Subscribe:

Tuesday, 18 October 2016

Jauh

Sudah tiga minggu saya batuk tak kunjung sembuh. Sudah tiga minggu juga saya tidak telepon Mbah Uti. Bukannya nggak peduli, saya cuma nggak ingin mbah khawatir denger saya ngomong sambil batuk-batuk. Mbah kan gitu, gampang khawatir.

Saya sebetulnya kangen banget. Apalagi di saat sakit begini. Haha. Jahat, kangennya kalau pas lagi sakit. Nggak lah, saya selalu kangen sama Mbah Uti bagaimanapun kondisi saya. Sebagai cucu yang tinggal sama Mbah Uti sejak kecil, Mbah itu seperti ibu kedua. Kadang malah rasanya seperti ibu pertama.

Saya masih ingat kalau lagi sakit, Mbah suka mijitin saya sampai tidur. Suka bikinin ramuan-ramuan yang mujarabnya bisa ngalahin obat dokter. Mbah akan masakin apapun yang saya mau asal saya mau makan. Dan entah bagaimana saya selalu gendut kalau disuapin sama Mbah Uti. Tapi emang sih masakan Mbah itu nggak ada yang bisa nyaingin. Nggak cuma itu! Mbah itu juga suka ngasih advice gitu lho kalau tahu saya berantem sama pacar. Serius!

Hari ini saya iseng buka google map. Saya sebenarnya cuma ingin lihat seberapa jauh jarak Jakarta dengan Banyuwangi. Ternyata jauh. 1054 kilometer. Bisa ditempuh 20 jam 37 menit dengan naik mobil tanpa berhenti. Atau sembilan hari dengan jalan kaki nggak pake istirahat. Bisa sih naik pesawat. Tapi kan.. you know lah.....

Jauuuuuuuh

Saya lalu mencari jalanan rumah Mbah Uti. Waktu saya ketik Jalan Nuri Genteng, muncul titik merah beserta street view. Kemudian saya buka foto street view itu. Daaan... jreng jreeeeng...... ADA MBAH UTI! Yeeeeey.... Mbah uti masuk google maaaaps!! *tepuk tangan

Saya yakin banget itu Mbah Uti karena dia pake daster dan penutup kepala yang biasa dipakai. Di foto itu Mbah lagi duduk di teras sambil pegang tampah yang isinya seperti nasi. Mbah emang suka menjemur sisa nasi untuk dijadikan karak lalu dijual.

Saya nggak tahu itu foto diambil kapan. Tapi saya senang bisa lihat mbah masih beraktifitas seperti biasa. Mbah kelihatan sehat. Dan itu cukup bikin baper pingin telepon.

Mbah Uti nongol di street view google maps!

Akhirnya tadi saya telepon Mbah Uti. Saya bicara agak keras karena kata Ibu, Mbah sudah agak kurang peka pendengarannya. Dari nada bicaranya Mbah sepertinya sehat-sehat saja. Dia bilang baru saja makan mie dan sedang tiduran sambil nonton TV.

"Kok makan mie, Mbah?"
"Males masak, cuma ada sayur. Yawis tak campur mie."
"Budhe nggak ngirim?"
"Nggak, aku bosen makan telur. Gatel." Kata Mbah Uti Budhe kalau ngirim masakan menunya selalu telur.
"Mbah masih suka gatal?"
"Kalau makan ya gatel."
Mbah Uti dulu pernah alergi telur, ayam, ikan, dan sejenisnya. Dulu itu gara-gara kesalahan pakai obat oles kalau nggak salah.
"Di sini sepi, orang-orangnya sudah pergi semua."

Dulu saat saya masih kuliah, lingkungan rumah mbah uti ramai. Tetangga-tetangga masih punya hubungan kerabat dengan kami. Lalu satu per satu mulai pergi. Mbah Nah, De Yah, dan Ulfa sudah meninggal. Mbak Ani dan keluarganya pindah rumah. Tinggal Mbah Uti bersama pasangan Mbah Marmi dan Mbah Ben orang tua yang tersisa.

"Nanti kalau Mbah meninggal, ya kosong,"
"Jangan meninggal Mbah.."
Mbah tertawa

Saya sering meminta Mbah Uti untuk ikut Ibu atau Budhe saja. Biar tidak sendirian di rumah. Tapi dia menolak. Katanya lebih enak tinggal di rumah sendiri.

Kami bicara hampir satu jam untuk membahas pian rumah bocor, Lek No si tukang becak yang masih jadi tukang becak, hingga Pak Pos yang suka mengantar uang pensiunan almarhum Mbah Kung. "Sekarang ongkos kirimnya naik 40 ribu," kata Mbah.

Benar kata Ibu, Mbah rupanya sudah susah mendengar. Kadang apa yang saya katakan dijawab dengan tidak nyambung. Tapi saya bersyukur masih bisa dengar suara Mbah Uti.

"Doakan Mbah sehat terus ya, biar bisa lihat kamu," kata Mbah Uti menutup perbincangan kami sore ini. Kalimat Mbah yang ini, entah bagaimana membuat saya mewek. Mbah Uti terdengar seperti orang tua yang menunggu anaknya pulang.

Barangkali Mbah yang sudah sepuh itu berharap saya ada di rumah saja untuk menemaninya. Barangkali Mbah Uti ingin saya memasakkan makanan untuknya. Atau mungkin Mbah ingin ada cucu yang tidur di sampingnya ketika dia mengeluh sakit pinggang. Saya juga mengira Mbah Uti butuh teman untuk diajak ngobrol sambil menjemur nasi.

Apakah Mbah Uti rindu saya? Kata orang, rindu orang tua selalu lebih besar dari yang dirasakan anaknya. Tapi Mbah Uti selalu bilang, "Kamu sepertinya sudah kerasan. Semoga betah ya, Ndug." Mbah Uti tak pernah sekalipun menyuruh saya pulang. Dia selalu mendoakan saya untuk terus hidup sehat dan ceria. Seolah tak apa-apa saya jauh dari dia selama saya senang.

Saya mengakhiri telepon dengan batuk-batuk. Mbah Uti yang mendengarnya seperti khawatir.
"Coba kamu di sini, Mbah bikinin jamu bunga blimbing."
"Sana minum air hangat diberi garam sedikit."
"Apa Mbah kirimin jeruk nipis? Nanti kamu peres kasih kecap."

Mungkin memang benar bahwa orang tua seyogyanya tak pernah ingin jauh dari anaknya, seberapapun egois anaknya ingin menjelajah sejauh-jauhnya.




Jakarta, saat sedang libur kerja

0 comments:

Post a Comment