Lawin, 29 Oktober 2016
Aku baru mau masuk rumah ketika ada suara bapak-bapak yang memanggilku. Ternyata itu suara Pak (sebut saja) Binjai. "Sini mampir sebentar," katanya.
Pak Binjai adalah tetangga Rina. Jadi ceritanya semalam pas aku lagi nonton tivi bareng Rina dan suaminya, ada dua orang tetangga yang datang. Namanya Pak Rahman dan Pak Binjai. Kami ngobrol banyak banget soal kehidupan masyarakat adat di situ.
Pak Rahman ini bisa dibilang tokoh aktivis. Dia sering banget ikut demo buat ngrebut tanah adat masyarakat Cek Bocek. Lahan ulayat mereka ada di Hutan Dhodho. Sudah lama lahan itu dikasih pemerintah ke perusahaan tambang emas Newmont untuk dikelola. Makanya masyarakat adat menolak dan kerap bentrok dengan aparat.
Nah, kalau Pak Binjai, dia ini tipe orang yang enggak mau ribut. Dia enggak mau ikut-ikutan demo buat ngambil hak ulayatnya. Katanya dia sudah kaya. Anaknya punya tambang emas sendiri. Selain Newmont, rakyat ternyata bisa menambang emas sendiri. Mereka menyebutnya tambang rakyat. Tempatnya di Rinti. Tapi alat pertambangan mereka masih sederhana banget. Dan ngebornya juga enggak bisa terlalu dalam. Enggak kaya punya investor yang sekali ngeruk langsung bikin tanah bolong gede.
"Saya pingin punya mantu yang tinggal di Jakarta. Biar saya bisa sering ke Jakarta," kata Pak Binjai tetiba.
"Anak saya hidupnya sudah enak. Kalau kamu mau, besok saya kenalin. Mampir ya ke rumah," kata Pak Binjai lagi. Ternyata dia ngomong sama aku.
Aku enggak berani nolak, tapi juga enggak berani bilang iya. "Ya, namanya jodoh kan siapa yang tahu," katanya maksa banget. Aku akhirnya cuma ketawa aja.
Pembicaraan berlanjut dengan Pak Binjai yang menginterogasi latar belakangku. Mulai dari soal kuliah, kerjaan, sampai keluarga dia tanyain. Udah kaya ditanya-tanya sama calon mertua gitu. Yang lain cuma ngikik-ngikik ngeliat aku salah tingkah ditanya macem-macem sama Pak Binjai.
Setelah beberapa lama akhirnya aku diselamatkan oleh Pak Rahman yang kepo sama Beauw, si cowok bule yang menyedot perhatian orang sekampung. Kata dia, selama ini baru Beauw satu-satunya bule yang pernah datang ke sana. Sontak lah, orang-orang udah pada kaya lihat alien. Kemanapun bule pergi, selalu ada mata yang enggak kedip. Dia pun jadi rebutan warga yang minta poto bareng.
"Dia dari mana?" tanya Rina.
"Dari Australia, dia relawan di AMAN."
"Oh, dari Australia.. Saya kira dari bule," kata Pak Rahman.
Hahaha
"Iya, dia bule dari Australia."
"Oooh.." Pak Rahman mukanya lempeng.
"Maklum ya, orang desa," kata Rina kepadaku sambil ngakak.
Malam sudah makin larut. Karena besoknya masih banyak agenda, aku pamit untuk tidur duluan. Sebelum masuk kamar, Pak Binjai kode-kodein aku biar besok datang ke rumahnya. "Anak saya besok ada di rumah seharian," katanya.
Jadi saat dia manggil aku pagi itu, aku yakin banget anak Pak Binjai sudah nungguin di rumahnya. Wah, jangan-jangan dia serius. "Sebentar ya, Pak. Mandi dulu!" kataku sambil nyelonong masuk rumah. Selesai mandi, aku lari ke balai tempat konferensi nasional berlangsung.
Konferensi nasional yang sebelumnya dimulai di Sumbawa dilanjutkan hari ini. Bertempat di balai pertemuan, semua advokat AMAN dan kepala-kepala suku adat berkumpul pagi itu. Mereka membahas masalah sengketa lahan di wilayah adat masing-masing.
Aku, Lusi, Mbak Titi, dan Fathul, enggak ikut acara sampai kelar. Kami punya acara sendiri dengan menculik salah satu anggota advokasi AMAN, Febri Anindita untuk diwawancara. Kami lalu keliling untuk wawancara masyarakat dan menunggu sampai waktu istirahat untuk bisa wawancara kepala suku.
Sorenya, kami berempat jalan-jalan keliling desa. Karena aku harus salat ashar dulu, akhirnya aku terpisah dari rombongan. Aku pun menjelajah desa seorang diri dan berakhir dengan nyasar.
