan lain yang akan datang. Saya bilang saya mau menunggu di sini. Saya tak mau pulang.

“Kamu mau tinggal dimana? Masak mau numpang Mami terus?” Ibu kembali bertanya. Saya katakan bahwa saya nanti akan berpindah-pindah. Barangkali ke rumah Tante Susi yang berada di Tangerang. Atau ke rumah Om Wito di Bekasi. Meski saya belum pernah bertemu dengannya sekalipun.

Saya tahu bagaimana kecewa dan sedihnya Ibu. Saya tidak berpikir hasilnya akan sesulit ini karena awalnya saya begitu optimis. Tidak hanya Ibu, semua orang bertanya apa rencana saya selanjutnya. Saya tidak tahu. Pertanyaan itu terasa menyudutkan. Tak bolehkah saya bersedih barang sebentar?

Saya tak mau bertemu dengan orang-orang di rumah malam itu. Tak mau mendengar atau bicara apapun. Jakarta terlalu sesak. Bahkan saya tak punya tempat untuk menyepi. Barangkali di sini bersedih adalah membuang waktu. Akhirnya saya keluar menuju bazar malam untuk jajan. Mencari kesibukan untuk melupakan.

Saya masih enggan bertemu manusia saat kembali ke rumah. Lalu saya mandi dan berwudhu. Saya tidak berdoa seperti biasanya. Saya tidak marah pada Tuhan. Hanya malas bicara dengannya. Jika Tuhan berwujud, barangkali saya akan terlihat seperti seorang anak yang dongkol pada ayahnya karena tak dibelikan mainan.

Tahap Satu

Keesokan harinya tes berlangsung mulai pukul 08.00 WIB. Saya berangkat ke Stasiun Klender jam 6 lewat. Hingga jam setengah 7, akhirnya ada KRL yang datang dari Bekasi menuju Jakarta Kota. Jam berangkat kerja selalu penuh sesak. Saya berhasil masuk walau harus tertahan di ambang pintu. Lama. KRL tak juga berangkat. Rupanya KRL mogok. Tak mau jalan maju. Hingga jam 7, KRL tak juga bisa jalan. Akhirnya KRL dikembalikan ke arah datangnya. Menuju Bekasi.

Semua orang turun. Saya bergegas mencari ojek untuk pergi ke stasiun berikutnya. Manggarai. Saya kurang beruntung. Ojek sudah laku semua. Lalu saya naik angkutan kota ke Rawamangun. Dari Rawamangun saya naik Metromini menuju Stasiun Manggarai. Gila! Sudah jam 8. Saya masih belum sampai di Manggarai. Saya terjebak macet.

Saya menghubungi pihak Tempo untuk memberitahu keterlambatan saya. Tapi tidak bisa tersambung. Duh, Gusti.. Saya sudah jauh-jauh datang ke Jakarta. Sudah rela kehilangan pekerjaan. Masak iya saya harus gagal sebelum mencoba. Tak henti-henti mulut saya berdoa agar masih diberi kesempatan.

Sampai di Manggarai saya naik KRL tujuan Tanah Abang. Turun di Sudirman. Dari sana saya masih harus naik metromini lagi ke Bendungan Hilir. Untungnya Bendungan Hilir tak jauh dari Unika Atma Jaya. Sekitar jam 9 saya berlarian menuju Gedung Yustinus Lantai 15.

Ketika saya tiba, ada beberapa orang yang masih berada di luar. Saya mengisi daftar registrasi dan mendapat nomor urut 278. Di belakang saya masih ada orang yang baru datang rupanya. Kemudian kami semua dipersilakan masuk.

Saya ketinggalan 2 sesi soal psikotes. Tapi di akhir tes, Tempo memberi kesempatan bagi yang terlambat untuk mengikuti tes susulan. Puji syukur Tuhan.

Hasil tes diumumkan hari itu juga. Dari sekitar 300 peserta, sekitar 150 orang gugur ke tahap selanjutnya. Alhamdulillah, saya termasuk peserta yang lolos. Tes kedua adalah interview dengan redaktur yang berlangsung keesokan harinya.

