Subscribe:

Monday 28 April 2014

Ekspedisi Arjuna #part 3 : Menggelandang Malang

Senduro, 17 April 2014

Senja kian pupus, hitam mengalahkan ranum jingga. Kami ber-12 masih berceceran di emperan masjid besar Senduro. Kami yang tak kunjung mendapat kepastian untuk perjalanan ini kian resah. Aku juga sudah tidak peduli kemana kita selanjutnya, yang penting aku tidak mau terpisah lagi dari rombongan ini.

Mamel mencoba menghubungi kawan-kawan mapala Kepak Elang (K.E) yang bermarkas di STIKI Malang. Alit dan Gosong terlibat dalam perbincangan absurd. Gobes dan Rohim berada di pojok masjid bersama Mamel. Cepi dan Fani sholat di dalam masjid. Aku dan yang lain sibuk mengkremes indomie goreng untuk mengganjal lapar. Sosis dan telur asin pun ikut menjadi korban makan malam. Alhasil, logistikku ludes. Tinggal beberapa batang sosis dan dua buah telur asin untuk sangu ke tempat selanjutnya.

"Ayo siap-siap ! Kita berangkat ke Arjuno," kata Mamel sambil pamer gigi pepsodent. Waah.. serius kita mau ke Arjuno? Sebelumnya aku tidak pernah punya cita-cita mau mendakinya. Tapi tak apalah.. yang penting mendaki gunung. Tampaknya yang lain juga begitu bersemangat mendengar nama Arjuno. Oke, kita berangkat !

Tidak membutuhkan waktu yang lama kita semua sudah berada di atas motor masing-masing. Dengan membaca bismillah,  tepat jam 19.00 WIB kita berangkat menuju Malang.

Perjalanan Lumajang-Malang membutuhkan waktu sekitar empat jam. Karena kondisi fisik yang lelah, beberapa dari kami terkantuk-kantuk di jalan. Wisnu yang membonceng Gobes motornya sempat hampir oleng, akhirnya Gobes menggantikan Wisnu menyetir.

Kondisi tubuh dan pikiran yang letih luar biasa memaksa kita untuk beristirahat sejenak. Sambil menunggu kawan-kawan yang mengisi bensin di pom, yang lain leyeh-leyeh di pinggir jalan. Saat itu Rohim dan Gosong berada di belakang. Mereka tidak tahu kalau kita berhenti di dekat pom, akhirnya mereka kebablasan hingga sampai di terminal. Alit mengejar mereka. Aku dan yang lain menunggu hingga ketiduran.

mengambil kesempatan dalam kebablasan

Beberapa menit kemudian Alit datang. Perjalanan berlanjut. Sekitar jam 10 malam kami berhenti lagi di Probolinggo untuk makan malam. Setelah kenyang, kami kembali berangkat. Ingin segera sampai di tujuan agar besok bisa mendaki dengan kondisi yang fit. Tapi tampaknya tubuh kami yang sudah kelelahan memprotes. Lagi-lagi kami harus berhenti untuk memenuhi tuntutan mata yang susah diajak melek. Di emperan ruko kami kembali tertidur.
tepar maneeh.. dari kiri : Mamel, Maya, Nenek, Cepi, Icham

rek.. gantian lah turune.. dari kiri : Gobes, Rohim, Alit, Gosong

Malang, 18 April 2014

Sekitar jam 00.00 kami sampai di kota Malang. Ketua panitia kami (read : Mamel) tampaknya tidak hafal dengan jalanan kota apel itu. Beberapa kali kami salah jalan dan berputar-putar. Akhirnya kita berhenti di pinggir jalan yang lengang. "Duh, iki kan dalan kate nang kosanku biyen," curhat Mamel yang dulu pernah bimbel di Malang. Ternyata dia juga lupa jalan menuju kampus STIKI, tempat sekretariat mapala K.E.

Mamel kembali menghubungi kawan-kawan K.E, minta arahan menuju lokasi. Seorang kawan K.E menawarkan diri untuk menjemput kami di TKP. Setelah beberapa menit menunggu, tiba-tiba Mamel bilang kalau dia sudah ingat jalan. Akhirnya kami membatalkan tawaran penjemputan tadi.

