Subscribe:

Sunday, 15 March 2015

Jalan yang Berputar



Memakai kemeja warna violet dan rok hitam panjang membuatnya tampak rapi. Diambilnya sepatu fantovel milik ibunya lalu dipasang di kakinya. Tas kulit cokelat pemberian budhenya sudah penuh dokumen-dokumen yang terbungkus dalam amplop-amplop besar. Diambilnya tas itu setelah mengecek jumlah amplop yang berada di dalamnya. Ada 10. Seperti tak puas dengan dandanannya hari ini, ia kembali bercermin. Lama ia berdiri di depan cermin dalam kamar itu. Rautnya layu, tapi harus. Perasaannya masih menolak percaya bahwa ia mengambil keputusan ini. Hari ini, ia memutuskan untuk menyerah pada realita.

Malam sebelumnya, gerimis begitu awet mengguyur kampung halamannya. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berdiam diri di rumah. Meski tanpa gerimis, keluarga itu juga tidak bisa melakukan apa-apa. Jumlahnya kini empat, bapak, ibu, dia-anak pertama, dan anak ketiga. Anak keduanya tinggal di luar kota untuk sekolah. Mereka lapar. Bapak yang akan memasak malam itu. Ibu menyuruhnya membeli kerupuk di warung. Setelah beras terakhir yang dimasak matang, barulah mereka berkumpul di ruang makan. Karena terlalu sedikit, nasi dibagi ke dalam dua piring. Bapak makan dengan anak pertama, ibu dengan anak ketiga. Lauknya adalah sambal dan kerupuk.

Untuk diketahui, wahai pembaca, sang bapak dalam keluarga itu sedang tidak bekerja. Bekerjanya per proyek. Tidak ada pesanan berarti tidak membawa nasi ke rumah. Dan kini mereka sedang terlilit hutang karena si kepala keluarga coba-coba beristri dua. Sedang istri mudanya adalah seorang wanita materialistis. Tentu bisa ditebak apa yang terjadi kemudian. Sepeda motor dan barang berharga lainnya sudah lenyap satu persatu. Tinggal tunggu waktu hingga semua tabungannya turut menjadi kenangan. Untung saja istri tuanya tabah. Dia mencoba sampai batas kemampuan untuk mencari nafkah demi rumah tangganya yang nyaris hancur. Berjualan es dan sayur sop yang  bakal dititipkan di warung tetangga. Sedang ini  adalah musim hujan. Siapa ibu bocah yang sudi memberikan uang pada anaknya untuk membeli es? Dan sayur sop? Duh, Gusti.. bakso dan mie ayam panas jelas lebih menggoda di hawa yang begini menusuk.

Harapan keluarga itu kini diserahkan seluruhnya pada si anak nomer satu. Sayang beribu sayang, dibesarkan dalam lingkungan yang tidak harmonis, si anak tumbuh menjadi seorang pembangkang. Dia tak mau cari kerja. Dia maunya hanya tidur dan merapal mimpi siang bolong. Keras kepala dan melakukan semau apapun yang tak pernah dimengerti orang tuanya. Ada mimpi yang ingin diwujudkan, dan bagi orang tuanya, mimpi itu hanyalah mimpi. Tidak bisa diwujudkan. Tapi ia terlalu keras kepala untuk jadi penurut. Orang tua mana yang tidak kecewa melihat anak yang dibesarkan tumbuh tidak sesuai dengan harapan? Ditambah omongan orang-orang kampung yang masuk ke hati mereka. Satu dua tetangga mencibir, tapi ia tidak peduli. Ibu bapaknya semakin resah menghadapi anaknya yang tidak mau dibujuk.

“Ndug, tak usahlah pandang bulu cari kerja. Mana yang kena duluan, itu sudah yang diambil.”
“Aku sudah kerja, Bu. Kenapa harus cari lagi?”
“Kamu itu sudah di sekolahkan, masak kerjanya cuma mimpi?”
“Ini mimpi yang sedang kuusahakan jadi nyata, Ibu.”
“Kamu itu bisanya cuma lihat ke atas. Lihat yang sudah sukses. Cobalah lihat yang dibawah! Merintis usaha itu tidak gampang, Ndug.”
“Bu, hal yang besar itu tidak mungkin ada tanpa hal yang kecil. Aku tidak akan punya sesuatu yang besar tanpa melewati yang kecil dulu.”
“Tapi Ibu pinginnya anak ibu kerja yang enak sekarang. Punya gaji tetap. Biar bisa dicontoh sama adik-adikmu.”
“Kalau akhirnya aku memang harus jadi pegawai, aku tidak mau jadi contoh adik-adik. Aku maunya mereka jadi bos, bukan pegawai sepertiku.”
Ibu diam
“Sudahlah, Bu. Tidak usah ibu dengarkan kata tetangga. Mereka bisanya cuma komentar.”
Ibu diam
“Aku mau jual kentang goreng.”
Ibu menangis.

