Lembah Kembar, 20 April 2014
Habis gelap terbitlah terang. Pagi ini benar-benar memberikan semangat baru pada kami yang baru saja diterpa badai semalam. Tidak banyak bermalas-malasan seperti biasa, cepat-cepat kami berkemas dan menyiapkan perbekalan untuk menuju titik tertinggi dari perjalanan ini. Puncak Arjuna.
Carrier dan barang-barang yang berat kami tinggalkan di tanah perkemahan. Kami hanya membawa logistik secukupnya dan jas hujan untuk berjaga-jaga datangnya badai. Kita terlambat dua jam dari waktu yang direncanakan. Pukul 09.00 kami berangkat. Berdasarkan perkiraan Mas Penceng, perjalanan kami akan memakan waktu 3,5 jam.
Hingga sampai di padang rumput, jalan setapak yang
dilalui masih landai walaupun sempit. Lagi-lagi aku yang paling payah
menyeimbangkan tubuh. Hasilnya aku terpeleset berulang kali. Di padang
rumput kami bertemu dengan pendaki lain yang mau turun. Rupanya mereka
bermalam di padang rumput dan berangkat subuh menuju puncak.
Setengah jam berlalu, jalan mendatar sudah habis
masanya. Padang rumput berganti dengan jalan setapak terjal dan berbatu.
Aku mulai merasa tidak sehat. Perutku mual dan kepalaku pusing. Masih
tiga jam lagi untuk sampai ke puncak. Aku melihat jurang di bawahku.
Aih... mataku langsung berkunang-kunang.
"Aku tunggu sini aja ya?" aku berpegangan pada batu yang besar. Aku merasa tidak enak kalau tiba-tiba nanti aku tidak kuat di tempat yang lebih jauh. Aku tidak ingin merepotkan siapapun. Tapi teman-teman tidak setuju aku menunggu mereka di bawah sini. Mas Sipon menyuruhku untuk istirahat sejenak. Alit dan Fian ikut berhenti sementara menunggu kawan-kawan yang masih di bawah.
Lima menit setelah aku minum air gula, aku memberanikan diri untuk melangkah lagi. Aku pikir juga akan sayang kalau aku menunggu di sini sementara yang lain sudah mencicipi titik di atas 3000 mdpl. Aku jadi teringat slogannya si Icham ketika kita baru berangkat. Sore itu di ladang dia berteriak untuk membakar semangat kami, "Lebih baik pulang tinggal nama daripada gagal muncak." Lututku lemas seketika. hahaha.. dasar tentara nggatheli (Icham saat itu pakai baju tentara lengkap dengan sepatu boot dan kaus kaki lorengnya).
Langkahku semakin ringan. Mual dan pusing yang tadi menyergap sudah lenyap bersama lembah yang makin mengecil. Pohon cemara dimana-mana. Ah.. jadi lagu itu benar ya..
"Kurang berapa jam lagi Mas?" Aku menoleh ke Mas Sipon yang berada tepat di belakangku. "15 menit lagi," katanya. Di tengah perjalanan kita bertemu lagi dengan beberapa pendaki yang akan turun. Mereka sedang beristirahat rupanya. Lalu mereka menawarkan beberapa botol air untuk kami. Dengan senang hati kami menerimanya karena persediaan air kami tinggal sedikit. Setelah itu kami langsung berpamitan untuk meneruskan perjalanan. "Semangat Mbak, kurang dua jam lagi sampai kok," kata salah satu mas-mas yang sedang duduk. Aku melirik Mas Sipon.
Satu jam kemudian
Pohon-pohon cemara sudah tidak terlihat. Vegetasi sepanjang jalan ke depan adalah semak-semak tinggi yang aku tidak tau namanya. Aku mulai lelah dengan jalan yang terus menerus menanjak. Langkahku melambat. "Itu lo puncaknya di depan," kata Mas Sipon lagi-lagi. Ah.. jangan-jangan Mas ini mau menipuku lagi. "Nggak, serius. Iku lo," dia mencoba meyakinkan.