Tempat interview adalah gedung Tempo lantai 5. Saya tidak kesulitan pergi ke sana karena sebelumnya sudah sering. Sebelum pergi ke lantai 5, saya menyempatkan untuk mengunjungi ruang Tempo Institute.

Berjudi

Ada yang mengatakan saya berani. Ada yang bilang gila. Ada juga yang mengatakan saya bodoh. Yang mana saja boleh benar. Saya terlalu sibuk memikirkan hal lain daripada komentar itu.

Saya pulang ke rumah Pakdhe di Pandaan keesokan harinya. Pakdhe menilai saya membuat kekeliruan. Menurutnya, saya seharusnya menunggu hingga dua atau tiga hari sebelum memutuskan untuk resign. Alasan resign adalah karena tidak cocok dengan lingkungan pekerjaan. Tapi kan bukan itu faktanya. Saya sudah merasa tidak enak perkara etika. Bagaimana mungkin saya juga harus berbohong?

Tapi keputusan saya memang beresiko tinggi. Selain saya kehilangan pekerjaan, Pakdhe takut Direktur Mitra Citra sakit hati dengan tindakan saya. Sehingga ia lalu menyarankan perusahaan lain untuk mem-black list saya jika melamar di perusahaan-perusahaan tersebut.

Malamnya saya sedikit resah. Saya kepikiran dengan kata-kata Pakdhe. Tapi bukannya karyawan keluar adalah resiko perusahaan? Mau satu hari, satu minggu, 10 tahun pun, andai ada karyawan keluar, apakah mereka juga bisa dibilang tidak beretika? Karena memang tidak ada dalam peraturan perusahaan yang mengikat karyawan tidak boleh keluar dalam masa waktu tertentu. Ah, sudahlah. Jika akhirnya mereka berniat jahat pada saya dengan menghubungi partner-partnermereka agar mem-black list saya, itu adalah urusan mereka dengan Tuhan.

Tanggal 21 Juni saya berangkat ke Jakarta seorang diri. Saya telepon Ibu dan mengabarkan bahwa saya akan langsung ke Jakarta tanpa pulang ke rumah lebih dulu. Ibu sudah restu dengan pilihan-pilihan saya rupanya.

Saya sampai di rumah Mami keesokan harinya. Sesaat setelah datang, saya langsung pergi ke Universitas Katolik Atma Jaya, tempat berlangsungnya tes. Tempat saya memulai perjudian. Saya tak mau langsung gagal hanya karena saya kesasar.

Saya menempuh perjalanan selama 2 jam dengan busway. Letaknya di Jakarta Pusat, dekat dengan Stasiun Sudirman. Sepertinya akan lebih cepat kalau saya naik Commuter Line (KRL).

Keluar

Saya duduk dengan perasaan tak karuan. Baru satu minggu saya pulang dari Jakarta. Baru satu hari saya memantapkan diri bekerja sebagai orang kantoran. Ujian itu datang lagi. Kali ini semakin sulit. Saya sudah terlanjur masuk meski belum diikat apapun. Walaupun dalam status masa percobaan tiga bulan, tidak ada dalam peraturan perusahaan bahwa saya tidak boleh mundur. Lantas saya pergi ke ruangan Rellas untuk meminta pertimbangan.

Menurut Rellas, saya dinilai tidak beretika jika sampai mengundurkan diri dari Mitra Citra. Sebab perusahaan itu telah berbaik hati menunggu saya hingga satu bulan lebih. Selain itu, Rellas mengatakan bahwa masuknya saya di perusahaan itu atas permintaan Direktur Mitra Citra, Michael namanya. Tidak biasanya seorang Direktur mau memberi waktu selama itu untuk menunggu seorang karyawan masuk. Rellas merasa tidak enak dengannya.

Kemudian saya dipertemukan dengan Bu Susi, atasan Rellas. Menurut Bu Susi, pilihan ada ditangan saya. Ia tidak mau memaksa. Ketika saya meminta pertimbangan bagaimana jika berada di posisi saya. Ia menjawab akan memilih stay di perusahaan ini. Pertimbangannya adalah perusahaan memberi kepastian. Sedang di Jakarta, saya harus berjudi dengan ketidakpastian sekali lagi. Tampaknya Bu Susi adalah orang yang suka bermain aman.

