Sebagai seorang
mahasiswi semester 6 Jurusan Matematika Fakultas MIPA, saya tidak pernah
sekalipun bermimpi untuk menjadi ilmuwan seperti Einsten ataupun Phytagoras.
Impian saya selama ini selalu berubah-ubah, tidak konsisten. Sebelum memasuki
jenjang Universitas, saya punya keinginan untuk menjadi seorang dokter. Padahal
sewaktu SMP saya berkeinginan untuk menjadi guru. Malah pada saat saya masih
SD, sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang pengantin.
Cita-cita memang
sesuatu yang boleh dimiliki siapapun. Siapa yang tidak memiliki cita-cita? Tapi
saya rasa tidak semua orang bisa menjaganya sampai akhir. Kita pada umumnya
selalu kalah ketika dihadapkan dengan realita. Seolah-olah realita adalah
kerikil yang menghalangi rute perjalanan kita. Lihat saja anak-anak TK yang
masih suka ngompol itu. Ketika ditanya apa cita-citanya, tanpa ragu mereka
pasti langsung menjawab dengan cengiran lebar. Tanpa pikir panjang dan tidak
ragu-ragu. Bandingkan dengan seorang mahasiswi seperti saya. Jika saat ini ada
seseorang bertanya apa cita-cita saya, maka jawaban saya adalah.. “mmm……..kasi
tau nggak yaaaa?”
Bukan berarti
saya pelit mempublikasikan impian saya. Hanya saja saya tidak cukup mengenal
diri saya sendiri, saya tidak tau pasti apa yang saya impikan. Lebih tepatnya
saya tidak berani bermimpi. Saya selalu mengambil jalan aman yang tidak
beresiko atau yang paling sedikit mengandung resiko. Terlalu mudah menyerah dan
tekad tidak pernah bulat. Terkadang malah mengkambing hitamkan keadaan. Wajarlah
kalau impian itu hanya bisa saya raih sebagai bunga tidur.
Sebenarnya pada
saat ini saya memiliki sebuah cita-cita yang baru. Sebuah impian yang bahkan
orang lain pun tidak akan menyangka bahwa saya memilikinya. Saya memang masih
kesulitan mengenali potensi apa yang saya miliki. Saya juga sempat berputus asa
karena orang lain pun tidak ada yang bisa melihat saya. Bahkan pernah pada
suatu hari saya diejek oleh mbah saya sendiri karena mungkin beliau juga merasa
bahwa saya tidak memiliki bakat apapun. Sedih sekali rasanya pada saat itu. Tapi
dalam hati saya bertekad untuk segera menunjukkan kepada mbah kalau saya
memiliki sebuah bakat. Apapun itu.
Cita-cita yang
saya miliki saat ini adalah menjadi seorang penulis. Dilihat dari
tulisan-tulisan saya, sepertinya saya memang tidak cocok untuk disebut sebagai
jurnalis. Bahkan predikat persma tak sedikitpun melekat pada diri saya. Lha trus?
Mau jadi penulis macam apa saya ini? Apa saja. Saya tidak ingin terikat oleh
siapapun, apapun, kapanpun, kenapapun, dimanapun, dan bagaimanapun. Seperti katanya
Bung Imam Shofwan ketika mengisi materi di PJTL (Pelatihan Jurnalistik Tingkat
Lanjut) di Semarang Desember lalu, “Aturan itu cukup diketahui saja. Untuk
menulis, bebaskan dirimu”
Sama halnya
dengan bermimpi. Realita itu cukup diketahui saja. Untuk bermimpi, bebaskan
dirimu. Saat ini saya memang tidak memiliki modal apapun untuk menjadi seorang
penulis. Realita diluar memang menyajikan profil-profil jurnalis, sastrawan,
penyair, reporter, dan orang-orang pena lain yang luar biasa. Tapi apa
salahnya? Saya masih bisa bermimpi tanpa harus menunggu mereka menjadi seorang
biasa. Mungkin saja suatu saat nanti jam terbang saya lebih tinggi dari mereka.
Amin.
Pengalaman menulis
saya memang masih minim. Jujur saja saya tidak suka menulis berita seperti yang
beberapa kali ini saya lakukan untuk mengisi bulletin ALPHA (Aliansi Pers
Mahasiswa MIPA). Saya lebih suka nulis curhatan seperti ini. Tapi tentu saja
hal itu tidak membuat saya tidak ingin bisa untuk menulis berita dengan baik
dan benar. Saya hanya suka menulis tentang apa yang saya lihat, apa yang saya rasa.
Walaupun saya juga pernah diejek oleh seseorang dengan mengatakan bahwa
tulisan-tulisan saya ini membosankan dan membuatnya tidak betah membaca. Padahal
waktu itu tulisan saya tidak pernah panjang.
Ejekan-ejekan
seperti itu tentu saja membuat saya tambah bersemangat. Walaupun pada awalnya
saya sedikit minder. Saya tidak percaya diri bisa membuat tulisan yang enak
dibaca. Akhirnya saya hanya menulis dengan diam. Tidak pernah lagi
mempublikasikan tulisan-tulisan saya. Tapi saya tetap menulis, menulis, dan
menulis. Hasilnya sampai sekarang memang belum bisa menjadi enak dibaca. Tapi saya
berusaha konsisten untuk tetap menulis. Orang bisa karena biasa. Itulah yang
saya pelajari dari teman-teman saya yang sudah menjadi orang luar biasa.
Suatu malam saya
mendapatkan SMS dari seorang sahabat saya. Dia mengatakan bahwa tulisan saya
bagus menurutnya. SMSnya singkat dan sederhana, tapi terdengar tulus oleh saya.
Entah karena sebelumnya tidak ada yang berkata demikian, atau karena saya yang
mengharapkan demikian. Ejekan memang bisa menjadi pelecut untuk saya lebih
terpacu. Tapi semangat yang diberikan oleh seseoranglah yang bisa membuat saya
tetap bertahan dalam pacuan.
Saya tidak bisa
memastikan kelak saya akan menjadi apa. Saya hanya bersyukur Tuhan masih
memberi saya kemampuan untuk bermimpi. Membuat saya melakukan hal yang baik
selama proses mewujudkannya.
Di
kamar kos yang kecil, 22 April 2013
23:02
0 comments:
Post a Comment