Subscribe:

Wednesday, 17 April 2013

Mencari Nasi di Tumpukan Sampah


Nenek dengan kaos kaki berlubang di jempol itu berjalan di atas bukit yang terjal. Karung kumal di tangan kirinya sudah tak muat dijejali apapun. Walaupun begitu, tangan kanannya masih memaksakan tanah perbukitan masuk ke dalam karungnya. Tanah di bukit itu lain dari bukit manapun. Tanahnya tidak digunakan untuk bercocok tanam, dan tidak pula untuk membangun rumah. Bukan tanah biasa yang membentuk bukit itu, melainkan sampah.
Tak jauh dari tempatnya mengambili sampah, puluhan orang mengikuti jejak wanita itu. Membawa karung besar, menerjang kerumunan lalat, dan berperang dengan bau yang membuat hidung micing. Mengais sampah.
Sebut saja pemulung. Profesi yang sudah dilakoni Bu Totok selama 25 tahun. Nenek kelahiran tahun 1952 ini memilih menjadi pemulung karena ajakan sang suami.
“biar bisa bantu-bantu nambah rejeki”, tuturnya sambil memasukkan sampah plastik ke dalam alat kerjanya, karung.

Bukit sampah yang dijadikan sasaran oleh Bu Totok berlokasi di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Pakusari. Di tempat itulah Bu Totok bekerja mulai jam 06.30 WIB hingga jam 13.00 WIB. Hujan dan panas tidak menyurutkan semangat nenek berusia 61 tahun ini untuk mencari sesuap nasi di atas tumpukan sampah.
“kalo panas, enak. Sampah kering. Tapi kalo hujan, ya becek-becekan.. hahaha…”

Di sekitar tempatnya bekerja terdapat rumah-rumah kecil yang berjejer tak beraturan. Berdiri begitu saja di atas tumpukan benda buangan. Tiang rumah terbuat dari kayu atau bambu bekas dan kain perca sebagai atap. Di salah satu rumah itulah Bu Totok meluruskan otot-otot kakinya yang menonjol-nonjol.


Dengan atribut yang sama dengan Bu Totok, sekitar 150 orang lain juga menjadi pemulung di TPA Pakusari. Salah satunya bernama Linda. Linda adalah keponakan Bu Totok. Ia dan suaminya sama-sama menggantungkan hidup dari hasil memulung. Tidak adanya rumah yang dimiliki mengharuskan Linda, suami, dan anak-anaknya tinggal bersama Bu Totok di daerah Jatisari.

Wanita berumur 32 tahun ini sudah menjadi pemulung selama 7 tahun. Dibandingkan dengan Bu Totok, ibu dari dua anak ini memiliki jam terbang yang lebih tinggi. Linda bekerja mulai dari jam 06.00 WIB hingga jam 16.00 WIB.

Walaupun jam kerja Linda lebih banyak daripada Bu Totok, tidak berarti penghasilan Linda juga lebih besar. Pasalnya, penghasilan yang didapatkan pemulung tergantung dari berapa banyak ia mampu mencari sampah yang sejenis? Sampah plastik dan kardus diberi harga Rp 300,00 per kilo.
“liat kondisi sampah. Kalau banyak yang masih bagus, ya saya dapat banyak. Kalau ndak… ya dapatnya dikit”, ujarnya sambil memainkan penutup hidungnya.

Penghasilan Linda rata-rata per hari di TPA Pakusari berkisar antara Rp 5000,00 hingga Rp 7000,00. Minimnya upah yang diterima tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Apalagi ia dan sang suami masih memiliki anak yang harus disekolahkan. Sehingga suaminya harus mencari pekerjaan lain yang bisa ia lakukan. Penggali pasir menjadi pilihannya.
“Uang dari nyampah ini dapetnya dikit, ya ndak cukup dek kalau buat sehari-hari”, kata Linda.

“Apalagi kalau sedang sakit, sehari cuma bisa dapet Rp 3000,00 malah,” Budhenya menimpali.

Kondisi TPA yang kotor dan bau itu menjadi tempat yang ideal bagi tumbuh kembang berbagai penyakit. Bu Totok yang sudah tidak muda lagi itu kini rentan terhadap virus yang beranak pinak di tempatnya mencari nafkah. Sebenarnya puskesmas setempat pernah memberikan imunisasi rutin setiap hari Sabtu untuk para pemulung di TPA Pakusari secara gratis, namun kegiatan itu sudah dihentikan.
“Dulu ada imunisasi dari puskesmas tiap hari Rabu, tapi sekarang sudah ndak pernah lagi”, kenangnya.

Penyakit yang sering diderita oleh Bu Totok adalah sakit flu dan diare. Bagi nenek seusia Bu Totok, penyakit seperti itu tidak bisa disepelekan. Bu Totok mengaku kalau sudah sakit, ia bisa tidak bekerja selama satu minggu. Pendapatan yang didapat untuk makan satu hari hanya setengah dari biasanya karena hanya berasal dari suaminya yang juga pemulung.
“Saya kalau sudah sakit, bisa satu minggu bolos kerja. Jadi penghasilan cuma dari suami”

Di sisi lain dari kumuhnya lahan kerja tersebut, rupanya Kepala TPA Pakusari masih mempedulikan kesejahteraan para pahlawan sampah seperti Bu Totok dan Linda. Adanya THR yang diberikan kepada pemulung merupakan satu usaha untuk menghargai jasa mengolah sampah yang sangat dibutuhkan.
“Dulu waktu pemulung masih sedikit, ini bukan bukit. Tapi gunung sampah. Sekarang sudah ndak sebanyak dulu,” Bu Totok bercerita.
THR yang diberikan berupa sarung, beras sebanyak 2,5 kg, dan sejumlah uang bagi tiap kepala keluarga.

Sebenarnya Bu Totok memiliki dua orang anak. Anak pertamanya perempuan, sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Anak keduanya laki-laki, sudah menikah juga dan sekarang bekerja di bengkel.

Walaupun penghasilan Bu Totok dan suaminya sangat pas-pasan, namun nenek yang kini memiliki 4 cucu itu enggan untuk meminta kepada anak-anaknya. Ia ingin anak-anaknya memiliki tabungan agar bisa menyekolahkan cucu-cucunya sehingga bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

0 comments:

Post a Comment