Subscribe:

Sunday 14 February 2016

Sikap Meleset Para Haters Valentine

Hari ini saya bangun pagi sekali. Bukan karena saya tidur cepat, tapi karena saya belum tidur. Anehnya, saya tak juga ngantuk meski matahari terang-terangan menyibak awan mendung. Apakah karena hari ini hari Valentine? Entahlah, yang jelas bumi masih berputar dan matahari tetap terbit.

Sialan, matahari yang bersinar itu adalah tanda berita perkiraan cuaca bikinan saya meleset. Semeleset tingkah para haters Valentine yang melarang-larang orang merayakan hari kasih sayang.

Bukannya membuat orang berhenti merayakan, haters itu malah mengingatkan saya kepada hari ini. Kalau tidak membaca berita Pakistan kecam perayaan Valentine dini hari tadi, saya tidak akan ingat bahwa hari ini adalah hari Valentine. Bukan, bukan karena saya sekedar jomblo. Itu pasti karena saya benar-benar jomblo berkualitas.

Sadar atau tidak, para haters itu selalu membuat Valentine semarak setiap tahun. Mereka yang menolak tak ada bedanya dengan yang mengamini. Sama-sama mengingat bahwa tanggal 14 Februari adalah hari kasih sayang. Hanya cara meramaikannya saja yang berbeda. Tak seperti saya yang beragama atheis Valentine merapel jomblo berkualitas. Memori tentang Valentine tidak mengakar pada otak saya. Maka ketika saya melihat kehebohan yang berulang tahun itu, saya cuma mau elus dadanya Rio Haryanto.

Ada yang bilang, melarang orang Indonesia itu sama dengan menyuruh. Semakin dilarang, semakin jadi tingkahnya. Ada tulisan "Dilarang Buang Sampah di Sini" tapi di bawahnya menumpuk sampah. "Dilarang Buang Air di Sini" tapi temboknya pesing. Pun dengan larangan merayakan Valentine, adakah setiap tahun perayaan itu berkurang? Bahkan perayaannya makin semarak dengan hadirnya haters-haters yang menolak itu.

Baru saja saya melihat di tipi, sekelompok siswa siswi madrasah berunjuk rasa menolak perayaan hari Valentine. Mereka berpakaian serba hitam dari kerudung hingga mata kaki. Ada atribut-atribut warna merah yang saya nggak ngerti artinya apa. Ada yang memakai kostum cupid lengkap dengan panah asmara dan atribut bentuk lope-lope. Atraksi pun dilakukan dengan si cupid mengarahkan panah cintanya kepada wanita-wanita jilbab hitam. Saat si cupid membidikkan panah asmara, mereka berjajar sambil menyilangkan kedua tangan ke depan tanda penolakan.

Lha kok yang melarang perayaan Valentine atraksinya lebih heboh dari yang merayakan? Niatnya mau melenyapkan, tapi mereka justru membuat semakin abadi. Sepertinya haters-haters itu ndak pernah pacaran. Mereka ndak tahu cara melenyapkan bayang-bayang gelap yang mereka takuti. Apalagi bayangan mantan. Cara terbaik untuk melupakan adalah dengan berhenti berusaha melupakan. Lupakanlah sebelum lupa itu diharamkan.

Ngomong-ngomong tentang haram, saya tak habis pikir dengan nama-nama yang mengharamkan hari Valentine. Apa salahnya dengan merayakan kasih sayang? Kalau kata MUI yang maha halal itu, Valentine kebudayaan orang barat yang tidak sesuai dengan budaya kita. Di mananya yang tidak sesuai? Bahkan MUI bilang bahwa seharusnya kita berkasih sayang setiap hari. Seharusnya kita Valentinan tiap hari dong? Kata MUI, Valentine bisa memicu muda mudi berbuat maksiat. Lha emang kalau nggak ada Valentine kami nggak bermaksiat? Ups! 

Jadi begini, Pak MUI. Bagi saya, sebut saja Dian Sastro, Valentine adalah perayaan tahunan yang tak ada bedanya dengan hari-hari lainnya. Memang, Pak, hari-hari jomblo selalu penuh kasih sayang, dan seperti kata Bapak, saya merayakan kasih sayang setiap hari. Maka jangan heran kalau tadi saya sempat lupa hari ini adalah (katanya) tanggal kematian Valentine yang selalu dirayakan dengan penuh cinta saban tahun.

Hari Valentine, bagi saya dan Rio Haryanto, sama dengan hari ibu, di mana para ibu dimanjakan dan diberi hadiah oleh anak-anaknya. Sama dengan hari buruh di mana ribuan buruh tak kenal lelah dalam satu hari itu berunjuk rasa. Sama dengan hari Kartini di mana saya diwajibkan memakai kebaya saat di sekolah dulu. Tak ada tuntutan untuk semua orang merayakan hari-hari itu.