Jam setengah satu dini hari akhirnya kami disambut oleh gerbang kampus STIKI. Tanpa basa basi kami langsung menuju sekretariat K.E di lantai dua. Tas carrier yang setia menempel berjam-jam tadi aku hempaskan di lantai depan pintu K.E. Aih.. belum mendaki bahuku sudah pegal-pegal rasanya.

Sekret K.E. adalah ruang sekretariat terluas yang pernah kujumpai. Berbentuk persegi empat dengan sekat-sekat untuk dijadikan semacam kantor bagi tiap kepala divisi. Mirip ruang dosen gedung matematika di kampusku. Aku dan para gadis memilih ruangan pertama yang paling dekat dengan pintu. Tanpa mencuci tangan, kaki, wajah, dan gigi, kami berempat langsung merebahkan punggung. Tanpa memedulikan gelak tawa para lelaki di luar ruangan itu, kami bermimpi pulas. Mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan yang bersembunyi di balik kata esok.

Hari itu bisa dibilang kami belum melakukan perjalanan seperti apa yang kami bayangkan pada awalnya. Perjalanan hari itu bukanlah proses menuju tempat tertinggi maupun tempat terindah, melainkan sebuah proses bagaimana kita membuat perjalanan itu menjadi penuh warna. :)


to be continued...

#part 1  : Menuju 3676 mdpl
#part 6  : Mendaki Gunung
#part 7  : Badai Pasti Berlalu
#part 8  : Di Dalam Awan
#part 9  : Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung

Sunday 27 April 2014

Ekspedisi Arjuna #part 2 : Terpisah


Ranupani, 17 April 2014

Sebelum kita berangkat ke Malang lewat Tumpang, aku ngotot pingin foto di gerbang TNBTS. Aku tidak ingin gagal foto di situ untuk yang kedua kalinya. Karena Agustus lalu aku tidak sempat foto di situ. Teman-teman mengiyakan. Sebelum pergi, kita wajib foto dulu di gerbang yang bertuliskan "Selamat Datang Para Pendaki Gunung Semeru".

Kita kembali menuju gerbang masuk TNBTS. Aku yang pada saat itu berboncengan dengan Alit berada di belakang barisan. Alit mengemudi pelan sekali. Kita berdua jauh tertinggal. "Ayo cepat sedikit, aku nggak mau ketinggalan foto-fotoan," bujukku kepada Alit. Kecepatan bertambah.

Setibanya di gerbang, kami tidak menemukan seorangpun. "Loh, nggak jadi foto ya?" Takut ditinggal, akhirnya aku foto dua kali dengan terburu-buru. Setelah itu kami berdua bergegas mengejar ketertinggalan.

Foto kilat asal jepret


Hingga jalan aspal yang kami lewati beralih ke jalan makadam, kami tak kunjung berhasil mengejar yang lain. "Secepat apa sih mereka?" Alit menggerutu. Kemudian dari arah berlawanan ada sebuah truck lewat. Aku melambaikan tangan agar truck itu berhenti. "Pak, di bawah papasan sama lima motor nggak, Pak?"
"Motor? Kayaknya nggak ada tuh? Saya ndak lihat."

Kami berdua panik. Jangan-jangan mereka lewat Tumpang. Tapi kan jalannya cuma satu, kalau lewat Tumpang seharusnya mereka kembali papasan dengan kami berdua saat di Ranupani tadi. Aku dan Alit kembali ke atas. Di tengah jalan, Alit berhenti. Dia bilang kalau dia yakin teman-teman sudah berada di bawah. Aku pasrah saja. Akhirnya kita kembali turun. Beberapa kali aku melihat HP, berharap ada sinyal untuk menghubungi yang lain.