Namun saya tidak sependapat. Menurut saya, menyia-nyiakan kesempatan berarti menyia-nyiakan umur. Bayangkan saja andaikan saat ini saya tetap tinggal dan melepas kesempatan. Berapa lama saya harus menunggu kesempatan yang sama itu datang lagi? Andaikan kesempatan itu akhirnya datang, siapa yang bisa menjamin nyali saya masih sebesar saat ini? Apakah Bu Susi yang akan menjamin?

Barangkali ini adalah pilihan tersulit yang pernah saya temui. Ini bukan lagi tentang keinginan saya pribadi. Tapi sudah masuk pada tahap hubungan saya dengan masyarakat luar. Dalam hati saya ingin pergi tapi tidak dengan melukai. Bukan karena masalah ketidakpastian yang menahan saya. Tapi perkara etika. Andai saya tak harus peduli dengan etika, saya pasti sudah melenggang.

Dengan berat hati, akhirnya saya memutuskan untuk tinggal. Sekali lagi bukan karena saya tak mau ambil resiko. Tapi lebih karena saya tak ingin melukai. Barangkali saya harus menempuh jalan ini terlebih dulu sebelum melanjutkan ke jalan yang sesuai dengan hati saya.

Lepas istirahat, saya duduk di meja Iga, kawan baru saya. Ia mengajari saya bagaimana memproses sebuah pesanan untuk disampaikan ke bagian produksi. Sulit sekali menangkap penjelasan Iga waktu itu. Hati saya masih belum ikhlas. Pekerjaan saya jadi tak beres. Saya kepikiran kata-kata Rellas. Mengapa Pak Michael rela menunggu saya selama satu bulan lebih? Apa istimewanya saya?

Lalu saya berinisiatif menemui Pak Michael di ruangannya. Saya bercerita bagaimana kondisi saya dan meminta pertimbangan. Andaikan saya benar-benar dibutuhkan di perusahaan ini, saya katakan bahwa saya akan tinggal. Pak Michael menjawab, “Kalau kamu sudah ngomongin passionsaya bisa apa? Saya tidak suka menahan-nahan orang. Kalau HRD yang menahan kamu ya itu wajar. Nama mereka bisa jelek.”

”Saya kemarin bersedia menunggu kamu sebenarnya ya karena posisimu itu sedang tidak urgent.Tim sebanyak itu sudah cukup buat saya. Jadi kalau kamu mau keluar, saya tidak ada masalah,” ia melanjutkan. “Sudah, tidak apa-apa kamu berangkat. Saya di sini juga tidak bisa menjanjikan apa-apa ke kamu. Kamu jadi jurnalis barangkali nanti bisa membantu promosikan perusahaan saya. Hahaha.”

Setelah itu ia menelepon Bu Susi agar datang ke ruangannya. Ia mengatakan bahwa saya ingin keluar dari perusahaan ini. Setelah berulang kali mengucap maaf dan terima kasih, saya kembali ke meja saya. Segera saya membuka email dan mengirim konfirmasi kehadiran untuk datang tes tahap awal calon reporter Tempo.

Kursus

Kursus Jurnalistik Intensif bertempat di Gedung Tempo, Jalan Palmerah Barat Jakarta Barat. Untuk menuju ke sana saya harus tiga kali naik KRL dan satu kali naik angkot. Saya menghabiskan waktu 1,5 jam perjalanan jika lancar.

Selama pelatihan saya mendapatkan banyak pengalaman yang sebelumnya tak semilirpun melintas dalam benak. Setiap Sabtu adalah teori. Senin hingga Jumat saya terjun ke lapangan bersama reporter Tempo. Saya ikut meliput kerja pemerintah, melihat penggusuran rumah warga yang diklaim tanah milik polisi, menyaksikan para mantan tahanan politik menuntut keadilan pada Jaksa Agung, menemani kuasa hukum dari seorang aktifis yang dibunuh TNI mengadu ke Komnas HAM, lalu pergi ke pemukiman kumuh tempat perantau yang bernasib tak beruntung.

Di Jakarta, saya melihat Indonesia. Beragam suku, bahasa, dan budaya. Orang baik, pura-pura baik, dan jahat. Hitam, remang-remang, hingga putih. Semua ngelumbruk di provinsi yang menjadi ibu kota Negara Republik itu. Batavia.

Setiap hari melihat peristiwa yang tak pernah sama. Bertemu adegan-adegan baru. Aktor-aktor baru. Saya merasa kecil. Ternyata saya tidak tahu apa-apa. Di sana saya belajar dari orang-orang yang saya temui. Betapa menjadi jurnalis membuat saya merasa hidup. Akhirnya saya memutuskan untuk mengirim lamaran menjadi reporter Tempo.

Di akhir pelatihan, Mbak Hesti, fasilitator kelas kami, bertanya apakah saya mau menjadi translater untuk kompartemen Internasional. Saya jawab mau. Tapi Mbak Hesti belum bisa memastikan kapan saya bisa mulai masuk kerja.

Andai saya jadi masuk di Tempo, saya berniat untuk membatalkan masuk kerja di Mitra Citra. Namun hingga saya pulang ke rumah, tidak ada kepastian dari Tempo. Sedangkan jadwal masuk saya di Mitra Citra sudah dekat. Lagi-lagi saya dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Saya memilih untuk pulang dan menunggu kepastian dari Tempo di rumah.

Saya meminta kepada Mitra Citra untuk mengundur jadwal saya seminggu. Sebab terlalu berdekatan dengan kepulangan saya dari Jakarta. Saya pulang tanggal 7 Juni. Saya butuh waktu untuk pulang ke rumah lebih dulu. Juga menyiapkan surat sehat, buka rekening baru, dan mencari kos-kosan di Surabaya. Jadi saya dijadwal masuk tanggal 17 Juni.

Hingga hari saya masuk kerja di Mitra Citra, tak ada kabar dari Mbak Hesti.

Saturday 27 June 2015

Merantau

Babak sebelumnya saya lupa saat itu tanggal berapa. Saya berada di Malang bersama Mega untuk menghadiri jobfair yang kedua saya di kota itu. Fian sudah tidak bersama kami karena sudah diterima kerja. Mega pulang sesaat setelah mengirim banyak aplikasi di Gedung Samantha Krida, Universitas Brawijaya, tempat jobfair berlangsung. Ia mendapat panggilan kerja di sebuah BANK di Banyuwangi. Tinggal saya sendirian menanti kabar panggilan. Hingga malam tiba, akhirnya saya mendapat dua panggilan. Yang satu dari jobfair, satu lagi dari jobstreet.

Saya memilih menghadiri tes dari perusahaan yang menerima aplikasi saya melalui jobstreet. Pertimbangannya tidak rumit. Hanya karena saya sudah sering mengikuti tes yang seleksinya berawal dari jobfair. Siapa tahu jobstreet lebih berpihak pada saya. Pilihan saya tepat. Seminggu kemudian saya dipanggil menghadiri interview lanjutan dari PT Mitra Citra Mandiri.

Saya melepas sebuah kepastian mendapatkan uang dari stand foto wisuda demi perusahaan yang belum pasti menerima saya. Barangkali kondisi membuat saya lebih realistis daripada idealis kala itu. Sebab sebelumnya saya menyatakan bahwa sudah tugas sarjana lah membuka lapangan kerja. Bukan mencari kerja.

Lalu pada sore tanggal 17 April, ketika saya hendak berangkat ke Surabaya, saya menelepon Tempo Institute. Saya bilang bahwa saya bersedia untuk mengambil beasiswa kelas jurnalistik intensif itu. Toh saya belum tentu diterima setelah interview di Mitra Citra.

***
Pulang interview, saya menceritakan perihal beasiswa Tempo kepada orang tua. Mereka tidak setuju. Sebab mereka takut anaknya jadi wartawan. Menurut mereka, jadi wartawan terlalu beresiko. “Ibu takut nanti kamu disuruh liputan ke tempat-tempat bencana. Tempat-tempat rusuh.Ndak suka Ibu,” kata Ibu saya. Lalu saya meyakinkan. Tujuan saya adalah andaikan nanti saya tidak diterima kerja di Mitra Citra, lepas kursus saya bisa mendapat sertifikat yang bisa menambah nilai untuk melamar kerja di tempat lain. Lagipula kesempatan kerja di Jakarta juga lebih banyak daripada di daerah.

