“Hasil tak
akan menghianati proses,” kataku tersenyum. Wajahmu meremang, senja hampir
selesai rupanya. Kujabat tanganmu lalu bergegas menuju bus terakhir jurusan
Banyuwangi. Aku duduk di sebelah pak tua di bangku nomer dua dari depan.
Kulihat keluar jendela. Kau masih bergeming di atas motor yang kau gunakan
untuk mengantarku tadi.
Aku
mencari-cari matamu. Adakah kau juga menatapku? Aku tak bisa melihat apapun
kecuali kesedihan. Apakah kau sedih? Atau lega? Selama 4 tahun yang panjang ini
akhirnya aku memutuskan agar kita tak usah bertemu lagi. Sebab pertemuan,
bagaimanapun rancangannya hanya akan menambah perih pada luka yang tak pernah
ditutup.
Aku lupa
kapan tepatnya. Aku hanya ingat bahwa hari itu aku masih menjadi gadismu yang
manis. Umur kita nyaris 3 tahun lamanya. Tapi saat itu aku jatuh cinta pada
yang lain. Aku jatuh cinta pada kebebasan. Kemudian aku memutuskanmu dengan
alasan yang tak pernah kau mengerti.
Iya, kau
memang tak pernah mengerti. Sampai umur kita 4 tahun, kau masih menganggapku
ada. Bahwa kita masih bisa seperti dulu bukanlah tidak mungkin. Aku juga sama,
aku tidak pernah menutup kemungkinan itu. Tapi kita begitu berbeda. Kau
memperjuangkanku demi sesuatu yang kau sebut cinta. Aku mempertahankanmu demi
sesuatu yang kusebut kemanusiaan. Tapi kau selalu berpikir bahwa aku masih
gadismu yang manis.
“Aku serius
memilihmu,” katamu suatu hari. Aku menjawab tidak bisa. Kau tanya, “Kurang apa
aku memperjuangkanmu selama ini?” Kujawab perjuanganmu yang menjauhkanku dari
cintaku yang sesungguhnya. Kebebasan. Tapi kau benar-benar menunjukkan
keseriusan dengan meminta orang tuamu untuk melamarku. Aku tak percaya kau
senekat itu.
Kau
mencintaiku. Aku mencintai kebebasanku. Hubunganku denganmu hanya akan
memberiku jarak dengan kebebasan. Aku masih muda. Penuh kekuatan. Pemberontak.
Aku tak percaya kita harus menikah dengan orang yang kita cintai. Sebagaimana yang
terjadi pada keturunan pertama Adam yang menikah antar saudara kandung.
Sebagaimana anak suku Polahi yang menikah dengan ibu bapaknya sendiri lantaran tak
ada orang lain lagi di kampungnya. Lantas apakah cinta masih relevan dengan
upaya menghasilkan keturunan?
Tapi kita
tak pernah lagi sepaham. Bagai bom waktu. Timbunan perdebatan tak kuasa menahan
ledaknya. Akhirnya aku yang kalah. Aku tak bisa mempertahankanmu sebagai
seorang kawan. Aku harus mengambil langkah tegas agar kau tak semakin
tersakiti. “Kita tidak usah berhubungan lagi,” kataku. Sebab jika tidak, aku
merasa semakin berdosa. Dan tak ada yang akan bahagia diantara kita.
Lalu kaupun
mengiyakan keputusanku. Senja itu kita sepakati menjadi pertemuan terakhir
kita. Kita bercerita tentang banyak hal. Tentang teman wanitamu yang sempat kau
sembunyikan dariku beberapa waktu lalu. Akhirnya kau berani jujur kepadaku. Bahwa
kau sempat dekat dengan seseorang. Aku senang mendengarnya. Barangkali kau tak
bisa leluasa sebab perasaanmu masih melihatku sebagai gadismu yang manis.
Tapi kau
adalah tipe lelaki yang tak bisa hidup sendirian. Maka dari itulah kau selalu
terbuka pada setiap wanita kala kau sedang sepi. Dan kau begitu mudah
dijatuhcintai. Apakah kau sedih? Atau lega? Kini kau tak perlu risau dengan
kehadiranku.
Dari dalam
kaca jendela bus kucari-cari matamu. Adakah kau menatapku? Malam itu kau
berkata bahwa kau telah melalui proses yang melelahkan untuk menjadi dirimu
yang sekarang. Aku setuju. Kau memang sudah banyak berubah. Sayangnya aku juga
berubah. Kau ingin menjadi laki-laki. Aku ingin menjadi manusia.
Tiba-tiba
mataku panas. Tiga detik kemudian pipiku sudah basah. Aku terisak-isak tak
peduli pada nyanyian sumbang pengamen yang baru naik ke dalam bus. Entah apa
yang kutangisi. Barangkali kegagalanku memanusiakanmu. Aku tak pernah
benar-benar memutus hubungan dengan siapapun sebelumnya. Apakah aku masih
pantas disebut manusia?
Kulihat kau
tak juga beranjak. Air mataku semakin deras.
Ingat ya, hasil tak
akan menghianati proses
aku mengirim
SMS terakhir.
weww...
ReplyDeleteberusahalah.