Subscribe:

Thursday, 29 December 2016

Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 1

Lawin, 29 Oktober 2016

Kabut masih tebal ketika aku keluar rumah pagi itu. Rina terlihat membawa handuk dan menenteng ember. Rina itu pemilik rumah yang aku tinggali selama di Lawin. Umurnya 30 tahun. Semalam dia janji mau ngajak aku mandi di sungai.

Aku lihat jam masih pukul 05.00. Mbak Titi dan Lusi masih pulas. Pagi itu dingin banget. Emang paling enak buat ngelungker di kasur. Tapi kabutnya asik. Sayang kalau dilewatin dengan tidur.

Aku gemigil di pekarangan. Padahal sudah pakai jaket gunung. "Enggak jadi mandi, ya. Hehehe," ujarku pada Rina.

Meski urung mandi, aku tetap ikut Rina ke sungai. Aku pingin lihat seberapa arif kehidupan masyarakat adat Cek Bocek Selesek Rensuri. Buatku, kebersihan sungai adalah indikator kearifan sebuah peradaban.

Sungai yang kami tuju enggak jauh dari rumah Rina. Sebelum turun ke sungai, kami melewati kuburan tua yang ditumbuhi rumput tinggi. Di seberangnya, ada tumpukan sampah. Tak sampai menggunung sih, tapi mengganggu pemandangan. Anjing-anjing berkeliaran.

Sungai itu punya dua air mancur yang dimanfaatin masyarakat untuk mengambil air. Setiap pagi, para perempuan berdatangan ke sumber air dengan membawa ember masing-masing. Air itulah yang mereka pakai buat masak, minum, dan kebutuhan sehari-hari. "Kalau pakai air kran, kotor," kata Rina.

Air pancurannya seger banget dan bisa langsung diminum tanpa dimasak. Selain buat kebutuhan sehari-hari, kita boleh mandi di sana. Aku sebenernya pingin njebur ke kali. Tapi aku lagi nggak bawa selendang. Kan percuma aku mandi di kali kalau nggak ada yang nyuri selendangku. Hahaha.

Setelah akhirnya cuma kecipak-kecipuk di kali, aku balik lagi ke rumah sama Rina. Rina bawa seember penuh air yang bakalan dibuat masak seharian ini. Cara bawanya nggak ditenteng loh, tapi disunggi di atas kepala. Seember penuh air di atas kepala! Bayangin deh, bayangin!

Karena penasaran, aku coba pinjem satu ember punya orang. Sama kaya Rina, aku taruh handuk di atas kepala dulu baru di atasnya ditimpa ember. Baru selangkah jalan, ember udah bubar barisan. Padahal isi embernya kosong.

Usut punya usut, ternyata di Cek Bocek bocah usia 7 tahun sudah diajarin buat ambil air dan naruh ember di kepala. Jadi mereka udah bisa nyunggi ember sejak masih ingusan. Ya panteslah kalau aku belum bisa. Kan baru sekali diajarin.

Sampai rumah Rina, Mbak Titi dan Lusi sudah bangun. Kami pun jalan-jalan menyusuri Desa Lawin yang damai.

Antre ambil air
Rina nyunggi ember penuh air
Anjing di kuburan tua


Ada 300 kepala keluarga yang tinggal di Lawin. Meski sudah ada masyarakat yang tinggal di rumah yang terbuat dari batu bata, kebanyakan masyarakat masih tinggal di rumah panggung dari kayu. Ada beberapa dari mereka yang tak fasih berbahasa Indonesia. Fasih pun, logat daerahnya kental sekali.

Di sepanjang penjuru Desa, aku pasti ketemu anjing. Masyarakat sini memelihara anjing untuk diajak berburu rusa ke hutan.


"Mak.. Mak..."
Kami bertiga mencari asal suara. Ternyata Dian yang memanggil-manggil Mbak Titi dari atas rumah panggung. Dian tinggal bareng Beauw ternyata. Btw kalau ada yang nyangka bahwa Dian itu cewek. Maaf sekali anda salah sedikit. Iya, sedikit. Dia adalah laki! Jadi jangan salah paham saat aku bilang dia tinggal bareng sama Beauw yang obviously seorang cowok bule.

Si Dian lagi makan jagung dan ngopi di teras rumah panggung. Aku, Mbak Titi, dan Lusi, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut nimbrung.

Saya lupa siapa nama pemilik rumah itu. Saya inget dia punya anak cewek cakep banget. Dan mereka baik hati karena pas kami bertiga dateng mereka nambahin lagi jagung putih yang rasanya asin tapi enak di piring.


Nongkrong di rumah panggung. In frame: Dian, Lusi, Mbak Titi, Beauw

Jagung putih asin tapi enak
Setelah puas ngopi-ngopi, kami bertiga pamit balik ke rumah karena sebentar lagi konferensi akan mulai lagi. Pas di jalan pulang, kami ketemu dengan tukang sayur keliling yang jualan bawa mobil. Di mobil sayur itu ada bermacam sayur, buah, kerupuk, dan ikan-ikanan.

Desa Lawin yang jauh dari kota dan pesisir itu ternyata mengandalkan pedagang sayur keliling buat belanja sehari-hari. Untuk sayuran sebenarnya mereka bisa ngambil dari ladang sendiri. Tapi variasinya nggak banyak. Mayoritas sawah mereka ditanami padi aja.

Pedagang keliling itu ada di Desa selama dua sampai tiga hari. Tergantung kapan habisnya bahan. Kalau nggak habis-habis, ya bakal lama barangnya nggak diganti baru. Konsekuensinya, masyarakat dapat bahan makanan yang sudah kisut dan nggak segar lagi.

Pedagang sayur keliling

Ikan asap

Ikan yang bisa bertahan sampai tiga hari
Aneka ikan lain

Baca juga
Sumbawa Punya Cerita Day 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 2
Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 1
Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 2



0 comments:

Post a Comment