Subscribe:

Saturday 21 February 2015

Nilai


Malam ini aku baru saja menyaksikan ajang pemilihan Putri Indonesia 2015. Lewat televisi tentunya. Dimenangkan oleh Anindya Kusuma, wakil Jawa Tengah. Melalui jawaban pada pertanyaan terakhir di final, aku sudah menduga dia yang akan terpilih mewakili Indonesia di ajang Miss Universe. Pemilihan Ratu Sejagad, yang tercantik dan terpintar di seluruh Dunia. Tahun lalu, Elvira yang mewakili Indonesia di ajang Miss Universe berhasil masuk ke 15 besar dan meraih best costum International. Sayang sekali gelar Ratu Sejagad diraih oleh wakil Colombia (aku lupa namanya).

Bayangkan kau menjadi Ratu Sejagad Raya. Melalui segala bentuk tes dan penilaian fisik yang tak pernah adil. Barangkali kecerdasanmu ikut dinilai, tapi cerdasmu itu tak berarti apa-apa jika kondisi fisikmu tak memenuhi syarat. Iya, penilaian awal bagi seorang putri adalah cantik luarnya. Kemudian baru setelah itu kau akan diuji ketrampilan dan intelegensimu. Kalau tidak percaya, coba saja amati wajah-wajah finalis ajang kecantikan itu. Adakah yang bertubuh gendut? Jerawatan? Kaki pendek? Hoho.. jangan mimpi kau yang bertubuh begitu bisa mengikuti ajang macam begini. Ada syarat-syarat mutlak yang tak pernah ada dalam kamus keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat untuk menjadi yang tercantik dan terpintar di seluruh Dunia.

Ah, dunia ini membuatku sedih. Kenapa orang harus mengakumulasi nilai-nilai yang dimiliki seorang individu? Menjadikannya sesosok makhluk yang sempurna, lantas dari sebab itu lahirlah makhluk tidak sempurna yang hanya bisa menyimpan dengki. Karena kita tidak pernah berhak memilih untuk tinggal ditubuh yang mana. Kalau boleh, tentu dulu sebelum dilahirkan aku mau minta diberi paras secantik Dian Sastro dan otak seencer BJ Habibi. Maka ketika seorang putri harus dinilai secara sempurna dari kondisi fisik dan batin, orang bilang inner beauty, tidak akan datang kesempatan itu untuk mereka yang cacat. Jahat sekali bukan? Jadi, menurutku. Putri Indonesia, Miss Universe, Miss World, hanyalah kontes keberuntungan. Diikuti oleh perempuan-perempuan yang beruntung memiliki paras nan indah dipandang.

Yang membuatku lebih sedih adalah, aku juga terlibat sebagai subjek yang menilai individu dari keberuntungannya saja. Aku juga sering menilai orang hanya dari segi penampilan dan pendidikannya saja. Sebut saja Mas Memen. Pria Lajang yang bekerja sebagai guide snorkeling di Pulau Menjangan. Aku bertemu dia saat mengantar rombongan ke pulau yang berada di kawasan Taman Nasional Bali Barat itu.

Mas Memen bertubuh besar dan kekar. Kulitnya gelap akibat terlalu sering mandi di laut. Dia pria yang baik dan suka bercanda. Barangkali karena pendidikannya yang lebih rendah daripada aku, obrolan kami sering tidak nyambung, dan dia sedikit labil untuk ukuran usianya. Mas Memen sering ngechatt aku via BBM. Beberapa kali dia bilang kangen ingin bertemu aku lagi. Kadang aku merespon, kadang tidak. Jika obrolannya menurutku tidak asyik, aku kerap tidak me-read BBMnya. Pernah suatu malam aku membaca status BBMnya, dia berdoa pada Tuhan agar segera dikirimi cinta sejati. Aku sedih membacanya. Aku sedih karena aku berdoa semoga bukan aku yang menjadi cinta sejati Mas Memen.

Aku tidak mau munafik bahwa aku menginginkan laki-laki yang lebih daripada Mas Memen. Dan itu adalah hal yang menyedihkan. Karena mungkin saja laki-laki yang kuinginkan juga berharap mendapatkan wanita yang lebih daripada aku. Pasti ada diluar sana laki-laki yang berbisik pada temannya saat melihatku, “Nggak ada yang cakepan dikit ya?” nada kecewanya sama sepertiku yang mengeluh, “Masak aku sama Mas Memen, sih?” Untuk menebus rasa bersalahku itu, aku berusaha untuk selalu bersikap baik kepada Mas Memen.

Tapi, seperti kata Ayu Utami, aku senang bahwa masyarakat memiliki banyak nilai. Seorang pramugari, dinilai dari kaki jenjangnya. Seorang jurnalis, dinilai dari berapa banyak tulisannya. Seorang seniman, dinilai dari berapa mahal daya jual karyanya. Nilai-nilai itu yang mendorongku untuk tetap berjuang menaikkan harga diri. Meski aku belum tahu dimana nilai tertinggi yang bisa kuraih, setidaknya aku punya harapan. Aku bisa menjadi putri dalam dunia yang bisa menilaiku secara adil. Begitu juga dengan Mas Memen. Semoga dia menemukan dunia yang menilainya dari sesuatu yang bisa diusahakan, bukan atas dasar keberuntungan. Andai dia bersungguh-sungguh, kupikir dia bisa menjadi atlet renang yang handal atau guide yang hebat.


Banyuwangi, di malam pemilihan Putri Indonesia 2015

0 comments:

Post a Comment