Memakai
kemeja warna violet dan rok hitam panjang membuatnya tampak rapi. Diambilnya sepatu
fantovel milik ibunya lalu dipasang di kakinya. Tas kulit cokelat pemberian
budhenya sudah penuh dokumen-dokumen yang terbungkus dalam amplop-amplop besar.
Diambilnya tas itu setelah mengecek jumlah amplop yang berada di dalamnya. Ada
10. Seperti tak puas dengan dandanannya hari ini, ia kembali bercermin. Lama ia
berdiri di depan cermin dalam kamar itu. Rautnya layu, tapi harus. Perasaannya
masih menolak percaya bahwa ia mengambil keputusan ini. Hari ini, ia memutuskan
untuk menyerah pada realita.
Malam
sebelumnya, gerimis begitu awet mengguyur kampung halamannya. Tidak ada yang
bisa dilakukan selain berdiam diri di rumah. Meski tanpa gerimis, keluarga itu
juga tidak bisa melakukan apa-apa. Jumlahnya kini empat, bapak, ibu, dia-anak
pertama, dan anak ketiga. Anak keduanya tinggal di luar kota untuk sekolah.
Mereka lapar. Bapak yang akan memasak malam itu. Ibu menyuruhnya membeli
kerupuk di warung. Setelah beras terakhir yang dimasak matang, barulah mereka
berkumpul di ruang makan. Karena terlalu sedikit, nasi dibagi ke dalam dua
piring. Bapak makan dengan anak pertama, ibu dengan anak ketiga. Lauknya adalah
sambal dan kerupuk.
Untuk
diketahui, wahai pembaca, sang bapak dalam keluarga itu sedang tidak bekerja.
Bekerjanya per proyek. Tidak ada pesanan berarti tidak membawa nasi ke rumah.
Dan kini mereka sedang terlilit hutang karena si kepala keluarga coba-coba
beristri dua. Sedang istri mudanya adalah seorang wanita materialistis. Tentu
bisa ditebak apa yang terjadi kemudian. Sepeda motor dan barang berharga
lainnya sudah lenyap satu persatu. Tinggal tunggu waktu hingga semua tabungannya
turut menjadi kenangan. Untung saja istri tuanya tabah. Dia mencoba sampai batas
kemampuan untuk mencari nafkah demi rumah tangganya yang nyaris hancur.
Berjualan es dan sayur sop yang bakal
dititipkan di warung tetangga. Sedang ini
adalah musim hujan. Siapa ibu bocah yang sudi memberikan uang pada
anaknya untuk membeli es? Dan sayur sop? Duh, Gusti.. bakso dan mie ayam panas
jelas lebih menggoda di hawa yang begini menusuk.
Harapan
keluarga itu kini diserahkan seluruhnya pada si anak nomer satu. Sayang beribu
sayang, dibesarkan dalam lingkungan yang tidak harmonis, si anak tumbuh menjadi
seorang pembangkang. Dia tak mau cari kerja. Dia maunya hanya tidur dan merapal
mimpi siang bolong. Keras kepala dan melakukan semau apapun yang tak pernah
dimengerti orang tuanya. Ada mimpi yang ingin diwujudkan, dan bagi orang
tuanya, mimpi itu hanyalah mimpi. Tidak bisa diwujudkan. Tapi ia terlalu keras
kepala untuk jadi penurut. Orang tua mana yang tidak kecewa melihat anak yang
dibesarkan tumbuh tidak sesuai dengan harapan? Ditambah omongan orang-orang
kampung yang masuk ke hati mereka. Satu dua tetangga mencibir, tapi ia tidak
peduli. Ibu bapaknya semakin resah menghadapi anaknya yang tidak mau dibujuk.
“Ndug, tak
usahlah pandang bulu cari kerja. Mana yang kena duluan, itu sudah yang
diambil.”
“Aku sudah
kerja, Bu. Kenapa harus cari lagi?”
“Kamu itu
sudah di sekolahkan, masak kerjanya cuma mimpi?”
“Ini mimpi
yang sedang kuusahakan jadi nyata, Ibu.”
“Kamu itu
bisanya cuma lihat ke atas. Lihat yang sudah sukses. Cobalah lihat yang
dibawah! Merintis usaha itu tidak gampang, Ndug.”
“Bu, hal yang
besar itu tidak mungkin ada tanpa hal yang kecil. Aku tidak akan punya sesuatu
yang besar tanpa melewati yang kecil dulu.”
“Tapi Ibu
pinginnya anak ibu kerja yang enak sekarang. Punya gaji tetap. Biar bisa
dicontoh sama adik-adikmu.”