Dengan segenap kemampuan dan keyakinan, akhirnya aku sampai di tanah gundul yang luas. Akhirnya, puncak tertinggi gunung Arjuna. "Waaah... puncak... yeee....." Aku bahagia luar biasa.
"Uduk seng iki. Iku lo ng ngarep puncake," Mas Sipon menunjuk sebuah bukit yang puncaknya tetutup kabut. Tuh kan... orang ini benar-benar..
Aku menuruni bukit yang tadinya kukira puncak dengan
hati-hati. Kemudian mulai mendaki puncak yang sesungguhnya. Di balik
semak-semak yang tinggi, kami sampai pada sebidang tanah yang luas.
Cukup luas untuk dijadikan tempat peristirahatan terakhir pendaki yang
kehilangan nyawa di sana. Ada empat batu nisan yang tertancap di tanah
itu. Kuburan itulah yang baru aku tau sekarang kalau di sana adalah
tempatnya pasar setan seperti yang dimitoskan.
Lihat, Gosong sudah sampai di puncak. Aku, Tifani,
Icham, Alit dan Mas Sipon berlari mengejarnya. Di belakangku tidak
tampak seorangpun. Aku hanya melihat kabut sejauh mata memandang. Hei,
Kami sudah hampir di puncak. Berarti sudah di ketinggian di atas 3000
mdpl kan? Lalu mana awan yang seharusnya berada di bawah kakiku?
Tinggal tiga meter lagi. Aku memanjat batu-batuan
besar yang mendominasi puncak sang Arjuna. Alit, Icham dan Fani sudah
lebih dulu tiba di tempat Gosong berdiri. Aku merangkak lebih cepat,
bebatuan semakin besar. Kakiku yang pendek menyulitkanku menjangkau
batu-batu yang lain. Dengan susah payah aku mengangkat tubuhku yang
berat. Dan... akhirnya.. aku berdiri di atas tanah setinggi 3339 mdpl.
Ada beberapa pendaki lain yang sudah berada di puncak bersama kami, mungkin sekitar 5-7 orang. Menurut Mas Sipon yang mungkin tiap bulan mendaki Arjuna, ini adalah yang paling ramai karena bertepatan dengan hari libur. Sudah setengah jam kami ber-enam menunggu di dalam awan. Tidak tampak batang hidung seorangpun dari kedelapan kawan kami yang masih di bawah. "Pokoknya kalau sampai jam 1 nggak ada yang datang, kita turun. Aku pesimis mereka akan muncak," Mas Sipon bilang. Kulihat jam sudah menunjukkan angka 12.30. Setengah jam lagi. Ayolah teman-teman.. kalian pasti bisa.
Sambil menunggu, kami berfoto-foto. Puncak Arjuna ternyata tidak seindah bayanganku. Bahkan lebih menakutkan dari perkiraanku. Terdiri dari bongkah-bongkah batu besar yang sayangnya dikotori dengan coretan manusia-manusia labil dan sedikit bidang tanah. Aku kesal melihat coretan-coretan nama orang yang pernah sampai ke puncak itu. Kenapa mereka harus meninggalkan jejak yang tidak indah seperti itu sih? Apakah tujuan mereka bersusah payah berperang melawan alam yang menakutkan ini hanya untuk mengotorinya? Mana rasa syukur untuk telah disempatkan sampai ke puncak? Manusia-manusia itu benar-benar tidak mengerti, bahwa mendaki gunung bukan hal yang patut untuk dibanggakan. Mendaki pada dasarnya adalah perjalanan menuju ke tempat yang lebih tinggi sekaligus lebih dekat dengan Zat Yang Maha Besar. Sayang sekali.. mereka tidak mengerti.
