Subscribe:

Sunday 23 October 2016

Sopir Gojek

Hari ini saya ngikutin Mas Agus seharian. Bukan, bukan Agus Suprianto redaktur saya di desk ekonomi bisnis. Tapi Agus Yudhoyono anak sulungnya Pak Susilo Bambang Yudhoyono. Yup, bener! Mas Agus yang lagi nyalon jadi gubernur DKI itu loh.. Yang ganteng banget tapi sayang udah beristri.

Saya hari ini memang ditugaskan untuk meliput kegiatan Mas Agus seharian. Mulai dari Stadion Tugu, Jakarta Utara, Pasar Koja, sampai ke Jatiwaringin, Pondok Gede, Jakarta Timur. Kosan saya di Palmerah, Jakarta Barat. Jauh? Banget!

Berangkat pagi saya sudah kehujanan. Sampai lokasi saya terpaksa harus hujan-hujanan lagi karena acaranya outdoor dan tendanya kecil. Tapi nggakpapa, demi Mas Agus yang ganteng tapi sayang udah beranak, saya rela hujan-hujanan. Asal nanti bisa selfie sama Mas Agus. #eaaa

Saya nggak akan cerita soal Mas Agus hari ini. Saya sudah capek nulis soal dia dari pagi sampai malam. Kalau mau tahu hari ini dia ngapain aja, buka aja di Tempo.co (promosi banget). Saya sudah tulis lengkap mulai dia joget-joget di bawah rintik hujan deras, dia loncat dari panggung, sampai dia ganti baju di mobil. Eh, maaf, yang terakhir nggak saya tulis. Soalnya saya ingin itu jadi konsumsi pribadi saya. Hahaha.

Jadi saya akan bercerita soal Rahman, sopir Gojek yang mengantar saya pulang setelah seharian meliput Mas Agus tadi. Pak Rahman menjemput saya di Pacific Place, SCBD sekira pukul 18.00.

Sepanjang jalan, Pak Rahman mengajak saya ngobrol. Dia rupanya baru seminggu menjadi sopir Gojek. Ia dulunya adalah sales sejak 2008. Tapi karena setahun belakangan sepi pembeli, akhirnya dia beralih profesi jadi sopir Gojek. Laki-laki asal Cengkareng itu sedang ingin pulang. Pantes, dia ngambil orderan saya. Soalnya searah.

"Tadi ada yang mau ke Pondok Gede, nggak saya ambil. Kan saya mau pulang."
"Saya tadi dari Pondok Gede."
"Ngapain, Neng? Main?"
"Kerja, Pak."
"Muka manja gitu bisa kerja?"
Sialan

Lalu Pak Rahman nanya saya kerja apa. Saya jawab saya seorang reporter.
"Reporter sama wartawan itu beda ya?"
"Sama aja."
"Tadi ngeliput apa?"
"Ngikutin Agus Yudhoyono."
"Oh, anaknya SBY?"
"Iya."
"Ngapain diikutin?"
"Kan dia nyalon gubernur."
"Oh, dia nyalon gubernur?"
"Iya, kok nggak tahu sih? Emang Bapak mau milih siapa?"
"Rencananya sih Ahok. Soalnya dia bagus. Sejak dia jadi gubernur, perubahan di Jakarta kerasa banget. Nggak ada pejabat korupsi."

Saya diam saja. Barangkali saya sependapat dengan Pak Rahman. Ahok memang tegas dan keras menentang korupsi. Dia juga disiplin membuat lingkungan Jakarta bersih dan nyaman ditinggali. Saya mengakui ada banyak hal bagus yang dimiliki Ahok. Saya pun, yang kemarin sempat kecewa oleh Ahok, berkeras untuk tetap obyektif.  Bagaimanapun saya tidak ingin membiarkan setitik nila merusak susu sebelanga. Banyak nilai-nilai kebaikan yang dibawa mantan Bupati Belitung itu dibalik sikap arogannya.

"Sayang, dia non muslim."
"Tapi kan dia bersih."
"Iya, gara-gara pejabat nggak ada yang korupsi, mall jadi sepi."
"Apa hubungannya? Emang yang ke mall pejabat doang?"
"Ya nggak. Tapi kan sumber uangnya dari atas. Yang atas ngasih ke bawah."
"Tapi masa orang ke mall nunggu ada pejabat korupsi?"
"Jadi gini lo. Pejabat itu kan korupsi main proyek. Dia terus bangun rumah. Bahan-bahannya beli ke saya. Saya dapat uang terus ke mall deh. Gitu kan uangnya dari atas. Sekarang pejabatnya miskin."
"Bapak ikut miskin ya?"
"Iya, saya jadi bangkrut karena nggak ada yang belanja ke saya lagi."
"Jadi Bapak sedih nggak ada pejabat yang korupsi lagi?"
"Ya setengah-setengah sih. Hahaha."
"Hahaha."

Saya senang ngobrol dengan Pak Rahman. Setidaknya dia menyadarkan saya bahwa pemberdayaan manusia itu penting. Kota boleh saja nyaman ditinggali, asal penghuninya jangan tersesat dalam pikirannya sendiri. Senang dengan gubernur bersih, tapi juga sedih nggak ada pejabat yang korupsi. Gimana itu?

Akhirnya saya sampai di depan kantor Tempo dengan selamat. Saya minta turun di depan kantor Tempo karena kosan saya persis di depannya. Benar-benar cuma tinggal nyeberang jalan. Saya nggak mau Pak Rahman menurunkan saya di depan kosan karena Pak Rahman nantinya harus puter balik. Saya nggak mau dia nanti kehabisan bensin dan nyalahin saya karena dia jatuh miskin. Apa hubungannya? Nggak ada sih. Tapi saya yakin Pak Rahman bisa mencari benang merahnya.


2 comments:

  1. Korupsi ternyata membawa berkah. Semakin banyak koruptor, jadi semakin banyak berita yg bisa diliput. :p

    ReplyDelete
  2. itu betul.. tapi saya lebih seneng ngliput mas-mas ganteng yang ramah dan mau diajak selfie. hahaha

    ReplyDelete