Akhirnya mereka setuju. Saya memilih berangkat tanggal 22 April. Pasalnya saya harus mencari kos terlebih dulu untuk hidup selama satu bulan. Hari sebelum keberangkatan, saya mendapat telepon dari Mitra Citra. Saya diterima kerja rupanya. Keluarga saya girang. Saya disuruh memikirkan kembali keberangkatan saya ke Jakarta.

Pendirian saya masih kuat. Saya sangat yakin bisa mendapatkan yang lebih baik jika mengikuti kursus ini. Setidaknya saya akan punya sedikit bekal soft skill yang bisa dimanfaatkan. Bukan hanya ijazah. Saya putuskan melepas Mitra Citra. Lalu berangkatlah saya dengan sedikit memaksakan restu.

Saya sudah nyaris sampai di Malang ketika mendapat SMS dari Tempo Institute. Rupanya jadwal kelas diundur tanggal 2 Mei sebab gedung Tempo masih dalam renovasi. Saya terkejut. Saya kabarkan kepada orang tua saya. Mereka marah besar. Dikira saya kena tipu.

Saya pulang dengan kecewa. Saya yakin tidak kena tipu. Tapi orang tua sudah terlanjur tidak percaya. Saya belum pernah ke Jakarta sebelumnya. Akhirnya saya berangkat lagi pada minggu depannya dengan diantar Bapak.

Lagi-lagi ketika hendak berangkat, saya mendapat telepon dari nomor kantor. Mitra Citra kembali menghubungi saya. Katanya mereka mau menunggu saya hingga selesai pelatihan di Jakarta. Saya dijadwalkan untuk masuk tanggal 10 Juni. Ibu saya menyuruh untuk menerima. Kali ini saya menurut.

Di Jakarta, kami tinggal di rumah Kak Lila, sepupu saya, selama 3 hari. Bapak pulang pada hari pertama saya masuk kelas. Setelah yakin bahwa saya tidak tertipu.

Hari selanjutnya saya pindah ke rumah Mami, mertua Kak Lila, di daerah Klender, Jakarta Timur. Sebab rumah kontrakan Kak Lila hanya punya satu kamar. Saya tidak dibolehkan mencari tempat kos. Akhirnya selama sebulan di rantau saya menumpang makan dan tidur di sana.

Friday 26 June 2015

Pilihan

Kali ini saya ingin membuat sebuah memoar. Memang, pada dasarnya semua yang pernah saya tulis dimaksudkan untuk menjadi bagian dari sejarah. Namun ini adalah runtutan sejarah dengan huruf s kecil yang bukan untuk dijilid menjadi buku diktat anak sekolahan. Siapalah saya yang tak pernah berbuat hal prestisius hingga berani membuat otobiografi diri sendiri. Tapi setidaknya saya ingin 100 tahun dari sekarang, ada yang tahu bahwa saya pernah hidup.

17 Juni 2015, hari pertama bulan Ramadhan tahun itu menjadi awal cerita. Pada hari itu saya mendapat pekerjaan di PT Mitra Citra Mandiri yang terletak di kota Surabaya. Di hari pertama saya bekerja, saya harus membuat keputusan paling sulit selama 22 tahun hidup saya di dunia.

Beberapa jam sebelum keputusan itu diambil, saya memberi paraf pada beberapa lembar kertas yang memuat peraturan perusahaan. Setelah itu saya diajak berkeliling perusahaan oleh HRD yang menerima saya masuk. Masih lekat betul diingatan bagaimana Rellas, nama HRD itu begitu riang memperkenalkan saya sebagai karyawan baru. Hingga sampailah saya di sebuah meja dalam ruangan internal marketing. Ruang kerja saya. “Perkenalkan, ini anggota tim internal marketing yang baru,” kata Rellas sembari tersenyum lebar. “Itu meja Ibu, silakan duduk.”

