Malam
ini aku baru saja menyaksikan ajang pemilihan Putri Indonesia 2015. Lewat televisi
tentunya. Dimenangkan oleh Anindya Kusuma, wakil Jawa Tengah. Melalui jawaban
pada pertanyaan terakhir di final, aku sudah menduga dia yang akan terpilih
mewakili Indonesia di ajang Miss Universe. Pemilihan Ratu Sejagad, yang tercantik
dan terpintar di seluruh Dunia. Tahun lalu, Elvira yang mewakili Indonesia di
ajang Miss Universe berhasil masuk ke 15 besar dan meraih best costum International. Sayang sekali gelar Ratu Sejagad diraih
oleh wakil Colombia (aku lupa namanya).
Bayangkan
kau menjadi Ratu Sejagad Raya. Melalui segala bentuk tes dan penilaian fisik
yang tak pernah adil. Barangkali kecerdasanmu ikut dinilai, tapi cerdasmu itu
tak berarti apa-apa jika kondisi fisikmu tak memenuhi syarat. Iya, penilaian
awal bagi seorang putri adalah cantik luarnya. Kemudian baru setelah itu kau
akan diuji ketrampilan dan intelegensimu. Kalau tidak percaya, coba saja amati
wajah-wajah finalis ajang kecantikan itu. Adakah yang bertubuh gendut? Jerawatan?
Kaki pendek? Hoho.. jangan mimpi kau yang bertubuh begitu bisa mengikuti ajang
macam begini. Ada syarat-syarat mutlak yang tak pernah ada dalam kamus keadilan
sosial bagi seluruh lapisan masyarakat untuk menjadi yang tercantik dan
terpintar di seluruh Dunia.
Ah,
dunia ini membuatku sedih. Kenapa orang harus mengakumulasi nilai-nilai yang
dimiliki seorang individu? Menjadikannya sesosok makhluk yang sempurna, lantas dari
sebab itu lahirlah makhluk tidak sempurna yang hanya bisa menyimpan dengki. Karena
kita tidak pernah berhak memilih untuk tinggal ditubuh yang mana. Kalau boleh,
tentu dulu sebelum dilahirkan aku mau minta diberi paras secantik Dian Sastro
dan otak seencer BJ Habibi. Maka ketika seorang putri harus dinilai secara
sempurna dari kondisi fisik dan batin, orang bilang inner beauty, tidak akan datang kesempatan itu untuk mereka yang
cacat. Jahat sekali bukan? Jadi, menurutku. Putri Indonesia, Miss Universe,
Miss World, hanyalah kontes keberuntungan. Diikuti oleh perempuan-perempuan yang
beruntung memiliki paras nan indah dipandang.
Yang membuatku lebih sedih adalah, aku juga terlibat sebagai
subjek yang menilai individu dari keberuntungannya saja. Aku juga sering
menilai orang hanya dari segi penampilan dan pendidikannya saja. Sebut saja Mas
Memen. Pria Lajang yang bekerja sebagai guide snorkeling di Pulau Menjangan. Aku
bertemu dia saat mengantar rombongan ke pulau yang berada di kawasan Taman
Nasional Bali Barat itu.
Mas Memen bertubuh besar dan kekar. Kulitnya gelap akibat
terlalu sering mandi di laut. Dia pria yang baik dan suka bercanda. Barangkali karena
pendidikannya yang lebih rendah daripada aku, obrolan kami sering tidak
nyambung, dan dia sedikit labil untuk ukuran usianya. Mas Memen sering ngechatt aku via BBM. Beberapa kali dia
bilang kangen ingin bertemu aku lagi. Kadang aku merespon, kadang tidak. Jika obrolannya
menurutku tidak asyik, aku kerap tidak me-read
BBMnya. Pernah suatu malam aku membaca status BBMnya, dia berdoa pada Tuhan
agar segera dikirimi cinta sejati. Aku sedih membacanya. Aku sedih karena aku
berdoa semoga bukan aku yang menjadi cinta sejati Mas Memen.
Aku tidak mau munafik bahwa aku menginginkan laki-laki yang
lebih daripada Mas Memen. Dan itu adalah hal yang menyedihkan. Karena mungkin
saja laki-laki yang kuinginkan juga berharap mendapatkan wanita yang lebih
daripada aku. Pasti ada diluar sana laki-laki yang berbisik pada temannya saat
melihatku, “Nggak ada yang cakepan dikit ya?” nada kecewanya sama sepertiku
yang mengeluh, “Masak aku sama Mas Memen, sih?” Untuk menebus rasa bersalahku
itu, aku berusaha untuk selalu bersikap baik kepada Mas Memen.
Tapi,
seperti kata Ayu Utami, aku senang bahwa masyarakat memiliki banyak nilai. Seorang
pramugari, dinilai dari kaki jenjangnya. Seorang jurnalis, dinilai dari berapa
banyak tulisannya. Seorang seniman, dinilai dari berapa mahal daya jual
karyanya. Nilai-nilai itu yang mendorongku untuk tetap berjuang menaikkan harga
diri. Meski aku belum tahu dimana nilai tertinggi yang bisa kuraih, setidaknya
aku punya harapan. Aku bisa menjadi putri dalam dunia yang bisa menilaiku
secara adil. Begitu juga dengan Mas Memen. Semoga dia menemukan dunia yang menilainya
dari sesuatu yang bisa diusahakan, bukan atas dasar keberuntungan. Andai dia
bersungguh-sungguh, kupikir dia bisa menjadi atlet renang yang handal atau
guide yang hebat.
Banyuwangi, di malam pemilihan Putri Indonesia 2015
0 comments:
Post a Comment