Agama kelahiran saya adalah Islam.
Saya menyebutnya sebagai agama kelahiran karena memang orang tua saya yang
sudah menanamkannya kepada saya sejak saya dilahirkan. Sebelumnya saya tidak
pernah memilih ingin menganut agama apa. Tapi saat ini saya sudah memiliki
kebebasan untuk menganut agama yang saya percaya. Sepertinya hal ini tidak
hanya terjadi kepada saya. Seorang teman saya menganut agama Katolik sejak dia
dilahirkan. Kedua orang tuanya beda agama. Katolik adalah agama yang dianut
oleh ibunya. Namun dia memutuskan untuk pindah ke agama Islam yang dianut
ayahnya pada saat menduduki bangku SMP.
Menganut
sebuah agama adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh warga Indonesia. Hal ini
didasarkan pada sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Maka, warga Indonesia wajib memiliki suatu agama. Kebebasan memeluk agama di
Indonesia telah diatur di dalam UUD 1945. Sebagaimana telah tercantum pada UUD
1945 pasal 28E ayat (1) :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Menganut suatu agama dan kepercayaan
merupakan hak asasi manusia. Dalam Pasal
28I ayat (1) UUD 1945 memang diakui bahwa hak untuk beragama merupakan
hak asasi manusia. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan.
Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945
diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada
pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut
dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam
undang-undang.
Agama di Indonesia yang diakui
pemerintah ada 6, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Tapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain
dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat
jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya,
selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan banyaknya
agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama
sering kali tidak terelakkan. Konflik terjadi karena adanya pihak-pihak yang
merasa kepercayaannyalah yang paling benar. Seseorang memang pasti memeluk dan
mempercayai agama yang dianggapnya paling benar.
Diskriminasi
kaum minoritas
Saat ini yang
sedang marak menjadi bahan perbincangan adalah sebuah ajaran bernama Ahmadiyah
yang dianggap sesat. Anggapan bahwa Ahmadiyah sesat bukanlah berasal dari opini
orang-orang tertentu, melainkan sudah dinyatakan oleh Presiden setelah mendapat
pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Dalam pasal 2 ayat (1) UU Penodaan
Agama dinyatakan, dalam hal ada yang melanggar larangan penyalahgunaan
dan/atau penodaan agama, diberi perintah dan peringatan keras untuk
menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama,
Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Akhirnya turunlah sebuah SKB (Surat
Keputusan Bersama) “Perintah terhadap Penganut dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia” yang diterbitkan tanggal 9 Juni 2008.
Setelah SKB tersebut turun,
terjadilah diskriminasi terhadap penganut Ahmadiyah. Mereka diusir, dan
rumah-rumahnya dirusak. Seperti yang terjadi kepada Ngasiman Hadi Susanto, yang diduga sebagai penganut
Ahmadiyah di daerah Langanja II, Sumatra Barat. Dia di usir dari kampung
halamannya karena ada seorang warga Langanja II yang bernama Supriano mengikuti
ajarannya. Keluarga Supriano dan masyarakat yang tidak bisa menerima keadaan
tersebut merusak rumah Ngasiman dan memintanya beserta keluarganya untuk
meninggalkan Langanja II.
Hal serupa juga dialami oleh Keluarga Mln. Ismail
Suparman di Cikeusik, Pandeglang, Banten Selatan. Ketika ada kabar penyerangan
oleh warga, dia dan keluarganya meminta bantuan polisi untuk membantunya. Sesaat
sebelum penyerangan, rombongan polisi tampak bermunculan, tapi tidak lama
kemudian langsung menghilang entah kemana. Alhasil para ahmadi di Cikeusik itu
melawan dengan tangan kosong dan tanpa perlindungan dari pihak kepolisian.
Polisi baru muncul lagi ketika rumah yang ditempati Mln. Suparman sudah ludes
dan tiga orang Ahmadi tewas.
Agaknya SKB yang diturunkan pemerintah
tersebut menjadi semacam pedoman bagi masyarakat untuk melakukan tindakan
anarkis untuk menghancurkan kaum Ahmadi. Adanya aparat kepolisian yang
memudahkan warga dalam melakukan penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah
menunjukkan lemahnya perlindungan hak asasi manusia untuk bebas beragama di
Indonesia. Padahal dalam UUD yang sudah dipaparkan di atas, kebebasan beragama
adalah hak setiap orang dan tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan tindak
kekerasan. Di samping itu, Pasal 28G juga menegaskan bahwa
setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat yang merupakan asasi. Untuk menjawab amanat
Konstitusi tersebut, negara dilengkapi dengan aparatur penegak hukum yang
berfungsi dalam memberikan rasa aman bagi warganya dalam hal ini Kepolisian.
Sayangnya,
aparat yang seharusnya memberi rasa aman kepada semua warga itu juga ikut
melakukan aksi diskriminasi. Seperti yang terlihat pada kasus di Cikeusik.
Polisi bukannya membantu warga yang meminta bantuan tapi malah membantu pelaku
kekerasan dengan membiarkan penyerangan terjadi. Terlebih lagi hanya ada 12
pelaku yang diadili dan dihukum selama 3-6 bulan penjara. Padahal kerusakan
yang terjadi bisa dibilang tidak sedikit dan memakan korban jiwa. Tapi tidak
ada pengusutan yang lebih serius dalam menangani pelaku penyerangan yang belum
berhasil ditindak lanjuti. Kondisi
seperti ini membuktikan bahwa pemerintah sendiri tidak bisa berlaku adil
terhadap warganya.
Diskriminasi terhadap kelompok
minoritas ini tidak hanya terjadi pada penganut Ahmadiyah. Nasib kaum minoritas
lain seperti Kristen, Bahai, Syiah, maupun agama-agama leluhur lain tidak jauh
berbeda. Mereka dipinggirkan oleh kaum mayoritas. Gereja-gereja di sama ratakan
dengan tanah. Pernikahan penganut agama leluhur tidak diakui Negara karena
agamanya tidak tercantum ke dalam KTP, dan anak-anak mereka secara hukum
dianggap sebagai anak haram. Berbagai penyerangan fisik, pengeboman tempat
ibadah, hingga diskriminasi dalam urusan pendidikan dan layanan sosial pun
kerap mereka dapatkan.
Untuk mengatasi masalah diskriminasi
kaum minoritas ini, Pemerintah seharusnya lebih cepat dalam melakukan tindakan
pencegahan. Tercatat bahwa tindak kekerasan terhadap kaum minoritas ini
bertambah tiap tahunnya. Tindakan tegas dari Pemerintah dalam menegakkan hukum
kepada semua warga juga perlu dilakukan. Tidak boleh ada toleransi sedikitpun
terhadap segala jenis tindak kekerasan atas nama agama. Hal ini berlaku untuk
semua warga masyarakat dan semua aparat penegak hukum tanpa terkecuali.
Tulisan ini sebagai persyaratan mengikuti workshop yang diadakan oleh Serikat Jurnalistik untuk pers mahasiswa di Malang