Saya tidak
pernah menganggap ini adalah pekerjaan. Yang saya lakukan setiap hari hanya
belajar membaca dan menulis. Ketika di lapangan, saya anggap seperti saat saya
mendengarkan guru yang sedang menerangkan pelajaran di depan kelas. Saya harus
dengarkan baik-baik, lalu bertanya jika ada yang tidak saya mengerti. Kemudian mereview
apa yang menarik dan penting dari penjelasan guru tadi ke dalam sebuah tulisan.
Nanti redaktur saya memberi nilai apakah laporan saya bagus atau tidak. Seperti
sekolah bukan?
Bedanya,
guru yang saya temui di sini bukan mereka yang bergelar Sarjana saja. Tempat belajarnya
bisa dimana saja. Pelajarannya juga bisa apa saja. Dari tukang ojek, tukang
kebun, pemulung, direktur perusahaan, hingga menteri bisa jadi guru saya.
Bahkan kalau ada kesempatan, saya juga bisa berguru langsung pada Presiden.
Dulu, saya
pikir wartawan adalah profesi yang tidak akan membuat saya bosan. Sebab wartawan
selalu bertemu dengan aktor-aktor dan adegan baru setiap harinya. Setiap hari
tidak akan sama. Betapa menjadi wartawan membuat saya merasa begitu hidup.
Tapi
sekarang, wahai saudara, satu bulan saya menjadi wartawan, saya sudah merasa
bosan. Saya tidak bosan menjadi wartawan. Saya bosan mendengar guru-guru saya
yang terus mengulang pelajaran yang sama.
Kaum
proletar itu tak pernah berhenti meminta keadilan. Dan para birokrat juga tak
pernah berhenti bicara terobosan. Mereka begitu puas dengan paket-paket
kebijakan yang katanya diusung untuk memperbaiki ekonomi. Menganggap
keberhasilan menguatkan rupiah selama beberapa detik sebagai pencapaian yang
luar biasa.
Tapi Pak,Bu,
Jakarta masih macet luar biasa. Macet yang bisa membuat saya berantem sama
tukang ojek. Begitu sumpek di sini. Tapi setiap tahun masih saja ada orang yang
datang kemari. Apa yang mau dicari? Sepertinya mereka terkena korban sinetron.
Tapi ketahuilah saudara, tukang bubur itu belum naik haji. Dan manusia gerobak
itu belum ikut program bedah rumah karena ia tidak punya rumah.
Tapi saya
pikir Bu Menteri sudah memiliki itikad baik dengan mencari hutang ke Cina untuk
mengembangkan Bank-bank besar. Tapi untuk apa Bu? Apakah agar Bank-bank itu
bisa memberi kami kredit usaha? Kalau iya, saya sangat apresiasi tindakan Bu
Menteri itu. Namun sayang, saya yang cuma kaum proletar ini tidak akan mau
ambil kredit. Karena bunga Bank Indonesia masih 7,5 persen. Bagi saya yang
hidup pas-pasan di kota mahal ini, tentu itu sangat besar.
Lalu Pak
Menteri kita yang bersahaja, sangat brilian idenya untuk melegalkan penjualan
alkohol. Katanya itu dilakukan agar meningkatkan investasi dalam negeri. Sehingga
nanti perekonomian kita yang sedang tersengal-sengal ini bisa segera lancar
bernafas. Betapa menteri kita ini sangat mulia bukan?
Kita pun
seharusnya bersyukur, karena punya wakil rakyat yang amanah mengemban tugas.
Semua keinginan rakyat untuk tinggal di apartemen mewah, punya mobil, hingga
jalan-jalan keluar negeri sudah diwakilkan mereka. Pasti itu sangat melelahkan.
Maka wajarlah kalau sekarang mereka meminta tunjangannya segera dinaikkan. Kita
harus maklum itu.
Ah, kenapa
saya jadi bicara panjang begini ya? Padahal tadinya saya cuma mau curhat
tentang profesi saya mumpung saya sedang libur. Tapi sepertinya saya terlalu terbawa-bawa isu. Hahaha. Kalau kata
redaktur, tulisan ini sudah keluar angle. Tidak layak terbit. Maka agar menjadi
tulisan yang tidak semakin tidak layak, saya akhiri saja ya gaes.
Selamat Lebaran..
0 comments:
Post a Comment