Kami sudah sampai jembatan tempat peristirahatan kami tadi siang, tapi kami berdua masih belum dipertemukan dengan teman-teman yang lain. Sudah hampir jam lima sore. Aku takut kemalaman di jalan ini hanya berdua dengan Alit. Ada sinyal di HPku. Tanganku tidak berhenti mencoba menelepon. Nenek, Cepi, Wisnu, Fani, Gobes, Mamel, Rohim, Fian, Icham, semua aku coba hubungi bergantian. Tapi sepertinya teman-teman belum mendapatkan sinyal. Ah, teman-teman.. kalian dimana? Tega sekali tidak menungguku.

Jam lima sore kami sampai di jalan raya Senduro. Kami memutuskan untuk berhenti di masjid. Perasaanku berkecamuk. Sial sekali, sudah gagal muncak, ditinggal rombongan lagi. Jangan-jangan mereka memutuskan untuk camp di atas. Mengira kami sudah tau dengan rencana itu akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu kami di sana. Kemungkinan lain mereka berjalan lewat jalan yang tidak kami ketahui untuk lanjut ke Malang, tujuan awal kami.

"Terus kita mau kemana?" tanya Alit. Aku bilang padanya kalau sampai jam tujuh malam mereka tidak bisa dihubungi, aku mau pulang. Mungkin saja saat ini mereka lewat Tumpang, nanti kalau sudah sampai Malang, pasti mereka bisa mendapatkan sinyal untuk menghubungi kami. Lalu mungkin kami berdua bisa menyusul mereka ke Malang lewat Lumajang. Tapi kalau tidak, kemungkinan mereka memang camp di Ranupani atau tempat lain yang tidak memungkinkan mendapatkan sinyal. Aku berharap kemungkinan pertamalah yang mereka ambil. Sesak sekali dada ini membayangkan mereka liburan tanpa aku. :(

Sudah mau maghrib, mereka belum juga bisa dihubungi. Aku memutuskan untuk pasrah saja menunggu kabar. Sambil berdoa semoga ada salah satu dari mereka yang menyadari bahwa kawan mereka ada yang tertinggal. Lalu aku teringat oleh pesan Ibu.

Sebenarnya Ibu tidak mengizinkan aku untuk berangkat ke Mahameru. Tapi berkat kepala keras dan sedikit kebohonganku, akhirnya Ibu mengizinkan. Sebelum berangkat Ibu mengirimiku sebuah pesan singkat "Ati-ati. Ojo sampek ketinggalan karo koncone". Melihat kenyataan yang sudah terjadi, aku merasa berdosa sekali kepada Ibu.

Doa-doa mulai dilantunkan, sebentar lagi adzan maghrib. Aku dan Alit masih duduk di emperan masjid. Aku bersandar pada carrier yang berat. Rasanya tak tega sekali jika nanti kami berdua harus membongkar isinya yang masih belum digunakan untuk apa-apa.

Tiba-tiba HPku berdering. Sebentar saja. Ada missed call dari nomer tak dikenal. Kucoba telepon balik. tut...tut...tut.... kudengar ada suara dari seberang, "Halo? May?"
"NENEEEK... !" Aku berseru sambil berurai air mata. Ketegaranku runtuh seketika.

Tampaknya penjaga masjid menyadari bahwa kami berdua adalah pendaki yang terpisah dari rombongan. Tiba-tiba saja masjid hening, aku dibiarkan ngoceh ditelepon untuk menjelaskan dimana posisiku kepada Nenek. Ketika telepon kututup, doa-doa kembali bergaung.

Aku dan Alit menjaga tas bergantian untuk melaksanakan sholat maghrib. Sekitar jam 18.00 WIB Nenek dan Fian muncul di depan masjid. Aku langsung memeluk Nenek dan memintanya bercerita apa yang telah terjadi.

Ternyata kawan-kawan tadi berhenti di pos pendaftaran Ranupani, tempat pemberhentian awal ketika kita baru sampai. Aku dan Alit saat itu tidak melihat mereka berbelok ke arah pos (mungkin karena jarak yang terlalu jauh). Nenek mengaku sudah memanggilku, tapi aku tidak mendengar. Mereka mengira Aku dan Alit sedang mencari view yang bagus untuk dijadikan landscape foto. Akhirnya mereka memutuskan menunggu di sana sambil membongkar makan siang.