Gunung membuatku terlihat begitu kecil dari sebelumnya, begitu lemah, dan tidak berdaya. Aku benar-benar tidak peduli dengan ketidak-indahan yang ditawarkan oleh gunung ini. Keindahan yang seperti pencarianku sebagai anak PA (Penikmat Alam) selama ini. Gunung ini begitu mistis. Rasanya aku tengah berada di dunia lain. Aku tidak menemukan euforia kemenangan seperti ketika aku sampai di puncak Ijen atau Ranukumbolo. Aku hanya menemukan diriku mencemaskan apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang akan terjadi ketika kami berenam turun, dan kawan-kawan kami yang lain tidak sampai di puncak.
"NENEEEEEK...." Aku berteriak ke bawah. Aku seperti melihat tiga orang berjalan ke arah kami di tengah-tengah kabut. Sungguh kabut-kabut ini awet sekali. Kemudian seseorang melambai-lambaikan tangan ke atas. Ah, benar. Itu Nenek, Fian, dan Wisnu. Tidak lama kemudian, kelima sahabat sudah berhasil menaklukkan gunung perkasa ini.
Kurang lima orang lagi. Aku mengkhawatirkan Cepi. Jangan-jangan dia tidak kuat, dan yang lain tidak mungkin meninggalkan dia seorang diri. Aku sedikit menyesal membiarkan Cepi ikut naik gunung. Dua kali aku mengajak Cepi ke Ijen, dua kali juga dia muntah dan hampir pingsan. Semoga kali ini dia diberi kekuatan yang lebih. Kemudian ada dua sosok menyembul dari kabut di bawah sana. Lega sekali aku melihatnya. Cepi dan Mas Penceng akhirnya sampai ke tempat kami.
Rohim, Gobes, Mamel kok nggak bareng? "Arek-arek sek adoh," Mas Penceng tersengal. Dia mengaku kelelahan setelah menyeret Cepi yang hampir tidak kuat. Sudah jam 1 lewat. Langit mulai gelap dan kabut semakin tebal. Kami bimbang antara menunggu atau langsung turun. Jalan di bawah sama sekali tidak terlihat. Pendaki yang tadi bersama kami di puncak sudah turun semua. Tinggal pendaki dari grup kami saja. Sepi sekali.
"WOOOOOY......" Gosong berteriak memastikan ada orang di bawah atau tidak. Tidak ada balasan. Lalu terdengar "Woooy" dari kejauhan. Itu pasti mereka. Ada tiga kepala dengan jalan sempoyongan mendekati kami. Akhirnya, lunas sudah personil kami mencapai puncak Arjuna.
#part 1 : Menuju 3676 mdpl
#part 6 : Mendaki Gunung
#part 7 : Badai Pasti Berlalu
#part 8 : Di Dalam Awan
#part 9 : Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung
Habis gelap terbitlah terang. Pagi ini benar-benar memberikan semangat baru pada kami yang baru saja diterpa badai semalam. Tidak banyak bermalas-malasan seperti biasa, cepat-cepat kami berkemas dan menyiapkan perbekalan untuk menuju titik tertinggi dari perjalanan ini. Puncak Arjuna.
Carrier dan barang-barang yang berat kami tinggalkan di tanah perkemahan. Kami hanya membawa logistik secukupnya dan jas hujan untuk berjaga-jaga datangnya badai. Kita terlambat dua jam dari waktu yang direncanakan. Pukul 09.00 kami berangkat. Berdasarkan perkiraan Mas Penceng, perjalanan kami akan memakan waktu 3,5 jam.
Menyusuri lembah, menuju puncak |
Bertemu musafir gunung Arjuna |
"Aku tunggu sini aja ya?" aku berpegangan pada batu yang besar. Aku merasa tidak enak kalau tiba-tiba nanti aku tidak kuat di tempat yang lebih jauh. Aku tidak ingin merepotkan siapapun. Tapi teman-teman tidak setuju aku menunggu mereka di bawah sini. Mas Sipon menyuruhku untuk istirahat sejenak. Alit dan Fian ikut berhenti sementara menunggu kawan-kawan yang masih di bawah.
