Subscribe:

Thursday 29 December 2016

Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 1

Sumbawa, 28 Oktober 2016

Hari kedua di Sumbawa, saatnya lebih serius. Konferensi nasional AMAN yang dihadiri oleh puluhan advokat mulai pukul 10.00 WIB di aula hotel sebut saja Melati.

Konferensi itu membahas soal sengketa lahan antara masyarakat adat Sumbawa dengan pemerintah yang sudah menahun. Kalau bahas soal sengketa lahan, tentu nggak akan jauh-jauh dari diskriminasi, kriminalisasi, dan perampasan hak yang melibatkan perusahaan swasta. Apalagi Sumbawa punya tanah yang mengandung emas. Sudah kaya, jauh dari pantauan pusat. You know lah what happen.

Di tengah konferensi, si Lusi dateng. Hahaha. Akhirnya... Selain aku dan Lusi. Ada dua media lokal lain yang ikut meliput. Mereka adalah Munira dari Gaung NTB dan Fathul dari Lombok Post. Kita kenalan dan langsung akrab sebagai sesama wartawan. Lalu kami berfoto dan berjanji untuk keep contact sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Manis kan?


Dari kiri Aku, adeknya Munira, Munira, Lusi, Mbak Titi

Konferensi di Sumbawa Besar berlangsung sampai pukul 12.00 WITA. Agenda pembahasan advokasi bakal dilanjutkan di Desa Lawin, tempat tinggal masyarakat adat Cek Bocek Selesek Rensuri. Alasan ke sana adalah biar sekalian ngobrol dengan masyarakat yang mau diadvokasi dan tinjau lapang. Lokasinya ada di kaki bukit Dhodho, Kecamatan Ropang. Perjalanan dari Sumbawa Besar ke lokasi sekitar 4-5 jam.

Sebelum berangkat, aku, Mbak Titi, Lusi, Dian, dan Beauw makan sate di warung depan hotel. Satenya sih biasa aja. Tapi gulai kambingnya.. dahsyat! Rempahnya kerasa banget. Bikin nagih.

Jam 2 teng kita berangkat ke Lawin. Karena lokasi yang katanya ada di daerah pegunungan, aku sudah ngebayangin kita bakal dianter ke sana naik Hardtop. Ternyata enggak. Kita ke sana naik bus mini yang kalau di Jakarta seukuran Metromini. Dalamnya pun nggak jauh beda sama Metromini. Cuma tempat duduknya lebih empuk.

Ada tiga bus yang terparkir di halaman. Semua berwarna biru dengan corak merah, kuning, oranye, dan hijau. Di sisinya ada tulisan Bintang Selatan dan Putra Lebangkar. Kelak saat sampai di Desa, aku tahu kalau tiga bus ini adalah satu-satunya transportasi umum yang digunakan penduduk yang ingin pergi ke kota. Pemiliknya adalah seorang pedagang dari Desa Lebangkar.

Di bagian sisi pinggir atas bus di pasang besi sebagai ganti bagasi. Berkarung-karung gerabah ada di atas bus.
"Buat apa karung gerabah itu, Pak?" tanyaku pada sopir bus.
"Itu untuk ditebar di jalan. Biasanya kalau becek, bus nggak bisa naik ke atas karena licin," kata Pak sopir. Aku manggut-manggut.

Karung gerabah di atas bus

Penampakan di dalam bus

Narsisnya enggak boleh ketinggalan

Selama satu jam pertama, perjalanan berlangsung gembira. Meski empet-empetan, kami bahagia karena Sumbawa menyuguhkan landscape yang enak dipandang. Hijau dan biru sejauh mata memandang. Kotanya pun nggak macet. Suka lah pokoknya.

Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. Jalan terjal mulai menghadang begitu bus keluar dari kota. Jalan tak lagi aspal. Nggak cuma sekadar jalan berbatu, tapi jalannya juga naik. Beberapa kali bus seperti orang yang sedang mengejan. Bus kami pun sempat berjalan mundur semeter dua meter. Terhitung dua kali kami harus turun dulu untuk membiarkan bus naik ke tanah yang lebih datar.

Kondisi jalan yang luar biasa nggak rata itu pun bikin bus kami beberapa kali miring ke kanan atau ke kiri. Kalau sudah gitu, kami cuma bisa teriak-teriak sambil cari pegangan masing-masing.
"Kalau benar sumber daya alam itu untuk kepentingan rakyat, mestinya jalan ini sudah jadi permadani," celetuk salah satu penumpang. Penumpang lain yang denger cuma bisa ketawa hambar.

Kegaduhan di dalam bus berlangsung seterusnya. Suasana makin seru ketika memasuki sore hari. Kabut mulai turun. Hawa dingin menyusup. Landscape hijau dan biru berubah putih. Ngerih!

Jalan terjal tepi jurang


Kabut di mana-mana

Ada truk mogok bikin macet

Bang, jangan korbanin perasaan Eneng, Bang..


0 comments:

Post a Comment