“Kalau
akhirnya aku memang harus jadi pegawai, aku tidak mau jadi contoh adik-adik.
Aku maunya mereka jadi bos, bukan pegawai sepertiku.”
Ibu diam
“Sudahlah,
Bu. Tidak usah ibu dengarkan kata tetangga. Mereka bisanya cuma komentar.”
Ibu diam
“Aku mau
jual kentang goreng.”
Ibu
menangis.
Pertengkaran
demi pertengkaran menambah buruk situasi. Antara ibu dan bapak, ibu dan anak,
bapak dan anak, juga antar anak. Bapak yang dimusuhi kedua istrinya berniat
minggat dari rumah. Si Ibu rumah tangga hanya bisa menangis dan membangunkan anak-anaknya
tengah malam untuk menemaninya. Sambil tetap membuat es dan sayur sop di siang
hari dimana anak pertamanya hanya bermimpi-mimpi. Si Ibu malang, punya suami berhati
dua, punya anak tak berguna.
Lalu
datanglah bencana, atau anugerah itu. Hari dimana si bapak menjual satu-satunya
sepeda motor yang biasa digunakan untuk mencari nafkah. Sepeda motor yang
digunakan untuk pergi seminggu ke rumah istri muda dan seminggu ke rumah istri
tua. Sejak hari itu, si kepala rumah tangga sudah menetap lagi di rumah
keluarga pertamanya. Betapa bahagianya untuk memiliki bapak secara utuh,
sekaligus betapa pusingnya memikirkan hutang-hutang yang bunganya semakin mekar
setiap bulan.
Kini dalam keluarga
itu, tidak ada yang lebih indah daripada terkurung dalam gerimis dan makan
sepiring berdua dengan lauk sambal dan kerupuk. Pada malam-malam seperti itu,
umpat dan tangis tak lagi terdengar. Hanya bunyi kriuk kerupuk dan decak
kepedasan yang beradu dengan bunyi gerimis menghujam genting. Dan itu sudah
menjadi pertanda bahwa maaf sudah ditebar dalam diam. Mereka tahu, malam
terlalu singkat jika hanya dihabiskan untuk membicarakan pertengkaran kemarin
sore. Akhirnya setelah puluhan tahun, keluarga itu merela hidup dalam takdir
pahit yang harus mereka jalani.
Kini anak nomer
satu mereka yang tumbuh tidak sesuai harapan sudah bangun dari tidur siangnya.
Ia menyadari ada tangan-tangan tidak terlihat yang membangunkannya dari mimpi.
Tangan-tangan itu adalah tanggung jawab dan realita. Entah bagaimana, ia merasa
harus mengambil alih semua kekacauan yang terjadi dalam keluarga itu. Sebagai
anak pertama, ketika pada akhirnya kedua orang tua sudah tidak sanggup lagi
untuk mencari sesuap nasi, pada pundaknyalah tanggung jawab itu dibebankan.
Barangkali tanggung jawab itu terlalu berat dan mimpinya masih terlalu jauh
untuk dijadikan tempat sandaran, hingga ia memilih untuk berpasrah pada
realita. Ia tahu, mimpinya terlalu besar untuk diwujudkan dalam ketergesaan,
dan waktu tak pernah bertoleransi untuk menunggu.
Mendadak
dunia menjadi sinis dengan membuatnya memikirkan cara untuk bertahan hidup
dengan cara yang bukan pilihannya, sedang ia tak pernah meminta untuk
dihidupkan. Lagi-lagi ia harus menerima bahwa realitas selalu menang melawan
idealis dalam masa-masa tertentu. Kalah dalam memegang prinsip membuatnya
sedih. Kini ia mengamini bahwa menjadi realistis kadang memang diperlukan. Idealisnya
tercedera. Ah, sudahlah.. barangkali untuk menjadi diri sendiri itu perlu untuk
menjadi orang lain dulu. Anggaplah aku
ini sedang memutar jalan. Barangkali lebih jauh, tapi aku pasti akan sampai.
Lalu ketika
ia mematut diri di depan cermin hari ini, memakai setelan kemeja violet dan rok
hitam, sepatu vantofel milik ibu dan tas kulit pemberian budhe yang penuh dengan
amplop-amplop berisi CV dan surat lamaran, ia sudah siap melangkah menuju apa
yang selama ini ia hindari. Mencari kerja. Akhirnya ia melangkah, meskipun
gontai.
So which of the favors of your Lord would you deny?
ReplyDelete