Subscribe:

Monday, 3 August 2015

Sebuah Harapan untuk Berpisah


Ada sebuah penyesalan ketika saya membaca status BBM Nova yang berbunyi, “Ceritanya lagi forum advokasi di sekret PPMI.” Saya menyesal tidak bisa berada di antara mereka yang hadir dalam forum tersebut. Saya menyesal karena harus lulus lebih dulu. Saya menyesal karena telah pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata. Tanpa sebutir jejak.

***

Saat itu saya masih menjabat sebagai pengurus dalam Divisi Iklan dan Usaha dalam LPMM ALPHA. Mas Budi yang kala itu menjabat sebagai PU mengajak saya pergi ke PJTD entah LPM apa di Bangsalsari. Malam itu kami pergi berempat. Mas Budi dengan Laily, saya dengan Mbak Tutut. Di sanalah untuk pertama kalinya saya mengenal apa itu Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) bukan dalam teori. Saya akhirnya tahu tradisi itu juga ada dalam PPMI. Bahwa jika ada LPM yang punya hajat, LPM lain harus ikut rewang. Maka malam itu kami berempat menginap di sana. Bantu rewang menghabiskan makanan.

Suatu hari saya pergi lagi ke PJTD entah LPM mana lagi. Niat insun mau rewang menghabiskan makanan lagi. Saya masih membonceng Mbak Tutut, tapi sepertinya Mas Budi sendirian. Pagi itu saya berkenalan dengan Lemper, anggota LPMS Ideas. Mbak Tutut terlihat sudah akrab dengan Sarip, dari LPM Millenium. Lainnya saya lupa, sebab hanya dua manusia lucu itu yang sukses meninggalkan jejak dalam ingatan.

Lalu ketika saya sedang berbincang di sebuah bhuk bersama kawan-kawan, tiba-tiba muncul laki-laki memakai celana warna krem kedodoran. Badannya yang kurus membuat kaos warna pinknya terlihat sangat kendor. Disampirnya selendang dengan serampangan di kepalanya yang gondrong awut-awutan. Saya yang mulanya kalem jadi sedikit waspada, “Kok ada gembel di sini?” Lalu ada yang memberitahu bahwa dia bernama Sadam, anggota LPMS Ideas. Hahaha. Saya ingat tidak bisa menahan tawa saat itu.

Setelah itu saya ketagihan main keluar. Saya yang sebelumnya pendiam jadi suka ngeluyur saat LPM-LPM itu mengadakan acara. Pelatihan menulis, diskusi, nobar, bedah buku, dan lain-lain. Tak jarang mereka mengada-adakan acara walaupun isinya hanya ngopi bareng atau main futsal. Namun saya pikir, ada maksud di balik itu. Ada ampas di dalam kopi yang pekat.

Di akhir tahun 2012, saya mengikuti PJTL di Semarang bersama Mas Ulil (Ideas), Indah (Aktualita), Ani (Ecpose), Siska (Ecpose), Rez (Ecpose), dan Elya (Tegalboto). Kami diantar oleh Mas Cetar yang menjadi Sekjend Kota Jember kala itu dan juga Yunus dari Plantarum. Pengetahuan saya tentang PPMI jadi bertambah luas. Saya bertemu banyak orang keren. Salah satunya Julia Hartini (Isolapos) yang puisinya sudah dimuat di media mana-mana. Saya juga bertemu dengan Mas Defy, Sekjend PPMI Nasional yang sekarang jadi pacar sahabat saya, Erin.

Tahun berikutnya saya pindah jabatan ke Divisi Redaktur Media. Saya merasa kurang berpengalaman dalam hal tulis menulis. Untung saja saat itu saya ngefans dengan Mas Ulil, yang saat itu menjabat sebagai pemimpin redaksinya IDEAS. Jadi saya suka diam-diam minta pendapat tentang tulisan saya. Hahaha. Selain itu saya juga suka bertanya pendapat kepada Elya.

Memang, LPM terdekat yang paling produktif menurut saya adalah Ideas dan Tegalboto. Saya jadi suka belajar dengan mereka. Ecpose sebenarnya juga, tapi sepertinya saya terlalu mengeksklusifkan diri untuk dekat-dekat. Millenium dan Explant terlalu jauh untuk disambangi. Saya jarang ketemu dengan anggota Pijar, Freedom, Caninus, Prima, Imparsial, Lingkar, dan Sinvesta. Untuk Aktualita, mereka lebih handal dalam fotografi. Lalu entah bagaimana saya punya perasaan kuat untuk bercanda dengan Plantarum dan Manifest. Begitulah, tiap LPM dalam PPMI memiliki kharismanya masing-masing.

Lalu tiba hari dimana Sadam diangkat menjadi Sekjend Kota Jember menggantikan Mas Cetar. Di malam pemilihan itu saya berjanji mewakili ALPHA untuk membackup kinerja Sadam selaku Sekjend yang baru. Akhirnya saya pun terpilih menjadi Biro Umum di kepengurusan PPMI tahun 2014-2016.

Awal tahun 2014 saya masih suka ikut rapat dan ngumpul bareng teman-teman pengurus. Memasuki bulan ke empat, saya mulai jarang setor muka. Saat itu saya sudah memasuki semester akhir dan sedang menempuh skripsi. Tak heran kalau orang tua menyuruh saya lekas menyelesaikan masa studi. Dengan sedih akhirnya saya meninggalkan semua kegiatan di persma.

Disitulah awal mula penyesalan itu datang. Saya terlalu asik mengejar lulus. Saya merasa telah meninggalkan PPMI walaupun tak pernah melupakan. Beberapa kali saya ingin mencoba bicara dengan Sadam. Saya ingin minta maaf dengan kondisi saya. Ingin membicarakan tentang solusi untuk tugas-tugas saya yang terbengkalai. Tapi obrolan itu tak pernah terjadi. Sadam hanya pernah bilang kurang lebih begini, “Saya nggak mau marah sama kamu. Kalau kamu merasa punya tanggung jawab, seharusnya kamu tahu apa yang harus dilakukan.”

Tapi saya terlalu bersikap kekanakan dan malah merasa ditinggalkan. Barangkali itu kesalahan saya. Lantas saya menjadi semakin jauh. Ada perasaan takut, tidak enak, sungkan, dan sebagainya. Saya gelisah hingga hari kelulusan itu tiba. Lalu saya pergi tanpa meninggalkan jejak yang pantas dikenang.

Hingga hari ini, penyesalan itu tak juga reda. Kadang saya rindu dan ingin menyapa kawan-kawan saya di PPMI. Sejujurnya saya masih ingin menjadi bagian dari mereka. Kalau bisa, saya ingin menebus kesalahan saya di masa itu. Sebagai rasa terima kasih dan untuk membalas budi. Sebab apa yang membentuk saya hari ini tak lepas dari pengalaman yang pernah kami lewati bersama. Tapi siapalah saya? Saya hanya seorang yang tak bisa dibebani tanggung jawab.

Akhirnya saya hanya membisu. Sambil diam-diam menanyakan kabar mereka pada beberapa kawan. Terkadang saya masih suka membaca chatt teman-teman PPMI di Grup Whatsap. Mencoba mencari celah untuk menemukan apa yang bisa saya lakukan untuk orang-orang keren itu. Atau mungkin hanya sekedar menyampaikan perpisahan dengan layak.

0 comments:

Post a Comment