Pertengkaran demi pertengkaran menambah buruk situasi. Antara ibu dan bapak, ibu dan anak, bapak dan anak, juga antar anak. Bapak yang dimusuhi kedua istrinya berniat minggat dari rumah. Si Ibu rumah tangga hanya bisa menangis dan membangunkan anak-anaknya tengah malam untuk menemaninya. Sambil tetap membuat es dan sayur sop di siang hari dimana anak pertamanya hanya bermimpi-mimpi. Si Ibu malang, punya suami berhati dua, punya anak tak berguna.

Lalu datanglah bencana, atau anugerah itu. Hari dimana si bapak menjual satu-satunya sepeda motor yang biasa digunakan untuk mencari nafkah. Sepeda motor yang digunakan untuk pergi seminggu ke rumah istri muda dan seminggu ke rumah istri tua. Sejak hari itu, si kepala rumah tangga sudah menetap lagi di rumah keluarga pertamanya. Betapa bahagianya untuk memiliki bapak secara utuh, sekaligus betapa pusingnya memikirkan hutang-hutang yang bunganya semakin mekar setiap bulan.

Kini dalam keluarga itu, tidak ada yang lebih indah daripada terkurung dalam gerimis dan makan sepiring berdua dengan lauk sambal dan kerupuk. Pada malam-malam seperti itu, umpat dan tangis tak lagi terdengar. Hanya bunyi kriuk kerupuk dan decak kepedasan yang beradu dengan bunyi gerimis menghujam genting. Dan itu sudah menjadi pertanda bahwa maaf sudah ditebar dalam diam. Mereka tahu, malam terlalu singkat jika hanya dihabiskan untuk membicarakan pertengkaran kemarin sore. Akhirnya setelah puluhan tahun, keluarga itu merela hidup dalam takdir pahit yang harus mereka jalani.

Kini anak nomer satu mereka yang tumbuh tidak sesuai harapan sudah bangun dari tidur siangnya. Ia menyadari ada tangan-tangan tidak terlihat yang membangunkannya dari mimpi. Tangan-tangan itu adalah tanggung jawab dan realita. Entah bagaimana, ia merasa harus mengambil alih semua kekacauan yang terjadi dalam keluarga itu. Sebagai anak pertama, ketika pada akhirnya kedua orang tua sudah tidak sanggup lagi untuk mencari sesuap nasi, pada pundaknyalah tanggung jawab itu dibebankan. Barangkali tanggung jawab itu terlalu berat dan mimpinya masih terlalu jauh untuk dijadikan tempat sandaran, hingga ia memilih untuk berpasrah pada realita. Ia tahu, mimpinya terlalu besar untuk diwujudkan dalam ketergesaan, dan waktu tak pernah bertoleransi untuk menunggu.

Mendadak dunia menjadi sinis dengan membuatnya memikirkan cara untuk bertahan hidup dengan cara yang bukan pilihannya, sedang ia tak pernah meminta untuk dihidupkan. Lagi-lagi ia harus menerima bahwa realitas selalu menang melawan idealis dalam masa-masa tertentu. Kalah dalam memegang prinsip membuatnya sedih. Kini ia mengamini bahwa menjadi realistis kadang memang diperlukan. Idealisnya tercedera. Ah, sudahlah.. barangkali untuk menjadi diri sendiri itu perlu untuk menjadi orang lain dulu. Anggaplah aku ini sedang memutar jalan. Barangkali lebih jauh, tapi aku pasti akan sampai.

Lalu ketika ia mematut diri di depan cermin hari ini, memakai setelan kemeja violet dan rok hitam, sepatu vantofel milik ibu dan tas kulit pemberian budhe yang penuh dengan amplop-amplop berisi CV dan surat lamaran, ia sudah siap melangkah menuju apa yang selama ini ia hindari. Mencari kerja. Akhirnya ia melangkah, meskipun gontai.

1 comments:

  1. So which of the favors of your Lord would you deny?

    ReplyDelete