Lima menit setelah aku minum air gula, aku memberanikan diri untuk melangkah lagi. Aku pikir juga akan sayang kalau aku menunggu di sini sementara yang lain sudah mencicipi titik di atas 3000 mdpl. Aku jadi teringat slogannya si Icham ketika kita baru berangkat. Sore itu di ladang dia berteriak untuk membakar semangat kami, "Lebih baik pulang tinggal nama daripada gagal muncak." Lututku lemas seketika. hahaha.. dasar tentara nggatheli (Icham saat itu pakai baju tentara lengkap dengan sepatu boot dan kaus kaki lorengnya).
Langkahku semakin ringan. Mual dan pusing yang tadi menyergap sudah lenyap bersama lembah yang makin mengecil. Pohon cemara dimana-mana. Ah.. jadi lagu itu benar ya..
Naik..naik... ke puncak gunungTiba-tiba dadaku bergemuruh. Selama tiga hari perjalanan ini, aku baru sadar kalau aku benar-benar sedang mendaki gunung. Gunung yang benar-benar gunung. Selama ini gunung yang aku tau hanya Ijen dan Semeru. Ijen saat ini sudah seperti tempat wisata. Keindahan yang ditawarkan memang nyata, tapi sensasi mendakinya kurang greget. Kalau Semeru, aku hanya sampai Ranukumbolo. Lebih greget dan lebih indah memang, tapi aku belum pernah sampai puncaknya. So, I duno what must to say.. Anggap saja ini adalah perjalanan pertamaku mendaki gunung. :)
Tinggi... tinggi sekali
Kiri kanan kulihat saja
Banyak pohon cemara
"Kurang berapa jam lagi Mas?" Aku menoleh ke Mas Sipon yang berada tepat di belakangku. "15 menit lagi," katanya. Di tengah perjalanan kita bertemu lagi dengan beberapa pendaki yang akan turun. Mereka sedang beristirahat rupanya. Lalu mereka menawarkan beberapa botol air untuk kami. Dengan senang hati kami menerimanya karena persediaan air kami tinggal sedikit. Setelah itu kami langsung berpamitan untuk meneruskan perjalanan. "Semangat Mbak, kurang dua jam lagi sampai kok," kata salah satu mas-mas yang sedang duduk. Aku melirik Mas Sipon.
Satu jam kemudian
Pohon-pohon cemara sudah tidak terlihat. Vegetasi sepanjang jalan ke depan adalah semak-semak tinggi yang aku tidak tau namanya. Aku mulai lelah dengan jalan yang terus menerus menanjak. Langkahku melambat. "Itu lo puncaknya di depan," kata Mas Sipon lagi-lagi. Ah.. jangan-jangan Mas ini mau menipuku lagi. "Nggak, serius. Iku lo," dia mencoba meyakinkan.
Dengan segenap kemampuan dan keyakinan, akhirnya aku sampai di tanah gundul yang luas. Akhirnya, puncak tertinggi gunung Arjuna. "Waaah... puncak... yeee....." Aku bahagia luar biasa.
"Uduk seng iki. Iku lo ng ngarep puncake," Mas Sipon menunjuk sebuah bukit yang puncaknya tetutup kabut. Tuh kan... orang ini benar-benar..
puncak di depan mata |
Pemakaman para pendaki yang meninggal di Gunung Arjuna |
menyembul dari sela-sela awan |
Ada beberapa pendaki lain yang sudah berada di puncak bersama kami, mungkin sekitar 5-7 orang. Menurut Mas Sipon yang mungkin tiap bulan mendaki Arjuna, ini adalah yang paling ramai karena bertepatan dengan hari libur. Sudah setengah jam kami ber-enam menunggu di dalam awan. Tidak tampak batang hidung seorangpun dari kedelapan kawan kami yang masih di bawah. "Pokoknya kalau sampai jam 1 nggak ada yang datang, kita turun. Aku pesimis mereka akan muncak," Mas Sipon bilang. Kulihat jam sudah menunjukkan angka 12.30. Setengah jam lagi. Ayolah teman-teman.. kalian pasti bisa.
