Subscribe:

Tuesday, 23 April 2013

Kekerasan Atas Nama Agama



 
Agama kelahiran saya adalah Islam. Saya menyebutnya sebagai agama kelahiran karena memang orang tua saya yang sudah menanamkannya kepada saya sejak saya dilahirkan. Sebelumnya saya tidak pernah memilih ingin menganut agama apa. Tapi saat ini saya sudah memiliki kebebasan untuk menganut agama yang saya percaya. Sepertinya hal ini tidak hanya terjadi kepada saya. Seorang teman saya menganut agama Katolik sejak dia dilahirkan. Kedua orang tuanya beda agama. Katolik adalah agama yang dianut oleh ibunya. Namun dia memutuskan untuk pindah ke agama Islam yang dianut ayahnya pada saat menduduki bangku SMP.

Menganut sebuah agama adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh warga Indonesia. Hal ini didasarkan pada sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, warga Indonesia wajib memiliki suatu agama. Kebebasan memeluk agama di Indonesia telah diatur di dalam UUD 1945. Sebagaimana telah tercantum pada UUD 1945 pasal 28E ayat (1) : 

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Menganut suatu agama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia. Dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 memang diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945  selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.

Agama di Indonesia yang diakui pemerintah ada 6, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Tapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Konflik terjadi karena adanya pihak-pihak yang merasa kepercayaannyalah yang paling benar. Seseorang memang pasti memeluk dan mempercayai agama yang dianggapnya paling benar.

Diskriminasi kaum minoritas

            Saat ini yang sedang marak menjadi bahan perbincangan adalah sebuah ajaran bernama Ahmadiyah yang dianggap sesat. Anggapan bahwa Ahmadiyah sesat bukanlah berasal dari opini orang-orang tertentu, melainkan sudah dinyatakan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Dalam pasal 2 ayat (1) UU Penodaan Agama dinyatakan, dalam hal ada yang melanggar larangan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Akhirnya turunlah sebuah SKB (Surat Keputusan Bersama) “Perintah terhadap Penganut dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia” yang diterbitkan tanggal 9 Juni 2008.

Setelah SKB tersebut turun, terjadilah diskriminasi terhadap penganut Ahmadiyah. Mereka diusir, dan rumah-rumahnya dirusak. Seperti yang terjadi kepada Ngasiman Hadi Susanto, yang diduga sebagai penganut Ahmadiyah di daerah Langanja II, Sumatra Barat. Dia di usir dari kampung halamannya karena ada seorang warga Langanja II yang bernama Supriano mengikuti ajarannya. Keluarga Supriano dan masyarakat yang tidak bisa menerima keadaan tersebut merusak rumah Ngasiman dan memintanya beserta keluarganya untuk meninggalkan Langanja II.

Hal serupa juga dialami oleh Keluarga Mln. Ismail Suparman di Cikeusik, Pandeglang, Banten Selatan. Ketika ada kabar penyerangan oleh warga, dia dan keluarganya meminta bantuan polisi untuk membantunya. Sesaat sebelum penyerangan, rombongan polisi tampak bermunculan, tapi tidak lama kemudian langsung menghilang entah kemana. Alhasil para ahmadi di Cikeusik itu melawan dengan tangan kosong dan tanpa perlindungan dari pihak kepolisian. Polisi baru muncul lagi ketika rumah yang ditempati Mln. Suparman sudah ludes dan tiga orang Ahmadi tewas.

Agaknya SKB yang diturunkan pemerintah tersebut menjadi semacam pedoman bagi masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis untuk menghancurkan kaum Ahmadi. Adanya aparat kepolisian yang memudahkan warga dalam melakukan penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah menunjukkan lemahnya perlindungan hak asasi manusia untuk bebas beragama di Indonesia. Padahal dalam UUD yang sudah dipaparkan di atas, kebebasan beragama adalah hak setiap orang dan tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan. Di samping itu, Pasal 28G juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat yang merupakan asasi. Untuk menjawab amanat Konstitusi tersebut, negara dilengkapi dengan aparatur penegak hukum yang berfungsi dalam memberikan rasa aman bagi warganya dalam hal ini Kepolisian.

Sayangnya, aparat yang seharusnya memberi rasa aman kepada semua warga itu juga ikut melakukan aksi diskriminasi. Seperti yang terlihat pada kasus di Cikeusik. Polisi bukannya membantu warga yang meminta bantuan tapi malah membantu pelaku kekerasan dengan membiarkan penyerangan terjadi. Terlebih lagi hanya ada 12 pelaku yang diadili dan dihukum selama 3-6 bulan penjara. Padahal kerusakan yang terjadi bisa dibilang tidak sedikit dan memakan korban jiwa. Tapi tidak ada pengusutan yang lebih serius dalam menangani pelaku penyerangan yang belum berhasil ditindak lanjuti. Kondisi seperti ini membuktikan bahwa pemerintah sendiri tidak bisa berlaku adil terhadap warganya.

Diskriminasi terhadap kelompok minoritas ini tidak hanya terjadi pada penganut Ahmadiyah. Nasib kaum minoritas lain seperti Kristen, Bahai, Syiah, maupun agama-agama leluhur lain tidak jauh berbeda. Mereka dipinggirkan oleh kaum mayoritas. Gereja-gereja di sama ratakan dengan tanah. Pernikahan penganut agama leluhur tidak diakui Negara karena agamanya tidak tercantum ke dalam KTP, dan anak-anak mereka secara hukum dianggap sebagai anak haram. Berbagai penyerangan fisik, pengeboman tempat ibadah, hingga diskriminasi dalam urusan pendidikan dan layanan sosial pun kerap mereka dapatkan.

Untuk mengatasi masalah diskriminasi kaum minoritas ini, Pemerintah seharusnya lebih cepat dalam melakukan tindakan pencegahan. Tercatat bahwa tindak kekerasan terhadap kaum minoritas ini bertambah tiap tahunnya. Tindakan tegas dari Pemerintah dalam menegakkan hukum kepada semua warga juga perlu dilakukan. Tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap segala jenis tindak kekerasan atas nama agama. Hal ini berlaku untuk semua warga masyarakat dan semua aparat penegak hukum tanpa terkecuali.


                                  



Tulisan ini sebagai persyaratan mengikuti workshop yang diadakan oleh Serikat Jurnalistik untuk pers mahasiswa di Malang

0 comments:

Post a Comment