Subscribe:

Sunday, 2 June 2013

Memaksa Suka Hijau

Saat saya masih kecil, saya suka sekali dengan warna merah. Setiap mau beli baju, pasti memilih yang berwarna merah. Beli anting, maunya yang bermata merah. Tas warna merah. Buku tulis merah. Tempat pensil merah. Karet rambut merah. Bandana merah. Celana dalam merah. Pokoknya yang melekat pada tubuh saya harus berwarna merah semua. Sampai saya pernah di tegur oleh salah satu guru karena saya memakai sepatu warna merah saat saya berada di bangku SD.

Kecanduan saya pada warna merah ini sedikit berkurang ketika saya menginjak bangku SMP. Suatu hari saya berbincang-bincang dengan kakak sepupu saya yang seorang anggota pecinta alam. Kak Lila sering menceritakan pengalaman-pengalamannya menjadi "orang hutan". Menaklukkan Gunung Ijen di pucuk wetan Pulau Jawa hinga Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat sudah berhasil dilakoni. Saya selalu terkesan dengan jiwa petualangnya masih melekat sampai sekarang walaupun kini dia sudah menjadi ibu rumah tangga. Alumni UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) SWAPENKA -nama organisasi pecinta alam Fakultas Sastra Universitas Jember- itu selalu menyukai warna-warna alam seperti hijau, cokelat, kuning, dan biru. Dari kekaguman saya pada dirinya lah akhirnya saya "ikut-ikutan" menyukai warna-warna alam. Dari sekian juta degradasi warna yang ada di alam semesta ini, akhirnya saya "memilih" hijau sebagai warna favorit saya.

Akhirnya saya mulai mengumpulkan benda-benda berwarna hijau. Baju warna hijau, sandal hijau, hingga kaus kaki berwarna hijau. Ketika ditanya oleh teman apa warna kesukaan saya, hijau jawabannya, bukan merah. Alasannya adalah karena saya menganggap warna alam seperti hijau itu lebih "keren" daripada merah. Saya tidak tahu darimana datangnya gengsi itu sehingga saya membaptis diri saya sendiri menjadi penyuka sebagian besar warna daun tersebut. Selain itu, filosofi warna hijau yang selalu dikaitkan dengan keseimbangan, kesejukan, dan keceriaan juga menambah gengsi saya dalam menjadikan warna ini sebagai warna favorit.

Selama beberapa waktu saya menjadi greenlovers. Sampai akhirnya saya merasa jenuh karena selalu "memaksa" untuk memilih warna yang sebenarnya tidak terlalu saya sukai. Tampaknya saya sudah menjadi korban globalisasi, dimana budaya dari luar sangat mudah masuk dan berhasil mempengaruhi diri saya. Dalam hal ini adalah warna hijau yang saya anggap lebih macho daripada warna merah sehingga saya meninggalkan merah yang sejatinya adalah cinta pertama saya.

Cinta saya kepada hijau tidak tulus. Karena sebuah alasan agar terlihat "keren" oleh saya sendiri akhirnya saya memaksa menyukainya. Sementara merah tak pernah saya akui walaupun selama ini sebenarnya saya ngempet mengidamkannya.

Ini bukan masalah warna apa saja yang pernah menjadi warna favorit saya, melainkan tentang bagaimana saya memilih warna-warna tersebut. Anda lihat, saya tidak bertahan lama menyukai warna hijau karena saya tidak benar-benar suka. Saya hanya "memaksakan" rasa suka saya kepadanya. Sedangkan untuk si merah, saya sudah menyukainya dari awal dan tidak ada alasan kenapa saya suka. Warnanya terang dan menyilaukan. Mungkin saya sudah jatuh hati ketika pertama kali membuka mata dan menemukan pantulan cahayanya. Seberapa pun kerasnya saya berusaha menolaknya, dia tetap menjadi warna yang saya idamkan.[]

0 comments:

Post a Comment