Setelah menyalami seisi ruangan yang seluruhnya berisi kaum hawa, saya meletakkan tas di atas meja baru saya. Saya belum sempat duduk ketika handphone saya berdering keras. Duh, seharusnya saya matikan dulu nada deringnya. Gerutu saya pada diri sendiri. Saya melihat layar untuk me-reject telepon itu. Tapi itu adalah sebuah nomor rumah. Barangkali kantor. Kemudian saya angkat sambil berbisik karena tidak enak dengan yang lain.

Rupanya dari Tempo. Salah satu media besar di Indonesia yang sudah dua kali dibredel pada zaman orde baru. Suara wanita di seberang memberitahu bahwa surat lamaran saya telah diterima. Tes tahap awal dijadwalkan hari Selasa, 23 Juni di Jakarta. Saya bertanya apakah tes bisa dilakukan via online? Pertanyaan bodoh. Tentu saja tidak. Saya beritahu bahwa saya akan konfirmasi paling lambat esok hari. Betapa lucunya, saya ingat bagaimana dua bulan yang lalu saya mengalami kejadian serupa.

***

April tanggal 17 sore saya berangkat ke Surabaya untuk interview lanjutan dengan PT Mitra Citra Mandiri. Ketika dalam perjalanan menuju stasiun, saya mendapat telepon dari sebuah nomor rumah. Barangkali kantor. Kemudian saya angkat sambil teriak karena di jalan bising sekali.

Rupanya dari Tempo Institute. Small bisnis Tempo Inti Media yang bergerak diranah edukasi jurnalistik. Tahun ini mereka membuka banyak kelas menulis untuk umum. Biayanya beragam. Mulai dari 2 juta hingga 5 juta. Tanggal 27 Februari silam saya mengirim proposal pengajuan beasiswa untuk kelas jurnalistik intensif. Sore itu, suara wanita di seberang memberitahu bahwa proposal saya lolos seleksi. Kelas akan dimulai pada hari Sabtu tanggal 25 April. Saya diminta konfirmasi kesediaan hari itu. Jika tidak, beasiswa akan dialihkan pada orang lain. Saya beritahu bahwa saya akan konfirmasi paling lambat jam 4 sore. Betapa hidup selalu berupa pilihan-pilihan tak terduga.



Seharusnya, pada tanggal 17 April ini saya harus membuka stand foto wisuda bersama Alit, kawan saya. Ketika seminggu sebelumnya saya mendapat panggilan untuk interview lanjutan dengan PT Mitra Citra, saya memilih meninggalkan bisnis itu.

Pertimbangannya adalah bisnis foto wisuda ini hanya berlangsung satu hari. Meski saya sudah pasti akan mendapatkan uang (sebelumnya sudah ada yang mendaftar dengan memberikan DP), saya belum bisa mengandalkan bisnis ini untuk mencukupi kebutuhan saya di masa mendatang. Kedua, meski belum tentu diterima di perusahaan itu, setidaknya saya sudah berusaha untuk mencoba mengambil pilihan yang akan membuat hidup saya lebih baik. Tidak ada penyesalan bagi mereka yang berani mencoba.

Friday 12 June 2015

Manusia dan Laki-laki



“Hasil tak akan menghianati proses,” kataku tersenyum. Wajahmu meremang, senja hampir selesai rupanya. Kujabat tanganmu lalu bergegas menuju bus terakhir jurusan Banyuwangi. Aku duduk di sebelah pak tua di bangku nomer dua dari depan. Kulihat keluar jendela. Kau masih bergeming di atas motor yang kau gunakan untuk mengantarku tadi.

Aku mencari-cari matamu. Adakah kau juga menatapku? Aku tak bisa melihat apapun kecuali kesedihan. Apakah kau sedih? Atau lega? Selama 4 tahun yang panjang ini akhirnya aku memutuskan agar kita tak usah bertemu lagi. Sebab pertemuan, bagaimanapun rancangannya hanya akan menambah perih pada luka yang tak pernah ditutup.

