Dulu pada saat
saya masih menjadi siswa di SD, SMP, dan SMA, pelajaran yang menurut saya paling
membosankan adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Bagaimana tidak? Setiap kali
saya hanya disuruh membaca dan menulis. Mungkin kalau membaca, saya masih suka.
Tapi kalau sudah disuruh menulis, saya hanya bisa bengong karena otak langsung
kosong. Nilai saya pada pelajaran itu pun tidak pernah jauh dari angka 7.
Di bangku kuliah
nasib saya tidak berubah. Nilai mata kuliah Bahasa Indonesia saya C. Ingin
mengulang, tapi trauma. Pelajarannya gampang-gampang susah. Soal-soal ujian pun
terkadang menjebak. Ketika saya sudah merasa memberikan jawaban benar, eh ternyata
salah. Jawaban yang saya tawur, malah benar. Semakin lama saya semakin bingung
oleh ketidakpastian dari apa yang saya mengerti. Rasanya sudah tidak ingin lagi
ketemu sama pelajaran bahasa yang saya gunakan untuk berkomunikasi sehari-hari
ini.
Sampai akhirnya
saya ketemu sama ALPHA (Aliansi Pers Mahasiswa MIPA). Ini adalah LPM (Lembaga
Pers Mahasiswa) di Fakultas MIPA. Pada mulanya, saya bingung mau masuk UKM
(Unit Kegiatan Mahasiswa) yang mana karena merasa tidak ada yang cocok dengan
saya. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut teman saya masuk di ALPHA.
Ketika sudah
masuk dan mengikuti PJTD (Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar), saya merasa
kejatuhan batu besar di kepala saya. Semua materi yang saya terima adalah
pengembangan dari pelajaran Bahasa Indonesia yang selama ini saya takuti.
Selama PJTD itu kepala saya berat, pusing, tidak bisa konsentrasi, mata
berkunang-kunang, dan akhirnya mengantuk.
Satu tahun
berlalu dan saya sama sekali tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada ALPHA. Tidak
ada tulisan, tidak ada penghargaan. Saya hanya diam seperti roda dan menunggu
didorong untuk berjalan. Saya berdiri ketika ada yang menyuruh saya berdiri. Sayangnya
selama satu tahun itu saya tidak pernah diperdayakan. Walaupun mungkin itu
hanya perasaan saya. Tapi entah bagaimana prosesnya, saya malah dipercaya untuk
menjadi pengurus dalam lembaga yang sudah saya cuekkan itu.
Di awal
kepengurusan saya benar-benar bingung harus melakukan apa dulu. Selama saya
menjadi anak magang saya tidak pernah mau tau dengan kinerja pengurus sebelum
periode saya menjabat. Selanjutnya saya hanya melakukan sebagaimana yang
diinstruksikan oleh Pimpinan Umum. Seperti sebelumnya, saya masih menjadi roda
yang hanya berjalan ketika ada yang mendorong saya. Dan saya masih belum bisa
menulis.
Periode
kepengurusan saya hampir usai. Di ujung waktu itu saya mulai sedikit simpati
terhadap lembaga yang sudah menuntut saya untuk belajar Bahasa Indonesia lagi. Walaupun
masih belum bisa menulis, sedikit banyak saya sudah merasa memiliki dan jatuh
cinta kepada ALPHA. Dan kepada Bahasa Indonesia tentunya. Saya mulai terbiasa
dengan sumber daya manusianya yang itu-itu saja, dengan aktivitas-aktivitasnya
yang membosankan, dengan tulisan-tulisan saya yang tidak pernah terselesaikan. Saya
masih belum bisa menulis.
Saya merasa lega
ketika akhirnya saya dicopot dari jabatan saya sebagai pengurus. Tidak menjadi
pengurus bukanlah hambatan bagi saya untuk tetap berproses, bukan pula dinding
yang membatasi untuk belajar Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Menurut
saya. Tapi entah bagaimana prosesnya, saya dipercaya (lagi) untuk mengurus
lembaga yang sudah saya cintai itu.
Pada periode
kedua kepengurusan saya inilah saya memutuskan untuk tidak lagi menjadi sebuah
roda. Saya mulai berinisiatif memaksa diri saya sendiri untuk melakukan
sesuatu, untuk menulis. Saya juga lebih aktif dalam beramah tamah dengan LPM
dari manca Fakultas maupun Universitas. Adik-adik saya di ALPHA juga selalu
saya ajak ketika ada agenda di dalam maupun luar kampus. Harapannya adalah agar
mereka sudah bisa menulis di usia muda, agar tidak seperti saya yang sudah tua
namun belum bisa menulis.
Saya masih ingat
dulu ketika RAT (Rapat Akhir tahunan) sebelum saya menjadi pengurus. Pada saat
itu mbak Fainani yang menjabat sebagai Pimpinan Umum ALPHA. Ada seorang teman
saya yang protes karena merasa tidak pernah dirangkul sebagai anggota ALPHA.
Ketika ditanya balik lantas kenapa dia masih mau menjadi anggota ALPHA kalau
merasa dianggurkan, dia menjawab, “karena saya masih punya harapan untuk ALPHA”.
Untuk adik-adik
saya sekarang, saya tidak tau apa harapan mereka kepada ALPHA, kepada saya. Tapi
saya berharap mereka bisa seperti teman saya itu, yang masih memiliki harapan
untuk bertahan meski keinginan tidak sesuai kenyataan. Saya sangat salut dengan
kata-kata Pimpinan Umum ALPHA periode 2013-2014, Jauharin Insiyah, “Janganlah
menjadi angin yang hanya lewat kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak”. Tidak ada
harapan lain selain untuk tetap berkomitmen kepada apa yang sudah kita mulai.
Mungkin saat ini ALPHA masih rapuh, dan miskin. Tapi sejujurnya, dia sedang
menunggu untuk dikuatkan, untuk dikayakan. Lalu siapa lagi yang akan mengisi
kekuatan dan kekayaan itu kalau bukan saya, kamu, dia, mereka, dan kalian
sebagai esensi di dalamnya? Bukankah kita tidak akan mendapatkan apa-apa kalau kita
tidak melakukan sesuatu? Saya rasa itu terjadi kepada saya. Saya tidak akan
bisa menulis sepanjang ini kalau tidak masuk ALPHA dan dipaksa belajar Bahasa
Indonesia.
Di sebuah ruang makan, 20 April 2013 20:15
0 comments:
Post a Comment