Nenek dengan kaos kaki berlubang di jempol itu
berjalan di atas bukit yang terjal. Karung kumal di tangan kirinya sudah tak
muat dijejali apapun. Walaupun begitu, tangan kanannya masih memaksakan “tanah” perbukitan masuk ke dalam karungnya. Tanah di bukit itu lain dari
bukit manapun. Tanahnya tidak digunakan untuk bercocok tanam, dan tidak pula
untuk membangun rumah. Bukan tanah biasa yang membentuk bukit itu, melainkan
sampah.
Tak jauh dari tempatnya mengambili sampah, puluhan
orang mengikuti jejak wanita itu. Membawa karung besar, menerjang kerumunan
lalat, dan berperang dengan bau yang membuat hidung micing. Mengais sampah.
Sebut
saja pemulung. Profesi yang sudah dilakoni Bu Totok selama 25 tahun. Nenek
kelahiran tahun 1952 ini memilih menjadi pemulung karena ajakan sang suami.
“biar
bisa bantu-bantu nambah rejeki”, tuturnya sambil memasukkan sampah plastik ke
dalam alat kerjanya, karung.
Bukit
sampah yang dijadikan sasaran oleh Bu Totok berlokasi di TPA (Tempat Pembuangan Akhir)
Pakusari. Di tempat itulah Bu Totok bekerja mulai jam 06.30 WIB hingga jam 13.00
WIB. Hujan dan panas tidak menyurutkan semangat nenek berusia 61 tahun ini untuk mencari sesuap nasi di atas
tumpukan sampah.
“kalo
panas, enak. Sampah kering. Tapi kalo hujan, ya becek-becekan.. hahaha…”
Di sekitar tempatnya bekerja terdapat rumah-rumah kecil
yang berjejer tak beraturan. Berdiri begitu saja di atas
tumpukan benda buangan. Tiang
rumah terbuat dari kayu atau bambu bekas dan kain perca
sebagai atap. Di salah satu rumah itulah Bu Totok meluruskan otot-otot kakinya
yang menonjol-nonjol.
Dengan
atribut yang sama dengan Bu Totok, sekitar 150 orang lain juga menjadi pemulung
di TPA Pakusari. Salah satunya bernama Linda. Linda adalah keponakan Bu Totok.
Ia dan suaminya sama-sama menggantungkan hidup dari hasil memulung. Tidak
adanya rumah yang dimiliki mengharuskan Linda, suami, dan anak-anaknya tinggal
bersama Bu Totok di daerah Jatisari.
Wanita
berumur 32 tahun ini sudah menjadi pemulung selama 7 tahun. Dibandingkan dengan
Bu Totok, ibu dari dua anak ini memiliki jam terbang yang lebih tinggi. Linda
bekerja mulai dari jam 06.00 WIB hingga jam 16.00 WIB.
Walaupun
jam kerja Linda lebih banyak daripada Bu Totok, tidak berarti penghasilan Linda
juga lebih besar. Pasalnya, penghasilan yang didapatkan pemulung tergantung
dari berapa banyak ia mampu mencari sampah yang sejenis? Sampah plastik dan kardus diberi harga
Rp 300,00 per kilo.
“liat
kondisi sampah. Kalau banyak yang masih bagus, ya saya dapat banyak. Kalau
ndak… ya dapatnya dikit”, ujarnya sambil memainkan penutup hidungnya.
Penghasilan
Linda rata-rata per hari di TPA Pakusari berkisar antara Rp 5000,00 hingga Rp
7000,00. Minimnya upah yang diterima tidak bisa mencukupi kebutuhan
sehari-harinya. Apalagi ia dan sang suami masih memiliki anak yang harus
disekolahkan. Sehingga suaminya harus mencari pekerjaan lain yang bisa ia
lakukan. Penggali pasir menjadi pilihannya.
“Uang
dari nyampah ini dapetnya dikit, ya ndak cukup dek kalau buat sehari-hari”,
kata Linda.
“Apalagi
kalau sedang sakit, sehari cuma bisa dapet Rp 3000,00 malah,” Budhenya
menimpali.
Kondisi
TPA yang kotor dan bau itu menjadi tempat yang ideal bagi tumbuh kembang
berbagai penyakit. Bu Totok yang sudah tidak muda lagi itu kini rentan terhadap
virus yang beranak pinak di tempatnya mencari nafkah. Sebenarnya puskesmas
setempat pernah memberikan imunisasi rutin setiap hari Sabtu untuk para
pemulung di TPA Pakusari secara gratis, namun kegiatan itu sudah dihentikan.
“Dulu
ada imunisasi dari puskesmas tiap hari Rabu, tapi sekarang sudah ndak pernah
lagi”, kenangnya.
Penyakit
yang sering diderita oleh Bu Totok adalah sakit flu dan diare. Bagi nenek
seusia Bu Totok, penyakit seperti itu tidak bisa disepelekan. Bu Totok mengaku
kalau sudah sakit, ia bisa tidak bekerja selama satu minggu. Pendapatan yang
didapat untuk makan satu hari hanya setengah dari biasanya karena hanya berasal
dari suaminya yang juga pemulung.
“Saya
kalau sudah sakit, bisa satu minggu bolos kerja. Jadi penghasilan cuma dari
suami”
Di
sisi lain dari kumuhnya lahan kerja tersebut, rupanya Kepala TPA Pakusari masih
mempedulikan kesejahteraan para pahlawan sampah seperti Bu Totok dan Linda.
Adanya THR yang diberikan kepada pemulung merupakan satu usaha untuk menghargai
jasa mengolah sampah yang sangat dibutuhkan.
“Dulu
waktu pemulung masih sedikit, ini bukan bukit. Tapi gunung sampah. Sekarang
sudah ndak sebanyak dulu,” Bu Totok bercerita.
THR
yang diberikan berupa sarung, beras sebanyak 2,5 kg, dan sejumlah uang bagi
tiap kepala keluarga.
Sebenarnya
Bu Totok memiliki dua orang anak. Anak pertamanya perempuan, sudah menikah dan
tinggal bersama suaminya. Anak keduanya laki-laki, sudah menikah juga dan
sekarang bekerja di bengkel.
Walaupun
penghasilan Bu Totok dan suaminya sangat pas-pasan, namun nenek yang kini
memiliki 4 cucu itu enggan untuk meminta kepada anak-anaknya. Ia ingin
anak-anaknya memiliki tabungan agar bisa menyekolahkan cucu-cucunya sehingga
bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
0 comments:
Post a Comment