Subscribe:

Monday, 17 June 2013

Sayi

Sore ini mendung, seperti sore-sore lain di Bulan Juni. Mendung memang bukanlah jaminan hari ini akan hujan, tapi mendung selalu datang membawa berita. Entah itu sebuah realita bahwa sekarang sudah memasuki musim hujan, atau hanyalah gosip tentang hujan badai yang mampu memporak-porandakan nurani.

Hari ini sebuah berita dari kawan membuat hatiku turut mendung. Belum sempat aku bertakziah untuk Ibunya yang telah wafat beberapa hari lalu, sang ayah menyusul istri tercintanya. Hati siapa yang tak dirundung hujan, ditinggalkan kedua orang tua dalam waktu yang hampir bersamaan? Sayi Hartiningsih, kawanku dari SMP kini menjadi seorang yatim piatu.

"Oalah yan, wingi sek sempet masang kabel lo karo awakmu. Sepurane yo lek bapakku duwe salah (Oalah yan, kemarin masih sempat memasang kabel bersama kamu. Maafkan bapakku ya kalau punya salah)", Sambutnya kepada kami yang baru tiba di kediamannya. Aku, Alfian, Ipeh, dan adiknya Ipeh melayat bersama-sama karena tertinggal rombongan yang sudah lebih dulu tiba hari sebelumnya. Kami mendapatkan kabar duka satu hari setelah Bapak Sayi meninggal. Rumah Sayi ramai orang bertakziah, keluarga dekat dan jauh berkumpul membagi rasa duka cita. Karpet yang digelar sebagai alas duduk belum lama dilipat. Hanya selang dua minggu Ibu dan Bapak Sayi berpulang ke Rahmatullah.

Sayi, senyumnya masih sama. Entah itu adalah senyum yang selalu menyapaku seperti biasa, atau hanyalah senyum yang diukir menjadi topeng dibalik kegundahan hati. Kesedihan memang masih beredar, tapi tak sedikitpun kemuraman mencoreng wajahmu yang ayu. Hanya ketegaran yang nyata kau tunjukkan kepada kami. Kau ceritakan bagaimana Bapakmu yang masih bugar tiba-tiba merasa sakit di dadanya, kemudian meninggal saat semua orang pergi menunaikan salat Jum'at. Sayi yang kala itu berada di Jember menerima kabar bahwa Bapaknya masuk rumah sakit dan dia harus pulang pada saat itu juga. Betapa terkejutnya ia sesampai di rumah, sebuah gentong air untuk memandikan jenazah berdiri di depan rumahnya. Belum sempat ia melangkah melewati ambang pintu, kakak lelaki bersama istrinya datang memeluknya. Sembari berlinangan air mata, sang kakak meminta maaf karena tidak menunggunya untuk mengubur Bapak. Ya Allah, bahkan Sayi tidak mendapat kesempatan melihat Bapaknya untuk terakhir kali. "Nggak popo wes, meninggale apik to pas dino Jum'at? (tidak apa-apa lah, meninggalnya bagus kan Hari Jum'at?)", katanya penuh ketabahan.

Setelah Ibunya meninggal, Sayi memiliki keinginan untuk mengajak Bapaknya tinggal di Jember bersamanya. Mahasiswi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember itu tidak tega melihat Bapaknya hidup seorang diri karena masnya sudah memiliki keluarga dan tinggal di Banyuwangi. Tapi Bapak menolak, bahkan Bapak sempat mengajak Sayi berjualan kerupuk kalau Sayi sedang libur kuliah. "Lha iku to saiki kerupuke wes digoreng digae suguhan (lha itu kerupuknya digoreng untuk disuguhkan)", katanya sambil tertawa mengenang tawaran si Bapak. Berulang kali dia meyakinkan dirinya bahwa Bapaknya meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Tidak setetespun air mata jatuh dari kedua mata sayunya. Mungkin air mata itu sengaja disimpan untuk bermunajat kepada Yang Maha Kuasa. Hanya kepada Allah kami kembali.

"Paling ngene iki bapak ibukku lagi guyonan yo, lho mas, lapo samean neng kene? hahaha (mungkin sekarang bapak ibuku sedang bercanda ya, lho mas, ngapain kamu di sini? hahaha)", lawaknya sambil memperagakan ekspresi Ibunya ketika masih hidup.
 Sayi, sungguh hatiku nelangsa melihatmu setegar itu. Cobaan ini tidaklah mudah bagi orang-orang lemah sepertiku. Aku yang hanya temanmu saja sudah berkaca-kaca mendengar duka yang membanjirimu. Apalagi jika ujian itu menimpaku. Sungguh aku bersyukur engkau diberi kesabaran yang berlebih. Aku yakin, pasti Bapak Ibumu lah yang mengajarimu berlaku ikhlas, hingga kini kau telah rela kedua orang tuamu berkumpul di alam yang lebih kekal.

Kawan, terkadang aku lupa, bahwa hidup hanyalah titipan. Tapi kamu begitu memahami bahwa kita terlahir telanjang. Tanpa hak memiliki apapun di dunia. Bahkan untuk sehelai bulu rambut yang menempel pada tubuh itu bukanlah hak yang bisa dimiliki. Ikhlas membuatmu tegar, dan kuat untuk berjalan. Aku mungkin tak sanggup menanggung beban kehilanganmu, aku hanya sanggup mendoakan Bapak dan Ibumu semoga beliau berdua diterima di sisi-Nya dan diampuni segala dosa. Untuk kamu Sayi, tetaplah bertahan dengan sabar dan ikhlasmu. Semoga Tuhan memberikan kado yang indah sebagai hadiah ketegaranmu. Percayalah kawan, Allah selalu ingin bersama orang-orang yang dikasihi-Nya.



0 comments:

Post a Comment