Setelah satu jam mereka menunggu dan kami berdua tak kunjung kembali, barulah kesalahpahaman itu terpecahkan. Truck yang kami hentikan di atas tadi bertemu dengan mereka. Supir truck tersebut mengatakan kepada mereka bahwa kami berdua sudah menunggu di bawah. Alhasil mereka tidak jadi lewat Tumpang dan malah berjalan menyusul kami berdua.


to be continued...

Ekspedisi Arjuna #part 1 : Menuju 3676 mdpl

Berawal dari sebuah Personal Message (PM) di BBMku tertanggal 31 Maret 2014. Saat itu aku menulis "rindu ketinggian". Selang beberapa menit bunyi notifications khas Blackberry Messenger berdering di smartphoneku. "sama," kata David yang biasa kupanggil Mamel di chatt BBM. "Ayok mel.. naik gunung," balasku. "April tanggal 17 ya?" Mamel menawarkan. "Kemana?" tanyaku. "Rencana masih Semeru..."

***

Jember, 17 April 2014

Sekitar jam 08.00 pagi itu kami ber-12 (Aku, Nenek, Icham, Wisnu, Fian, Cepi, Fani, Mamel, Alit, Gobes, Gosong, Rohim) berkumpul di kos Mamel. Jadwal berangkat jam 05.00 subuh yang sudah direncanakan tidak mampu ditepati seorang pun. Subuh itu kami masih mengemas barang-barang yang kami butuhkan selama 4 hari hidup di hutan. Sebenarnya kami sudah packing malam sebelumnya, tapi ternyata masih ada saja yang belum dikemas. Sekitar jam 08.30 kami berangkat dengan mengendarai motor. Masing-masing lelaki membawa tas carrier berisi 80 liter, hanya mamel yang membawa 125 liter (itu carrier apa kulkas? :D ). Kami kaum hawa hanya membawa daypack berisi sekitar 40 liter. Mahameru, kami datang. :)

Persiapan sudah lengkap. Personil  sehat semua. Perjalanan berlangsung lancar. Sesekali kami bercanda di tengah perjalanan. Hanya rasa lapar yang membuat kita berhenti di Lumajang untuk memenuhi tuntutan cacing di perut.

Bayangan-bayangan indah Ranukumbolo hingga puncak Gunung Semeru sudah bekelebat selama di jalan. Hatiku membuncah ketika melihat Mahameru menyembul di sela awan dari kejauhan. Setelah ngidam sekian lama (sebelum 5cm terbit looh..), akhirnya aku ke sana juga. Dengan satu-satunya sepatu olahraga yang aku punya sejak SMP, aku tak sabar mencumbu pasirnya. Bersabarlah kaki, sebentar lagi aku akan membawamu berdiri di atas tanah tertinggi di Pulau Jawa, di ketinggian 3676 mdpl. Mahameru.. Mahameru..

Akhirnya tibalah kami di Senduro, Desa dengan jalan aspal terbalik yang harus kita lewati untuk memasuki gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dari arah Lumajang. Jalannya susah dilewati. Beberapa dari kami yang dibonceng terpaksa turun untuk mendorong motor yang tidak mau jalan. Bahkan ada yang terjatuh karena tergelincir batu yang besar-besar. Jam 12.30 kita berhenti di sebuah jembatan kecil untuk beristirahat.

dari kiri : Fian, Aku, Wisnu, Cepi, Fani, Nenek
leyeh-leyeh dulu ah.. dari kiri : Icham, Nenek, Cepi, Fian, Wisnu, Aku, Mamel
Alit says,"Mel, sebelum bunuh diri ayo poto dulu.." :D
Setelah berperang di jalan makadam selama kurang lebih dua jam, sampailah kami di Ranupani. Desa terakhir di kaki Gunung Semeru. Ada yang aneh. Tak seorang pendakipun kami jumpai. Di kanan kiri jalan Desa Ranupani terlihat kuli-kuli sedang membangun yang tampaknya adalah rumah makan maupun penginapan. Aku melihat ke tempat registrasi pendakian,"Lho, kok tutup?"