Sambil menunggu, kami berfoto-foto. Puncak Arjuna ternyata tidak seindah bayanganku. Bahkan lebih menakutkan dari perkiraanku. Terdiri dari bongkah-bongkah batu besar yang sayangnya dikotori dengan coretan manusia-manusia labil dan sedikit bidang tanah. Aku kesal melihat coretan-coretan nama orang yang pernah sampai ke puncak itu. Kenapa mereka harus meninggalkan jejak yang tidak indah seperti itu sih? Apakah tujuan mereka bersusah payah berperang melawan alam yang menakutkan ini hanya untuk mengotorinya? Mana rasa syukur untuk telah disempatkan sampai ke puncak? Manusia-manusia itu benar-benar tidak mengerti, bahwa mendaki gunung bukan hal yang patut untuk dibanggakan. Mendaki pada dasarnya adalah perjalanan menuju ke tempat yang lebih tinggi sekaligus lebih dekat dengan Zat Yang Maha Besar. Sayang sekali.. mereka tidak mengerti.
Gunung membuatku terlihat begitu kecil dari sebelumnya, begitu lemah, dan tidak berdaya. Aku benar-benar tidak peduli dengan ketidak-indahan yang ditawarkan oleh gunung ini. Keindahan yang seperti pencarianku sebagai anak PA (Penikmat Alam) selama ini. Gunung ini begitu mistis. Rasanya aku tengah berada di dunia lain. Aku tidak menemukan euforia kemenangan seperti ketika aku sampai di puncak Ijen atau Ranukumbolo. Aku hanya menemukan diriku mencemaskan apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang akan terjadi ketika kami berenam turun, dan kawan-kawan kami yang lain tidak sampai di puncak.
"NENEEEEEK...." Aku berteriak ke bawah. Aku seperti melihat tiga orang berjalan ke arah kami di tengah-tengah kabut. Sungguh kabut-kabut ini awet sekali. Kemudian seseorang melambai-lambaikan tangan ke atas. Ah, benar. Itu Nenek, Fian, dan Wisnu. Tidak lama kemudian, kelima sahabat sudah berhasil menaklukkan gunung perkasa ini.
Kurang lima orang lagi. Aku mengkhawatirkan Cepi. Jangan-jangan dia tidak kuat, dan yang lain tidak mungkin meninggalkan dia seorang diri. Aku sedikit menyesal membiarkan Cepi ikut naik gunung. Dua kali aku mengajak Cepi ke Ijen, dua kali juga dia muntah dan hampir pingsan. Semoga kali ini dia diberi kekuatan yang lebih. Kemudian ada dua sosok menyembul dari kabut di bawah sana. Lega sekali aku melihatnya. Cepi dan Mas Penceng akhirnya sampai ke tempat kami.
Rohim, Gobes, Mamel kok nggak bareng? "Arek-arek sek adoh," Mas Penceng tersengal. Dia mengaku kelelahan setelah menyeret Cepi yang hampir tidak kuat. Sudah jam 1 lewat. Langit mulai gelap dan kabut semakin tebal. Kami bimbang antara menunggu atau langsung turun. Jalan di bawah sama sekali tidak terlihat. Pendaki yang tadi bersama kami di puncak sudah turun semua. Tinggal pendaki dari grup kami saja. Sepi sekali.
"WOOOOOY......" Gosong berteriak memastikan ada orang di bawah atau tidak. Tidak ada balasan. Lalu terdengar "Woooy" dari kejauhan. Itu pasti mereka. Ada tiga kepala dengan jalan sempoyongan mendekati kami. Akhirnya, lunas sudah personil kami mencapai puncak Arjuna.
The real "puncak Arjuna" |
geng 5 meter minus Icham |
Terkapar di atas batu-batu terjal |
geng PALAPA |
wanita kosan muslimah yang perkasa |
we are super girl |
to be continued...
#part 6 : Mendaki Gunung
#part 7 : Badai Pasti Berlalu
#part 8 : Di Dalam Awan
#part 9 : Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung
0 comments:
Post a Comment