Subscribe:

Saturday, 23 July 2016

Alasan Kenapa Saya Akan Masuk Neraka

Sepertinya saya akan masuk neraka. Dua hari yang lalu saya baru saja membuat seorang kyai jadi bahan bullyan di media sosial. Gara-gara tulisan saya itu, dia dicap sebagai kyai bodoh oleh seantero jagat. Duh, Gusti.. nuwun pangapura ingkang katah..

Tulisan itu dimuat di Tempo.co dengan judul PBNU Sebut Ada KNIL di Balik Putusan IPT 1965. Tapi berita itu sudah diubah demi memenuhi hak jawab dari Pak Agus Sunyoto, Ketua Lesbumi PBNU yang saya wawancarai.

Pak Agus menuduh saya sengaja memelintir perkataannya. Padahal saya sama sekali tak berniat untuk melakukan hal itu. Sungguh, seupil pun tidak. Saya hanya gagal meletakkan konteks pembicaraan. Oke, gagal itu memang bukan sekadar 'hanya' melihat efeknya yang merugikan Pak Agus. Bayangan bahwa bulan depan saya sudah bukan lagi wartawan pun membayangi.

Yang membuat terkejut adalah adanya tuduhan bahwa saya sengaja memelintir berita itu karena pesanan dari orang-orang yang pro putusan IPT 1965. Tuduhan itu, menurut saya, berlebihan. Selama ini saya tidak pernah sengaja memelintir berita bahkan menerima pesanan dari pihak manapun. Sekalipun tidak pernah. Saya heran sih kok bisa ada yang punya pikiran seperti itu.

Kabar baiknya adalah saya beruntung memiliki redaktur yang begitu sabar. Saya tidak tahu apa yang terjadi di balik layar, tapi dengan tenang Bli Komang, redaktur saya, meminta saya menjelaskan duduk perkara dan meminta saya untuk menulis ulang transkrip hasil wawancara. Setelah kami telaah kembali transkrip itu, ternyata memang saya keliru meletakkan konteks yang disampaikan Pak Agus. Saya mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada redaksi.

Bli Komang barangkali sedih melihat reporternya sembrono. Tapi dia, masih dengan sikap tenangnya, mengatakan, "Tidak ada seorang wartawan pun yang tidak pernah keliru. Yang penting cepat perbaiki dan rendah hati mengakui." Saya menghela nafas lega. Sepertinya bulan depan saya masih akan terima gaji.

Tapi persoalan yang sebenarnya bukan di situ. Saya sudah terlanjur membuat nama Pak Agus jadi keruh. Dia dibully sana sini dan dianggap sedang ndagel. Ya kalau orang yang baca berita itu baca lagi koreksi yang kami berikan. Kalau tidak? Barangkali Pak Agus akan dikenang sebagai orang yang stupid akibat keteledoran saya. Bisa kan Anda bayangkan bagaimana kekacauan itu adalah tanggung jawab saya? Saya membuat seseorang dibully!

Sampai di sini, akhirnya saya paham apa yang dikatakan oleh redaktur saya yang lain. Di suatu kesempatan, Bang Moses pernah menyampaikan, bahwa menjadi wartawan memang harus siap untuk masuk neraka. Mereka ada di baris yang dipimpin setan, berada di golongan keempat setelah polisi, hakim, dan pengacara.







0 comments:

Post a Comment