Aku salah lihat kan? Yang benar saja. Kami sudah sampai sejauh ini. Ah, pasti ada kesalahan. Aku tidak percaya Semeru belum dibuka. Mamel sudah bilang kalau teman kosnya baru pulang dari Semeru sebelum keberangkatan kami.

Di situlah kami bertemu dengan lima orang yang tampaknya sekelompok pengamen. Beberapa membawa gitar dan hanya mencangklong daypack. Kami bertanya apakah Semeru memang masih belum buka. Ternyata mereka berlima juga sama bingungnya dengan kami. "Kami juga mau ke Ranukumbolo ini," kata salah satu dari mereka. Oh, meen.. jadi mereka pendaki? haha.. maaf bang, I've judge the book by the cover.

Akhirnya Alit dan beberapa orang mencari petugas yang biasa berjaga. Aku dan yang lain menunggu di mushola dengan harap-harap cemas. Baru saja kami sampai, bayangan-bayangan indah selama di perjalanan sudah diganti dengan kecewa luar biasa. Sambil menunggu kami menunaikan sholat dhuhur dan ashar. Dalam hati aku berdoa semoga kita mendapatkan ijin untuk melakukan pendakian walaupun tempat registrasi belum dibuka.

Beberapa saat kemudian, Alit datang membawa berita gembira. Katanya kita boleh mendaki. Aku langsung sumringah. "Tapi kita nggak lewat jalur biasa, kita lewat ayak-ayak," katanya. Hah? Ayak-ayak? Nyaliku langsung melorot. Kenapa kita tidak lewat jalur konvensional saja? Aku tidak suka lewat jalur itu.

Ingatanku langsung tertuju pada bulan Agustus tahun lalu. Saat aku pulang dari Ranukumbolo, perjalanan kembali tidak sama dengan keberangkatan. Kami lewat jalur ayak-ayak. Jalur ini lebih ekstrim, karena hanya melalui satu bukit yang tinggi. Ketika naik, medannya sangat menanjak, dan ketika turun, medannya curam. Berbeda dengan jalur konvensional yang melewati tiga bukit. Meskipun lebih jauh tapi medannya landai, lebih mudah dilalui. Saat itu aku sempat terpeleset dan membuat kaki kananku kesleo. Jalan yang curam membuat langkahku makin pelan. Ditambah lagi seorang kawan yang marah-marah karena jalanku lambat. Dia takut kita kemalaman sampai Ranupani. Aku sempat menangis waktu itu. hehe
Dan sekarang rasanya aku trauma sekali kalau harus lewat jalur itu lagi.

Aku memprotes, kenapa kita tidak lewat jalur konvensional saja? Aku tidak mau lewat jalur ayak-ayak. Ternyata kita tidak mendapatkan ijin dari penjaga. Kita lewat ayak-ayak untuk menghindari bertemu Ranger (penjaga) di pos-pos yang ada di jalur konvensional. "Jadi kita ini nekat?"

Iya, kita memang pelanggar aturan. Kemudian kita mencari rumah penduduk yang mau diajak untuk melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Kita membutuhkan tempat untuk menitipkan  motor-motor kita. Meskipun dengan biaya parkir yang 10 kali lipat, kami rela. Asalkan sampai Mahameru.

Tapi, kenapa kita tidak mendapatkan ijin ya? Apakah Semeru dalam kondisi yang tidak aman? Apakah Mahameru akan mengikuti jejak Gunung Kelud? Berbagai kemungkinan-kemungkinan buruk mulai menghasut pikiranku untuk tidak melanjutkan kenekatan ini. Sehari sebelum keberangkatan, si Fian bercerita, dia bilang beberapa waktu yang lalu ditemukan feses (kotoran) dan jejak kaki harimau di Ranukumbolo. Aku ragu untuk melanjutkan perjalanan, tapi juga tidak ingin pulang saat itu.

Fian tampaknya juga sedang kalut. Dia takut tertangkap. "Nanti, kalau kita ketahuan, kira-kira ada sanksinya nggak?"
"Kalau ketahuan paling ya cuma disuruh turun," jawabku asal.
"Nggak kira, Ranger nya lo disogok sarden mau," Alit tambah asal.