Memang, Valentine tak ada dalam sejarah kita. Tidak ada dalam kitab suci mayoritas masyarakat Indonesia. Tapi toh dalam merayakannya, masyarakat kita tak melakukan ritual apapun yang menyimpang dari ajaran agama. Kok ritual, mengenang dan mengheningkan cipta pada hari kematian orang yang katanya dermawan bernama Valentine itu saja tidak.

Perkara Valentine menjadi kepentingan bisnis, bukankah itu bagus Pak? Banyaknya uang yang beredar di masyarakat itu sehat lo, Pak. Roda ekonomi jalan dan bisa jadi bikin harga beras turun. Masa kita harus diet makan nasi terus? Ah, saya lupa. Untuk bisnis pun saat ini harus ada label halalnya ya, Pak?

Lalu mengenai maksiat, di mana relevansinya Valentine dengan berbuat mesum? Buat saya yang jomblo ini, mau Valentine tiap hari juga nggak bakalan bisa mesum, Pak. Mungkin bisa saja kalau saya pacaran sama Rio Haryanto, tapi kan.. tapi kan...

Kalau Bapak khawatir karena hari ini banyak kapitalis yang menjual kado romantis berisi kondom, kenapa tak sekalian saja mengharamkan hari HIV/AIDS yang dalam merayakannya suka bagi-bagi kondom gratis?


Meja Superdesk, 14 Februari 2016

Thursday 11 February 2016

Nasib Malang Penjual Bakso Malang

Jakarta, 11 Februari 2016

Gerobak bakso malang di belakang puri imperium, Setiabudi, Jakarta Selatan terlihat sepi pengunjung. Lapak bakso itu hanya berupa gerobak kecil dengan terpal di atas untuk berteduh dari panas dan hujan. Bangku panjang tanpa meja terpajang di sisi dalam gerobak. Nyaris menempel ke dinding pagar besi puri imperium.

Sekitar pukul 17.00 WIB, aku mendatangi gerobak kayu warna merah bata itu. Seorang laki-laki muda berjalan dari lapak bubur ayam samping gerobak bakso. Amir namanya. "Dibungkus atau makan sini?" ia bertanya kepadaku. "Dibungkus mas," jawabku.

Pemuda umur 17 tahun itu cekatan memasukkan tiga butir bakso, satu tahu putih, satu siomay, dan tiga gorengan. Satu porsi seharga Rp 12 ribu. Tak lupa ia masukkan saos, kecap, dan sambal. Sebungkus bakso malang siap dibawa pulang.

Tiba-tiba, dari dalam pagar puri imperium terdengar suara orang berteriak-teriak. "Woy, kan sudah disuruh pergi! Jangan jual di sini lagi!" Aku terperangah. Empat laki-laki dari dalam pagar puri mendekat. Raut muka mereka marah. Kening berkerut-kerut sambil memaki-maki Amir, si penjual bakso malang.

Abang nasi goreng, abang bubur ayam, hingga abang-abang gojek mendekat ingin tahu. "Jual bakso tikus itu!" kata Satpam yang dari tadi marah-marah. Ia jengkel karena merasa ditipu. Sebab selama ini ia sering jajan bakso di tempat Amir. Dua orang lain mengiyakan bahwa bakso yang dijual Amir berasal dari daging tikus. "Buktinya ramai di facebook," kata mereka.

Bakso dagangan Amir ramai diberitakan sejak seorang pengguna facebook bernama Nacita Putri Sunoto mengunggah foto bakso yang dibelinya. Dikutip dari akun facebooknya Nacita mengaku membeli bakso tepat di belakang puri imperium, Setiabudi. Setelah dibungkus, dia lantas membawa pulang dan menemukan benda berbulu berwarna hitam dari dalam baksonya. Setelah diteliti, ternyata benda tersebut merupakan kaki tikus. Masyarakat menuduh bahwa itu bakso yang dijual Amir.

"Tadi kan sudah ada polisi grebek ke sini, kok masih jual?" kata satpam kepada Amir. Selain menggrebek gerobak Amir, polisi rupanya juga menggrebek rumah pemilik gerobak bakso. Namun, polisi tak menemukan apa-apa. "Sudah dari kemarin beritanya, ya sudah dibuang alat buktinya," kata salah satu supir penghuni imperium.

Amir bergeming. Ia tak mau pindah. "Saya nggak salah kok, saya kan hanya jualan," ujarnya. Gerobak bakso itu adalah milik majikannya, Warino. Amir mengaku tak tahu menahu soal pembuatan baksonya. Ia hanya yakin bosnya tak mungkin berbuat jahat dengan menjual bakso tikus.

