Subscribe:

Sunday, 12 July 2015

Mengenang Ramadhan



Umur Radit sudah lewat 7 tahun pada Ramadhan tahun ini. Ia mulai belajar puasa. Sama seperti waktu saya kecil dulu, Radit sekarang belajar puasa setengah hari. Saat adzan dhuhur kami dibolehkan berbuka. Kemudian kembali berpuasa hingga tiba adzan maghrib. Begitulah mekanisme puasa setengah hari yang diajarkan orang tua kami. Kami menyebutnya poso bedhug. Untuk mereka yang puasa sehari penuh, kami menyebutnya poso maghrib.

Saya sudah lupa kapan terakhir kali menjalani poso bedhug. Saya hanya ingat waktu kelas 3 SD, bapak menjanjikan uang Rp 50 ribu kalau saya kuat puasa maghrib selama satu bulan penuh. Waktu itu saya berhasil. Dan sesuai dengan janji, bapak memberi saya sangu Rp 50 ribu di hari lebaran. Ramadhan tahun berikutnya saya tantang bapak kembali. Kali itu saya minta sangu Rp 100 ribu.

Ramadhan memang selalu menyenangkan bagi saya saat masih kanak. Saya biasa berkumpul di teras bersama teman-teman lepas maghrib. Hanya untuk berbagi chiki atau secuil permen yuppi sambil menunggu adzan isya’. Kemudian pergi bersama-sama ke musholla untuk sholat tarawih. Pulangnya kami nyalakan kembang api aneka rupa. Kembang tetes, gangsing, kupu-kupu, tikus-tikusan, bantingan, dan kawan-kawan lain yang saya tak tau namanya.

Kadang kami hanya berkumpul untuk bakar-bakaran. Bukan apa-apa. Hanya membuat api untuk dijadikan teman bercerita. Pernah suatu malam kami bercerita tentang rumah hantu di seberang rumah saya. Ah, ini kan Ramadhan. Setan-setan dibelenggu. Tak mungkin hantu muncul. Kata saya yakin. Lantas keyakinan itu luntur ketika saya melihat sosok putih menggantung di pohon mangga samping rumah saat saya pulang tarawih pada suatu malam.

Saya suka mendengar suara orang-orang yang berkeliling untuk membangunkan orang saat tiba waktu sahur. Di kampung, kami menyebutnya thethek. Karena mereka membawa alat untuk klothekan sambil berseru Sahuuur… Sahuur. Sering saya mengintip dari balik jendela untuk melihat bagaimana orang-orang menciptakan bunyi-bunyian itu. Saya ingin ikut keliling kampung untuk thethek, tapi tidak dibolehkan.

Setiap subuh usai sahur, saya tak pernah kembali tidur. Saya pergi jalan-jalan bersama kawan-kawan di jalan raya. Kami suka suasana jalan yang sunyi tanpa knalpot-knalpot yang menyemburkan polusi. Tapi kami tak suka pada anak-anak nakal yang membawa mercon sepanjang jalan. Mereka suka usil melempar mercon ke orang-orang yang lewat. Tiap kali melihat mercon di tangan seorang anak, kami lari terbirit-birit.

Lalu hari itu tiba. Orang bilang hari kemenangan. Kami memanggilnya Hari Raya. Malam sebelumnya, kami kaum anak-anak berbondong-bondong ke masjid dengan gempita. Memukul bedhug dan bertakbir bergantian. Saya pun ikut serta. Bertakbir di depan mikrofon yang didengar seluruh kampung.
Allaaaahu Akbar.. Allaaaahu Akbar..
Laaaillaaahaillallah.. Huallaaahu Ahad..
Loh, kok Ahad?
Hahahaha.
Seisi masjid tertawa. Barangkali seisi kampung.

Hanya sedikit yang bisa saya ingat. Semua penggalan-penggalan itu, saya menyebutnya Ramadhan. Mulai saat pertama kali saya belajar puasa. Hingga sedikit tahun selanjutnya. Namun setelah itu rasanya tak pernah lagi sama. Ia memudar. Hampir terlupakan. Ia tak pernah lagi tersambut dengan girang yang selalu saya rayakan pada belasan tahun silam.

Bahkan Ramadhan tahun ini lebih banyak saya habiskan di kota orang. Saya tak lagi membantu Ibu menyiapkan es buah dan lauk untuk berbuka. Tak lagi pergi tarawih bersama teman-teman. Tidak main kembang api dan tidak mengintip orang thethek. Saya hanya mendengar sayup-sayup suara adzan maghrib di perjalanan pulang lantas menenggak air putih di dalam angkutan kota.

Apa itu Ramadhan bagi Radit? Saya tidak tahu. Tahun ini pertama kali Radit mulai belajar puasa. Beberapa waktu lalu ia bilang kalau tidak sengaja memakan kerupuk sebelum waktu berbuka. Alasannya adalah lupa. Lalu hari ini ia bilang kalau tak ingin puasa karena haus sekali setelah bersepeda. Ah, dasar anak-anak. Barangkali saya harus mengiming-imingi dia dengan uang Rp 50 ribu dulu agar ia mau rajin berpuasa.











0 comments:

Post a Comment