Sekitar jam 15.30 WIB, udara di Ranupani semakin dingin. Di tengah pencarian rumah penduduk yang mau disogok, kami bertemu lagi dengan lima orang pengamen pendaki bergitar. Tampaknya mereka sudah menemukan rumah penduduk yang mau menampung motor-motor pendaki nakal seperti kami. Seketika kami langsung menuju ke rumah yang terletak di ujung desa. "Tenang Mas, kami nggak akan bilang-bilang," kata pemilik rumah meyakinkan kami.

Lima pendaki bergitar sudah berangkat terlebih dulu sementara kami masih merapikan motor di dalam rumah penduduk tersebut. Setelah beberapa menit, kita siap berangkat. "Ayo cepat berangkat, keburu ada petugas datang," kata Mamel.

Tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri kami, " Maaf Mas, Mbak, mau kemana ini?"
"Mau ke Ranukumbolo, Pak," dusta Gobes.
"Aduh, Ranger nya datang," bisikku sok tau kepada nenek.

Benar saja, Bapak-bapak yang menghampiri kami itu adalah salah satu petugas penjaga Gunung Semeru. Lalu kami terlibat dalam obrolan panjang dengan petugas itu. Intinya kami tidak boleh mendaki apapun alasannya. Larangan mendaki bukan karena Semeru dalam kondisi tidak aman, melainkan dalam rangka pegembalian vegetasi sekaligus pembersihan. Kalau saat ini Semeru boleh didaki, kemungkinan vegetasi tidak akan kembali tepat waktu dan konservasi membutuhkan waktu yang lebih lama. Akibatnya, jadwal Semeru untuk dibuka akan mundur. Tidak seorangpun berani membantah. Kami hanya mampu memamerkan wajah melas. Bahkan Alit juga tidak berani membuktikan kata-katanya untuk menyogok Ranger dengan sarden.

"Tapi tadi kok ada lima orang boleh mendaki ya?" Mamel melaporkan lima pendaki bergitar yang sudah membantu kita menemukan tempat parkir. Langsung saja sang Ranger berpamitan kepada kami dan segera mengejar lima pendaki yang baru saja kami laporkan. Jahat ya.. hehe

Kami kembali mengeluarkan motor dengan lesu. Carrier masih singset, perbekalan empat hari utuh. Masak mau pulang? Kita camp di Ranupani saja kah selama empat hari? Ah.. tampaknya kurang asik. Malah membuat sakit hati karena gagal menginjak tanah 3676 mdpl. Berbagai opsi muncul. Ranu Gembolo, kurang menarik. Sempu, kami ingin gunung, bukan pantai. Gunung Argopuro, perbekalan kita kurang. Gunung Arjuno, belum pernah ada yang ke sana diantara kami.

Kami memutuskan untuk ke Malang dengan tujuan yang belum jelas. Segera turun untuk mencari sinyal agar bisa berkomunikasi dengan kawan-kawan pecinta alam di Malang. Syukur-syukur ada teman yang mau mengantar kita ke Arjuno. Kalau tidak ada, terpaksa kita ke Sempu. Yah.. daripada harus balik kucing, malu sama ayam di kampung. hehe

Dari Ranupani, Mahameru masih menyembul angkuh diantara awan yang mulai meredup senja. Dia tetap diam, tidak peduli pada jiwa-jiwa yang kecewa karena terlalu bernafsu mencumbuinya. Aku sudah bersyukur pernah berada lebih dekat dari ini dengannya, tahun lalu di Ranukumbolo. Tapi rasa kecewa ini tak pernah berubah menjadi rasa yang manis.

Mahameru, hari ini mungkin kita belum berjodoh. Tapi entah kapan, kita pasti akan segera bertemu di waktu yang tepat. Dan aku akan bersama dengan orang yang tepat juga tentunya. :)

meskipun gagal muncak, selfie tetap nomer satu


to be continued...


#part 1  : Menuju 3676 mdpl
#part 6  : Mendaki Gunung
#part 7  : Badai Pasti Berlalu
#part 8  : Di Dalam Awan
#part 9  : Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung