Ada sebuah
penyesalan ketika saya membaca status BBM Nova yang berbunyi, “Ceritanya lagi
forum advokasi di sekret PPMI.” Saya menyesal tidak bisa berada di antara
mereka yang hadir dalam forum tersebut. Saya menyesal karena harus lulus lebih
dulu. Saya menyesal karena telah pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata. Tanpa
sebutir jejak.
***
Saat itu
saya masih menjabat sebagai pengurus dalam Divisi Iklan dan Usaha dalam LPMM
ALPHA. Mas Budi yang kala itu menjabat sebagai PU mengajak saya pergi ke PJTD
entah LPM apa di Bangsalsari. Malam itu kami pergi berempat. Mas Budi dengan
Laily, saya dengan Mbak Tutut. Di sanalah untuk pertama kalinya saya mengenal
apa itu Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) bukan dalam teori. Saya
akhirnya tahu tradisi itu juga ada dalam PPMI. Bahwa jika ada LPM yang punya
hajat, LPM lain harus ikut rewang. Maka malam itu kami berempat menginap di
sana. Bantu rewang menghabiskan makanan.
Suatu hari
saya pergi lagi ke PJTD entah LPM mana lagi. Niat insun mau rewang menghabiskan
makanan lagi. Saya masih membonceng Mbak Tutut, tapi sepertinya Mas Budi
sendirian. Pagi itu saya berkenalan dengan Lemper, anggota LPMS Ideas. Mbak
Tutut terlihat sudah akrab dengan Sarip, dari LPM Millenium. Lainnya saya lupa,
sebab hanya dua manusia lucu itu yang sukses meninggalkan jejak dalam ingatan.
Lalu ketika
saya sedang berbincang di sebuah bhuk bersama
kawan-kawan, tiba-tiba muncul laki-laki memakai celana warna krem kedodoran.
Badannya yang kurus membuat kaos warna pinknya terlihat sangat kendor.
Disampirnya selendang dengan serampangan di kepalanya yang gondrong
awut-awutan. Saya yang mulanya kalem jadi sedikit waspada, “Kok ada gembel di
sini?” Lalu ada yang memberitahu bahwa dia bernama Sadam, anggota LPMS Ideas. Hahaha. Saya
ingat tidak bisa menahan tawa saat itu.
Setelah itu
saya ketagihan main keluar. Saya yang sebelumnya pendiam jadi suka ngeluyur
saat LPM-LPM itu mengadakan acara. Pelatihan menulis, diskusi, nobar, bedah
buku, dan lain-lain. Tak jarang mereka mengada-adakan acara walaupun isinya
hanya ngopi bareng atau main futsal. Namun saya pikir, ada maksud di balik itu.
Ada ampas di dalam kopi yang pekat.
Di akhir
tahun 2012, saya mengikuti PJTL di Semarang bersama Mas Ulil (Ideas), Indah
(Aktualita), Ani (Ecpose), Siska (Ecpose), Rez (Ecpose), dan Elya (Tegalboto).
Kami diantar oleh Mas Cetar yang menjadi Sekjend Kota Jember kala itu dan juga
Yunus dari Plantarum. Pengetahuan saya tentang PPMI jadi bertambah luas. Saya
bertemu banyak orang keren. Salah satunya Julia Hartini (Isolapos) yang
puisinya sudah dimuat di media mana-mana. Saya juga bertemu dengan Mas Defy,
Sekjend PPMI Nasional yang sekarang jadi pacar sahabat saya, Erin.
Tahun
berikutnya saya pindah jabatan ke Divisi Redaktur Media. Saya merasa kurang
berpengalaman dalam hal tulis menulis. Untung saja saat itu saya ngefans dengan
Mas Ulil, yang saat itu menjabat sebagai pemimpin redaksinya IDEAS. Jadi saya suka diam-diam minta pendapat
tentang tulisan saya. Hahaha. Selain itu saya juga suka bertanya pendapat
kepada Elya.
Memang, LPM
terdekat yang paling produktif menurut saya adalah Ideas dan Tegalboto. Saya
jadi suka belajar dengan mereka. Ecpose sebenarnya juga, tapi sepertinya saya
terlalu mengeksklusifkan diri untuk dekat-dekat. Millenium dan Explant terlalu
jauh untuk disambangi. Saya jarang ketemu dengan anggota Pijar, Freedom,
Caninus, Prima, Imparsial, Lingkar, dan Sinvesta. Untuk Aktualita, mereka lebih
handal dalam fotografi. Lalu entah bagaimana saya punya perasaan kuat untuk
bercanda dengan Plantarum dan Manifest. Begitulah, tiap LPM dalam PPMI memiliki
kharismanya masing-masing.
Lalu tiba
hari dimana Sadam diangkat menjadi Sekjend Kota Jember menggantikan Mas Cetar.
Di malam pemilihan itu saya berjanji mewakili ALPHA untuk membackup kinerja Sadam selaku Sekjend yang baru. Akhirnya saya pun
terpilih menjadi Biro Umum di kepengurusan PPMI tahun 2014-2016.
Awal tahun
2014 saya masih suka ikut rapat dan ngumpul bareng teman-teman pengurus.
Memasuki bulan ke empat, saya mulai jarang setor muka. Saat itu saya sudah
memasuki semester akhir dan sedang menempuh skripsi. Tak heran kalau orang tua
menyuruh saya lekas menyelesaikan masa studi. Dengan sedih akhirnya saya
meninggalkan semua kegiatan di persma.
Disitulah
awal mula penyesalan itu datang. Saya terlalu asik mengejar lulus. Saya merasa
telah meninggalkan PPMI walaupun tak pernah melupakan. Beberapa kali saya ingin
mencoba bicara dengan Sadam. Saya ingin minta maaf dengan kondisi saya. Ingin
membicarakan tentang solusi untuk tugas-tugas saya yang terbengkalai. Tapi
obrolan itu tak pernah terjadi. Sadam hanya pernah bilang kurang lebih begini,
“Saya nggak mau marah sama kamu.
Kalau kamu merasa punya tanggung jawab, seharusnya kamu tahu apa yang harus
dilakukan.”
Tapi saya
terlalu bersikap kekanakan dan malah merasa ditinggalkan. Barangkali itu
kesalahan saya. Lantas saya menjadi semakin jauh. Ada perasaan takut, tidak
enak, sungkan, dan sebagainya. Saya gelisah hingga hari kelulusan itu tiba.
Lalu saya pergi tanpa meninggalkan jejak yang pantas dikenang.
Hingga hari
ini, penyesalan itu tak juga reda. Kadang saya rindu dan ingin menyapa
kawan-kawan saya di PPMI. Sejujurnya saya masih ingin menjadi bagian dari
mereka. Kalau bisa, saya ingin menebus kesalahan saya di masa itu. Sebagai rasa
terima kasih dan untuk membalas budi. Sebab apa yang membentuk saya hari ini
tak lepas dari pengalaman yang pernah kami lewati bersama. Tapi siapalah saya?
Saya hanya seorang yang tak bisa dibebani tanggung jawab.
Akhirnya
saya hanya membisu. Sambil diam-diam menanyakan kabar mereka pada beberapa
kawan. Terkadang saya masih suka membaca chatt
teman-teman PPMI di Grup Whatsap. Mencoba mencari celah untuk menemukan apa
yang bisa saya lakukan untuk orang-orang keren itu. Atau mungkin hanya sekedar
menyampaikan perpisahan dengan layak.
0 comments:
Post a Comment