Aku lupa kapan tepatnya. Aku hanya ingat bahwa hari itu aku masih menjadi gadismu yang manis. Umur kita nyaris 3 tahun lamanya. Tapi saat itu aku jatuh cinta pada yang lain. Aku jatuh cinta pada kebebasan. Kemudian aku memutuskanmu dengan alasan yang tak pernah kau mengerti.

Iya, kau memang tak pernah mengerti. Sampai umur kita 4 tahun, kau masih menganggapku ada. Bahwa kita masih bisa seperti dulu bukanlah tidak mungkin. Aku juga sama, aku tidak pernah menutup kemungkinan itu. Tapi kita begitu berbeda. Kau memperjuangkanku demi sesuatu yang kau sebut cinta. Aku mempertahankanmu demi sesuatu yang kusebut kemanusiaan. Tapi kau selalu berpikir bahwa aku masih gadismu yang manis.

“Aku serius memilihmu,” katamu suatu hari. Aku menjawab tidak bisa. Kau tanya, “Kurang apa aku memperjuangkanmu selama ini?” Kujawab perjuanganmu yang menjauhkanku dari cintaku yang sesungguhnya. Kebebasan. Tapi kau benar-benar menunjukkan keseriusan dengan meminta orang tuamu untuk melamarku. Aku tak percaya kau senekat itu.

Kau mencintaiku. Aku mencintai kebebasanku. Hubunganku denganmu hanya akan memberiku jarak dengan kebebasan. Aku masih muda. Penuh kekuatan. Pemberontak. Aku tak percaya kita harus menikah dengan orang yang kita cintai. Sebagaimana yang terjadi pada keturunan pertama Adam yang menikah antar saudara kandung. Sebagaimana anak suku Polahi yang menikah dengan ibu bapaknya sendiri lantaran tak ada orang lain lagi di kampungnya. Lantas apakah cinta masih relevan dengan upaya menghasilkan keturunan?

Tapi kita tak pernah lagi sepaham. Bagai bom waktu. Timbunan perdebatan tak kuasa menahan ledaknya. Akhirnya aku yang kalah. Aku tak bisa mempertahankanmu sebagai seorang kawan. Aku harus mengambil langkah tegas agar kau tak semakin tersakiti. “Kita tidak usah berhubungan lagi,” kataku. Sebab jika tidak, aku merasa semakin berdosa. Dan tak ada yang akan bahagia diantara kita.

Lalu kaupun mengiyakan keputusanku. Senja itu kita sepakati menjadi pertemuan terakhir kita. Kita bercerita tentang banyak hal. Tentang teman wanitamu yang sempat kau sembunyikan dariku beberapa waktu lalu. Akhirnya kau berani jujur kepadaku. Bahwa kau sempat dekat dengan seseorang. Aku senang mendengarnya. Barangkali kau tak bisa leluasa sebab perasaanmu masih melihatku sebagai gadismu yang manis.

Tapi kau adalah tipe lelaki yang tak bisa hidup sendirian. Maka dari itulah kau selalu terbuka pada setiap wanita kala kau sedang sepi. Dan kau begitu mudah dijatuhcintai. Apakah kau sedih? Atau lega? Kini kau tak perlu risau dengan kehadiranku.

Dari dalam kaca jendela bus kucari-cari matamu. Adakah kau menatapku? Malam itu kau berkata bahwa kau telah melalui proses yang melelahkan untuk menjadi dirimu yang sekarang. Aku setuju. Kau memang sudah banyak berubah. Sayangnya aku juga berubah. Kau ingin menjadi laki-laki. Aku ingin menjadi manusia.

Tiba-tiba mataku panas. Tiga detik kemudian pipiku sudah basah. Aku terisak-isak tak peduli pada nyanyian sumbang pengamen yang baru naik ke dalam bus. Entah apa yang kutangisi. Barangkali kegagalanku memanusiakanmu. Aku tak pernah benar-benar memutus hubungan dengan siapapun sebelumnya. Apakah aku masih pantas disebut manusia?

Kulihat kau tak juga beranjak. Air mataku semakin deras.


Ingat ya, hasil tak akan menghianati proses

aku mengirim SMS terakhir.