Subscribe:

Saturday, 7 February 2015

Hidup adalah Keberanian Menjadi Kita



Sejak duduk di bangku sekolah, ada satu hal yang saya sadari. Cantik secara fisik berakibat populer. Khususnya dimata pria. Meskipun definisi cantik itu relatif, tapi selera pria rata-rata adalah sama. Gadis kulit putih, hidung mbangir, dan bodi langsing biasa dijadikan parameter untuk mengukur standar kecantikan seorang gadis. Ditambah lagi jika gadis cantik itu seorang yang supel, energic, dan penuh prestasi (red: Raisa). Lengkap sudah harapan lelaki untuk berbondong-bondong memboyongnya ke pelaminan.

Tidak munafik memang bahwa ketertarikan bermula dari penampilan, saya sendiri juga sering melirik-lirik teman laki-laki saya yang ganteng. Tapi untungnya saya masih bisa menahan diri untuk tidak sampai memiliki hasrat memiliki. Saya tahu diri bahwa mereka (teman-teman laki-laki saya yang ganteng) pun akan melirik gadis yang sesuai dengan level kegantengan mereka.

Iri? Tentu saya pernah. Ketika melihat teman-teman yang cantik begitu mudah mendapat perhatian dari makhluk adam yang rupawan sementara saya harus melakukan banyak taktik untuk mendapat perhatian yang sama. Tapi saya terlalu tahu diri agar tidak bermanja-manja untuk mendapat perhatian seperti apa yang si cantik lakukan. Seperti ada hukum tak tertulis yang menyebutkan bahwa yang jelek dilarang bermanja-manja. Yang boleh bermanja-manja hanyalah mereka yang berparas ayu. Teman laki-laki saya di kelas memang terlihat lebih ramah dan ringan tangan terhadap mereka yang ayu. Terlebih lagi jika mereka adalah seorang penggemar rahasia.  Tidak hanya satu dua, banyak diantara laki-laki itu yang sampai menyatakan cinta. Juga tidak sedikit dari mereka yang memendam rasa. Bagaimana mungkin saya yang haus kasih sayang ini tidak iri?

Untuk menolak takdir Tuhan yang menciptakan saya tidak sesempurna Raisa, akhirnya saya berinisiatif untuk mengubah diri saya sendiri. Mulai dari meluruskan rambut, memakai krim pemutih, menjepit bulu mata, hingga memakai penjepit jemuran untuk memancungkan hidung pesek pernah saya terapkan. Demi apa? Biar saya menjadi cantik, lalu mendapat perhatian yang serupa dengan mereka yang memiliki kelebihan rupa itu.

Beberapa waktu saya bertahan dengan rangkaian ritual yang menyiksa rambut, hidung, dan mata itu. Usaha saya akhirnya berbuah manis. Saya cukup mendapat perhatian. Sampai akhirnya saya berhasil mendapat pacar. Tidak lama setelah itu, saya menyadari ada yang keliru. Semua perhatian dan cinta ini saya dapatkan ketika saya sudah berubah. Artinya, saya mendapatkannya saat saya tidak sedang menjadi diri saya sendiri.

Sampai akhirnya saya merasa letih terus berusaha menjadi apa yang ingin mereka lihat. Selain tersiksa, saya gerah untuk selalu tampil tidak seperti apa adanya saya. Kemudian saya memutuskan untuk berhenti merubah apa yang sudah dibentuk Tuhan pada diri saya. Saya yakin, secantik-cantiknya saya hari ini, pasti nanti akan menjadi jelek juga ketika saya tua. Dan jika memang mereka mencintai saya karena saya cantik, pastilah nanti cinta nereka akan pudar seiring keriput yang dicipta umur. Atas dasar keyakinan itulah, saya tak lagi bersolek.

Setelah melalui proses kesadaran yang cukup lama, kini saya lebih memilih untuk mengembangkan potensi diri saya yang tidak dimiliki oleh Raisa (apapun itu, pasti ada). Tuhan tidak menciptakan seseorang tanpa menyelipkan sebuah kelebihan padanya, bukan? Dan Tuhan pasti menciptakan saya dengan alasan. Tidak ada yang sia-sia. Bersyukur atas pemberian Tuhan dengan cara mengoptimalkan kelebihan agaknya lebih patut dilakukan daripada menghilangkan kekurangan dengan cara tidak bersyukur. Cantik secara fisik mungkin adalah kelebihan, tapi sifatnya tidak sepermanen cantik secara batin.

Mengenai cinta, saya hanya berkeyakinan bahwa mereka yang mencintai saya kini dan nanti pasti bukan orang yang biasa, karena mereka bisa melihat apa-apa yang tidak bisa dilihat oleh orang lain dengan cara-cara yang tidak biasa. Maka dari itulah menjadi diri sendiri, meski membutuhkan keberanian, jauh lebih mampu menggurat sisi kemanusiaan daripada hidup untuk menjadi orang lain. Seperti kata Mas Arman Dhani, hidup adalah keberanian menjadi kita.


2 comments:

  1. tidak percaya kamu melakukan itu semua. kamu yang enjoy dan easy going yang ku kenal. rabaan ku.

    ReplyDelete
  2. ah.. kamu kan cuma kenal ujung kukuku saja :)

    ReplyDelete