Subscribe:

Friday, 12 June 2015

Manusia dan Laki-laki



“Hasil tak akan menghianati proses,” kataku tersenyum. Wajahmu meremang, senja hampir selesai rupanya. Kujabat tanganmu lalu bergegas menuju bus terakhir jurusan Banyuwangi. Aku duduk di sebelah pak tua di bangku nomer dua dari depan. Kulihat keluar jendela. Kau masih bergeming di atas motor yang kau gunakan untuk mengantarku tadi.

Aku mencari-cari matamu. Adakah kau juga menatapku? Aku tak bisa melihat apapun kecuali kesedihan. Apakah kau sedih? Atau lega? Selama 4 tahun yang panjang ini akhirnya aku memutuskan agar kita tak usah bertemu lagi. Sebab pertemuan, bagaimanapun rancangannya hanya akan menambah perih pada luka yang tak pernah ditutup.

Aku lupa kapan tepatnya. Aku hanya ingat bahwa hari itu aku masih menjadi gadismu yang manis. Umur kita nyaris 3 tahun lamanya. Tapi saat itu aku jatuh cinta pada yang lain. Aku jatuh cinta pada kebebasan. Kemudian aku memutuskanmu dengan alasan yang tak pernah kau mengerti.

Iya, kau memang tak pernah mengerti. Sampai umur kita 4 tahun, kau masih menganggapku ada. Bahwa kita masih bisa seperti dulu bukanlah tidak mungkin. Aku juga sama, aku tidak pernah menutup kemungkinan itu. Tapi kita begitu berbeda. Kau memperjuangkanku demi sesuatu yang kau sebut cinta. Aku mempertahankanmu demi sesuatu yang kusebut kemanusiaan. Tapi kau selalu berpikir bahwa aku masih gadismu yang manis.

“Aku serius memilihmu,” katamu suatu hari. Aku menjawab tidak bisa. Kau tanya, “Kurang apa aku memperjuangkanmu selama ini?” Kujawab perjuanganmu yang menjauhkanku dari cintaku yang sesungguhnya. Kebebasan. Tapi kau benar-benar menunjukkan keseriusan dengan meminta orang tuamu untuk melamarku. Aku tak percaya kau senekat itu.

Kau mencintaiku. Aku mencintai kebebasanku. Hubunganku denganmu hanya akan memberiku jarak dengan kebebasan. Aku masih muda. Penuh kekuatan. Pemberontak. Aku tak percaya kita harus menikah dengan orang yang kita cintai. Sebagaimana yang terjadi pada keturunan pertama Adam yang menikah antar saudara kandung. Sebagaimana anak suku Polahi yang menikah dengan ibu bapaknya sendiri lantaran tak ada orang lain lagi di kampungnya. Lantas apakah cinta masih relevan dengan upaya menghasilkan keturunan?

Tapi kita tak pernah lagi sepaham. Bagai bom waktu. Timbunan perdebatan tak kuasa menahan ledaknya. Akhirnya aku yang kalah. Aku tak bisa mempertahankanmu sebagai seorang kawan. Aku harus mengambil langkah tegas agar kau tak semakin tersakiti. “Kita tidak usah berhubungan lagi,” kataku. Sebab jika tidak, aku merasa semakin berdosa. Dan tak ada yang akan bahagia diantara kita.

Lalu kaupun mengiyakan keputusanku. Senja itu kita sepakati menjadi pertemuan terakhir kita. Kita bercerita tentang banyak hal. Tentang teman wanitamu yang sempat kau sembunyikan dariku beberapa waktu lalu. Akhirnya kau berani jujur kepadaku. Bahwa kau sempat dekat dengan seseorang. Aku senang mendengarnya. Barangkali kau tak bisa leluasa sebab perasaanmu masih melihatku sebagai gadismu yang manis.

Tapi kau adalah tipe lelaki yang tak bisa hidup sendirian. Maka dari itulah kau selalu terbuka pada setiap wanita kala kau sedang sepi. Dan kau begitu mudah dijatuhcintai. Apakah kau sedih? Atau lega? Kini kau tak perlu risau dengan kehadiranku.

Dari dalam kaca jendela bus kucari-cari matamu. Adakah kau menatapku? Malam itu kau berkata bahwa kau telah melalui proses yang melelahkan untuk menjadi dirimu yang sekarang. Aku setuju. Kau memang sudah banyak berubah. Sayangnya aku juga berubah. Kau ingin menjadi laki-laki. Aku ingin menjadi manusia.

Tiba-tiba mataku panas. Tiga detik kemudian pipiku sudah basah. Aku terisak-isak tak peduli pada nyanyian sumbang pengamen yang baru naik ke dalam bus. Entah apa yang kutangisi. Barangkali kegagalanku memanusiakanmu. Aku tak pernah benar-benar memutus hubungan dengan siapapun sebelumnya. Apakah aku masih pantas disebut manusia?

Kulihat kau tak juga beranjak. Air mataku semakin deras.


Ingat ya, hasil tak akan menghianati proses

aku mengirim SMS terakhir.

1 comments: