Umur Radit
sudah lewat 7 tahun pada Ramadhan tahun ini. Ia mulai belajar puasa. Sama seperti
waktu saya kecil dulu, Radit sekarang belajar puasa setengah hari. Saat adzan
dhuhur kami dibolehkan berbuka. Kemudian kembali berpuasa hingga tiba adzan
maghrib. Begitulah mekanisme puasa setengah hari yang diajarkan orang tua kami.
Kami menyebutnya poso bedhug. Untuk mereka yang puasa sehari
penuh, kami menyebutnya poso maghrib.
Saya sudah
lupa kapan terakhir kali menjalani poso
bedhug. Saya hanya ingat waktu kelas 3 SD, bapak menjanjikan uang Rp 50
ribu kalau saya kuat puasa maghrib selama satu bulan penuh. Waktu itu saya
berhasil. Dan sesuai dengan janji, bapak memberi saya sangu Rp 50 ribu di hari
lebaran. Ramadhan tahun berikutnya saya tantang bapak kembali. Kali itu saya
minta sangu Rp 100 ribu.
Ramadhan
memang selalu menyenangkan bagi saya saat masih kanak. Saya biasa berkumpul di
teras bersama teman-teman lepas maghrib. Hanya untuk berbagi chiki atau secuil
permen yuppi sambil menunggu adzan isya’. Kemudian pergi bersama-sama ke musholla
untuk sholat tarawih. Pulangnya kami nyalakan kembang api aneka rupa. Kembang
tetes, gangsing, kupu-kupu, tikus-tikusan, bantingan, dan kawan-kawan lain yang
saya tak tau namanya.
Kadang kami
hanya berkumpul untuk bakar-bakaran. Bukan apa-apa. Hanya membuat api untuk
dijadikan teman bercerita. Pernah suatu malam kami bercerita tentang rumah
hantu di seberang rumah saya. Ah, ini kan Ramadhan. Setan-setan dibelenggu. Tak
mungkin hantu muncul. Kata saya yakin. Lantas keyakinan itu luntur ketika saya
melihat sosok putih menggantung di pohon mangga samping rumah saat saya pulang
tarawih pada suatu malam.
Saya suka
mendengar suara orang-orang yang berkeliling untuk membangunkan orang saat tiba
waktu sahur. Di kampung, kami menyebutnya thethek.
Karena mereka membawa alat untuk klothekan
sambil berseru Sahuuur… Sahuur. Sering saya mengintip dari balik jendela untuk
melihat bagaimana orang-orang menciptakan bunyi-bunyian itu. Saya ingin ikut
keliling kampung untuk thethek, tapi
tidak dibolehkan.
Setiap subuh
usai sahur, saya tak pernah kembali tidur. Saya pergi jalan-jalan bersama
kawan-kawan di jalan raya. Kami suka suasana jalan yang sunyi tanpa
knalpot-knalpot yang menyemburkan polusi. Tapi kami tak suka pada anak-anak
nakal yang membawa mercon sepanjang jalan. Mereka suka usil melempar mercon ke
orang-orang yang lewat. Tiap kali melihat mercon di tangan seorang anak, kami
lari terbirit-birit.
Lalu hari
itu tiba. Orang bilang hari kemenangan. Kami memanggilnya Hari Raya. Malam
sebelumnya, kami kaum anak-anak berbondong-bondong ke masjid dengan gempita. Memukul
bedhug dan bertakbir bergantian. Saya pun ikut serta. Bertakbir di depan
mikrofon yang didengar seluruh kampung.
Allaaaahu Akbar.. Allaaaahu Akbar..
Laaaillaaahaillallah.. Huallaaahu Ahad..
Loh, kok Ahad?
Hahahaha.
Seisi masjid
tertawa. Barangkali seisi kampung.
Hanya
sedikit yang bisa saya ingat. Semua penggalan-penggalan itu, saya menyebutnya
Ramadhan. Mulai saat pertama kali saya belajar puasa. Hingga sedikit tahun
selanjutnya. Namun setelah itu rasanya tak pernah lagi sama. Ia memudar. Hampir
terlupakan. Ia tak pernah lagi tersambut dengan girang yang selalu saya rayakan
pada belasan tahun silam.
Bahkan
Ramadhan tahun ini lebih banyak saya habiskan di kota orang. Saya tak lagi
membantu Ibu menyiapkan es buah dan lauk untuk berbuka. Tak lagi pergi tarawih
bersama teman-teman. Tidak main kembang api dan tidak mengintip orang thethek. Saya hanya mendengar
sayup-sayup suara adzan maghrib di perjalanan pulang lantas menenggak air putih
di dalam angkutan kota.
Apa itu
Ramadhan bagi Radit? Saya tidak tahu. Tahun ini pertama kali Radit mulai
belajar puasa. Beberapa waktu lalu ia bilang kalau tidak sengaja memakan kerupuk
sebelum waktu berbuka. Alasannya adalah lupa. Lalu hari ini ia bilang kalau tak
ingin puasa karena haus sekali setelah bersepeda. Ah, dasar anak-anak.
Barangkali saya harus mengiming-imingi dia dengan uang Rp 50 ribu dulu agar ia
mau rajin berpuasa.
0 comments:
Post a Comment