Sudah tiga bulan Amir menjajakan bakso di belakang puri. Banyak yang berlangganan bakso Amir, terutama penghuni puri. "Bos-bos sini suka jajan bakso ini," kata satpam. Ia menyayangkan jika sampai rumor yang beredar itu benar.

Amir mengaku baru pertama kali kejadian seperti ini menimpa dirinya. "Padahal sebelumnya tidak pernah ada seperti ini," katanya. Ia mengatakan Warino punya 12 gerobak bakso malang. Semuanya tersebar di seluruh Jakarta Selatan. Ia pun membolehkanku mengembalikan bakso yang terlanjur dibungkus untukku. "Nggak apa mas, saya bawa saja," ucapku.

Sama seperti pemilik akun facebook bernama Nacita, aku juga membawa pulang bakso yang dibelinya dari Amir. Saat dibelah, daging bakso berwarna pink seperti bakso malang pada umumnya. Tak ada kaki tikus yang ditemukan.

Tuesday 9 February 2016

Kala Ibu Menanggung Rindu

Harapan Sarah, 70 tahun, untuk bertemu anaknya yang hilang kandas. Di depan pintu aula Panti Sosial Bina Insan Cipayung, Jakarta Timur, ia tergugu. Rizal, 39 tahun, anak bungsunya memeluknya. Air matanya pecah saat diberi tahu kakaknya, Abdul, tak ingin bertemu mereka.

Rina, istri Rizal, matanya merah. Sambil memeluk anak balitanya, ia terduduk pasrah. "Tolonglah Bu, kasih tau ini ada ibunya," kata Rizal melobi petugas panti. Petugas panti kebingungan. Sebab yang bersangkutan tak mau ditemui. Kepada petugas, Abdul menitipkan pesan kepada ibunya untuk jangan khawatir karena ia baik-baik saja.

Melihat raut keluarga yang tinggal di Condet, Jakarta Timur itu sedih, petugas merasa iba. Sebab, Sarah sudah dua kali ke sini untuk bertemu anaknya. Namun, Abdul selalu menolak. Akhirnya petugas kembali masuk ke aula untuk membujuk Abdul.

Tak lama, petugas keluar dan memberi tahu bahwa Abdul mau ditemui. "Tapi janji ya Bu, jangan pingsan." Sarah pun masuk ke dalam aula bersama Rizal. Sementara Rani menunggu di luar bersama putrinya yang tertidur.

Sembari menunggu, Rina bercerita. Kakak iparnya bergabung dengan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) sejak di Palu. Ia tinggal di sana sejak kuliah hingga mendapatkan istri. Sekitar lima tahun lalu, Abdul dan keluarganya pindah ke Condet, dekat ibunya.

Saat berada di Jakarta, Abdul suka mengajak keluarganya untuk ikut Gafatar. "Tapi kami masih kuat, nggak ada yang mau ikut," kata Rina. Abdul kerap menceramahi mereka dan mengenalkan ustadz-ustadz ke keluarganya.

Hingga pada pertengahan 2015, Abdul pergi tanpa pamit. Ia membawa istri serta keempat anaknya. Saat dihubungi, ia mengabarkan sudah ada di Kalimantan. Ia hanya berpesan kepada keluarganya agar tidak khawatir.

Selanjutnya, Abdul mulai hilang timbul. Ia hanya memberi kabar saat ada butuhnya saja. "Waktu itu masalah perpanjangan STNK." Malam sebelum pergi, Abdul sempat menitipkan motor ke rumah Rina. "Esoknya tahu-tahu rumahnya dijual dan dia pergi," kata Rina.

Pada hari Sabtu, tanggal 23 Januari 2016, seorang teman keluarga Rizal mengirim foto Abdul sedang berbincang dengan Menteri Sosial Khofifah di Kalimantan Barat. Lalu mereka mendapat informasi bahwa anggota Gafatar yang berada di sana dipulangkan.

Keluarga Rizal lantas mencari informasi keberadaan kakak dan keluarganya. Dari siaran berita, mereka memutuskan untuk mencari di Panti Sosial Bina Insan 2, Ceger, Jakarta Timur. "Kami acak mencari, tidak tahunya benar ada di sini," ujar Rani.

Setelah 15 menit, Sarah keluar dari dalam aula. Raut wajah nenek bercucu 13 itu cerah, tak seperti saat ia datang tadi. "Saya senang akhirnya bisa ketemu setelah berbulan-bulan," katanya dengan senyum mengembang. Namun, ia harus menelan pahit karena ia tak diizinkan membawa pulang anaknya.

Untuk pulang, mereka harus menunggu keputusan dari pemerintah. Meski demikian, Rizal merasa lega karena kakaknya mau bertemu dengan mereka. "Dia bilang jangan khawatir, tunggu ke depannya saja apa kata pemerintah," kata dia sambil berjalan menuju mobilnya.


*) Tulisan ini terbit di koran Tempo edisi Jumat, 26 Januari 2016.

Thursday 4 February 2016

Terhapus Hujan

Kamis, 4 Februari 2016

Hari ini aku libur. Di luar hujan. Deras sekali. Aku suka hujan siang-siang. Sebab kamarku jadi dingin. Kalau tak hujan, jam 9 aku sudah menggeliat di atas kasur seperti cacing kepanasan. Aku akan segera mandi lantas pergi ke perpustakaan kantor untuk mendinginkan badan. Hanya perlu menyeberang jalan untuk sampai kantor dari kosanku di Jalan Palmerah Barat. Panas Jakarta tak tertahankan jika musim kemarau. Tapi hari ini hujan deras. Kamarku dingin. Aku tidur 11 jam.

Aku bangun saat hujan sudah reda. Kuambil smartphoneku dan kutemukan ratusan pesan whatsapp dari belasan grup yang aku ikuti. Ada beberapa kontak yang mengirim pesan pribadi. Aku menemukan nama Avit Hidayat, teman kerjaku di Tempo.

“Maaf May, aku nggak jadi ikut kemping. May, bilang ke temen-temen ya. Aku ada keperluan penting, pada hari Sabtu. Terima kasih,” tulis Avit.

Segera aku membalas pesannya. “Kita berangkat Minggu pagi aja deh Vit,” kataku. Lama. Avit tak membalas. Aku galau. Mestinya hari ini aku belanja untuk persiapan kemping ke Situ Gunung Sabtu depan. Tempatnya ada di Sukabumi, Jawa Barat. Tapi pesan Avit membuat moodku hilang.

Aku ingin kemping. Avit juga. Mawar, teman di Tempo, mau ikut saat kuajak. Kami bertiga janjian pesan libur di hari yang sama. Enaknya kerja di Tempo, bisa pesan libur. Tapi aku suka kemping ramai-ramai. Akhirnya kuajak sahabat-sahabatku yang kebetulan kerja di Bekasi, Argo dan Fani yang mengajak Lai dan seorang temannya yang tak kuingat namanya. Mawar mengajak Arkhe yang juga teman kerja kami. Terkumpul 8 orang.

Hari ini hujan deras. Avit batal ikut liburan. Hampir siang ia membalas pesanku. Ia mau pergi ke luar kota katanya. Aku tak percaya ia begitu saja meninggalkan rencana yang sudah kita bikin berbulan sebelumnya. Seperti hujan yang tiba-tiba turun. Menghapus debu tebal yang dibiarkan berhari-hari di jalanan.

Aku kesal sendiri. Sebab rindu pada ketinggian dan bau hutan sudah tak terbendung. Masih ada tujuh orang tersisa. Tapi aku selalu sedih jika ada yang tertinggal. Meski hanya satu. Karena perjalanan indah bukan karena tempatnya, tapi karena manusianya. Rencana yang tersusun matang luluh lantak. Seperti mentega meleleh. Meski hanya separo. Maya lebay deh, kata Avit. Maaf, aku memang terlahir sebagai drama queen.

Aku bertanya, apakah ini karena aku mengajak sahabat-sahabatku hingga kau merasa terganggu? Bukan, katamu. Lalu aku teringat Alit, mantan pacarku. Dulu ia pernah marah sebab aku mengajak enam sahabatku naik Gunung Semeru tahun 2014. Pendakian yang kami rencanakan bersama segelintir kawannya. Ia marah karena seharusnya ini menjadi perjalanan kami saja. Bukan perjalananku dengan para sahabatku.

Hai Alit.. Aku menyapamu di BBM. Aku yakin marahmu padaku hari itu sudah hilang. Seperti debu di jalanan yang dihapus air hujan. Aku ingin bilang rindu berjalan-jalan bersamamu. Tapi tak jadi. Aku takut kamu sudah punya pacar dan nanti dia marah jika membaca pesanku untukmu.

Aku baru dua kali mendaki gunung dengan ketinggian di atas 3.000 meter di atas permukaan laut. Itu semua berkat Alit. Ia mengajakku saat kami masih pacaran zaman kuliah dulu. Kemudian aku jadi ketagihan mendaki. Ia pernah berjanji mengajakku ke manapun aku mau. Tapi janji itu kini terseret banjir akibat hujan yang tak reda-reda.

Hari itu aku dibuat semakin jengkel. Alit pamer ia baru saja mendaki Gunung Gede Pangrango. Dekat sekali dengan kediamanku saat ini. Ia tak mengajakku sebab takut mengganggu kesibukanku. Omong kosong. Jelas ia memang tak mau aku ikut, pikirku. Sebab hari ini hujan. Deras sekali. Aku jadi ingin tidur lagi dan melupakan semua rencana jalan-jalan.