Subscribe:

Saturday, 20 April 2013

Bahasa Indonesia dan ALPHA


 
Dulu pada saat saya masih menjadi siswa di SD, SMP, dan SMA, pelajaran yang menurut saya paling membosankan adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Bagaimana tidak? Setiap kali saya hanya disuruh membaca dan menulis. Mungkin kalau membaca, saya masih suka. Tapi kalau sudah disuruh menulis, saya hanya bisa bengong karena otak langsung kosong. Nilai saya pada pelajaran itu pun  tidak pernah jauh dari angka 7.

Di bangku kuliah nasib saya tidak berubah. Nilai mata kuliah Bahasa Indonesia saya C. Ingin mengulang, tapi trauma. Pelajarannya gampang-gampang susah. Soal-soal ujian pun terkadang menjebak. Ketika saya sudah merasa memberikan jawaban benar, eh ternyata salah. Jawaban yang saya tawur, malah benar. Semakin lama saya semakin bingung oleh ketidakpastian dari apa yang saya mengerti. Rasanya sudah tidak ingin lagi ketemu sama pelajaran bahasa yang saya gunakan untuk berkomunikasi sehari-hari ini.

Sampai akhirnya saya ketemu sama ALPHA (Aliansi Pers Mahasiswa MIPA). Ini adalah LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) di Fakultas MIPA. Pada mulanya, saya bingung mau masuk UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang mana karena merasa tidak ada yang cocok dengan saya. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut teman saya masuk di ALPHA.

Ketika sudah masuk dan mengikuti PJTD (Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar), saya merasa kejatuhan batu besar di kepala saya. Semua materi yang saya terima adalah pengembangan dari pelajaran Bahasa Indonesia yang selama ini saya takuti. Selama PJTD itu kepala saya berat, pusing, tidak bisa konsentrasi, mata berkunang-kunang, dan akhirnya mengantuk.

Satu tahun berlalu dan saya sama sekali tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada ALPHA. Tidak ada tulisan, tidak ada penghargaan. Saya hanya diam seperti roda dan menunggu didorong untuk berjalan. Saya berdiri ketika ada yang menyuruh saya berdiri. Sayangnya selama satu tahun itu saya tidak pernah diperdayakan. Walaupun mungkin itu hanya perasaan saya. Tapi entah bagaimana prosesnya, saya malah dipercaya untuk menjadi pengurus dalam lembaga yang sudah saya cuekkan itu.

Di awal kepengurusan saya benar-benar bingung harus melakukan apa dulu. Selama saya menjadi anak magang saya tidak pernah mau tau dengan kinerja pengurus sebelum periode saya menjabat. Selanjutnya saya hanya melakukan sebagaimana yang diinstruksikan oleh Pimpinan Umum. Seperti sebelumnya, saya masih menjadi roda yang hanya berjalan ketika ada yang mendorong saya. Dan saya masih belum bisa menulis.

Periode kepengurusan saya hampir usai. Di ujung waktu itu saya mulai sedikit simpati terhadap lembaga yang sudah menuntut saya untuk belajar Bahasa Indonesia lagi. Walaupun masih belum bisa menulis, sedikit banyak saya sudah merasa memiliki dan jatuh cinta kepada ALPHA. Dan kepada Bahasa Indonesia tentunya. Saya mulai terbiasa dengan sumber daya manusianya yang itu-itu saja, dengan aktivitas-aktivitasnya yang membosankan, dengan tulisan-tulisan saya yang tidak pernah terselesaikan. Saya masih belum bisa menulis.

Saya merasa lega ketika akhirnya saya dicopot dari jabatan saya sebagai pengurus. Tidak menjadi pengurus bukanlah hambatan bagi saya untuk tetap berproses, bukan pula dinding yang membatasi untuk belajar Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Menurut saya. Tapi entah bagaimana prosesnya, saya dipercaya (lagi) untuk mengurus lembaga yang sudah saya cintai itu.

Pada periode kedua kepengurusan saya inilah saya memutuskan untuk tidak lagi menjadi sebuah roda. Saya mulai berinisiatif memaksa diri saya sendiri untuk melakukan sesuatu, untuk menulis. Saya juga lebih aktif dalam beramah tamah dengan LPM dari manca Fakultas maupun Universitas. Adik-adik saya di ALPHA juga selalu saya ajak ketika ada agenda di dalam maupun luar kampus. Harapannya adalah agar mereka sudah bisa menulis di usia muda, agar tidak seperti saya yang sudah tua namun belum bisa menulis.

Saya masih ingat dulu ketika RAT (Rapat Akhir tahunan) sebelum saya menjadi pengurus. Pada saat itu mbak Fainani yang menjabat sebagai Pimpinan Umum ALPHA. Ada seorang teman saya yang protes karena merasa tidak pernah dirangkul sebagai anggota ALPHA. Ketika ditanya balik lantas kenapa dia masih mau menjadi anggota ALPHA kalau merasa dianggurkan, dia menjawab, “karena saya masih punya harapan untuk ALPHA”.

Untuk adik-adik saya sekarang, saya tidak tau apa harapan mereka kepada ALPHA, kepada saya. Tapi saya berharap mereka bisa seperti teman saya itu, yang masih memiliki harapan untuk bertahan meski keinginan tidak sesuai kenyataan. Saya sangat salut dengan kata-kata Pimpinan Umum ALPHA periode 2013-2014, Jauharin Insiyah, “Janganlah menjadi angin yang hanya lewat kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak”. Tidak ada harapan lain selain untuk tetap berkomitmen kepada apa yang sudah kita mulai. Mungkin saat ini ALPHA masih rapuh, dan miskin. Tapi sejujurnya, dia sedang menunggu untuk dikuatkan, untuk dikayakan. Lalu siapa lagi yang akan mengisi kekuatan dan kekayaan itu kalau bukan saya, kamu, dia, mereka, dan kalian sebagai esensi di dalamnya? Bukankah kita tidak akan mendapatkan apa-apa kalau kita tidak melakukan sesuatu? Saya rasa itu terjadi kepada saya. Saya tidak akan bisa menulis sepanjang ini kalau tidak masuk ALPHA dan dipaksa belajar Bahasa Indonesia.

Di sebuah ruang makan, 20 April 2013      20:15

0 comments:

Post a Comment