Subscribe:

Monday, 22 April 2013

cita-cita saya adalah......



Sebagai seorang mahasiswi semester 6 Jurusan Matematika Fakultas MIPA, saya tidak pernah sekalipun bermimpi untuk menjadi ilmuwan seperti Einsten ataupun Phytagoras. Impian saya selama ini selalu berubah-ubah, tidak konsisten. Sebelum memasuki jenjang Universitas, saya punya keinginan untuk menjadi seorang dokter. Padahal sewaktu SMP saya berkeinginan untuk menjadi guru. Malah pada saat saya masih SD, sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang pengantin.

Cita-cita memang sesuatu yang boleh dimiliki siapapun. Siapa yang tidak memiliki cita-cita? Tapi saya rasa tidak semua orang bisa menjaganya sampai akhir. Kita pada umumnya selalu kalah ketika dihadapkan dengan realita. Seolah-olah realita adalah kerikil yang menghalangi rute perjalanan kita. Lihat saja anak-anak TK yang masih suka ngompol itu. Ketika ditanya apa cita-citanya, tanpa ragu mereka pasti langsung menjawab dengan cengiran lebar. Tanpa pikir panjang dan tidak ragu-ragu. Bandingkan dengan seorang mahasiswi seperti saya. Jika saat ini ada seseorang bertanya apa cita-cita saya, maka jawaban saya adalah.. “mmm……..kasi tau nggak yaaaa?”

Bukan berarti saya pelit mempublikasikan impian saya. Hanya saja saya tidak cukup mengenal diri saya sendiri, saya tidak tau pasti apa yang saya impikan. Lebih tepatnya saya tidak berani bermimpi. Saya selalu mengambil jalan aman yang tidak beresiko atau yang paling sedikit mengandung resiko. Terlalu mudah menyerah dan tekad tidak pernah bulat. Terkadang malah mengkambing hitamkan keadaan. Wajarlah kalau impian itu hanya bisa saya raih sebagai bunga tidur.

Sebenarnya pada saat ini saya memiliki sebuah cita-cita yang baru. Sebuah impian yang bahkan orang lain pun tidak akan menyangka bahwa saya memilikinya. Saya memang masih kesulitan mengenali potensi apa yang saya miliki. Saya juga sempat berputus asa karena orang lain pun tidak ada yang bisa melihat saya. Bahkan pernah pada suatu hari saya diejek oleh mbah saya sendiri karena mungkin beliau juga merasa bahwa saya tidak memiliki bakat apapun. Sedih sekali rasanya pada saat itu. Tapi dalam hati saya bertekad untuk segera menunjukkan kepada mbah kalau saya memiliki sebuah bakat. Apapun itu.

Cita-cita yang saya miliki saat ini adalah menjadi seorang penulis. Dilihat dari tulisan-tulisan saya, sepertinya saya memang tidak cocok untuk disebut sebagai jurnalis. Bahkan predikat persma tak sedikitpun melekat pada diri saya. Lha trus? Mau jadi penulis macam apa saya ini? Apa saja. Saya tidak ingin terikat oleh siapapun, apapun, kapanpun, kenapapun, dimanapun, dan bagaimanapun. Seperti katanya Bung Imam Shofwan ketika mengisi materi di PJTL (Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut) di Semarang Desember lalu, “Aturan itu cukup diketahui saja. Untuk menulis, bebaskan dirimu”

Sama halnya dengan bermimpi. Realita itu cukup diketahui saja. Untuk bermimpi, bebaskan dirimu. Saat ini saya memang tidak memiliki modal apapun untuk menjadi seorang penulis. Realita diluar memang menyajikan profil-profil jurnalis, sastrawan, penyair, reporter, dan orang-orang pena lain yang luar biasa. Tapi apa salahnya? Saya masih bisa bermimpi tanpa harus menunggu mereka menjadi seorang biasa. Mungkin saja suatu saat nanti jam terbang saya lebih tinggi dari mereka. Amin.

Pengalaman menulis saya memang masih minim. Jujur saja saya tidak suka menulis berita seperti yang beberapa kali ini saya lakukan untuk mengisi bulletin ALPHA (Aliansi Pers Mahasiswa MIPA). Saya lebih suka nulis curhatan seperti ini. Tapi tentu saja hal itu tidak membuat saya tidak ingin bisa untuk menulis berita dengan baik dan benar. Saya hanya suka menulis tentang apa yang saya lihat, apa yang saya rasa. Walaupun saya juga pernah diejek oleh seseorang dengan mengatakan bahwa tulisan-tulisan saya ini membosankan dan membuatnya tidak betah membaca. Padahal waktu itu tulisan saya tidak pernah panjang.

Ejekan-ejekan seperti itu tentu saja membuat saya tambah bersemangat. Walaupun pada awalnya saya sedikit minder. Saya tidak percaya diri bisa membuat tulisan yang enak dibaca. Akhirnya saya hanya menulis dengan diam. Tidak pernah lagi mempublikasikan tulisan-tulisan saya. Tapi saya tetap menulis, menulis, dan menulis. Hasilnya sampai sekarang memang belum bisa menjadi enak dibaca. Tapi saya berusaha konsisten untuk tetap menulis. Orang bisa karena biasa. Itulah yang saya pelajari dari teman-teman saya yang sudah menjadi orang luar biasa.

Suatu malam saya mendapatkan SMS dari seorang sahabat saya. Dia mengatakan bahwa tulisan saya bagus menurutnya. SMSnya singkat dan sederhana, tapi terdengar tulus oleh saya. Entah karena sebelumnya tidak ada yang berkata demikian, atau karena saya yang mengharapkan demikian. Ejekan memang bisa menjadi pelecut untuk saya lebih terpacu. Tapi semangat yang diberikan oleh seseoranglah yang bisa membuat saya tetap bertahan dalam pacuan.

Saya tidak bisa memastikan kelak saya akan menjadi apa. Saya hanya bersyukur Tuhan masih memberi saya kemampuan untuk bermimpi. Membuat saya melakukan hal yang baik selama proses mewujudkannya.


Di kamar kos yang kecil, 22 April 2013     23:02

0 comments:

Post a Comment