AKU INGIN
RESIGN. Mendadak kalimat itu muncul di kepala. Baru empat bulan aku bekerja. Tapi
aku sudah begitu tertekan. Di sini, semua berjalan sangat cepat. Larilah, atau
waktu akan meninggalkanmu. Dan kau akan kehilangan banyak. Benar kata Ibu,
hidup di Jakarta memang tidak mudah. Apalagi jadi wartawan. Sialan.
Sudah berkali-kali
aku ditegur banyak redaktur. Ada yang bilang tulisanku cemplang. Satu lagi
bergumam aku tak kritis. Yang lain berkata beritaku tak akurat. Dua orang
mencecar, katanya aku ngawur memilih narasumber. Aku tak menyangkalnya. Mereka
benar. Dan aku memang harus banyak belajar.
Tapi bukan itu
yang membuatku ingin berhenti. Aku tak betah di sini. Aku benci suara
saut-sautan klakson yang berisik sejak subuh. Aku benci air yang kubuat mandi rasanya
kecut. Aku benci memakai masker kemana-mana. Aku tak bebas menghirup udara yang
bersih. Aku bahkan benci bau tubuhku yang terus-terusan berkeringat padahal aku
hanya diam. Dan aku juga benci atap kamar kosku yang bocor.
Aku belum
menemukan alasan untuk mencintai kota ini. Memangnya cinta butuh alasan? Tentu
saja! Mencintai tanpa sebab adalah omong kosong. Barangkali sama kosongnya
dengan isi otakku. Juga hatiku. Dan nuraniku. Apalagi isi dompetku.
Kota ini
penuh carut. Tapi marut pada muka pengemis yang bawa-bawa anak itu tak buatku
iba. Mereka adalah orang-orang bodoh yang ditinggalkan negaranya. Kenapa datang
ke mari? Karena ini kota ibu. Menjanjikan segalanya. Sampai penuh mereka
tinggal di pelukan ibu kota tercinta ini. Tanpa mereka sadar, air susu ibu telah
habis.
Mereka
sekolah, tapi tak berpendidikan. Kalau terdidik, kenapa masih buang sampah
sembarangan? Kenapa masih jual makanan berformalin? Kenapa cuci beras dengan
air penuh bakteri E coli? Kenapa datang ke Jakarta?
Aku akan
ikut jadi bodoh, kalau aku datang ke mari dan hanya ungkang-ungkang kaki. Atau
sekadar cari laki untuk jadi seorang bini. Aku tak mau itu. Kenapa aku di sini?
Kenapa aku datang ke Jakarta?
AKU INGIN
PULANG. Tentu saja godaan untuk hidup di kampung lebih menggiurkan. Mulutku
penuh liur saat jam segini membayangkan sop telur puyuh dengan tempe goreng krispi
lengkap dengan sambal kecap buatan ibu. Menu kesukaan adik kecilku. Dia paling
suka makan bagian kuning telurnya. Aku selalu kebagian putih telurnya saja.
Tapi aku tak
boleh pulang. Setelah bertahun menyusahkan, tak mungkin aku ikut pulang emak
bapak yang baru saja mengantar. Meskipun tangan adik kecilku melambai-lambai
minta didulang. Tak bisa!
AKU HARUS BERTAHAN. Kupaksa ingatanku kembali pada 10 bulan lalu. Saat
aku naik kereta ke Jember, Malang, atau Surabaya. Bersaing dengan ribuan
pengangguran mencari kerja. Tak cukup sehari dua hari. Berbulan aku mencari.
Bolak-balik ke luar masuk kota orang. Lalu kudapat satu. Tapi kulepas di hari
pertama kerja demi ikut psikotes untuk jadi wartawan. Sungguh gila aku kala
itu.
Kini aku
calon reporter media nasional yang bernama Tempo. Tetangga kampungku di
Banyuwangi banyak yang tak kenal namanya. Di sana, nama Jawa Pos lebih membumi.
Menjadi wartawan untuk media tak terkenal, mereka kasihan padaku. Tak sedikit
yang coba mencarikan pekerjaan lain buatku.
Aku menolak.
Kala itu, aku begitu bangga menjadi wartawan. Begitupun kini. Aku tak rela jika
melepas profesi ini. Selamanya, aku mau jadi jurnalis.
HAHAHA. Suara
brengsek di belakang tertawa. Mau jadi jurnalis selamanya? Yang benar saja? Belum
apa-apa sudah ingin berhenti. Sudah kangen emak bapak. Sedikit-sedikit
semangat, sedikit-sedikit lesu. Jurnalis kok musiman? Cuih!
Aku tak
peduli. Semua pekerjaan punya resiko. Semua orang bisa jenuh. Barangkali jenuh
itu yang sedang kualami. Tak perlu ditanggapi. Biarkan saja hingga ia pergi
nanti.
Aku mendengar
suara Anton Septian, seorang redaktur yang mewawancaraiku. “Apakah kamu punya
pikiran suatu hari bekerja sebagai selain wartawan?” tanya dia saat tes
wawancara tahap satu, bulan Mei tahun lalu. Aku menggeleng. Saat ini pun, jika
Anton kembali bertanya kepadaku pertanyaan yang sama, kupastikan aku memberi
jawaban yang sama.
AKU TAK BOLEH
RESIGN. Sebab kalau aku berhenti, siapa yang akan mengabarkan kepada publik untuk jangan datang ke Jakarta?