Awalnya aku mau nyari Lusi cs. Tapi kemudian aku memutuskan untuk mencari satu-satunya sekolah dasar yang ada di Lawin. Aku tanya ke sana ke mari di mana letak SD. Kupikir aku sudah menuju ke arah yang tepat sampai aku menyadari bahwa aku tersesat. Aku jalan keluar permukiman dan terbelasuk ke sungai pinggiran hutan.
Agak ngeri sih. Soalnya waktu sudah hampir senja. Langitnya gelap. Enggak mau terjadi hal-hal yang ajaib, aku memutuskan balik kanan.
Di jalan pulang yang makin nyasar, aku ketemu dengan seorang bapak bernama Sopan. Dia baik hati banget karena mau ngantar aku ke lokasi SD Negeri Lawin. Mungkin dia kasihan.
Sampai di SD, sepi banget. Iya lah, sudah sore. SD Negeri Lawin bukan cuma satu-satunya sekolah dasar yang ada di Cek Bocek, melainkan juga satu-satunya sekolah. Jadi kalau mereka mau lanjut ke SMP, mereka harus jalan jauh ke Ropang. Mau lanjut SMA juga harus jalan lebih jauh lagi.
SD Negeri Lawin |
Puas lihat-lihat kondisi sekolah, kami pulang. Sepanjang jalan Pak Sopan banyak cerita soal kerjaannya. Dia ternyata juga salah satu penambang emas di tambang rakyat Rinti. Di kelompoknya ada 10 orang penambang dalam satu lubang. Dalam seminggu penghasilannya bisa sampai Rp 30 juta. Woooow. Daaeeebak. Padahal mereka cuma make alat bor seadanya loh. Lubang yang ditinggalin juga enggak dalem-dalem banget. Gimana dengan investor yang alatnya udah canggih? Pasti dahsyat pendapatannya.
"Pak, di sini ada kuda enggak?" tanyaku tetiba.
"Saya punya kuda,"
"Ada di mana?"
"Di sawah,"
"Lihaaaaaat,"
"Ayok saya antar,"
Yeeaay!
Sawah yang dimaksud Pak Sopan enggak jauh dari SD. Di sana ada banyak banget kuda yang dibiarkan berkeliaran tanpa tali. Kuda-kuda itu semua peliharaan warga. "Enggak takut lari, Pak?"
"Enggak, kalau mereka nyasar ke hutan, pasti ada yang ngantar pulang," katanya mantap.
Pak Sopan mendekati kuda betina warna putih yang dia kasih nama Manis. Kelihatannya jinak. Lalu dia menyuruhku untuk ngelus-ngelus surainya. Lembut.
"Boleh naik enggak?" semakin ngelunjak.
Laki-laki berusia 40 tahun yang ngaku-ngaku masih 29 tahun itu lalu memegangi leher si Manis biar aku bisa naik. Karena enggak ada pelana dan tali, aku enggak berani jalan jauh-jauh. Takut jatuh.
Naik kudaaaa |
Sekitar pukul 19.00 WITA, aku pulang ke rumah Rina. Aku lihat orang-orang pada ngumpul di teras. "Ini dia.... Akhirnya pulang."
"Kamu ke mana aja, Maya? Kami mengkhawatirkanmu,"
"Kami cari kamu ke mana-mana enggak ada. Nyasar pasti anak ini,"
"Aku habis naik kuda. Hehehe."
Muka mereka langsung sebel. Haha.
Rina sudah menyiapkan makan malam untuk kami. Lusi, Mbak Titi, dan Bang Fathul juga belum makan gara-gara nunggu aku. Aku enggak berani bilang sudah makan bareng Febri. Jadi aku ikut mereka makan lagi.
Sebenarnya aku masih punya waktu semalam lagi di Lawin. Tapi karena pesawat ke Lombok terbangnya siang, Mbak Titi enggak mau ambil resiko kita ketinggalan pesawat (trauma drama Lusi). Maklum ya jalan dari Lawin ke Sumbawa lama banget. Takutnya subuh kita nggak ada yang bangun.
Akhirnya dengan sedih kami pamitan malam itu juga. Kami berempat balik ke Sumbawa diantar pakai Hardtop punya penduduk. Kembali melewati jalan terjal dan berulang kali merasakan sensasi mobil mundur. Bedanya adalah perjalanan pulang kami dilakukan saat malam. Saat gelap dan kabut semakin pekat.
Baca juga
Sumbawa Punya Cerita Day 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 1
Sumbawa Punya Cerita Day 2 Part 2
Sumbawa Punya Cerita Day 3 Part 1